Selasa, 31 Maret 2015

Hadis pendidikan dan pengajaran



A.    Pengajaran menghindarkan kebosanan. Kitab Lu’lu’ wa Al Marjan.Hadits no.1796.
1.Hadits:
حديث عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ كَانَ يُذَكِّرُ النَّاسَ فِي كُلِّ خَمِيسٍ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمنِ لَوَدِدْتُ أَنَّكَ ذَكَّرْتَنَا كُلَّ يَوْمٍ قَالَ: أَمَا إِنَّهُ يَمْنَعُنِي مِنْ ذلِكَ أَنِّي أَكْرَهُ أَنْ أُمِلَّكُمْ وَإِنِّي أَتَخَوَّلُكُمْ بِالْمَوْعِظَةِ، كَمَا كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَتَخَوَّلُنَا بِهَا، مَخَافَة السَّآمَةِ عَلَيْنَا
أخرجه البخاري في: 3 كتاب العلم: 12 باب من جعل لأهل العلم أيامًا معلومة
2. Terjemahan:
1796. Abdullah bin Mas'uud r.a. biasa memberi nasihat pada orang-orang tiap hari Kamis, dan ketika ditanya oleh seseorang: Hai Abu Abdirrahman aku ingin sekira anda dapat memberi ajaran dan nasihat itu tiap hari. Jawab Ibn Mas'uud: Sesungguhnya yang mence­gah diriku untuk memberi nasihat kepada kalian tiap hari itu, karena aku kuatir menjemukan kalian, maka aku jarang-jarang memberi nasihat kepada kalian sebagaimana Nabi saw. dahulu berbuat sede­mikian kepada kami kuatir menjemukan kami. (Bukhari, Muslim).

3. Mufrodat:
1.      يُذَكِّرُ = memberi nasehat
2.      لَوَدِدْتُ = aku ingin
3.      يَمْنَعُنِي = yang mence­gah diriku
4.      أُمِلَّكُمْ = untuk memberi nasihat kepada kalian
5.      أَتَخَوَّلُكُمْ = aku kuatir menjemukan kalian

4. Pesan Hadits :
     Hadits tersebut Menjelaskan tentang metode/tata cara menyampaikan sebuah nasehat, agar nasehat yang kita berikan kepada seseorang jangan terlalu banyak diulang-ulang, karena hal tersebut membuat seseorang yang menerina nasehat akan terbiasa dan bosan. Sebab nasihat yang menjemukan itu sama sekali tidak berguna tidak berpengaruh atau berbekas, bahkan kemungkinan menyebabkan dosa, yaitu jika yang dinasihati ngomel, karena jemunya.

5. Pendapat/Syarah Hadits.

Abdullah dalam hadis ini adalah  Abdullah bin Mas’ud, yang biasa dipanggil Abu Abdurrahman. Sedangkan laki-laki yang bertanya kepada Abdullah bin Mas’ud tidak diketahui dengan jelas, mungkin Yazid bin Mu’awiyah an-Nakha’I, sebagaimana disinyalir oleh imam Bukhari pada akhir bab “Dakwah”.
لَوَدِدْتُ (saya mengharap) disini huruf “lam” sebagai jawaban dari sumpah yang tidak disebutkan, jadi asal kalimat tersebut adalah وَلله لَوَدِدتُ (demi Allah, saya mengharap).
Islam memerintahkan ummatnya untuk selalu saling nasehat menasehati. Dari hal tersebut ketika kita telaah maknanya, sesungguhnya hal itu mempertegas posisi manusia yang lemah, sering pelupa, lalai, tidak sabar, dan sering membuat kesalahan dan kerusakan. Nasehat menasehati adalah proses menempa kejujuran, kerendahan hati, keterbukaan, komitmen dan rasa kebersamaan. Nilai sebuah nasehat menurut hemat saya ditentukan oleh sedikitnya 4 hal utama yaitu (1). Kemampuan Penasehat, (2). Kesadaran yang dinasehati, (3). Etika, dan (4). Waktu.
Oleh karena itu dalam bernasehat menasehati tentu ada etika yang harus kita kedepankan, karena bisa saja kegiatan tersebut berkait dengan aib dan kelemahan orang lain. Untuk itu nasehat harus diprioritaskan bahwa semua untuk Allah SWT semata. Lalu upayakan untuk memegang kerahasian masalah, dan yang tidak kalah penting adalah cara penyampaian nasehat yang penuh sopan-santun dan menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Semua hal di atas masih perlu memperhatikan waktu yang baik untuk memberi nasehat. Maka waktu yang tepat adalah waktu dimana nasehat itu diminta.

6.Kerangka Teori
Nasehat :
 Kata “nasehat” berasal dari bahasa arab, dari kata kerja “Nashaha” yang berarti “khalasha”, yaitu murni serta bersih dari segala kotoran, juga bisa berarti “Khaatha”, yaitu menjahit.
Imam Ibnu Rajab rahimahullah menukil ucapan Imam Khaththabi rahimahullah, “Nasehat itu adalah suatu kata untuk menerangkan satu pengertian, yaitu keinginan kebaikan bagi yang dinasehati.”
“Sebagian ahli ilmu berkata: Penjelasan arti nasehat secara lengkap adalah perhatian hati terhadap yang dinasehati siapa pun dia, dan nasehat tersebut hukumnya ada dua, yang pertama wajib dan yang kedua sunnah. Maka nasehat yang wajib kepada Allah, yaitu perhatian yang sangat dari penasehat dengan cara mengikuti apa-apa yang Allah cintai, berupa pelaksanaan kewajiban dan dengan menjauhi apa-apa yang Allah haramkan. Sedangkan nasehat yang sunnah adalah dengan mendahulukan perbuatan yang dicintai Allah dari pada perbuatan yang dicintai oleh dirinya sendiri, yang demikian itu dalam dua perkara yang berbenturan. Yang pertama untuk kepentingan dirinya sendiri dan yang lain untuk Rabbnya, maka dia memulai mengerjakan sesuatu untuk Rabbnya terlebih dahulu dan mengakhirkan apa-apa yang untuk dirinya sendiri, maka ini adalah penjelasan nasehat kepada Allah secara global, baik yang wajib maupun yang sunnah. Adapun perinciannya akan kami sebutkan sebagiannya agar bisa dipahami dengan lebih jelas. Maka nasehat yang wajib kepada Allah adalah menjauhi laranganNya, dan melaksanakan perintahNya dengan seluruh anggota badannya apa-apa yang mampu ia lakukan, apabila ia tidak mampu melaksanakan kewajibannya karena suatu alasan tertentu seperti sakit atau terhalang dengan sesuatu atau sebab-sebab lainnya, maka ia tetap berniat dengan sungguh-sungguh untuk melaksanakan kewajiban tersebut apabila penghalang tadi telah hilang.
7.Analisis.
Hadis tersebut Menjelaskan Tentang Memilih Waktu yang Efektif dalam Bernasihat (LM: 1796) mengenai nasihat yang menjemukan itu sama sekali tidak berguna tidak berpengaruh atau berbekas, bahkan kemungkinan menyebabkan dosa, yaitu jika dinasihati ngomel, karena jemunya.

8.Sumber :
B. Cobaan Tentang Anak. Lu’lu’ wal Marjan:1688
1. Hadits:
حديث عَائِشَةَ، قَالَتْ: دَخَلَتِ امْرَأَةٌ، مَعَهَا ابْنَتَانِ لَهَا، تَسْأَلُ فَلَمْ تَجِدْ عِنْدِي شَيْئًا، غَيْرَ تَمْرَةٍ، فَأَعْطَيْتُهَا إِيَّاهَا فَقَسَمَتْهَا بَيْنَ ابْنَتَيْهَا، وَلَمْ تَأْكُلْ مِنْهَا ثُمَّ قَامَتْ فَخَرَجَتْ فَدَخَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم، عَلَيْنَا، فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ: مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هذِهِ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ، كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ
أخرجه البخاري في: 24 كتاب الزكاة: 10 باب اتقوا النار ولو بشق تمر    
2. Terjemahan:
1688. A'isyah r.a. berkata- Seorang wanita datang kepadanya membawa dua putrinya minta-minta, karena aku tidak mempunyai apa-apa selain sebiji kurma maka aku berikan kepadanya, lalu dibagi di antara kedua putrinya sedang ia sendiri tidak makan, kemudian ia keluar. Maka masuklah Nabi saw. dan aku beritahu keadaan wanita peminta itu dengan kedua putrinya, lalu Nabi saw. bersabda: Siapa yang diuji oleh Allah dengan putri-putri maka insya Allah kelak akan menjadi dinding baginya dari api neraka. (Bukhari, Muslim).
     3. Mufrodat:
            1. ابْنَتَانِ = dua putrinya
            2. غَيْرَ تَمْرَةٍ = selain sebiji kurma
            3. فَأَعْطَيْتُهَا = maka aku berikan kepadanya
            4. فَقَسَمَتْهَا =  lalu dibagi
            5. فَأَخْبَرْتُهُ = aku beritahu
            6. مَنِ ابْتُلِيَ = Siapa yang diuji
            7. سِتْرًا مِنَ النَّارِ = menjadi dinding baginya dari api neraka
     4. Pesan Hadits:
Hadits tersebut menjelaskan tentang anjuran dan tatacara adab sopan santun, hubungan silaturrahim, ujian terhadap anak.
a.       Tentang silaturrahim : Seseorang boleh bersilaturrahim karena ada kepentingan/menginginkan sesuatu terhadap orang lain diperbolehkan dalam Islam dengan adab dan tatacara yang ditentukan oleh syari’at Islam. Sang tuan rumah bila kedatangan tamu diusahakan menerima dengan baik dan memberikan pelayanan semampunya.
b.      Tentang ujian terhadap anak, orang tua yang dikaruniai anak harus memberikan nafkah baik lahir maupun batin dengan kesungguhan dalam mencari dan mengupayakan rizki Allah.juga dalam hal mendidik anak agar anak mendapatkan pendidikan yang baik, anak akan mengikuti apa yang orang tua lakukan. Karena anak adalah ujian bagi orang tua, bagaimana ia memberikan kebutuhan anak sesuai ketentuan syari’at Islam.

6.      Pendapat/Syarah:
1. Keutamaan silaturrahim dalam Islam sangat besar manfaatnya, seperti hadits dari Abu Ayyub Al Anshori, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang amalan yang dapat memasukkan ke dalam surga, lantas Rasul menjawab,
تَعْبُدُ اللَّهَ لاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ، وَتُقِيمُ الصَّلاَةَ ، وَتُؤْتِى الزَّكَاةَ ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ
Sembahlah Allah, janganlah berbuat syirik pada-Nya, dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan jalinlah tali silaturahmi (dengan orang tua dan kerabat).” (HR. Bukhari no. 5983)
Dari Abu Bakroh, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُ تَعَالَى لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا – مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ
 فِى الآخِرَةِمِثْلُ الْبَغْىِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ
Tidak ada dosa yang lebih pantas untuk disegerakan balasannya bagi para pelakunya [di dunia ini] -berikut dosa yang disimpan untuknya [di akhirat]- daripada perbuatan melampaui batas (kezhaliman) dan memutus silaturahmi (dengan orang tua dan kerabat)” (HR. Abu Daud no. 4902, Tirmidzi no. 2511, dan Ibnu Majah no. 4211, shahih)
Abdullah bin ’Amr berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ ، وَلَكِنِ الْوَاصِلُ الَّذِى إِذَا قَطَعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
Seorang yang menyambung silahturahmi bukanlah seorang yang membalas kebaikan seorang dengan kebaikan semisal. Akan tetapi seorang yang menyambung silahturahmi adalah orang yang berusaha kembali menyambung silaturahmi setelah sebelumnya diputuskan oleh pihak lain.” (HR. Bukhari no. 5991)
Abu Hurairah berkata, “Seorang pria mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya punya keluarga yang jika saya berusaha menyambung silaturrahmi dengan mereka, mereka berusaha memutuskannya, dan jika saya berbuat baik pada mereka, mereka balik berbuat jelek kepadaku, dan mereka bersikap acuh tak acuh padahal saya bermurah hati pada mereka”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kalau memang halnya seperti yang engkau katakan, (maka) seolah- olah engkau memberi mereka makan dengan bara api dan pertolongan Allah akan senantiasa mengiringimu selama keadaanmu seperti itu.” (HR. Muslim no. 2558)
Abdurrahman ibnu ‘Auf berkata bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: أَنا الرَّحْمنُ، وَأَنا خَلَقْتُ الرَّحِمَ، وَاشْتَقَقْتُ لَهَا مِنِ اسْمِي، فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ،
 وَمَنْ قَطَعَهَا بتَتُّهُ
Allah ’azza wa jalla berfirman: Aku adalah Ar Rahman. Aku menciptakan rahim dan Aku mengambilnya dari nama-Ku. Siapa yang menyambungnya, niscaya Aku akan menjaga haknya. Dan siapa yang memutusnya, niscaya Aku akan memutus dirinya.” (HR. Ahmad 1/194, shahih lighoirihi).
Dari Abu Hurairah, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Siapa yang suka dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia menyambung silaturrahmi.” (HR. Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557)
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
مَنِ اتَّقَى رَبَّهُ، وَوَصَلَ رَحِمَهُ، نُسّىءَ فِي أَجَلِه وَثَرَى مَالَهُ، وَأَحَبَّهُ أَهْلُهُ
Siapa yang bertakwa kepada Rabb-nya dan menyambung silaturrahmi niscaya umurnya akan diperpanjang dan hartanya akan diperbanyak serta keluarganya akan mencintainya.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 58, hasan)

2.Tentang ujian terhadap anak.

Hadits di atas menunjukkan keutamaan anak-anak perempuan dalam agama Islam. Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Hadits-hadits di atas menunjukkan keutamaan berbuat baik kepada anak-anak perempuan, memberi nafkah kepada mereka, serta bersabar dalam mengurus seluruh urusan mereka“
     6. Kerangka Teori:
                        a. Silaturrahim :
 Makna Bahasa
Silaturahmi (shilah ar-rahim dibentuk dari kata shilah dan ar-rahim. Kata shilah berasal dari washala-yashilu-wasl(an)wa shilat(an), artinya adalah hubungan. Adapun ar-rahim atau ar-rahm, jamaknya arhâm, yakni rahim atau kerabat. Asalnya dari ar-rahmah (kasih sayang); ia digunakan untuk menyebut rahim atau kerabat karena orang-orang saling berkasih sayang, karena hubungan rahim atau kekerabatan itu. Di dalam al-Quran, kata al-arhâm terdapat dalam tujuh ayat, semuanya bermakna rahim atau kerabat.
Dengan demikian, secara bahasa shilah ar-rahim (silaturahmi) artinya adalah hubungan kekerabatan.

Pengertian Syar‘i
Banyak nash syariat yang memuat kata atau yang berkaitan dengan shilah ar-rahim. Maknanya bersesuaian dengan makna bahasanya, yaitu hubungan kekerabatan. Syariat memerintahkan agar kita senantiasa menyambung dan menjaga hubungan kerabat (shilah ar-rahim). Sebaliknya, syariat melarang untuk memutuskan silaturahim. Abu Ayub al-Anshari menuturkan, “Pernah ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw., “Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku perbuatan yang akan memasukkan aku ke dalam surga.” Lalu Rasulullah saw. menjawab:
«تَعْبُدُ اللهَ لاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ وَتُؤَتِيْ الزَّكَاةَ وَتَصِلُ الرَّحِمَ»
Engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung silaturahmi. (HR al-Bukhari). 
Hadist ini, meskipun menggunakan redaksi berita, maknanya adalah perintah. Pemberitahuan bahwa perbuatan itu akan mengantarkan pelakunya masuk surga, merupakan qarînah jâzim (indikasi yang tegas). Oleh karena itu, menyambung dan menjaga shilaturahmi hukumnya wajib, dan memutuskannya adalah haram. Rasul saw. pernah bersabda:
«لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ»
Tidak akan masuk surga orang yang memutus hubungan kekerabatan (ar-rahim). (HR al-Bukhari dan Muslim).

7.      Analisis:
1.      Anak perempuan merupakan ujian bagi orangtua. Sebagian orang tidak suka dengan kehadiran anak perempuan dan sangat bergembira ketika memiliki anak laki-laki. Oleh karena itu kehadiran anak-anak perempuan dianggap sebagai ujian. Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Anak perempuan disebut sebgai ibtilaa’ (ujian) karena umumnya manusia tidak menyukai mereka”. Hal ini juga sebagaimana Allah Ta’ala firmankan :
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالأُنثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدّاً وَهُوَ كَظِيمٌ يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِن سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ            
 أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ سَاء مَا يَحْكُمُونَ
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah , Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu “ (An Nahl:58)
2.    Yang dimaksud mengayomi anak perempuan adalah menunaikan hak-hak mereka seperti makan, pakaian, pendidikan, dan lain-lain. Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud (عَالَ) adalah menunaikan hak-hak dengan menafkahi dan mendidik mereka serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lainnya”.
3.      Terdapat ganjaran yang besar bagi orangtua yang mengayomi anak perempuan mereka, berupa nikmat surga, terhalangi dari siksa api neraka, dan kedekatan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhirat.
8. Referensi : Syarh Shahih Muslim, Imam An An Nawawi rahimahullah.

     C. Anak lahir atas fitroh. Lu’lu wal Marjan:1762
     1. Hadits:
     حديث كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: لَمْ أَتَخَلَّفْ عَنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فِي غَزْوَةٍ غَزَاهَا، إِلاَّ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ غَيْرَ أَنِّي كُنْتُ تَخَلَّفْتُ فِي غَزْوَةِ بَدْرٍ، وَلَمْ يُعَاتِبْ أَحَدًا تَخَلَّفَ عَنْهَا إِنَّمَا خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُرِيدُ عِيرَ قُرَيْشٍ حَتَّى جَمَعَ اللهُ
 بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ عَدُوِّهِمْ عَلَى غَيْرِ مِيعَادٍ وَلَقَدْ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، لَيْلَةَ الْعَقبَةِ حِينَ تَوَاثَقْنَا عَلَى الإِسْلاَمِ وَمَا أُحِبُّ أَنَّ لِي بِهَا مَشْهَدَ بَدْرٍ، وَإِنْ كَانَتْ بَدْرٌ أَذْكَرَ فِي النَّاسِ مِنْهَا
كَانَ مِنْ خَبَرِي أَنِّي لَمْ أَكُنْ قَطُّ أَقْوَى وَلاَ أَيْسَرَ حِينَ تَخَلَّفْتُ عَنْهُ فِي تِلْكَ الْغَزَاةِ وَاللهِ مَا اجْتَمَعَتْ عِنْدِي قَبْلَهُ رَاحِلَتَانِ قَطُّ،
حَتَّى جَمَعْتُهُمَا فِي تِلْكَ الْغَزْوَةِ وَلَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، يُرِيدُ غَزْوَةً إِلاَّ وَرَّى بِغَيْرِهَا حَتَّى كَانَتْ تِلْكَ الْغَزْوَةُ غَزَاهَا
 رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فِي حَرٍّ شَدِيدٍ، وَاسْتَقْبَلَ سَفَرًا بَعِيدًا، وَمَفَازًا، وَعَدُوًّا كَثِيرًا فَجَلَّى لِلْمُسْلِمِينَ أَمْرَهُمْ لِيَتَأَهَّبُوا أُهْبَةَ
غَزْوِهِمْ فَأَخَبْرَهُمْ بِوَجْهِهِ الَّذِي يُرِيدُ وَالْمُسْلِمُونَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَثِيرٌ وَلاَ يَجْمَعُهُمْ كِتَابٌ حَافِظٌ (يُرِيدُ الدِّيوَانَ)
قَالَ كَعْبٌ: فَمَا رَجُلٌ يُرِيدُ أَنْ يَتَغَيَّبَ إِلاَّ ظَنَّ أَن سَيَخْفَى لَهُ، مَا لَمْ يَنْزِلْ فِيهِ وَحْيُ اللهِ وَغَزَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم،
 تِلْكَ الْغَزْوَةَ، حِينَ طَابَتِ الثِّمَارُ وَالظِّلاَلُ وَتَجَهَّزَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَالْمُسْلِمُونَ مَعَهُ فَطَفِقْتُ أَغْدُو لِكَيْ أَتَجَهَّزَ مَعَهُمْ فَأَرْجِعُ وَلَمْ أَقْضِ شَيْئًا فَأَقُولُ فِي نَفْسِي: أَنَا قَادِرٌ عَلَيْهِ فَلَمْ يَزَلْ يَتَمَادَى بِي، حَتَّى اشْتَدَّ بِالنَّاسِ الْجِدُّ فَأَصْبَحَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، وَالْمُسْلِمُونَ مَعَهُ وَلَمْ أَقْضِ مِنْ جَهَازِي شَيْئًا فَقُلْتُ: أَتَجَهَّزُ بَعْدَهُ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمِيْنِ، ثُمَّ أَلْحَقهُمْ فَغَدَوْتُ بَعْدَ أَنْ فَصَلوا، لأَتَجَهَّزَ، فَرَجَعْتُ وَلَمْ أَقْضِ شَيْئًا ثُمَّ غَدَوْتُ ثُمَّ رَجَعْتُ وَلَمْ أَقْضِ شَيْئًا فَلَمْ يَزَلْ بِي حَتَّى أَسْرَعوا، وَتَفَارَطَ الْغَزْوُ وَهَمَمْتُ أَنْ أَرْتَحِلَ فَأدْرِكَهُمْ
 وَلَيْتَنِي فَعَلْتُ فَلَمْ يُقَدَّرْ لِي ذَلِكَ فَكنْتُ، إِذَا خَرَجْتُ فِي النَّاسِ، بَعْدَ خرُوجِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَطفْتُ فِيهِمْ،
 أَحْزَنَنِي أَنِّي لاَ أَرَى إِلاَّ رَجُلاً مَغْمُوصًا عَلَيْهِ النِّفَاقُ، أَوْ رَجلاً مِمَّنْ عَذَرَ اللهُ مِنَ الضُّعَفَاءِ وَلَمْ يَذْكُرْنِي رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
 حَتَّى بَلَغَ تَبُوكَ فَقَالَ، وَهُوَ جَالِسٌ فِي الْقَوْمِ بِتَبُوكَ: مَا فَعَل كَعْبٌ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي سَلِمَةَ: يَا رَسُولَ اللهِ حَبَسَهُ بُرْدَاهُ وَنَظَرُه
 فِي عِطْفِهِ فَقَالَ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ: بِئْسَ مَا قُلْتَ وَاللهِ يَا رَسُولَ اللهِ مَا عَلِمْنَا عَلَيْهِ إِلاَّ خَيْرًا فَسَكَتَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
قَالَ كَعْبُ بْنُ مَالِكٍ: فَلَمَّا بَلَغَنِي أَنَّهُ تَوَجَّهَ قَافِلاً، حَضَرَنِي هَمِّي وَطَفِقْتُ أَتَذَكَّرُ الْكَذِبَ، وَأَقُولُ: بِمَاذَا أَخْرُجُ مِنْ سَخَطِهِ غَدًا
 وَاسْتَعَنْتُ عَلَى ذَلِكَ بِكُلِّ ذِي رَأْيِ مِنْ أَهْلِي فَلَمَّا قِيلَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَدْ أَظَلَّ قَادِمًا، زَاحَ عَنِّي الْبَاطِلُ،
 وَعَرَفْتُ أَنِّي لَنْ أَخْرُجَ مِنْهُ أَبَدًا بِشَيْءٍ فِيهِ كَذِبٌ، فَأَجْمَعْتُ صِدقَهُ وَأَصْبَحَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَادِمًا وَكَانَ، إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ، بَدَأَ بِالْمَسْجِدِ، فَيَرْكَعُ فِيهِ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ جَلَسَ لِلنَّاسِ فَلَمَّا فَعَلَ ذَلِكَ، جَاءَهُ الْمُخَلَّفُونَ، فَطَفِقُوا يَعْتَذِرُونَ إِلَيْهِ، وَيَحْلِفُونَ لَهُ
 وَكَانوا بِضْعَةً وَثَمَانِينَ رَجُلاً فَقَبِلَ مِنْهُمْ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلاَنِيَتَهُمْ، وَبَايَعَهُمْ، وَاسْتَغْفَرَ لَهُمْ، وَوَكَلَ سَرَائِرَهُمْ إِلَى اللهِ
 فَجِئْتُهُ فَلَمَّا سَلَّمْتُ عَلَيْهِ، تَبَسَّمَ تَبَسُّمَ الْمُغْضَبِ ثُمَّ قَالَ تَعَالَ فَجِئْتُ أَمْشِي، حَتَّى جَلَسْتُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَقَالَ لِي مَا خَلَّفَكَ أَلَمْ
 تَكُن
ْ قَدِ ابْتَعْتَ ظهْرَكَ فَقُلْتُ: بَلَى إِنِّي، وَاللهِ لَوْ جَلَسْتُ عِنْدَ غَيْرِكَ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا، لَرَأَيْتُ أَنْ سَأخْرُجُ مِنْ سَخَطِهِ بِعُذْرٍ وَلَقَدْ أُعْطِيتُ جَدَلاً وَلكِنِّي، وَاللهِ لَقَدْ عَلِمْتُ لَئِنْ حَدَّثْتُكَ الْيَوْمَ حَدِيثَ كَذِبٍ، تَرْضى بِهِ عَنِّي، لَيُوشِكَنَّ اللهُ أَنْ يُسْخِطَكَ عَلَيَّ وَلَئِنْ حَدَّثْتُكَ حَدِيثَ صِدْقٍ تَجِدُ عَلَيَّ فِيهِ، إِنِّي لأَرْجُو فِيهِ عَفْوَ اللهِ لاَ وَاللهِ مَا كَانَ لِي مِنْ عُذْرٍ وَاللهِ مَا كُنْتُ قَطُّ
أَقْوَى، وَلاَ أَيْسَرَ مِنِّي، حِينَ تَخَلَّفْتُ عَنْكَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: أَمَّا هذَا، فَقَدْ صَدَقَ فَقُمْ حَتَّى يَقْضِيَ اللهُ فِيكَ
 فَقُمْتُ وَثَارَ رِجَالٌ مِنْ بَنِي سَلِمَةَ، فَاتَّبَعُونِي فَقَالُوا لِي: وَاللهِ مَا عَلِمْنَاكَ كُنْتَ أَذْنَبْتَ ذَنْبًا قَبْلَ هذَا وَلَقَدْ عَجَزْتَ أَنْ لاَ تَكُونَ اعْتَذَرْتَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِمَا اعْتَذَرَ إِلَيْهِ الْمُتَخَلِّفُونَ قَدْ كَانَ كَافِيَكَ ذَنْبَكَ اسْتِغْفَارُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم لَكَ فَوَاللهِ مَا زَالُوا يُؤَنِّبُونِي، حَتَّى أَرَدْتُ أَنْ أَرْجِعَ فَأُكَذِّبَ نَفْسِي ثُمَّ قلْتُ لَهُمْ: هَلْ لَقِيَ هذَا مَعِي أَحَدٌ قَالُوا: نَعَمْ رَجُلاَنِ قَالاَ مِثْلَ مَا قُلْتَ، فَقِيلَ لَهُمَا مِثْلُ مَا قِيلَ لَكَ فَقُلْتُ: مَنْ هُمَا قَالُوا: مُرَارَةُ بْنُ الرَّبِيعِ الْعَمْرِيُّ، وَهِلاَلُ بْنُ أُمَيَّةَ الْوَاقِفِيُّ فَذَكَرَوا لِي رَجُلَيْنِ صَالِحَيْنِ، قَدْ شَهِدَا بَدْرًا، فِيهِمَا أُسْوَةٌ فَمَضَيْتُ حِينَ ذَكَرُوهُمَا لِي
وَنَهى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم الْمُسْلِمِينَ عَنْ كَلاَمِنَا، أَيُّهَا الثَّلاَثَةُ، مِنْ بَيْنِ مَنْ تَخَلَّفَ عَنْهُ فَاجْتَنَبنَا النَّاسُ، وَتَغَيَّرُوا لَنَا، حَتَّى تَنَكَّرَتْ فِي نَفْسِي الأَرْضُ، فَمَا هِيَ الَّتِي أَعْرِفُ فَلَبِثْنَا عَلَى ذَلِكَ خَمْسِينَ لَيْلَةً
فَأَمَّا صَحِبَاي، فَاسْتَكَانَا، وَقَعَدَا فِي بُيُوتِهِمَا، يَبْكِيَانِ وَأَمَّا أَنا فَكنْتُ أَشَبَّ الْقَوْمِ، وَأَجْلَدَهُمْ فَكُنْتُ أَخْرُجُ فَأَشْهَدُ الصَّلاَةَ مَعَ الْمُسْلِمِينَ، وَأَطُوفُ فِي الأَسْوَاقِ وَلاَ يُكلِّمُنِي أَحَدٌ وَآتِي رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَأُسَلِّمُ عَلَيْهِ، وَهُوَ فِي مَجْلِسِهِ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَأَقُولُ فِي نَفْسِى: هَلْ حَرَّكَ شَفَتَيْهُ بِرَدِّ السَّلاَمِ عَلَيَّ، أَمْ لاَ ثُمَ أُصَلِي قَرِيبًا مِنْهُ، فَأُسَارِقُهُ النَّظَرَ فَإِذَا أَقْبَلْتُ عَلَى صَلاَتِي، أَقْبَلَ إِلَيَّ وَإِذَا الْتَفَتُّ نَحْوَهُ، أَعْرَضَ عَنِّي حَتَّى إِذَا طَالَ عَلَيَّ ذَلِكَ مِنْ جَفْوَةِ النَّاسِ، مَشَيْتُ حَتَّى تَسَوَّرْتُ جِدَارَ حَائِطِ أَبِي قَتَادَةَ، وَهُوَ ابْنُ عَمِّي، وَأَحَبُّ النَّاسِ إِلَيَّ، فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَوَاللهِ مَا رَدَّ عَلَيَّ السَّلاَمَ فَقُلْتُ: يَا أَبَا قَتَادَةَ أَنْشُدُكَ بِاللهِ هَلْ تَعْلَمُنِي أُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ فَسَكَتَ فَعُدْتُ لَهُ، فَنَشَدْتُهُ فَسَكَتَ فَعُدْتُ لَهُ فَنَشَدْتُهُ، فَقَالَ: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ فَفَاضَتْ عَيْنَايَ، وَتَوَلَّيْتُ حَتَّى تَسَوَّرْتُ الْجِدَارَ
قَالَ: فَبَيْنَا أَنَا أَمْشِي بِسُوقِ الْمَدِينَةِ، إِذَا نَبَطِيٌّ مِنْ أَنْبَاطِ أَهْلِ الشَّامِ، مِمَّنْ قَدِمَ بِالطَّعَامِ يَبِيعُهُ بِالْمَدِينَةِ، يَقُولُ: مَنْ يَدُلُّ عَلَى كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ فَطَفِقَ النَّاسُ يُشِيرُونَ لَهُ حَتَّى إِذَا جَاءَنِي، دَفَعَ إِلَيَّ كِتَابًا مِنْ مَلِكِ غَسَّانَ فَإِذَا فِيهِ: أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ قَدْ بَلَغَنِي أَنَّ صَاحِبَكَ قَدْ جَفَاكَ وَلَمْ يَجْعَلْكَ اللهُ بِدَارِ هَوَانٍ، وَلاَ مَضْيَعَةٍ فَالْحَقْ بِنَا نُوَاسِكَ فَقلْتُ لَمَّا قَرَأْتُهَا: وَهذَا أَيْضًا مِنَ الْبَلاَءِ فَتَيَمَّمْتُ بِهَا التَّنُّورَ فَسَجَرْتُهُ بِهَا حَتَّى إِذَا مَضَتْ أَرْبَعُونَ لَيْلَةً مِنَ الْخَمْسِينَ، إِذَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَأْتِينِي فَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُكَ أَنْ تَعْتَزِلَ امْرَأَتَكَ فَقُلْتُ: أُطَلِّقُهَا أَمْ مَاذَا أَفْعَلُ قَالَ: لاَ بَلِ اعْتَزِلْهَا، وَلاَ تَقْرَبْهَا وَأَرْسَلَ إِلَى صَاحِبَيَّ مِثْلَ ذَلِكَ فَقُلْتُ لامْرَأَتِي: الْحَقِي بِأَهْلِكِ، فَكُونِي عِنْدَهُمْ حَتَّى يَقْضِيَ اللهُ فِي هذَا الامْرِ
قَالَ كَعْبٌ: فَجَاءَتِ امْرَأَةُ هِلاَلِ بْنِ أُمَيَّةَ، رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ هِلاَلَ بْنَ أُمَيَّةَ شَيْخٌ ضَائِعٌ، لَيْسَ لَهُ خَادِمٌ فَهَلْ تَكْرَهُ أَنْ أَخْدُمَهُ قَالَ: لاَ وَلكِنْ لاَ يَقْرَبْكِ قَالَتْ: إِنَّهُ، وَاللهِ مَا بِهِ حَرَكَةٌ إِلَى شَيْءٍ وَاللهِ مَا زَالَ يَبْكِي مُنْذُ كَانَ مِنْ أَمْرِهِ مَا كَانَ، إِلَى يَوْمِهِ هذَا فَقَالَ لِي بَعْضُ أَهْلِي: لَوِ اسْتَأْذَنْتَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي امْرَأَتِكَ، كَمَا أَذِنَ لاِمْرَأَةِ هِلاَلِ بْنِ أُمَيَّةَ أَنْ تَخْدُمَهُ فَقُلْتُ: وَاللهِ لاَ أسْتأْذِنُ فِيهَا رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَمَا يُدْرِينِي مَا يَقُولُ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، إِذَا اسْتَأْذَنْتهُ فِيهَا، وَأَنَا رَجُلٌ شَابٌّ فَلَبِثْت بَعْدَ ذَلِكَ عَشْرَ لَيَالٍ، حَتَّى كَمَلَتْ لَنَا خَمْسُونَ لَيْلَةً، مِنْ حِينَ نَهى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ كَلاَمِنَا فَلَمَّا صَلَّيْتُ صَلاَةَ الْفَجْرِ، صُبْحَ خَمْسِينَ لَيْلَةً، وَأَنَا عَلَى ظَهْرِ بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِنَا فَبَيْنَا أَنَا جِالِسٌ عَلَى الْحَالِ الَّتِي ذَكَرَ اللهُ، قَدْ ضَاقَتْ عَلَيَّ نَفْسِي، وَضَاقَتْ عَلَيَّ الأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ سَمِعْتُ صَوْتَ صَارِخٍ، أَوْفَى عَلَى جَبَلِ سَلْعٍ، بِأَعْلَى صَوْتِهِ: يَا كَعْبُ بْنَ مَالِكٍ أَبْشِرْ قَالَ: فَخَرَرْتُ سَاجِدًا، وَعَرَفْتُ أَنْ قَدْ جَاءَ فَرَجٌ وَآذَنَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِتَوْبَةِ اللهِ عَلَيْنَا، حِينَ صَلّى صَلاَةَ الْفَجْرِ فَذَهَبَ النَّاسُ يُبَشِّرُونَنَا، وَذَهَبَ قِبَلَ صَاحِبَيَّ مبَشِّرُونَ، وَرَكَضَ إِلَيَّ رَجُلٌ فَرَسًا، وَسَعَى سَاعٍ مِنْ أَسْلَمَ، فَأَوْفَى عَلَى الْجَبَلِ وَكَانَ الصَّوْتُ أَسْرَعَ مِنَ الفَرَسِ فَلَمَّا جَاءَنِي الَّذِي سَمِعْتُ صَوْتَهُ يُبَشِّرُنِي نَزَعْتُ لَهُ ثَوْبَيَّ، فَكَسَوْتُهُ إِيَّاهُمَا بِبُشْرَاهُ وَاللهِ مَا أَمْلِكُ غَيْرَهُمَا يَوْمَئِذٍ وَاسْتَعَرْتُ ثَوْبَيْنِ، فَلَبِسْتُهُمَا وَانْطَلَقْتُ إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَيَتَلَقَّانِي النَّاسُ فَوْجًا فَوْجًا، يُهَنُّونِي بِالتَّوْبَةِ يَقُولُونَ: لِتَهْنِكَ تَوْبَةُ اللهِ عَلَيْكَ
قَالَ كَعْبٌ: حَتَّى دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَإِذَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم جَالِسٌ حَوْلَهُ النَّاسُ فَقَامَ إِلَيَّ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ يُهَرْوِلُ، وَهَنَّانِي وَاللهِ مَا قَامَ إِلَيَّ رَجُلٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ غَيْرَهُ وَلاَ أَنْسَاهَا لِطَلْحَةَ
قَالَ كَعْبٌ: فَلَمَّا سَلَّمْتُ عَلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، وَهُوَ يَبْرُقُ وَجْهُهُ مِنَ السُّرُورِ: أَبْشِرْ بَخَيْرِ يَوْمٍ مَرَّ عَلَيْكَ مُنْذُ وَلَدَتْكَ أُمُّكَ قَالَ: قُلْت أَمِنْ عِنْدِكَ يَا رَسُولَ اللهِ أَمْ مِنْ عِنْدِ اللهِ قَالَ: لاَ بَلْ مِنْ عِنْدِ اللهِ وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، إِذَا سُرَّ اسْتَنَارَ وَجْهُهُ، حَتَّى كَأَنَّهُ قِطْعَةُ قَمَرٍ وَكُنَّا نَعْرِفُ ذلِكَ مِنْهُ فَلَمَّا جَلَسْتُ بَيْنَ يَدَيْهِ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ مِنْ تَوْبَتِي أَنْ أَنْخَلِعَ مِنْ مَالِي صَدَقَةً إِلَى اللهِ وَإِلَى رَسُولِ اللهِ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: أَمْسِكَ عَلَيْكَ بَعْضَ مَالِكَ، فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قُلْتُ: فَإِنِّي أُمْسِكُ سَهْمِي الَّذِي بِخَيْبَرَ
فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ اللهَ إِنَّمَا نَجَّانِي بِالصِّدْقِ، وَإِنَّ مِنْ تَوْبَتِي أَنْ لاَ أُحَدِّثَ إِلاَّ صِدْقًا مَا بَقِيتُ فَوَاللهِ مَا أَعْلَمُ أَحَدًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ أَبْلاَهُ اللهُ فِي صِدْقِ الْحَدِيثِ، مُنْذُ ذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، أَحْسَنَ مِمَّا أَبْلاَنِي مَا تَعَمَّدْتُ، مُنْذُ ذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِلَى يَوْمِي هذَا، كَذِبًا وَإِنِّي لأَرْجُو أَنْ يَحْفَظَنِي اللهُ فِيمَا بَقِيتُ
وأَنْزَلَ اللهُ عَلَى رَسُولِهِ صلى الله عليه وسلم (لَقَدْ تَابَ اللهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ) إِلَى قَوْلَهِ (وَكُونوا مَعَ الصَّادِقِينَ)
فَوَاللهِ مَا أَنْعَمَ اللهُ عَلَيَّ مِنْ نِعْمَةٍ قَطُّ، بَعْدَ أَنْ هَدَانِي لِلإِسْلاَمٍ، أَعْظَمَ فِي نَفْسِي مِنْ صِدْقِي لِرَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ لاَ أَكُونَ كَذَبْتُهُ، فَأَهْلِكَ كَمَا هَلَكَ الَّذِينَ كَذَبُوا فَإِنَّ اللهَ قَالَ لِلَّذِينَ كَذَبُوا، حِينَ أَنْزَلَ الْوَحْيَ، شَرَّ مَا قَالَ لأَحَدٍ فَقَالَ، تَبَارَكَ وَتَعَالَى (سَيَحْلِفُونَ بِاللهِ لَكُمْ إِذَا انْقَلَبْتمْ) إِلَى قَوْلِهِ (فَإِنَّ اللهَ لاَ يَرْضى عَنِ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ) قَالَ كَعْبٌ: وَكُنَّا تَخَلَّفْنَا، أَيُّهَا الثَّلاَثَةُ، عَنْ أَمْرِ أُولئِكَ الَّذِينَ قَبِلَ مِنْهُمْ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، حِينَ حَلَفُوا لَهُ، فَبَايَعَهُم وَاسْتَغْفَرَ لَهُمْ وَأَرْجَأَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَمْرَنَا، حَتَّى قَضَى اللهُ فِيهِ فَبِذلِكَ قَالَ اللهُ (وَعَلَى الثَّلاَثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا) وَلَيْسَ الَّذِي ذَكَرَ اللهُ مِمَّا خُلِّفْنَا عَنِ الْغَزْو، إِنَّمَا هُوَ تَخْلِيفُهُ إِيَّانَا، وَإِرْجَاؤُهُ أَمْرَنَا، عَمَّنْ حَلَفَ لَهُ، وَاعْتَذَرَ إِلَيْهِ، فَقَبِلَ مِنْهُ
أخرجه البخاري في: 64 كتاب المغازي: 79 باب حديث كعب بن مالك وقول الله عز وجل (وعلى الثلاثة الذين خلفوا)
     2. Terjemahan:
          1762. Ka'ab bin Malik r.a. berkata: Aku tidak pernah tertinggal dalam perang yang diikuti atau dipimpin langsung oleh Rasulullah saw. kecuali dalam perang Tabuk, hanya saja aku tertinggal dalam perang Badr, tetapi tiada orang yang disalahkan karena tertinggal dalam perang Badr, sebab Nabi saw. keluar tidak untuk perang hanya untuk menghadang kafilah Ouraisy, tiba-tiba Allah menghadapkan mereka pada musuh tanpa ada janji. Dan aku telah hadir malam bai'atul aqabah ketika kami pertama mengikat janji beragama Islam, dan aku tidak ingin kehadiranku malam aqabah itu ditukar dengan Badr meskipun Badr lebih terkenal.
 Adapun beritaku, bahwa pada waktu itu aku cukup ringan dan ringan, di waktu tidak ikut perang Tabuk, demi Allah belum pernah aku menyiapkan dua kendaraan sebelum itu, tetapi untuk perang Tabuk aku telah menyiapkan dua kendaraan, dan kebiasaan Nabi saw. jika akan menuju suatu tempat selalu menyebut lain tempat, kecuali dalam perang Tabuk maka Nabi saw. menjelaskan yang sebenarnya, sebab menghadapi perjalanan yang jauh dan hutan bahkan di musim panas, serta musuh yang tangguh banyak. Karena itu Nabi saw. perlu menjelaskan sebenarnya supaya kaum muslimin bersiap-siap sungguh, sedang kaum muslim sudah agak banyak dan mereka tidak tercatat dalam buku, sehingga sekiranya ada orang akan sembunyi tidak ikut, mungkin merasa tidak mungkin diketahui oleh Nabi saw. selama wahyu tidak turun.
Rasulullah saw. telah berangkat untuk perang Tabuk itu pada saat musim buah, maka Nabi saw. telah bersiap bersama kaum muslimin, sedang aku pulang akan bersiap-siap, tetapi setelah sampai di rumah tidak berbuat apa-apa, tetapi dalam perasaanku berkata. Mudah saja saya dapat bersiap dengan segera, hal sedemikian ini terus merajalela pada diriku sampai pada saat pagi-pagi Nabi saw. bersama kaum muslimin telah berkemas untuk berangkat dan aku pun belum siap sama sekali, dan terasa bagiku saya dapat bersiap ses"udah sehari atau dua hari dan dapat mengejar mereka, maka setelah mereka berangkat aku pun pulang ke rumah untuk bersiap tetapi tidak berbuat apa-apa, demikianlah keadaanku sehingga jauhlah perjalanan mereka, dan aku ingin mengejar mereka tetapi tidak berbuat apa-apa. Kemudian sangat terlambat jika aku keluar sesudah berangkatnya Nabi saw. dan kaum muslimin terasa sedih hatiku sebab aku tidak mendapat di kota Madinah kecuali orang yang tertuduh munafiq atau orang-orang yang berudzur dan diizinkan untuk tidak ikut perang dari golongan yang lemah, anak-anak dan wanita dan orang cacat. Rasulullah saw. tidak menyebut-nyebut aku kecuali sesudah sampai di Tabuk, maka ketika ia duduk bersama sahabat bersabda: Apa yang dilakukan oleh Ka'ab? Seorang dari Bani Salimah berkata: Ya Rasulullah, dia tertahan oleh serbannya dan membanggakan mantelnya. Mu'adz bin Jabal segera berkata: Busuk sekali perkataanmu. Demi Allah, Ya Rasulullah, kami tiada mengetahui sesuatu apa pun dari Ka'ab kecuali yang baik saja. Rasulullah saw. diam tidak menjawab.
Ka'ab berkata: Kemudian ketika aku mendengar bahwa Nabi saw. akan kembali mulai datang risau hatiku, dan aku berangan-angan untuk dusta tetapi timbul pertanyaan dalam hati: Aku akan dapat melepaskan diri dari murkanya dengan apa kelak? Kemudian aku musyawarat dengan orang-orang yang pandai dari kerabatku. Kemu­dian tiba berita bahwa Nabi saw. telah tiba, maka hilanglah semua kerisauan hatiku, dan aku merasa bahwa aku tidak akan terlepas dari hukumanku dengan sesuatu yang berupa dusta, karena itu lalu bulat tekadku akan berkata benar.
Dan pagi-pagi Nabi saw. masuk kota Madinah dan biasanya jika baru datang dari bepergian langsung menuju ke masjid bersholat dua raka'at kemudian duduk untuk menerima orang-orang yang perlu kepadanya. Ketika Nabi saw. telah duduk datanglah orang-orang yang tertinggal dan tidak ikut perang mengajukan alasan dan udzur masing-masing, lalu* dikuatkan dengan sumpah mereka dan mereka kurang lebih delapan puluh orang, maka Nabi saw. menerima alasan lahir mereka membai'at serta membacakan istighfar untuk mereka, adapun batin mereka diserahkan kepada Allah. Kemudian aku datang kepada Nabi saw. dan ketika aku memberi salam Nabi saw. tersenyum marah dan bersabda: Mari ke sini. Aku berjalan mendekat kepadnya sehing­ga duduk di hadapannya lalu beliau bertanya: Mengapakah anda tidak ikut, tidakkah anda telah memberi kendaraan? Jawabku: Benar, demi Allah andaikan aku duduk di hadapan orang selainmu dari ahli dunia, niscaya aku akan mendapat jalan keluar dari murkanya dengan berbagai alasan, sebab aku diberi oleh Allah kepandaian berdebat, tetapi - demi Allah - aku mengetahui jika aku kini berdusta padamu supaya engkau rela padaku, mungkin Allah akan memarahkan engkau padaku, sebaliknya bila aku berkata sebenarnya, mungkin engkau menyesal padaku, tetapi aku masih dapat mengharap maaf dari Allah: Demi allah aku tidak ada uzur, demi Allah pada saat itu aku cukup kuat dan ringan, ketika aku tertinggal dari padamu. Rasulullah saw. bersabda: Adapun orang ini maka telah mengaku sebenarnya, maka kini bangunlah dari sini sehingga Allah memutuskan hukum Nya padamu.
Ka'ab berkata: Maka bangunlah aku, dan berdiri pula beberapa orang dari Bani Salimah mengikuti aku, lalu mereka berkata: Demi Allah, kami tak pernah melihat anda berbuat dosa sebelum ini, mengapa anda tidak dapat membawa alasan uzur kepada Nabi saw. sebagaimana orang-orang yang juga tertinggal dan tidak ikut bersama Nabi saw., mungkin dosamu itu dapat tertebus oleh istighfar yang dibacakan oleh Nabi saw. untukmu. Mereka selalu menyalahkan tin­dakan saya dan marah padaku, sehingga timbul perasaanku akan aku tarik kembali keteranganku kepada Nabi saw. tetapi sebelum aku laksanakan itu, aku bertanya kepada mereka: Apakah ada orang yang berbuat seperti aku itu, dan menerima nasib seperti aku? Jawab mereka: Ya, ada dua orang yang mengaku sepertimu dan mendapat nasib sama denganmu. Aku bertanya: Siapakah keduanya? Jawab mereka: Murarah bin Arrabie' Al-Amri (Al-Aamiri) dan Hilal bin Umayyah Alwaaqifi. Ketika mereka menyebut nama dua orang yang salih (baik) yang telah ikut dalam perang Badr, maka aku berkata: Cukup menjadi contoh tauladan baik bagiku, lalu aku gagalkan maksud untuk menarik kembali ucapan dan pengakuanku yang benar pada Nabi saw.
Kemudian Nabi saw. melarang kaum muslimin untuk bicara dengan kami bertiga, sehingga semua orang menjauh dari kami, dan berubah terhadap kami, sehingga kota Madinah seakan-akan berubah terhadap kami, seakan-akan bukan kota kami, dan keadaan itu berja­lan hingga lima puluh hari Adapun kedua kawanku maka keduanya tinggal di rumah menangisi nasib dan dosanya, sedang aku sebagai rekan yang termuda tetap keluar bersembahyang jama'ah di masjid dan berkeliaran ke pasar, tetapi tidak seorang pun yang berkata-kata kepadaku dari kaum muslimin, dan aku mendatangi majlis Nabi saw. lalu memberi salam kepadanya, sambil memperhatikan bibir Nabi saw. kalau-kalau menjawab salamku, dan aku sengaja sholat di dekat Nabi saw. sambil melirik (mencuri penglihatan) kepada Nabi saw., jika aku tunduk dalam sholat ia melihat kepadaku tetapi jika aku menoleh kepadanya ia berpaling muka dari padaku.
Dan setelah lama pemboikotan orang-orang padaku, aku berjalan dan mendaki dinding rumah sepupuku Abu Oatadah, karena  ia satu-satunya orang yang aku sayang, maka aku memberi salam kepadanya, demi Allah dia tidak menjawab salamku, lalu aku bertanya: Hai Abu Oatadah, aku sumpah anda demi Allah adakah anda mengetahui bahwa aku cinta pada Allah dan Rasulullah? Dia pun diam tidak menjawab, maka aku ulang pertanyaanku itu, dan ia tetap diam, maka aku ulang pertanyaanku ketiga kalinya, maka ia menjawab: Allahu warasuluhu a'lamu (Allah dan Rasulullah yang lebih mengetahui). Maka bercucuran air mataku dan kembali aku mendaki dinding untuk pulang.
Pada suatu hari ketika aku berjalan di pasar Madinah tiba-tiba seorang bakul penjual makanan berasal dari Syam bertanya: Siapakah yang dapat menunjukkan aku pada Ka'ab bin Malik? Orang-orang hanya menunjukkannya kepadaku dengan isyarat tangan (jari), maka ia datang kepadaku untuk menyerahkan surat dari raja Ghassaan yang isinya: Amma ba'du, aku mendapat berita bahwa anda telah diboikot oleh kawan-kawanmu, ingatlah bahwa Allah tidak menjadikan anda seorang terhina atau terlantar, karena itu datanglah ke tempat kami, kami akan membantu padamu. Setelah aku baca surat itu, langsung aku berkata: Ini ujian juga, maka segera aku bakar surat itu dalam api.
Kemudian sesudah berjalan empat puluh hari, tiba-tiba utusan Nabi saw. datang memberitahu padaku bahwa Rasulullah saw. menyu­ruhmu meninggalkan isterimu? Aku tanya: Apakah harus aku cerai, atau bagaimana? Jawabnya: Tidak, hanya tidak boleh dikumpuli (ber-setubuh padanya). Dan menyuruh orang pergi kepada kedua kawan yang terkena hukuman sama dengan aku, maka aku berkata pada isteri-ku: Sementara ini anda pulang ke rumah orang tuamu sampai selesai hukum Allah bagiku.
Ka'ab berkata: Isteri Hilal bin Umayyah datang bertanya kepada Nabi saw.: Ya Rasulullah, Hilal bin Umayyah seorang yang sangat taa dan tidak mempunyai buruh pelayan, apakah engkau melarang saya melayaninya? Jawab Nabi saw.: Tidak, tetapi tidak boleh bersetubuh padamu. Jawab isterinya: Demi Allah dia tidak bergerak lagi untuk itu, demi Allah dia tetap menangis sejak kejadian itu hingga hari ini. Maka sebagian keluargaku usul kepadaku: Andaikan anda niinta izin kepada Nabi saw. sebagaimana isteri Hilal bin Umayyah yang diizin­kan untuk melayaninya. Jawabku: Demi Allah tidak akan minta izin kepada Nabi saw. sebab aku tidak mengetahui bagaimana nanti jawab Nabi saw. kepadaku sebab aku masih muda.
Kemudian setelah sepuluh hari sejak kami dilarang berkumpul dengan isteri, dan telah genap lima puluh hari sejak pertama kali kami diboikot oleh Nabi saw. dan sahabatnya, ketika waktu subuh pada hari yang kelima puluh sesudah sholat subuh aku duduk di tingkat atas di rumahku dalam keadaan sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam ayat-Nya, merasa sempit benar diriku, .sedang bumi yang kupijak ini pun terasa sempit, tiba-tiba aku mendengar suara seman orang yang menjerit sekeras suaranya: Hai Ka'ab bin Malik, sambutlah kabar gembira. Segera aku sujud syukur kepada Allah dan merasa kelapang­an telah tiba, dan Rasulullah saw. tentu telah memberi tahu kepada sahabat bahwa Allah telah menerima tobat kami sesudah sholat subuh, maka berdatanganlah orang-orang yang mengucapkan selamat padaku dan kedua kawanku, bahkan ada orang yang berkendaraan kuda datang untuk memberi selamat kepadaku juga ada orang dari suku Aslam yang lari untuk menyampaikan kabar gembira itu kepadaku, tetapi suara jeritan itulah pertama yang terdengar padaku, karena itu ketika ia sampai kepadaku langsung aku buka bajuku dan aku berikan kepadanya, sebagai imbalan dari ucapan selamatnya yang dijeritkan dari jauh itu, padahal di waktu itu saya tidak mempunyai pakaian selain itu, dan terpaksa untuk menghadap kepada Nabi saw. saya harus meminjam dari orang, dan ketika saya pergi menuju kepada Rasulullah saw. orang-orang pada menyambutku dengan ucapan sela­mat atas tobatku yang diterima oleh Allah. (Bergembira atas tobat dan ampunan Allah kepadamu). Sehingga sampai ke masjid, sedang Rasu­lullah saw. duduk dikerumuni oleh sahabat, maka bangunlah Thalhah bin Ubaidillah untuk menyambut dan memberi selamat kepadaku, demi Allah tiada seorang pun dari sahabat muhajirin yang berdiri selainnya karena itu aku takkan lupa hal itu terhadap Abu Thalhah.
Ka'ab berkata: Ketika aku memberi salam kepada Nabi saw. dijawab dengan muka yang berseri-seri karena sangat gembira, lalu bersabda: Sambutlah dengan gembira sebaik hari yang tiba padamu, yang tidak pernah terjadi padamu sejak dilahirkan dari perut ibumu.
Lalu aku tanya: Daripadamu ya Rasulullah atau langsung dari Allah? Jawab Nabi saw.: Bukan dari padaku tetapi langsung dari Allah. Dan sudah biasa Nabi saw. jika gembira bersinar wajahnya bagaikan belahan bulan, kami mengenal itu dari padanya. Kemudian aku tetap duduk di depan Nabi saw. lalu aku berkata: Ya Rasulullah, sebagai tanda syukur atas pengampunan yang diberikan Allah, aku akan sede­kahkan semua harta kekayaanku lillahi wa h' rasulillah. Rasulullah saw. bersabda: Tahan sebagian hartamu, maka itu lebih baik bagimu. Jawabku: Jika demikian maka aku menahan bagianku yang ada di Khaibar Lalu saya berkata: Ya Rasulullah, sungguh Allah telah menyelamatkan aku karena berkata benar, dan untuk melanjutkan tobatku tidak akan berkata dusta selama hidupku, demi Allah
saya rasa tidak pernah seorang muslim diuji karena berkata benar seperti yang terjadi padaku, dan sejak itu aku tidak pernah sengaja berdusta hingga hari ini, dan semoga terus Allah memeliharaku hingga matiku. Maka Allah menurunkan ayat:117,118,119.
"Sungguh Allah telah memberi tobat (maaf) pada Nabi, orang-orang Muhajirin dan Anshar yang telah mengikuti Nabi dalam saat kesulitan, setelah hampir saja berpaling hati sebagian dari mereka, kemudian Allah memaafkan mereka, sungguh Allah maha pengasih dan penyayang terhadap mereka." (117). "Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan penerimaan tobat mereka, sehingga apabila bumi yang luas ini terasa sempit bagi mereka, juga jiwa mereka merasa sempit, dan menyadari benar bahwa tiada tempat lari dari hukum Allah melainkan berlindung kepada Allah semata. Kemudian Allah memberi tobat pada mereka, supaya mereka benar-benar bertobat, sungguh Allah maha penerima tobat danpenyayang."(118).
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah pada Allah, dan jadilah selalu bersama orang-orang yang jujur benar."(119).

Demi Allah, aku merasa tiada ni'mat yang diberikan Allah padaku setelah mendapat hidayat masuk Islam, yang lebih besar dalam perasaanku daripada mengaku yang sebenarnya kepada Rasulullah saw. yang andaikan waktu itu aku berdusta lalu binasa sebagaimana orang-orang yang telah berdusta, sebab Allah telah berfirman terhadap orang-orang yang dusta dalam wahyu sejahat-jahat yang disebut­kan yaitu dalam ayat: 95, 96 Attaubat:
"Mereka akan bersumpah dengan nama Allah, jika engkau telah kembali kepada mereka, supaya engkau mengabaikan (tidak me­nuntut) mereka, maka abaikanlah mereka, sebab mereka najis dan tempat mereka dalam jahannam tempat mereka sebagai pem­balasan terhadap perbuatan mereka." (95). "Mereka bersumpah kepada kamu supaya kamu rela pada mereka, maka jika kamu ridha pada mereka, maka Allah tetap tidak ridha pada kaum yang fasiq (mempermainkan agama)."(96)
.
Ka'ab berkata: Maka kami bertiga tertinggal di tangguhkan dari mereka yang telah diterima oleh Rasulullah saw. dan dimintakan ampun ketika mereka telah berani bersumpah, sedang urusan kami ditangguhkan sampai Allah sendiri yang memutuskannya
Maka dengan demikian arti ayat: Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan, bukan berarti tertinggalnya kami dari perang, tetapi tertundanya pengampunan kami dari orang-orang yang berani bersum­pah dan membawa uzur kepada Nabi saw. sehingga diterima dari mereka, sedang kami masih ditangguhkan. (Bukhari, Muslim).

     3. Mufrodat:
          1. لَمْ أَتَخَلَّفْ= aku tidak pernah tertinggal
          2. يُعَاتِبْ = yang disalahkan
          3. تَوَاثَقْنَا = kami mengikat janji
          4.مَا اجْتَمَعَتْ = belum pernah aku menyiapkan
          5. رَاحِلَتَانِ = dua kendaraan
          6. لِيَتَأَهَّبُوا = supaya bersiap-siap sungguh
          7. يَتَغَيَّبَ=  berangan-angan
4. Pesan Hadits :
Allah telah menciptakan manusia dengan tujuan agar manusia menjadi Hamba Allah yang pandai mengabdi (ibadah) kepada Allah SWT. Firman Allah SWT: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
Allah Al-Khaliq (Pencipta) dan Al-Mushowwir (Pendesain) , pasti telah mendesain penciptaan manusia baik dari bahan dan prosesnya, sedemikian rupa agar hasil akhirnya lahir suatu makhluk manusia yang bisa mengabdi (ibadah) kepada Allah SWT. Jadi fitrahnya manusia adalah mengabdi ataui beribadah kepada Allah SWT.
Karena fitrahnya manusia adalah mengabdi (ibadah) kepada Allah SWT, maka manusia dengan struktur jasmani dan rohaninya pasti bisa dipakai untuk mengabdi (ibadah) kepada Allah. Rohani dan jasmani manusia pasti cocok dan pas dipakai untuk beribadah. Sebaliknya jika dipakai maksiat (membangkang) kepada Allah pasti tidak nyaman, dan dipastikan pasti bakal cepat rusak dan celaka. Sungguh kecelakaan manusia adalah karena penyimpangan dari “fitrahnya”.
5. Pendapat/Syarah :
     Bahwa setiap manusia difitrahkan di atas kebenaran dan rububiyah adalah kebenaran
, sehingga setiap manusia difitrahkan di atas rububiyah.
     Di antaranya: Bahwa manusia difitrahkan untuk mendapatkan apa yang bermanfaat dan menolak apa yang merugikan, hanya saja tidak semua manusia mampu meraih manfaat atau menolak mudharat, akan tetapi dalam hal ini dia membutuhkan pengajaran, seandainya pada manusia tidak terdapat fitrah mendapatkan manfaat niscaya dia tidak mengetahui hal itu, seperti fitrah anak kecil untuk menyusu, dia difitrahkan untuk menelan puting susu ibunya.
     Demikian pula dia lahir di atas pengetahuan tentang Allah, pengetahuan ini adalah sesuatu yang mendasar tidak bisa tidak, bila tidak ada penentangnya, oleh karena itu bila disodori maka dia pasti akan menerima sesuai dengan tuntutan yang ada pada dirinya untuk itu saat tidakadapenghalang.

6. Kerangka Teoritik.
Dalam pandangan Islam merupakan dasar dan keunggulan manusia di bandingkan dengan mahluk lainnya atau pembawaan disebut fitrah, yang berasal dari kataفطرة  yang dalam pengertian etimologi yang mengandun pengertian kejadian. Kata tersebut berasala dar kata الفا طر yang bentuk pluralnya fithar yang dapat diartikan cara penciptaan, sifat pembawaan sejak lahir, sifat watak manusia, agama dan sunnah, pecahan atau belahan.
Beberapa pandangan konsep filsafat yang mejelaskan tentang teori  yang mempengarui   perkembangan manusia.
a.       Konsep Fatalis-Pasif
Setiap individu, melalui ketetapan Allah SWT adalah baik atau jahat secara asal, baik ketetapan semacam ini terjadi secara semacamnya atau sebagian sesuai denhan rencana Tuhan.  Faktor-faktor eksternal tidak berpengaruh terhadap penentuan nasib seseorang karena setiap indidvidu terikat dengan ketetapan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Allah SWT.
b.      Konsep Netral-Pasif
Beranggapan bahwa anak lahir dalam keadaan suci, utuh dan sempurna, suatu keadaan kosong, sesuai halnya dengan teori tabularasa yang di kemukakan oleh John Lock bahwa manusia lahir seperti kertas putih tampa ada sesuatu goresan apapun. Manusia berpontensi berkarakter baik dan tidak baik itu terdapat berpengaruh dari luar terutama orang tua. Pengaruh baik dan buruk tersebut akan terus mengiringi kehidupan insan dan karakter yang terbentuk targantung mana yang dominan memberi pengaruh. Jika pengaruh baik lebih dominan adalah pengaruh buruk, maka seseorang akan berkarakter baik, begitu pula sebaliknya.
c.       Konsep Postif-Aktif
Bawaan dasar atau atau sifat manusia sejak lahir adalah berkarakter baik, kuat dan aktif, sedangkan lingkunganlah yang membelenggu manusia sehingga iya menjauh dari sifat bawaannya (Aksidental).
d.      Konsep Dualis-Aktif
Yakni manusia memiliki dua sifat ganda yang sama kuatnya. Sifat baik dan buruk, tergantung kedekatan manusia terhadap lingkungan yang baik atau buruk. Jika ia dekat dengan teman berkarakter baik, maka seseorang akan mengambil sifat baiknya dan sebaliknya. Penanaman kebiasaan positif sangat penting untuk diupayakan sejak kecil agar karakter atau sifat baik itu lebih kuat.

7.Analisis.

Fitrah manusia adalah mengabdi (ibadah) kepada Allah SWT, maka manusia dengan struktur jasmani dan rohaninya pasti bisa dipakai untuk mengabdi (ibadah) kepada Allah. Rohani dan jasmani manusia pasti cocok dan pas dipakai untuk beribadah. Sebaliknya jika dipakai maksiat (membangkang) kepada Allah pasti tidak nyaman, dan dipastikan pasti bakal cepat rusak dan celaka. Sungguh kecelakaan manusia adalah karena penyimpangan dari “fitrahnya”.
Ia akan menjadi baik atau buruk adalah karena ilmu. Sebab ilmu adalah pengajaran, bila sebab ini diarahkan kepada manusia maka mereka berilmu, sebaliknya bila sebab ini diarahkan kepada benda mati atau hewan maka mereka tidak berilmu, hal ini menunjukkan bahwa pada manusia terdapat unsur penerima yang tidak dipunyai oleh selain manusia, kemudian perkara rububiyah dan lainnya yang dipelajari oleh manusia mungkin menimbulkan pemikiran-pemikiran sejenis tanpa seorang pun mengajarkannya kepadanya, sehingga terwujudnya pengakuan fitrah terhadap Pencipta dan kecintaan kepadaNya serta keikhlasannya adalah sesuatu yang mungkin tanpa sebab di luar dirinya, dengan syarat tidak ada penghalang berupa godaan setan dan sebagainya.

Di antaranya: Bila fitrah tidak dihadang oleh faktor perusak dari luar atau tidak disuntik oleh faktor yang memperbaiki, maka fitrah tetap akan membawa kepada kebaikan, karena tuntutan untuk mengetahui dan berkehendak ada padanya, sementara penghalangnya tidak ada.

8. Sumber :
   Syarah Thahawiyah, Ibnu Abul Izz al-Hanafi, Tartib Dr. Khalid Fauzi Hamzah.
   Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits.

D. Hal-hal Yang Dilakukan Terhadap Anak Yang Lalai.
     Kitab Lu’lu’ wa Al Marjan.Hadits no. 1387
1.Hadits.
    
حديث أَبِي مُوسى رضي الله عنه، قَالَ: وُلِدَ لِي غُلاَمٌ، فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم، فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ، فَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ وَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ وَدَفَعَه إِلَيَّ وَكَانَ أَكْبَرَ وَلَدِ أَبِي مُوسى
أخرجه البخاري في: 71 كتاب العقيقة: 1 باب تسمية المولود غداة يولد لمن لم يعق عنه، وتحنيكه
2. Terjemahan :1387. Abu Musa r.a. berkata: Aku mendapat putra maka aku bawa kepada Nabi saw. maka dinamai Ibrahim, kemudian ditahniknnya dengan Kurma dan dido'akan berkat, lalu diserahkan kembali kepadaku, dan itu putraku yang terbesar (tertua). (Bukhari, Muslim).
     حديث أَسْمَاءَ رضي الله عنها، أَنَّهَا حَمَلَتْ بِعَبْدِ اللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَتْ: فَخَرَجْتُ وَأَنَا مُتِمٌّ فَأَتَيْتُ الْمَدِينَةَ، فَنَزَلْتُ بِقُبَاءٍ،
فَوَلَدْتُهُ بِقُبَاءٍ ثُمَّ أَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم، فَوَضَعْتُهُ فِي حَجْرِهِ ثُمَّ دَعَا بِتَمْرَةٍ فَمَضَغَهَا، ثُمَّ تَفَلَ فِي فِيهِ فَكَانَ أَوّلَ شَيْءٍ دَخَلَ جَوْفَهُ رِيقُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ثُمَّ حَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ، ثُمَّ دَعَا لَهُ وَبَرَّكَ عَلَيْهِ؛ وَكَانَ أَوَّلَ مَوْلُودٍ وُلِدَ فِي الإِسْلاَمِ
أخرجه البخاري في: 63 كتاب مناقب الأنصار: 45 باب هجرة النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه إلى المدينة
1388. Asmaa r.a. ketika mengandung Abdullah bin Azzubair, berkata: Aku keluar ke Madinah di waktu bunting tua, sehingga
sampai di Qubaa' aku melahirkan, kemudian aku bawa putraku itu kepada Nabi saw. dan diletakkan di pangkuan Nabi saw. lalu minta kurma dan dikunyah kemudian ditahnikkan (disuapkan) dalam mulut bayiku itu, dan itulah pertama yang masuk dalam perut anakku itu, yaitu ludah Rasulullah saw. kemudian dido'akan berkat, dan itu pula pertama bayi dilahirkan dalam Islam. (Bukhan, Muslim).
3. Mufrodat :
 = kemudian ditahniknnya فَحَنَّكَهُ1.
= di waktu bunting tua وَأَنَا مُتِمٌّ2.
 3. فِي حَجْرِ = di pangkuan            
 4. جَوْفَهُ = dalam perut anakku
 5. رِيقُ = ludah
4. Pesan Dasar Hadits :
Hadits-hadits di atas kiranya menerangkan tentang sunnahnya tahnik  dan kiranya cukup untuk memberikan perintah kepada kita untuk melaksanakannya.
Berkata Imam Nawawi dalam Syarhu Muslim (14/372): “Dalam hadits-hadits ini ada faidah, di antaranya: Dianjurkan mentahnik anak yang baru lahir, dan ini merupakan sunnah dengan ijma’. Hendaknya yang mentahnik adalah orang yang shalih dari kalangan laki-laki atau wanita. Tahnik dilakukan dengan kurma dan ini mustahab, namun andai ada yang mentahnik dengan selain kurma maka telah terjadi perbuatan tahnik, akan tetapi tahnik dengan kurma lebih utama. Faidah lain diantaranya menyerahkan pemberian nama untuk anak kepada orang yang shalih, maka ia memilihkan untuk si anak nama yang ia senangi.” [Dinukil dengan sedikit perubahan].
5. Pendapat/Syarah :
            Mentahnik si anak yang baru lahir merupakan anjuran kedua dalam menyambut kelahiran bayi. Mentahnik adalah menggosok mulut bagian atas/ langit-langit anak dengan menggunakan kurma yang telah dikunyah lumat lebih dahulu. Jika tidak ada kurma dapat diganti buah-buahan yang manis lain. Tahnik ini sebaiknya dilakukan oleh orang yang bertaqwa kepada Allah SWT (sholeh). Harapannya si anak dapat menjadi orang sholeh pula dan mendapatkan keberkahan yang maksimal.
Tahnik juga dilakukan Rasulullah SAW untuk anak dari Ummu Salaim dan anak dari Asma r.a.
Hikmah yang dikandung dalam perbuatan mentahnik ini adalah untuk menguatkan syaraf-syarat mulut dan tenggorokan dengan gerakan lidah dan dua tulang rahang bawah dengan jilatan, sehingga anak siap untuk menghisap susu secara kuat dan alami.
6. Kerangka Teoritik :
Pengertian tahnik secara bahasa dan syar’i adalah mengunyah sesuatu dan meletakkanya di mulut bayi. Maka dikatakan engkau mentahnik bayi, jika engkau mengunyah kurma kemudian menggosokkannya di langit-langit mulut bayi..
Dianjurkan agar yang melakukan tahnik adalah orang yang memiliki keutamaan, dikenal sebagai orang yang baik dan berilmu. Dan hendaklah ia mendo’akan kebaikan (barakah) bagi bayi tersebut.
Dalil tentang tahnik ini disebutkan dalam beberapa hadits di antaranya:
Dari Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Lahir seorang anakku maka aku membawanya ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau memberinya nama Ibrahim. Beliau mentahniknya dengan kurma dan mendo’akan barakah untuknya. Kemudian beliau menyerahkan bayi itu kepadaku.” [Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (5467 Fathul Bari) Muslim (2145 Nawawi), Ahmad (4/399), Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (9/305) dan Asy-Syu’ab karya beliau (8621, 8622)]
Dari Asma binti Abi Bakar Ash-Shiddiq ketika ia sedang mengandung Abdullah bin Az-Zubair di Makkah, ia berkata, “Aku keluar dalam keadaan hamil menuju kota Madinah. Dalam perjalanan aku singggah di Quba dan di sana aku melahirkan. Kemudian aku mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meletakkan anakku di pangkuan beliau. Beliau meminta kurma lalu mengunyahnya dan meludahkannya ke mulut bayi itu, maka yang pertama kali masuk ke kerongkongannya adalah ludah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu beliau mentahniknya dengan kurma dan mendo’akan barakah baginya. Lalu Allah memberikan barakah kepadanya (bayi tersebut).” [Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (5469 Fathul Bari), Muslim (2146, 2148 Nawawi), Ahmad (6247) dan At-Tirmidzi (3826)]
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu ia berkata: “Aku pergi membawa Abdullah bin Abi Thalhah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ia baru dilahirkan. Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketika itu sedang mencat seekor untanya dengan ter. Beliau bersabda kepadaku “Adakah kurma bersamamu?”. Aku jawab, “Ya (ada)”. Beliau lalu mengambil bebeberapa kurma dan memasukkannya ke dalam mulut beliau, lalu mengunyahnya sampai lumat. Kemudian beliau mentahniknya, maka bayi itu membuka mulutnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memasukkan kurma yang masih tersisa di mulut beliau ke maulut bayi tersebut, maka mulailah bayi itu menggerak-gerakan ujung lidahnya (merasakan kurma tersebut). Melihat hal itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kesukaan orang Anshar adalah kurma”. Lalu beliau menamakannya Abdullah.” [Dikeluarkan oleh Al-bukhari (5470 Fathul Bari), Muslim (2144 Nawawi), Abu Daud (4951), Ahmad (3/105-106) dan lafadh ini menurut riwayat Ahmad dan diriwayatkan juga oleh Al-baihaqi dalam Asy-Syu’ab (8631)]
7. Analisis :
                    Berkata Imam Nawawi dalam Syarhu Muslim (14/372): “Dalam hadits-hadits ini ada faidah, di antaranya: Dianjurkan mentahnik anak yang baru lahir, dan ini merupakan sunnah dengan ijma’. Hendaknya yang mentahnik adalah orang yang shalih dari kalangan laki-laki atau wanita. Tahnik dilakukan dengan kurma dan ini mustahab, namun andai ada yang mentahnik dengan selain kurma maka telah terjadi perbuatan tahnik, akan tetapi tahnik dengan kurma lebih utama. Faidah lain diantaranya menyerahkan pemberian nama untuk anak kepada orang yang shalih, maka ia memilihkan untuk si anak nama yang ia senangi.”
   Ilmu kedokteran telah menetapkan faedah yang besar dari tahnik ini, yaitu memindahkan sebagian mikroba dalam usus untuk membantu pencernaan makanan. Namun sama saja, apakah yang disebutkan oleh ilmu kedokteran ini benar atau tidak benar, yang jelas tahnik adalah sunnah mustahab yang pasti dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, inilah pegangan kita bukan yang lainnya dan tidak ada nash yang menerangkan hikmahnya. Maka Allah lah yang lebih tahu hikmahnya.