Rabu, 29 Desember 2010

ANALISIS KEMISKINAN BOYOLALI

Text Box: ANALISA AWAL KEMISKINAN  KASUS KABUPATEN BOYOLALIText Box:   Sumber: BPS Boyolali    Sumber: BPS Boyolali   Tabel-1.1 Struktur Ekonomi dan  Daya Serap Tenaga Kerja Tiga Sektor Utama Kontribusi  PDRB Tenaga kerja Pertanian 35.8%   321,153  Perdagangan, Jasa 33.9%   114,357  Industri Pengolahan 16.8%     40,943  Sumber: BPS BoyolaliI

Pendahuluan


Geo-ekonomi. Kabupaten Boyolali berada di Propinsi Jawa Tengah. Secara geografis terbe-lah menjadi 4 bagian yang masing memiliki karakteristik infrastuktur yang berbeda. Bagian Barat terdiri dari kecamatan Selo, Ampel, Cepogo, dan Musuk yang terletak di kaki gunung Merapi dan Merbabu. Bagian Tengah mencakup Boyolali, Mojosongo dan Teras. Bagian Timur terdiri dari Banyudono, Sawit, Sambi, Ngemplak, Nogosari dan Simo. Bagian utara Andong, Klego, Karanggede, Kemusu, Wonosegoro dan Juwangi yang banyak kawasan hutan. Bagian tengah cukup strategis karena berada pada perlintasan antara Sura-karta-Semarang dan Surakarta-Yogyakarta. A-kan tetapi, dibandingkan dengan Kabupaten eks-karisidenan Surakarta dapat dikatakan paling tertinggal dari sisi perkembangan eko-nomi maupun pelayanan dasarnya (banding-kan dengan Solo, Karanganyar, Sragen, Soko-harjo, Wonogiri dan Klaten. Hal ini disebab-kan wilayah Kabupaten Boyolali sangat luas (101.510,0965 Ha) dibandingkan kabupaten-kabupaten tersebut. Sebagian besar wilayah merupakan lahan kering, baik berupa tegalan, pekarangan maupun hutan (lihat gambar-1.1)

Pertanian memainkan peran utama, akan tetapi dukungan anggaran minim. Bagian terbesar penggunaan lahan di Boyolali adalah untuk pertanian. Sektor pertanian merupakan merupakan kontributor utama perekonomian Kabupaten (mencapai 35,75% dari PDRB dan menyerap 321.153 orang tenaga kerja). Perta-nian juga memiliki fungsi “katup pengaman sosial” masyarakat pedesaan pada saat terjadi krisis ekonomi. Namun demikian, dukungan anggaran pemerintah daerah pada sektor pertanian cenderung minim. Dari total APBD tahun 2006 yang berjumlah Rp. 347 miliar, anggaran yang dialokasikan hanya sebesar Rp. 8.003.852.400 dalam bentuk bantuan lang-sung masyarakat dan Rp. 275.706.000,- untuk bantuan bibit dan alat-alat pertanian.

II

Orang Miskin Di Boyolali:

dimana mereka berada?

Kemiskinan tertinggi ada di kawasan sepu-tar hutan negara. Sebaran penduduk terkon-sentrasi di wilayah tengah dan timur yang berbatasan dengan Solo, Sukoharjo, Karang-anyar dan klaten, Sedangkan penduduk miskin terkosentrasi diwilayah Boyolali bagian utara yang berbatasan dengan Purwodadi dan Sragen. Jumlah KK miskin selama lima tahun terakhir cenderung meningkat berdasarkan data BPS tahun 2005 sebanyak 116.774 KK dari 247.822 KK (47%). Berdasarkan data Tim Kordinasi Penanggulangan Kemiskinan Dae-rah (TKPKD), pada tahun 2006 KK miskin berjumlah 128.922 KK (51,87%). Dari 19 Ke-camatan, tingkat kemiskinan tertinggi berada di tiga kecamatan yaitu: Wonosegoro (88%), Kemusu (80%) dan Juwangi (82 %). Ketiga kecamatan ini mayoritas berupa kawasan hutan dan sebagian merupakan area pertanian tadah hujan.

Kemiskinan terendah ada di kawasan berakses strategis. Di ibukota kabupaten dan dua kecamatan yang berbatasan dengan Sura-karta (kecamatan Sawit dan Bayudono), angka kemiskinan relatif lebih rendah dibandingkan kecamatan lain (25,4%).

III

Siapa Mereka?

Di kawasan hutan orang miskin menjadi buruh tebang perhutani, atau menjual daun jati dan ranting pohon. Orang miskin di wi-layah Boyolali utara, (Kemusu, Wonosegoro, Juwangi) pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mencari daun jati untuk dijual kepada pengepul yang selanjutnya dibawa ke pasar legi Solo, mencari ranting-ranting pohon jati dan mahoni dijual ke pengepul untuk kayu bakar, ada yang buruh menggembala sapi, buruh tanam jagung ke perhutani, buruh tebang ke perhutani, dan sebagian mencari dangkel kayu jati untuk dijual ke pengepul buat kerjinan.

Di dataran tinggi non hutan orang miskin menggembala ternak, bertanam jagung dan menjadi migran ke kota besar. Sedangkan KK Miskin di daerah sebagian Klego, Seba-gian Andong dan Sebagian Karanggede yang tanahnya termasuk dataran tinggi dan bebatuan, berprofesi buruh tani jagung, buruh penggembala ternak, bertani singkong, jagung, daerah ini sebagain besar penduduknya banyak yang migran ke Jakarta, Semarang dan Solo, sebagai buruh bangunan.

Di kaki pegunungan orang miskin bekerja sebagai pemerah susu sapi atau buruh rajang tembakau. KK miskin wilayah kaki pegunungan yang meliputi musuk, Selo, Cepogo, dan sebagian Ampel menjadi buruh ternak (dari perusahaan sapi perah yang dimiliki warga Solo dan Semarang), atau melakukan penggemukan sapi yang hanya berjumlah 1-2 ekor. Profesi lain adalah buruh tanam tembakau untuk waktu-waktu tertentu, atau buruh rajang tembakau yang lahannya disewa oleh orang-orang dari luar boyolali atau warga setempat. Sebagai peternak, mereka memiliki ketergantungan tinggi pada GKSI (gabungan koperasi susu Indonesia) dimana salah satu anggota koperasi, yakni PT. NUSAMBA Jakarta, sangat menetukan dalam pengambilan keputusan. Harga susu cenderung ditentukan sepihak oleh GKSI.

Di kawasan berakses strategis orang miskin bekerja di sektor jasa informal. Di kawasan strategis (a.l: ibu kota kabupaten), angka kemiskinan relatif lebih rendah. Di wilayah ini masyarakat kelas menengah (umumnya biro-krat dan pedagang) banyak berdomisili. Orang miskin di wilayah ini banyak bekerja di sektor informal (perdagangan) dan jasa angkutan.

Keterwakilan langsung di legislatif dari tiga wilayah termiskin sangat lemah. Dari struktur politik formal, masyarakat di tiga Kecamatan dengan tingkat kemiskinan tertinggi (lebih dari 80%), yakni Kemusu, Juwangi dan Wonosegora, meskipun pemilu sejak 1999 didominasi oleh PDIP dan Golkar ternyata hanya ada 2 anggota DPRD yang berasal dari ketiga wilayah kecamatan tersebut. Baru setelah pemilu pada tahun 2004 ada 3 anggota DPRD (dari partai PKB 1, PPP 1,PDIP 1 ) yang berasal dari Kec. Wonosegoro dan Juwangi.

IV

Mengapa Mereka Miskin?

4.1 Kemiskinan dan Sistem Produksi

Tinggal di sekitar tanah milik negara (perhutani) telah menyebabkan dukungan infrastruk-tur dari pemerintah daerah terhambat. Angka kemiskinan yang cukup fantasatik di tiga kecamatan kawasan hutan tak terlepas lepas dari akses Di wilayah ibu kota Kecamatan Juwangi jarak Desa dengan Kecamatan ada yang mencapai 20 KM, yaitu Desa Ngleses dan Krobokan. Jarak ibu kota Kecamatan Juwangi dengan ibukota Kabupaten mencapai 66 Km, Kemusu 45 KM dan Wonosegero 48 Km. Kondisi jalan sering rusak dengan alasan kon-disi tanah labil. Angkutan hanya tergantung pasaran (hari-hari tertentu). Hal lain, status tanah milik negara (PT Perhutani) menyebabkan upaya pembangunan infrastruktur dasar oleh pemda (seperti: puskesmas, sekolah dan irigasi) mengalami kendala kewenangan. Hal lain, tak adanya irigasi menyebabkan di ketiga kecamatan tersebut hanya mampu bertani tanaman pokok jagung di sebagian besar lahan Perhutani melalui pola bagi hasil atau sewa. Sebagian bekerja mencari daun Jati, dan ranting kayu untuk dijual. Sebagain juga mencuri kayu hutan untuk di jual ke penadah.

Alih fungsi lahan terbanyak dialami oleh lahan pertanian dan hutan negara menjadi permukiman. Lahan pertanian pada tahun 2005 terdiri dari sawah seluas 22.117 ha, tegalan 30,616 ha dan hutan Negara 14,633 ha. Terjadi penyusutan dibanding tahun 2002, dimana luas sawah 22.946 ha, tegalan 30,748 ha dan hutan Negara 14.676 ha. Banyak lahan pertanian dan hutan Negara berkurang karena secara alamiah beralih fungsi menjadi permu-kiman penduduk.

Irigasi: waduk Kedung Ombo ada di sini, tapi lebih banyak menguntungkan kabupa-ten lain... Sungai yang mengalir di wilayah Kabupaten Boyolali adalah sungai Serang, Cemoro, Pepe, dan Gandul. Selain itu terdapat juga beberapa waduk, diantaranya adalah waduk Kedungombo seluas + 3.536 Ha, Kedungdowo (+ 48 Ha), Cengklik (+ 240 Ha), dan Bede (+ 80 Ha). Meskipun demikian, beberapa kecamatan masih mengandalkan tadah hujan yaitu, Juwangi, Kemusu, Selo, Musuk dan cepoga, dll. Hanya 5 kecamatan yang memperoleh irigasi tehnis, dan ½ tehnis yaitu Ngemplak, Sawit, Banyudono, dan sebagian Teras, Mojosongo.

Text Box: Tabel-3.1 Prioritas bantuan ekonomi  yang diperlukan oleh KK Miskin NO JENIS BANTUAN  % 1 Bantuan Modal Usaha 24,9 2 Bantuan Pemasaran Hasil Usaha 17,6 3 Bantuan Peralatan Usaha 15,2 4 Bantuan Pelatihan Ketrampilan 12,7 5 Bantuan Penyaluran Tenaga Kerja 12,1 6 Bantuan Perumahan 6,1 7 Bantuan Peternakan 5,5 8 Bantuan Pertanian 3,6 9 Bantuan Perikanan 2,4 Sumber: Survei Ma’arif instituteDistribusi: perbaikan jalan bergantung pada jadual tebang perhutani yang berkisar antara 15-25 tahun... Kondidi infrastruktur transpor-tasi yang paling parah meliputi adalah Juwangi, kemusu, wonosegora selo, Cepogo dan Musuk. Meskipun sudah ada program PPK, dan P2KP ternyata belum bisa secara keseluruhan membuka desa-desa yang sangat terpecil, bahkan di sekitar hutan masih terdapat jalan-jalan setapak. Jalan akan diperbaiki jika PT Perhutani sampai pada jadual produksi (penebangan kayu). Umumnya berkisar antara 15-25 tahun.

Modal untuk produksi: dari mana berasal? Selain dari sumber-sumber konvensional seperti pinjaman dari kerabat, kiriman anggota keluarga atau pinjaman ke individu lain (a.l: rentenir), KK miskin juga memperoleh modal produksi dari program-program pemerintah yang ada di wilayah domisili mereka. Hasil studi menunjukkan urutan prioritas bantuan modal usaha, pemasaran hasil produksi dan peralatan usaha yang terbesar. Bantuan penyaluran tenaga kerja hanya menduduki peringkat kelima. Ini kemungkinan disebabkan masyarakat relatif terbiasa berhubungan sendiri dengan unit-unit penyalur tenaga kerja yang ada di kabupaten.

Lapangan kerja terbatas, migrasi tinggi. Tidak ada pertambahan penduduk menunjuk-kan adanya kecenderungan migrasi tenaga kerja ke luar daerah. Berdasarkan angka kelahiran yang tercatat setiap tahun hanya mencapai 1211 dari 900 ribu lebih penduduk, tetapi tidak terjadi pertambahan penduduk dalam data kependudukan. Meskipun demi-kian kemungkinan banyak kelahiran yang tidak ditangani oleh unit pelayanan formal. Sementara, data kependudukan menunjukkan bahawa jumlah penduduk tidak mengalami pertambahan. Ini menunjukkan bahwa banyak terjadi migrasi penduduk ke luar kabupaten. Di samping migrasi yang disertai dengan perpin-dahan status domisili, juga terjadi migrasi sejumlah besar tenaga kerja ke luar daerah dengan menjadi tenaga migran, baik ke kota-kota besar maupun ke luar negari (TKI). Menjadi tenaga migran merupakan cara untuk mempertahankan hidup bagi sebagian masya-rakat usia kerja yang berpendidikan rendah. Belum adan dukungan program yang konkrit untuk mengatasi persoalan tenaga kerja ini.

4.2 Kemiskinan dan Pelayanan Pendidikan

Penduduk usia kerja: 67,38% paling tinggi berpendidikan sekolah dasar. Dari data tahun 2005 diperoleh angka komposisi tingkat pendi-dikan sebagai berikut: tidak tamat SD mencapai 31,56 %, yang menamatkan SD mencapai 35,82 %, tamat SMP 17,91%, sedangkan untuk SM dan sederajat 13,18%, akademi dan sederajat 1,42 % dan yang menamatkan S1 hanya 0,02%.

Tingkat penghasilan KK miskin berhu-bungan dengan pendidikan. Dari studi yang dilakukan ternyata ada perbedaan dalam tingkat penghasilan KK miskin berdasarkan latar belakang pendidikan. Semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin tinggi tingkat penghasilan (lihat tabel-2.1), meskipun secara keseluruhan mereka masih masuk dalam kategori miskin. Ini membuktikan bahwa dalam jangka panjang pendidikan memiliki pengaruh terhadap kemiskinan.

Biaya masih dirasakan tinggi, terutama transport. Biaya pendidikan masih membe-ratkan KK miskin untuk yang memiliki anak pada tingkat SLTA. Hasil survai menujukkan 52,53% menyatakan biaya pendidikan di Bo-yolali masih memberatkan. Biaya transport merupakan kendala utama untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hasil FGD di Ampel Boyolali terungkap untuk anak yang sekolah di SMK harus mengeluarkan 600 ribu termasuk jajan dan transport. Ini berimplikasi pada sangat rendahnya angka partisipasi di pada jenjang SLTA.

Angka putus sekolah tinggi di wilayah-wilayah yang angka kemiskinannya tinggi. Diperoleh data angka putus sekolah tahun 2005 untuk SD, 0,20%, SMP, 0,276 % dan SMA 1,24 %, tahun 2006, SD 0,11%, SMP 0,275 dan SMA 1,04. Konsentrasi angka putus sekolah tertinggi adalah di daerah yang angka kemiskinannya tinggi seperti di Kec. Kemusu, Wonosegoro, Juwangi, Selo, Cepogo yang rata-rata orang tuanya petani pada lahan tegalan. Anak-anak yang putus sekolah umumnya membantu orang tua yang bekerja pada sector pertanian. Di sisi lain, lahan perta-nian semakin berkurang, maka mereka meng-garap tanah-tanah sengketa antara pihak ma-syarakat dengan Perhutani. Ini banyak ditemui di kecamatan Kemusu (kedungombo) dan Ke-camatan Juwangi.

Semakin tinggi jenjang pendidikan, sema-kin rendah angka partisipasi. Angka Parti-sipasi Kasar (APK) pada tingkat SD sebesar 101,6. Angka Partisipasi Murni (APM) 85,78. Untuk SMP/MTs, APK 83,32, APM 60,15 sementara untuk SMA APK 43,35 dan APM hanya 30,24. Baik APK maupun APM, me-nunjukkan kecenderungan menurun pada jen-jang yang lebih tinggi.

Hanya 13% yang yang terlibat dalam pengambilan keputusan di komite sekolah. Dari analisa sementara, ternyata factor akses bagi KK miskin sangat lemah dalam pengam-bilan kebijakan pendidikan dan bahkan dis-kriminasi dalam pengambil keputusan, ini terbukti dari hasil riset keterlibatan KK miskin dalam komite sekolah hanya 13 %. Sementara dari program-program yang dibuat diknas tidak ada sama sekali pemberdayaan komite lebih-lebih keterlibatan wali murid miskin dalam komposisi komite.

Dukungan Anggaran: meskipun ada alokasi untuk rehab sekolah, tapi sumbangan untuk perbaikan gedung tetap ada. Dari hasil riset yang dilakukan beberapa bulan terakhir persoalan yang mendasar di Boyolali adalah sarana prasarana pendidikan yang rendah, dtemukan fakta melalui studi bahwa 41% reponden (KK miskin) masih menghendaki perbaikan sarana prasarana pendidikan. Responden menyatakan bahwa meskipun telah ada program BOS yang menggratiskan SPP bulanan siswa dan Pemda mengalokasikan rehab gedung sekolah, tetapi tiap tahun siswa masih dipungut sumbangan untuk perbaikan gedung sekolah. Sejalan dengan prioritas Dinas pendidikan Kab. Boyolali yang akan menutaskan wajib belajar 9 tahun pada tahun 2010, dari tahun ke tahun anggaran pendidikan terus meningkat. Mes-kipun APBD 2005 untuk pendidikan belanja modalnya mencapai Rp. 11 miliar tahun 2006 dan mencapai Rp. 27 miliar tahun 2007, dan BLM menjadi Rp.70 miliar pada tahun 2007, masih belum menjawab persoalan ini.

4.3 Kemiskinan dan Pelayanan Kesehatan

Akses yang buruk dan distribusi tenaga medis yang tak merata. Data tahun 2006 Angka Kelahiran Bayi sebanyak 1226 dan Angka Kematian Bayi 25 kasus dari kelahira hidup atau AKB 20 per 1000.Dari AKI melahirkan terdapat 2 kasus kematian Ibu dari 1226 kasus kelahiran hidup. Sedangkan prevalensi gizi kurang pada balita 12 %. Apabila di cermati ke 3 di kec. Wonosegoro, Ngemplak dan Selo. kasus Angka kematian Ibu melahirkan dan kematian bayi, gizi buruk, ternyata di pengaruhi faktor yang jauh dari perkotaan, dan ketersediaan sarana prasarana. Tenaga kesehatan terkonsentrasi di kota keca-matan. Sementara Gizi buruk terdapat 12 ka-sus 8 kasus di daerah tandus Kemusu, Juwangi dan Wonosegoro, 2 kasus didaerah subur dan 2 kasus di daerah miskin pegunungan.

Jenis penyakit terbanyak di wilayah-wila-yah miskin terkait dengan kondisi hidup yang buruk. Dalam data kesehatan ditemukan bahwa untuk wilayah-wilayah dengan angka kemiskinan tinggi penyakit yang banyak adalah flek, Diare, Muntaber, untuk daerah pengunungan yaitu Selo, Cepogo dan Ampel. Jenis penyakit terebut sangat terkait dengan kondisi hidup yang buruk, dan besar kemung-kinan dialami oleh KK miskin.

Ada program asuransi kesehatan (Askes-kin), tapi sistem rujukannya hanya efektif untuk warga miskin di seputar ibukota kabupaten. Meskipun telah ada program asuransi kesehatan untuk penduduk miskin, bagi wailayah-wilayah dimana tingkat kemiskinan tinggi manfaat fasilitas ini dirasakan belum optimal karena akses mereka terhadap pusat pelayanan relatif jauh dan sistem rujukan untuk tempat perawatan masih terbatas pada unit-unit pelayanan milik pemerintah. Meskipun demikian, tingkat ke-puasan KK miskin terhadap pelayanan kese-hatan melebihi jenis pelayanan lainnya (lihat tabel-2.1)

4.4 Kemiskinan dan Regulasi

Inefisiensi dalam perijinan telah mengham-bat pertumbuhan UKM. Dalam upaya pen-ciptaan lapangan pekerjaan ada program sti-mulan berupa pinjaman untuk UKM dengan bunga 6% setahun yang bersuber dari APBD sebesar Rp. 6 M, dan oleh pihak ketiga (bapak asuh BUMN) senilai Rp. 4 M. Program PPK, P2KP, P2SPP mencapai angka Rp. 4 M. Pada program sistem bapak angkat, masing-masing UKM diberi pinjaman 10 juta dengan syarat melibatkan tenaga kerja dari KK miskin minimal 3 orang. Persoalan yang memberat-kan adalah program mewajibkan setiap UKM untuk memiliki SIUPP, TDP, TDI, HO, sementara biaya untuk masing-masing surat izin bisa menghabiskan dana tidak kurang dari Rp. 400.000. Pemda sudah mengadakan sistem Kantor Pelayanan Terpadu (KPT), tetapi dalam praktik standar waktu belum pasti dan banyak urusan masih harus berhubungan langsung dengan instansi terkait agar proses dapat lebih cepat.

Retribusi: restriksi terhadap penciptaan pendapatan rakyat? Pendapat Asli Daerah di Boyolali terbesar di sumbang dari rumah sakit yang mencapai Rp. 17.0 miliar untuk tahun 2006, urutan kedua dari retribusi pasar khususnya pasar sapi yang mencapai Rp.3.5 miliar. Terjadi perbedaan pendapat terhadap retribusi yang menjadi sumber pendapatan asli daerah. Sebagian masyarakat menyatakan bahwa retribusi rumah sakit tidak patut dijadikan sebagai sumber pendapatan asli daerah. Hal lain, meskipun retribusi dari pasar sapi, pasar umum dan perijinan memiliki total nilai mencapai Rp. 12,5 miliar per tahun (lihat tabel-4) masih perlu dikaji secara mendalam mengenai dua hal berikut: (i) apakah jenis retribusi tersebut tidak menghambat aktivitas ekonomi rakyat? (ii) jika tidak, apakah sumber pendapatan tersebut dialokasikan secara konsisten untuk meningkatkan sektor ekonomi terkait? Mengkaji dan melakukan reformasi sistem regulasi lokal menjadi penting mengingat temuan studi mengenai tingkat kepuasan KK miskin terhadap pelaya-nan ekonomi menunjukkan tingkat terendah (lihat tabel-2.1).

SELAMATKAN ISALAM DARI MUSLIM PURITAN

Judul Buku : Selamatkan Islam dari Muslim Puritan

Penulis : Khaled Abou El Fadl

Cetakan : I, Desember 2006

Tebal : 388 Halaman

Penerbit : Serambi, Jakarta

Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta.

Dua kutub kontras”puritan, yang hari-hari ini lebih dikenal dengan istilah fundemental, dan moderatâ”dalam ragam ideologi, termasuk agama, merupakan suatu keniscayaan. Dua kubu di atas dengan seleksi alam (hukum sunnatullah) akan menjadi bagian yang mempunyai kadar peran dan peranan dominan pada masing-masing ranahnya dan acapkali membaiat diri sebagai paham dan pemeluk yang paling benar dan otentik. Dua skisma ini mempunyai integritas pemahaman yang tidak pernah ada titik temu-dialogis. Karena mereka mempunyai ragam medan interpretasi sendiri-sendiri yang khas dan kaut terhadap teks/nash keberagamaan sebagai dasar way of life mereka dalam kehidupan universal. Pada tingkat tertentu mereka sama-sama mempunyai prilaku “ekstrim” yang selalu memunculkan konfrontasi.

Hal senada juga terjadi secara fenomenal dalam dunia Islam. Secara historis, dua kutub itu telah menjadi fitrah sejarah dalam pergulatan memahami entitas universal pesan agama Islam. Sejak wafatnya Rasulullah Muhammad SWA, gerakan-gerakan ekstrim dan para penentang Islam pun bermunculan, seperti kelompok Khawarij dan Murji’ah yang berkonfrontasi dalam memahami ideologi agama Islam yang ‘benar’ dalam perspektif mereka. Gerakan semacam itu bukan hal baru dalam Islam karena Nabi sendiri menyadari bahwa perbedaan adalah rahmat—tentu, sebatas mana ‘rahmat perbedaan’ itu dikelola dengan kreatif dan arif oleh orang muslim sendiri, bukan menjadi bahan konfrontasi yang sampai sekarang kerap kita jumpai dalam dunia Islam.

Dewasa ini Islam telah menjadi inspirator terjadinya perdebatan alot baik di internal Islam maupun di kancah internasional tentang gerakan puritan yang telah menciptakan sejarah kelabu dengan meledaknya tragedi 11 September 2001. Setelah tragedi yang didalangi kaum puritan Al-Qaeda itu, muncullah cercaan dan tuduhan ‘miring’ kepada dunia Islam secara general. Cam Islam agama sebagai teroris pun tidak bisa tereelakkan. Masyarakat Muslim yang minoritas di Barat pun mengalami tindakan diskriminasi terselubung. Kondisi demikian, bagi Fadl, harus diperhatikan secara prioritas bagi semua elemen Islam untuk mengejawantahkan Islam yang benar sebagai ajaran rahmatul lil ‘alamin di muka bumi kepada masyarakat dunia.

Untuk menggali dan memberikan pemahaman yang cukup cerdas tentang Islam, Khaled Abou el-Fadl kembali menghadirkan buku terbarunya, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan yang dengan rinci memetakan istilah, pemahaman, peran, dan peranan dua kutub ekstrim di atas sekaligus dampak-dampaknya bagi kehidupan riil. Fadl dengan gemilang menyodorkan interpretasi tentang Islam yang telah dipraktekkan oleh Nabi. Praktik keislalaman yang telah diajarkan Nabi dicoba diaktualisasikan kembali di tengah pertarungan ideologi ekstrim yang telah mengakar hingga sekarang. Titik koeksistensi inilah yang dipertaruhkan Fadl untuk menelaah kekacauan interpretasi di internal Islam.

Bagi Fadl, Nabi adalah sosok yang perfect dalam mempraktekkan Islam kepada umatnya. Beliau sosok ‘moderat’ sekaligus ‘puritan’ tapi tidak terjebak dalam praktik keduanya. Nabi adalah sosok tengah yang telah membangun jalan alternatif di antara kubu ekstrim di atas. Itulah sosok tengah Nabi yang telah menciptakan koeksistensi dan aksioma dalam kehidupan sosial keagamaan Islam secara universal.

Dalam buku ini terdapat deskripsi histroris yang lengkap tentang munculnya gerakan kaum puritan yang telah mengancam integritas Islam. Fadl juga mencoba meluruskan penggunaan istilah seperti ‘fundementalis’ akan memunculkan ambiguitas interpretasi (ambiguous interpretation). Penggunaan istilah ‘puritan’ adalah kesukaan Fadl karena ciri menonjol kelompok ini dalam hal keyakinannya menganut paham absolutisme dan tak kenal kompromi. Dalam termenologi lain, kaum puritan ini dapat dideskripsikan dengan istilah fundamentalis, militan, ekstremis, radikal, fanatik, jahidis, dan islamis. Sedangkan kaum moderat digambarkan sebagai kelompok modernis, progresif dan reformis, meskipun Fadl sendiri sebenarnya menolak menyamakan istilah-istilah tersebut untuk menggantikan kata moderat (hlm. 27).

Namun demikian, istilah ‘fundementalis’, bagi Fadl, telah melenceng dari pemahaman awal dan jelas-jelas problematis. Fundemen artinya dasar atau pokok. Jadi fundementalisme islam adalah paham yang kembali kepada dasar dan pokon ajaran Islam yang kaffah. Semua kelompok dan organisasi Islam menyatakan setia menjalankan ajaran-ajaran fundemental Islam. Bahkan gerakan paling leberal pun akan menegaskan bahwa cita-cita dan pendirian mereka merepresentasikan ajaran mendasar iman secara lebih baik (hal. 29). Jadi, fundementalis adalah sosok yang bisa menjadi jembatan yang menyelamatkan Islam.

Merunut Jejak Kaum Puritan

Maka dari itu, merunut sejarah munculnya gerakan kaum puritan di tengah kecaman keras dunia global sangatlah penting. Dalam sejarah Islam, awal kebangkitan puritan dimulai dari kaum Wahhabi. Wahhabisme telah mengkooptasi dan mempengaruhi pemahaman setiap gerakan puritan hingga sekarang banyak terjadi, seperti Hamas, Taliban, al-Qaeda, dan gerakan Islam garis keras lainnya.

Dasar-dasar teologi Wahhabi dibangun oleh seorang fanatik abad ke-18 yaitu Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab (w. 1206 H/1792 M). Dengan semangat puritan, ‘Abd al-Wahhab hendak membebaskan Islam dari semua perusakan yang diyakininya telah menggerogoti Islam, seperti tasawuf, tawassul, rasionalisme, ajaran Syiah dan berbagai praktek inovasi bid’ah (hal. 6!). Ideologi ekstrim Wahhabisme, seperti pelarangan pakai sikat gigi karena adanya kayu siwak; pelarangan penggunaan gelar kehormatan seperti “tuan,” “doktor,” “mister,” atau “sir” dan yang paling “ngeri” adalah anggapan nonmuslim sebagai musuh bebuyut yang harus dibunuh, telah mencoreng wajah Islam yang damai dan ramah di mata masyarakat nonomuslim.

Maka dari itu, usaha menciptakan dinamisasi dan koeksistensi hubungan antar puritan dan moderat sangat dibutuhkan di tengah kekeruhan hubungan Barat dan dunia muslim dalam memaknai modernitas. Kedua kubu di atas harus mencoba membangun jembatan dialogis dalam memahami dan mengimplimentasikan Islam secara benar dalam etika global. Buku ini bisa menjadi jembatan awal untuk memahami eksistensi kaum puritan dan moderat dalam membangun perspektif dinamis dan saling menguntungkan bagi dunia Islam dan kehidupan secara universal.

Islam “Jalan Tengah”

03-January-2007

Buletin No. 160

Oleh: A. Syafii Maarif

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-ambiya’ [21]: 107).

Menarik sekali pemikiran Khaled Abou El Fadl dalam kajian keislaman, khususnya dalam masalah syariah. El Fadl - kelahiran Kuwait, lama belajar di Mesir, kemudian menjadi guru besar hukum Islam di UCLA School of Law Amerika Serikat - menjadi salah seorang juru bicara Islam kontemporer yang cerah di muka bumi. Ia telah menulis beberapa karya penting tentang Islam yang diramunya dari sumber-sumber klasik dan modern. Di atas ramuan itulah ia memetakan tafsirannya tentang Islam dengan cara yang sangat kritikal, mendalam, dan komprehensif.

Pedang kritiknya dibidikkan kepada dua sasaran: Puritanisme Islam dan modernitas sekuler. Solusi yang ditawarkannya adalah sebuah Islam moderat yang cerdas, kreatif, dan penuh semangat juang, sebagai cerminan dari rahmat bagi seluruh alam. Demikian kesimpulan salah satu karya terbarunya, The Great Theft / Kemalingan Besar. (New York: HarperSanFrancisco, 2005, 290 hlm. plus catatan akhir). Karya lain yang tidak kurang menantangnya, di antaranya “And God Knows the Soldiers” dan “Speaking in God’s Name.” Kedua buku ini banyak berbicara tentang gelombang puritanisme kontemporer. Menurut El Fadl, aliran puritan dapat dilacak akarnya pada golongan Khawarij, bekas pengikut ‘Ali bin Abi Thalib, yang pada abad pertama Islam telah banyak membunuh orang Islam dan non-Muslim, dan bertanggung jawab dalam menghabisi nyawa ‘Ali bin Abi Thalib sendiri. Setelah terlibat dalam pertumpahan darah yang panjang dan sia-sia, sisa-sisa kaum Khawarij masih dijumpai sedikit di Oman dan Ajazair, tetapi mereka sudah berubah menjadi moderat, bahkan pasifis (suka damai).

Maraknya Arus Ekstremisme

Dalam penglihatan El Fadl, mengapa arus ekstremisme marak di dunia Muslim sekarang? Salah satu sebabnya adalah karena ‘’lembaga-lembaga tradisional Islam yang secara historis bertindak untuk meminggirkan aliran ekstremis tidak ada lagi. Inilah yang membuat periode sejarah Islam sekarang jauh lebih sulit dibandingkan periode yang lain, dan inilah sebabnya mengapa orientasi puritanisme modern lebih mengancam integritas moralitas dan nilai-nilai Islam melebihi gerakan-gerakan ekstremis sebelumnya. Barangkali inilah pertama kali dalam sejarah bahwa pusat dunia Islam, Makkah dan Madinah, telah berada di bawah kontrol negara puritan selama periode yang demikian lama.’’ (Ibid., hlm. 102).

Dengan uang yang melimpah, Wahabisme telah diekspor ke berbagai pojok bumi yang mematikan kebebasan berpikir dan intelektualisme Islam. Ironisnya adalah bahwa Kerajaan Saudi dalam politik global banyak bergantung pada Amerika Serikat.

Inilah sebuah kongsi yang aneh antara dua sistem politik yang sebenarnya sangat rapuh, tetapi direkat oleh kepentingan-kepentingan pragmatis jangka pendek. Puritanisme kontemporer memang umumnya muncul dari rahim Wahabisme, dan Taliban adalah salah satu bentuknya. Jadi, tidak mengherankan jika seorang Usamah bin Ladin diterima baik dalam kultur Taliban, karena persamaan doktrin yang dianut, dengan catatan jasa Amerika cukup besar dalam mendukung puritanisme ini sewaktu menghadapi pasukan Uni Soviet di Afghanistan.

Sejak tragedi 11 September 2001, kemudian aliansi mereka pecah. Dan Amerika sekarang kewalahan menghadapi ‘’anak didiknya’’ ini yang sebagian terlibat dalam kegiatan teror global, sebagaimana juga Gedung Putih di bawah Bush telah pula menjadi pusat teror negara bersama Israel. Invasi terhadap Afghanistan dan Irak dengan helah yang dibuat-buat adalah bentuk terorisme negara untuk menghancurkan dua bangsa dan negara lemah, yang sekarang kondisinya malah semakin memburuk dan rusak.

Islam Puritan Versus Islam Moderat

Selanjutnya mari kita ikuti tesis-tesis El Fadl tentang kutub umat Islam kontemporer yang saling berhadapan. Pertama, kekuatan Islam puritan (sebutan lain dari fundamentalis), dan kedua, Islam moderat yang merupakan mayoritas mutlak dari sekitar 1,3 miliar umat Islam di muka bumi. Ada sebuah pertanyaan kunci yang dihadapkan kepada kedua kutub ini: Siapa yang bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan atas nama agama? Jawaban pertanyaan ini ternyata lebih sulit dari apa yang dibayangkan oleh sementara orang. Kedua kutub umat itu memberikan jawaban yang sungguh berbeda.

Dalam penilaian El Fadl, kaum puritan akan mengatakan bahwa itu adalah sebuah pertanyaan yang salah, sebab, ‘’Bagaimana seseorang dapat membedakan antara sebuah agama dan tanggung jawab terhadapnya. Kaum puritan akan mengatakan bahwa agama tidak diwakili oleh apa pun selain teks dan ritualnya, dan para pengikut yang tulus akan membaca teks dan melaksanakan ritual.’’

Sebaliknya golongan moderat akan mengatakan, ‘’Posisi kaum puritan tidak saja naif, tetapi penuh masalah. Apa yang membuat suatu agama melebihi teks dan ritual, dan apa yang berlaku karena teks dan ritual bukanlah sebuah perwujudan penuh dari Ketuhanan. Tuhan dan kemauan Tuhan terlalu mulia dan luas untuk dapat dinyatakan oleh teks dan ritual. Tanggung jawab terhadap apa yang dilakukan manusia atas nama Tuhan mesti jatuh atas pundak umat manusia.’’ (Hlm 276).

Kedua kutub itu, ‘’Sama-sama ingin sepenuhnya terikat dengan Tuhan. Keduanya tidak ingin menjalani hidupnya di bumi tanpa petunjuk Tuhan. Tetapi, apa yang membedakan puritan dan moderat cukup lebar --terutama yang bertalian dengan masalah amanah dan aksesibilitas (apa yang dapat diraih). Kaum moderat yakin bahwa Tuhan memberi kepercayaan kepada manusia dengan kekuatan nalar dan kemampuan membedakan antara baik dan buruk. Tetapi, amanah yang ditempatkan pada diri manusia itu begitu dahsyat --demikian dahsyatnya sehingga manusia dan hanya manusia saja yang bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Inilah yang pada gilirannya membenarkan tanggung jawab di Hari Akhir.

Amanah yang diletakkan pada diri manusia tidak hanya untuk menjalankan atau melaksanakan seperangkat perintah yang diberikan Tuhan kepada manusia. Tetapi, Tuhan menyediakan untuk manusia arahan dan tujuan, dan terpulanglah kepada manusia untuk menemukan hukum-hukum yang perlu dan layak.’’ (Ibid)

Di mana posisi kaum puritan? ‘’Sebaliknya, kaum puritan tidak percaya bahwa amanah yang ditempatkan pada manusia demikian lebar dan kabur. Tuhan memberikan hukum kepada manusia, yang sebagian besar keadaannya bersifat khas dan rinci, dan memercayai mereka untuk melaksanakannya. Maka, anugerah Tuhan yang benar kepada manusia bukanlah kemampuan menalar tetapi kekuatan untuk memahami dan menaati. Tidaklah mengherankan kemudian, kaum puritan diyakinkan bahwa Tuhan mengurus masalah-masalah kecil urusan manusia dengan memberikan hukum-hukum konkret dan khas yang mengatur banyak dari apa yang dikatakan dan diperbuat manusia.’’

Di mana pula posisi kaum moderat dalam masalah ini? ‘’Kaum moderat memercayai sebaliknya: Sebagian besar masalah yang menyangkut persoalan manusia terserah kepada kebijaksanaan manusia yang dengannya mereka berbuat yang terbaik sejauh yang mungkin asal mereka mengamati garis pedoman moral yang umum.’’ (Ibid).

Memilih Jalan Moderat

Masih ada beberapa perbedaan pendekatan dan pemahaman Islam antara dua kekuatan itu yang terekam dalam kesimpulan karya El Fadl yang tidak akan dibeberkan di sini. El Fadl tidak menutup kemungkinan adanya pendekatan yang ketiga, tetapi memerlukan kajian tersendiri. Sekarang yang sedang berhadapan adalah dua kutub di atas. Pertanyaannya adalah: Mana di antara keduanya yang mesti diperkuat untuk mencapai tujuan Islam berupa rahmat bagi semua? Jelas El Fadl memilih jalan moderat, sebab hanya jalan inilah yang dapat membawa umat Islam mencapai tujuannya melalui cara-cara yang beradab, damai, dan manusiawi, tetapi tetap berpegang kepada prinsip yang diyakini, tidak boleh terombang-ambing dalam tarikan gelombang modernitas yang sekuler dan tidak adil.

Akhirnya, karya-karya El Fadl kini sedang serius dibicarakan di kalangan intelektual muda NU dan Muhammadiyah untuk dipakai sebagai salah satu rujukan penting dalam upaya memahami peta Islam kontemporer, baik global maupun yang bertalian dengan arus gerakan Islam di Indonesia. El Fadl telah memperkaya literatur Islam kontemporer dengan cara yang sangat bertanggung jawab.

Wallahu’alambishawab.

Arab Saudi dan Islam Moderat

Oleh Ihsan Ali-Fauzi

30/04/2007

Karena watak Wahhabisme itu, banyak orang skeptis dengan niat pemerintah Arab Saudi mengembangkan Islam moderat (terutama) di Indonesia. Bukankah inti moderasi adalah kesiapan untuk memahami dan menerima yang lain, yang bertentangan dengan semangat utama Wahhabisme?

Niat pemerintah Arab Saudi untuk bekerjasama dengan Indonesia dalam menumbuhkan pemikiran Islam moderat merupakan langkah maju. Niat itu disampaikan salah satu pejabat tingginya beberapa waktu lalu, setelah bertemu Presiden SBY di Jakarta. Dan niat itu kembali ditegaskan kepada Wapres JK ketika berkunjung ke Arab Saudi untuk Konferensi OKI. Sebelumnya, tak pernah terdengar pemerintah Arab Saudi memiliki niat itu. Yang kita tahu, mereka menyebarkan Wahhabisme ke seluruh dunia. Wahhabisme adalah doktrin resmi Kerajaan Arab Saudi. Paham ini dikenal ekstrem dan puritan, menekankan kemurnian “Islam Arab” dan mengecam pencampurannya dengan tradisi lokal. Filsafat dan tasawuf, misalnya, dianggap haram, karena keduanya dipandang barang impor dari Yunani, Persia dan Turki. Para pemimpin Wahhabi juga mengklaim, merekalah penerus generasi awal Nabi Muhammad yang paling otentik, sedang yang lainnya tidak layak dan harus dibungkam, jika perlu dengan kekerasan.

Karena watak Wahhabisme itu, banyak orang skeptis dengan niat pemerintah Arab Saudi mengembangkan Islam moderat (terutama) di Indonesia. Bukankah inti moderasi adalah kesiapan untuk memahami dan menerima yang lain, yang bertentangan dengan semangat utama Wahhabisme? Persoalannya saya kira bukan bisa atau tidak bisa, tapi bagaimana membuatnya bisa, berjalan seefektif dan semaksimal mungkin.

Kucuran Dana, Ekspansi Pengaruh

Sebelum masuk ke langkah-langkah rinci, harus diakui bahwa keinginan di atas tentu terkait dengan dana bantuan luar negeri dan perluasan pengaruh. Ini lumrah dalam semua hubungan antarnegara. No free lunch! Tak ada bantuan gratis.

Secara prinsip, keinginan itu tak boleh dihambat. Sebagaimana kita terima bantuan dari beragam pemerintah Barat, dana bantuan dari Arab Saudi juga harus dibolehkan masuk. Kalau dari AS dan Iran boleh, mengapa dari Saudi tidak?

Selain itu, dana Saudi juga terbukti bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan domestik. Selama ini, banyak lembaga pendidikan dan dakwah di Tanah Air, yang kurang dibantu pemerintahan kita sendiri, mengandalkan dana dari Timur Tengah untuk bertahan hidup. Banyak pula pelajar dan mahasiswa kita yang memperoleh beasiswa dan belajar di negara-negara Timur Tengah.

Soalnya menjadi lain jika dana itu digunakan untuk mengembangkan pemikiran dan aksi-aksi yang pada akhirnya bisa mengancam keamanan dan ketertiban negara. Sejak peristiwa 11 September 2001, Arab Saudi memang gencar dituduh sebagai pihak yang turut mendanai pengembangan pemikiran Islam radikal yang antara lain bisa berujung pada aksi-aksi teroris. Seperti dikemukakan Millard Burr dan Robert Collins dalam Alms for Jihad (2006), tuduhan paling gencar datang dari AS, sekutu terdekat Arab Saudi. Dalam pernyataan persnya (19 Februari 2004), Departemen Keuangan AS mengatakan, beberapa lembaga penyalur dana Saudi “tidak saja telah membantu tersebarnya kematian manusia dan kerusakan, tetapi juga telah mengelabui banyak orang untuk percaya bahwa mereka sedang menyebarkan kebaikan” (dikutip Burr dan Collins, 2006: 204).

Tapi ini masalah kompleks sehingga perlu disikapi secara hati-hati. Pertama, penerima dana Saudi bukan hanya muslim radikal. Muslim radikal pun tak monolitik. Mereka terbagi ke dalam kelompok yang membolehkan aksi kekerasan dan yang tidak. Mereka juga terpecah ke dalam kelompok yang mendukung aksi teroris dan yang mengecamnya. Kedua, menisbatkan aksi-aksi kekerasan di Indonesia hanya kepada faktor-faktor eksternal, seperti dana Saudi, juga tidak adil. Radikalisme Islam memiliki benih dan preseden dalam sejarah kita.

Pendeknya, kritik atas dana Saudi tidak bisa main hantam. Tak boleh ada standar ganda: dana dari negeri asing lain, diperbolehkan; tapi dari negeri-negeri muslim Timur Tengah, dilarang atau dihambat. Bahaya lainnya: tersumbatnya dana Timur Tengah akan mempersulit lembaga-lembaga pendidikan dan dakwah Islam lokal untuk terus hidup, membuka kemungkinan lebih banyak orang menganggur, dan seterusnya. Ujungnya, ini akan memperkuat teori konspirasi, bahwa kita memang rentan terhadap tekanan “Barat” yang mau menghambat kemajuan Islam. Bukankah ini hanya mempersubur lahan radikalisme Islam?

“Menjinakkan” Wahhabisme

Menarik menyimak bagaimana pemeritah Saudi bereaksi terhadap tuduhan bahwa mereka mendukung Islam radikal, bahkan teroris. Pada 8 November 2002, Pangeran Salman bin Abd al-Aziz, Gubernur Riyadh, berkata: “Ketika seseorang memberi zakat kepada seorang miskin, ia tidak dapat mengajukan syarat-syarat tentang bagaimana si miskin itu akan memanfaatkan dananya. Jika dana itu digunakan untuk melakukan aksi-aksi kejahatan tertentu, maka hal itu bukanlah tanggung jawab si pemberi dana” (dikutip Burr and Collins, 2006: 26).

Ada kesan lepas tangan di sini. Bagaimana jalan tengah bisa dicapai? Yakni agar dana tetap tersalurkan, tetapi bahaya dana itu jatuh ke tangan kelompok yang salah bisa dihindari? Pertama, perlu ditegaskan kepada pemerintah Saudi agar mereka transparan dalam menyalurkan dana. Hal ini juga harus dimintakan kepada lembaga-lembaga donor Saudi yang bukan pemerintah–dan di sini kerjasama dengan pemerintah Saudi mutlak diperlukan. Dengan begitu bisa diketahui kepada siapa dana itu disalurkan dan untuk apa.

Strategi kedua adalah dengan “menjinakkan” ekspansi Wahhabisme. Kita harus mendudukkan perkara ini, karena Wahhabisme bagaimanapun adalah doktrin resmi Kerajaan Arab Saudi, yang pasti akan didesakkan kepada kita. Caranya, antara lain, dengan melibatkan mereka di dalam berbagai kegiatan dialog antariman. Kegiatan ini tak kalah pentingnya dibanding dialog ataragama. Karena, seperti umum diketahui, kekerasan sektarian terjadi bukan hanya di antara pemeluk agama yang berbeda, tetapi juga di antara pemeluk agama yang sama. Kekerasan Syi`ah melawan Sunni di Irak adalah contoh terakhir yang memilukan.

Percaya Diri

Kunci keberhasilan strategi di atas adalah jika kita punya rasa percaya diri yang cukup dan siap mendesakkan agenda-agenda di atas. Dan kita punya sumberdaya yang cukup untuk itu. Kesempatan pun ada di pihak kita.

Ingat: di mata dunia, setelah peristiwa 11 September 2001, di mana 15 dari 19 teroris yang terlibat adalah warganegara Arab Saudi, kerajaan itu sedang sempoyongan dan sedang memperbaiki citra. Mereka antara lain menutup beberapa lembaga penyalur dana mereka di dunia. Dengan begitu, mereka sebenarnya sudah mengakui, setidaknya sebagian, tuduhan bahwa mereka ikut mengembangkan paham Islam radikal yang menumbuhkan terorisme. Inilah yang memecut mereka untuk memperbaiki citra. Niat kerjasama yang disampaikan pejabat pemerintah Arab saudi di depan SBY dan JK beberapa minggu lalu adalah bagian dari proyek memperbaiki citra ini.

Dibanding Arab Saudi, citra Indonesia jauh lebih baik. Sudah lama kita dikenal sebagai negeri muslim moderat, dengan jumlah muslim terbesar di dunia. Kita juga negara yang tengah mengonsolidasikan demokrasi, yang keberhasilannya bisa menjadi contoh cocoknya perpaduan demokrasi dan Islam.

Ketika keharuman Islam belakangan ini dirusak segelintir pengikutnya yang memperjuangkan kepentingan mereka dengan aksi-aksi kekerasan, mata dunia tertuju ke kita, untuk mengembalikan keharuman itu. Ini mungkin beban terlalu berat untuk kita pikul, tetapi jelas ia memberi kesempatan dan sumberdaya kepada kita untuk mendesakkan agenda-agenda kita di dunia, termasuk dalam kerjasama kita dengan pemerintah Arab Saudi.

Siapa pun boleh bersikap skeptis terhadap niat pemerintah Saudi mengembangkan Islam moderat. Tetapi skeptisisme saja kurang membantu. Akan lebih produktif jika kita menerapkan beberapa strategi yang bisa mengurangi skeptisme kita, sambil mendesakkan kepentingan dan agenda sendiri.

Sumber: Jaringan Islam Liberal Website

Puritanisme bukanlah suatu monopoli agama tertentu, tapi ia merupakan gejala universal yang hampir ada di semua agama. Namun pada intinya puritanisme lebih banyak membawa mafsadat (keburukan) ketimbang maslahat (kebaikan)

Dalam buku ini El Fadhl berusaha untuk mengelaborasi keyakinan puritan dalam agama Islam. Menurutnya, puritanisme dicirikan dengan sikap yang tertutup, absolutis, dan literal dalam memaknai islam. Sehingga islam dijauhkan dari konteks sejarahnya yang hidup. Namun ciri yang paling menonjol adalah sikap yang militan dari para pengikutnya yang mempraktikan ajaran secara ofensif dan terkadang berbuntut kekerasan.

El fadhl membedakan puritanisme dengan fundamentalisme, suatu istilah yang lebih banyak digunakan oleh kalangan pemerhati masalah-masalah keislaman dalam melabeli kaum ekstrimis. Karena menurutnya, setiap muslim dalam kadar tertentu adalah seorang yang meyakini nilai-nilai fundamental islam. Sedangkan puritanisme justru bertolak belakang dengan nilai-nilai fundamental islam seperti kasih sayang, cinta, kedamaian dan pluralisme.

Sejarah awal puritanisme modern adalah bangkitnya gerakan Wahhabisme di hijaz. Kemudian gerakan tersebut berkolaborasi dengan dinasti Sa’ud dan mentransformasi diri menjadi gerakan salafisme. Menurut El fadhl sendiri, gerakan puritanisme yang memiliki kecenderungan ekstrim sudah ada sejak awal-awal sejarah Islam seperti Khawarij dan Qaramithah. Namun, seiring perkembangan zaman sekte-sekte tersebut menjadi tidak popular dan tersingkir dari panggung sejarah, dan memodifikasi diri menjadi lebih moderat.

Memasuki era kolonial, banyak sarjana Islam tradisional (ulama, mullah) yang tersingkir akibat diambil alihnya otoritas kekuasaan dan keilmuan oleh penjajah. Padahal dimasa lalu, para sarjana itulah yang berperan penting dalam menyingkirkan sekte-sekte puritan dengan melawan doktrin-doktrin mereka. Akibatnya: gempuran kolonial dan kosongnya pemegang otoritas serta kelesuan dunia Islam menjadi penyebab bangkitnya puritanisme modern.

Gerakan-gerakan salafisme, Jihad Islam, Takfir wal Hijrah adalah beberapa contoh puritanisme modern. Meski gerakan-gerakan puritan tersebut tampak sensasional, di dunia islam sendiri mereka adalah minoritas (vocal minority). Sehingga, menurut El fadhl, gerakan puritan jarang memiliki basis massa yang luas dan tidak memiliki pijakan yang otentik dalam tradisi islam sendiri.

Di bab-bab selanjutnya, El fadhl merumuskan perbedaan antara gerakan puritan yang minoritas dan kaum muslim moderat yang lebih mayoritas. Seperti dalam hal Teologi, Hukum, Sejarah, Kemasyarakatan dan doktrin Jihad. Dalam hal ini El fadhl berusaha menyeru agar kelompok mayoritas yang diam ini menentang tafsiran kelompok puritan. Sehingga Islam tidak dicemari dengan tafsiran-tafsiran yang salah.

Namun sayangnya kritikan El fadhl kurang menekankan pada kontradiksi didalam kelompok puritan itu sendiri. Puritanisme yang di gambarkan El fadhl terkesan satu wajah, padahal pada faktanya kaum puritan sendiri banyak mengalami pertentangan internal. Sebagai contoh: pemikiran Sayyid Quthb yang banyak terilhami oleh gerakan Wahhabi, tapi secara doktrinal pemikiran Quthb tersebut ditolak secara keras oleh kelompok Wahhabi yang belakangan (salafisme).

Secara keseluruhan, buku El fadhl ini menarik untuk dibaca. Selain gayanya yang provokatif, penulisnya juga menguasai tradisi Islam secara komprehensif dan ditunjang oleh referensi yang berjubel.

Abou el fadhl, dalam buku ini, berusaha mengkampanyekan islam yang moderat, cinta damai, dan mengedepankan kasih sayang. Dimana, hal ini sangat sejalan dengan komposisi bangsa indonesia yang memiliki publik islam yang moderat.

Abou El Fadl tentang Peta Umat

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Jika dibandingkan dengan metode Fazlur Rahman dalam kajian keislaman yang cenderung melebar, tetapi tidak kurang tajam dan mendalamnya, pendekatan Khaled Abou El Fadl lebih menukik dan berani, khususnya dalam masalah syariah yang memang merupakan disiplin utamanya. El Fadl kelahiran Kuwait, lama belajar di Mesir, kemudian di Amerika Serikat.

Sekarang adalah guru besar hukum Islam di UCLA School of Law. Mata kuliah yang diasuhnya adalah hukum Islam, hukum imigrasi, hukum hak-hak asasi manusia, dan hukum internasional dan keamanan nasional. Semuanya berkaitan dengan masalah hukum. Saya pernah memapah Abou El Fadl di Kantor PP Muhammadiyah Jakarta pada saat memberi ceramah di sana sekitar satu setengah tahun yang lalu, yang dipandu oleh Sukidi, sekarang belajar di Harvard.

Dalam kondisi fisik yang tidak lagi prima, El Fadl adalah salah seorang juru bicara Islam kontemporer yang cerah di muka bumi. Ia telah menulis beberapa karya penting tentang Islam yang diramunya dari sumber-sumber klasik dan modern. Di atas ramuan itulah ia memetakan tafsirannya tentang Islam dengan cara yang sangat kritikal, mendalam, dan komprehensif.

Pedang kritiknya dibidikkan kepada dua sasaran: Puritanisme Islam dan modernitas sekuler. Solusi yang ditawarkannya adalah sebuah Islam moderat yang cerdas, kreatif, dan penuh semangat juang, sebagai cerminan dari rahmat bagi seluruh alam. Resonansi ini sebagian didasarkan pada kesimpulan salah satu karya terbarunya, The Great Theft ( Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Serambi, 2007). Karya lain yang tidak kurang menantangnya, di antaranya And God Knows the Soldiers (Melawan Tentara Tuhan) dan Speaking in God's Name (Atas Nama Tuhan). Kedua buku ini banyak berbicara tentang gelombang puritanisme kontemporer. Menurut El Fadl, aliran puritan dapat dilacak akarnya pada golongan Khawarij, bekas pengikut 'Ali bin Abi Thalib, yang pada abad pertama Islam telah banyak membunuh orang Islam dan non-Muslim, dan bertanggung jawab dalam menghabisi nyawa 'Ali bin Abi Thalib sendiri. Setelah terlibat dalam pertumpahan darah yang panjang dan sia-sia, sisa-sisa kaum Khawarij masih dijumpai sedikit di Oman dan Ajazair, tetapi mereka sudah berubah menjadi moderat, bahkan pasifis (suka damai).

Dalam penglihatan El Fadl, mengapa arus ekstremisme marak di dunia Muslim sekarang? Salah satu sebabnya adalah karena ''lembaga-lembaga tradisional Islam yang secara historis bertindak untuk meminggirkan aliran ekstremis tidak ada lagi. Inilah yang membuat periode sejarah Islam sekarang jauh lebih sulit dibandingkan periode yang lain, dan inilah sebabnya mengapa orientasi puritanisme modern lebih mengancam integritas moralitas dan nilai-nilai Islam melebihi gerakan-gerakan ekstremis sebelumnya.

Barangkali inilah pertama kali dalam sejarah bahwa pusat dunia Islam, Makkah dan Madinah, telah berada di bawah kontrol negara puritan selama periode yang demikian lama.'' (Ibid., hlm. 102). Dengan uang yang melimpah, Wahabisme telah diekspor ke berbagai pojok bumi yang mematikan kebebasan berpikir dan intelektualisme Islam. Ironisnya adalah bahwa Kerajaan Saudi dalam politik global banyak bergantung pada Amerika Serikat.

Inilah sebuah kongsi yang aneh antara dua sistem politik yang sebenarnya sangat rapuh, tetapi direkat oleh kepentingan-kepentingan pragmatis jangka pendek. Puritanisme kontemporer memang umumnya muncul dari rahim Wahabisme, dan Taliban adalah salah satu bentuknya. Jadi, tidak mengherankan jika seorang Usamah bin Ladin diterima baik dalam kultur Taliban, karena persamaan doktrin yang dianut, dengan catatan jasa Amerika cukup besar dalam mendukung puritanisme ini sewaktu menghadapi pasukan Uni Soviet di Afghanistan.

Sejak tragedi 11 September 2001, kemudian aliansi mereka pecah. Dan Amerika sekarang kewalahan menghadapi ''anak didiknya'' ini yang sebagian terlibat dalam kegiatan teror global, sebagaimana juga Gedung Putih di bawah Bush telah pula menjadi pusat teror negara bersama Israel. Invasi terhadap Afghanistan dan Irak dengan helah yang dibuat-buat adalah bentuk terorisme negara untuk menghancurkan dua bangsa dan negara lemah, yang sekarang kondisinya malah semakin memburuk dan rusak.

Menurut keterangan yang diberikan Pak Taufiq Kiemas kepada saya di pesawat Garuda dalam penerbangan ke Yogyakarta pada 23 November, sebenarnya Presiden Megawati telah mengingatkan Bush agar tidak menyerang Irak, sebab akan sulit keluar dari sana, tetapi Bush tetap nekat. Sebuah kenekatan yang harus dibayar dengan ongkos yang sangat mahal, termasuk kekalahan Partai Republik baru-baru ini dalam pemilihan senat dan kongres Amerika.

Selanjutnya mari kita ikuti tesis-tesis El Fadl tentang kutub umat Islam kontemporer yang saling berhadapan. Pertama, kekuatan Islam puritan (sebutan lain dari fundamentalis), dan kedua, Islam moderat yang merupakan mayoritas mutlak dari sekitar 1,3 miliar umat Islam di muka bumi. Ada sebuah pertanyaan kunci yang dihadapkan kepada kedua kutub ini: Siapa yang bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan atas nama agama? Jawaban pertanyaan ini ternyata lebih sulit dari apa yang dibayangkan oleh sementara orang. Kedua kutub umat itu memberikan jawaban yang sungguh berbeda.

Dalam penilaian El Fadl, kaum puritan akan mengatakan bahwa itu adalah sebuah pertanyaan yang salah, sebab, ''Bagaimana seseorang dapat membedakan antara sebuah agama dan tanggung jawab terhadapnya. Kaum puritan akan mengatakan bahwa agama tidak diwakili oleh apa pun selain teks dan ritualnya, dan para pengikut yang tulus akan membaca teks dan melaksanakan ritual.''

Sebaliknya golongan moderat akan mengatakan, ''Posisi kaum puritan tidak saja naif, tetapi penuh masalah. Apa yang membuat suatu agama melebihi teks dan ritual, dan apa yang berlaku karena teks dan ritual bukanlah sebuah perwujudan penuh dari Ketuhanan. Tuhan dan kemauan Tuhan terlalu mulia dan luas untuk dapat dinyatakan oleh teks dan ritual. Tanggung jawab terhadap apa yang dilakukan manusia atas nama Tuhan mesti jatuh atas pundak umat manusia.'' (Hlm 276).

Kedua kutub itu, ''Sama-sama ingin sepenuhnya terikat dengan Tuhan. Keduanya tidak ingin menjalani hidupnya di bumi tanpa petunjuk Tuhan. Tetapi, apa yang membedakan puritan dan moderat cukup lebar --terutama yang bertalian dengan masalah amanah dan aksesibilitas (apa yang dapat diraih). Kaum moderat yakin bahwa Tuhan memberi kepercayaan kepada manusia dengan kekuatan nalar dan kemampuan membedakan antara baik dan buruk. Tetapi, amanah yang ditempatkan pada diri manusia itu begitu dahsyat --demikian dahsyatnya sehingga manusia dan hanya manusia saja yang bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Inilah yang pada gilirannya membenarkan tanggung jawab di Hari Akhir.

Amanah yang diletakkan pada diri manusia tidak hanya untuk menjalankan atau melaksanakan seperangkat perintah yang diberikan Tuhan kepada manusia. Tetapi, Tuhan menyediakan untuk manusia arahan dan tujuan, dan terpulanglah kepada manusia untuk menemukan hukum-hukum yang perlu dan layak.'' (Ibid)

Di mana posisi kaum puritan? ''Sebaliknya, kaum puritan tidak percaya bahwa amanah yang ditempatkan pada manusia demikian lebar dan kabur. Tuhan memberikan hukum kepada manusia, yang sebagian besar keadaannya bersifat khas dan rinci, dan memercayai mereka untuk melaksanakannya. Maka, anugerah Tuhan yang benar kepada manusia bukanlah kemampuan menalar tetapi kekuatan untuk memahami dan menaati. Tidaklah mengherankan kemudian, kaum puritan diyakinkan bahwa Tuhan mengurus masalah-masalah kecil urusan manusia dengan memberikan hukum-hukum konkret dan khas yang mengatur banyak dari apa yang dikatakan dan diperbuat manusia.''

Di mana pula posisi kaum moderat dalam masalah ini? ''Kaum moderat memercayai sebaliknya: Sebagian besar masalah yang menyangkut persoalan manusia terserah kepada kebijaksanaan manusia yang dengannya mereka berbuat yang terbaik sejauh yang mungkin asal mereka mengamati garis pedoman moral yang umum.'' (Ibid).

Masih ada beberapa perbedaan pendekatan dan pemahaman Islam antara dua kekuatan itu yang terekam dalam kesimpulan karya El Fadl yang tidak akan dibeberkan di sini.

El Fadl tidak menutup kemungkinan adanya pendekatan yang ketiga, tetapi memerlukan kajian tersendiri. Sekarang yang sedang berhadapan adalah dua kutub di atas. Pertanyaannya adalah: Mana di antara keduanya yang mesti diperkuat untuk mencapai tujuan Islam berupa rahmat bagi semua? Jelas El Fadl memilih jalan moderat, sebab hanya jalan inilah yang dapat membawa umat Islam mencapai tujuannya melalui cara-cara yang beradab, damai, dan manusiawi, tetapi tetap berpegang kepada prinsip yang diyakini, tidak boleh terombang-ambing dalam tarikan gelombang modernitas yang sekuler dan tidak adil.

Akhirnya, karya-karya El Fadl kini sedang serius dibicarakan di kalangan intelektual muda NU dan Muhammadiyah untuk dipakai sebagai salah satu rujukan penting dalam upaya memahami peta Islam kontemporer, baik global maupun yang bertalian dengan arus gerakan Islam di Indonesia. El Fadl telah memperkaya literatur Islam kontemporer dengan cara yang sangat bertanggung jawab. (sumber: republika).

dibaca: 1059 kali

Arab Saudi dan Islam Moderat

Oleh Ihsan Ali-Fauzi

30/04/2007

Karena watak Wahhabisme itu, banyak orang skeptis dengan niat pemerintah Arab Saudi mengembangkan Islam moderat (terutama) di Indonesia. Bukankah inti moderasi adalah kesiapan untuk memahami dan menerima yang lain, yang bertentangan dengan semangat utama Wahhabisme?

tanggapan anda

* artikel Ihsan Ali-Fauzi lainnya

* 02/08/2004

Untung Ada Karen Armstrong

* 14/07/2002

“Convivencia” di Andalusia

* 12/07/2002

Radikalisasi Agama:

* Total 3 artikel

Lebih lengkap lihat biodata penulis

* artikel baru

* 10/01/2008

Novriantoni

Hijrah Demi Kebebasan

* 09/01/2008

Serahkan Soal Sempalan ke Mekanisme Free Market of Ideas!

* 09/01/2008

Anis Masduki

Dakwah Versus Penyesatan

* 07/01/2008

Ulil Abshar-Abdalla

Doktrin-Doktrin Yang Kurang Perlu dalam Islam

* 07/01/2008

Abd Moqsith Ghazali

Menyambut Idul Qurban 1428 H.

* artikel sebelumnya

* 23/04/2007

Penemuan ”Makam” Yesus Masih Spekulatif

* 23/04/2007

Ulil Abshar-Abdalla

Perihal Sertifikasi Halal

* 23/04/2007

Pradana Boy ZTF

Pembaruan Islam dan Mitos Pembaratan

* 30/04/2007

Kartini Sosok yang Humanis dan Nasionalis

* 16/04/2007

M. Guntur Romli

Madesu Sekularisme

Niat pemerintah Arab Saudi untuk bekerjasama dengan Indonesia dalam menumbuhkan pemikiran Islam moderat merupakan langkah maju. Niat itu disampaikan salah satu pejabat tingginya beberapa waktu lalu, setelah bertemu Presiden SBY di Jakarta. Dan niat itu kembali ditegaskan kepada Wapres JK ketika berkunjung ke Arab Saudi untuk Konferensi OKI. Sebelumnya, tak pernah terdengar pemerintah Arab Saudi memiliki niat itu. Yang kita tahu, mereka menyebarkan Wahhabisme ke seluruh dunia. Wahhabisme adalah doktrin resmi Kerajaan Arab Saudi. Paham ini dikenal ekstrem dan puritan, menekankan kemurnian “Islam Arab” dan mengecam pencampurannya dengan tradisi lokal. Filsafat dan tasawuf, misalnya, dianggap haram, karena keduanya dipandang barang impor dari Yunani, Persia dan Turki. Para pemimpin Wahhabi juga mengklaim, merekalah penerus generasi awal Nabi Muhammad yang paling otentik, sedang yang lainnya tidak layak dan harus dibungkam, jika perlu dengan kekerasan.

Karena watak Wahhabisme itu, banyak orang skeptis dengan niat pemerintah Arab Saudi mengembangkan Islam moderat (terutama) di Indonesia. Bukankah inti moderasi adalah kesiapan untuk memahami dan menerima yang lain, yang bertentangan dengan semangat utama Wahhabisme? Persoalannya saya kira bukan bisa atau tidak bisa, tapi bagaimana membuatnya bisa, berjalan seefektif dan semaksimal mungkin.

Kucuran Dana, Ekspansi Pengaruh

Sebelum masuk ke langkah-langkah rinci, harus diakui bahwa keinginan di atas tentu terkait dengan dana bantuan luar negeri dan perluasan pengaruh. Ini lumrah dalam semua hubungan antarnegara. No free lunch! Tak ada bantuan gratis.

Secara prinsip, keinginan itu tak boleh dihambat. Sebagaimana kita terima bantuan dari beragam pemerintah Barat, dana bantuan dari Arab Saudi juga harus dibolehkan masuk. Kalau dari AS dan Iran boleh, mengapa dari Saudi tidak?

Selain itu, dana Saudi juga terbukti bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan domestik. Selama ini, banyak lembaga pendidikan dan dakwah di Tanah Air, yang kurang dibantu pemerintahan kita sendiri, mengandalkan dana dari Timur Tengah untuk bertahan hidup. Banyak pula pelajar dan mahasiswa kita yang memperoleh beasiswa dan belajar di negara-negara Timur Tengah.

Soalnya menjadi lain jika dana itu digunakan untuk mengembangkan pemikiran dan aksi-aksi yang pada akhirnya bisa mengancam keamanan dan ketertiban negara. Sejak peristiwa 11 September 2001, Arab Saudi memang gencar dituduh sebagai pihak yang turut mendanai pengembangan pemikiran Islam radikal yang antara lain bisa berujung pada aksi-aksi teroris. Seperti dikemukakan Millard Burr dan Robert Collins dalam Alms for Jihad (2006), tuduhan paling gencar datang dari AS, sekutu terdekat Arab Saudi. Dalam pernyataan persnya (19 Februari 2004), Departemen Keuangan AS mengatakan, beberapa lembaga penyalur dana Saudi “tidak saja telah membantu tersebarnya kematian manusia dan kerusakan, tetapi juga telah mengelabui banyak orang untuk percaya bahwa mereka sedang menyebarkan kebaikan” (dikutip Burr dan Collins, 2006: 204).

Tapi ini masalah kompleks sehingga perlu disikapi secara hati-hati. Pertama, penerima dana Saudi bukan hanya muslim radikal. Muslim radikal pun tak monolitik. Mereka terbagi ke dalam kelompok yang membolehkan aksi kekerasan dan yang tidak. Mereka juga terpecah ke dalam kelompok yang mendukung aksi teroris dan yang mengecamnya. Kedua, menisbatkan aksi-aksi kekerasan di Indonesia hanya kepada faktor-faktor eksternal, seperti dana Saudi, juga tidak adil. Radikalisme Islam memiliki benih dan preseden dalam sejarah kita.

Pendeknya, kritik atas dana Saudi tidak bisa main hantam. Tak boleh ada standar ganda: dana dari negeri asing lain, diperbolehkan; tapi dari negeri-negeri muslim Timur Tengah, dilarang atau dihambat. Bahaya lainnya: tersumbatnya dana Timur Tengah akan mempersulit lembaga-lembaga pendidikan dan dakwah Islam lokal untuk terus hidup, membuka kemungkinan lebih banyak orang menganggur, dan seterusnya. Ujungnya, ini akan memperkuat teori konspirasi, bahwa kita memang rentan terhadap tekanan “Barat” yang mau menghambat kemajuan Islam. Bukankah ini hanya mempersubur lahan radikalisme Islam?

“Menjinakkan” Wahhabisme

Menarik menyimak bagaimana pemeritah Saudi bereaksi terhadap tuduhan bahwa mereka mendukung Islam radikal, bahkan teroris. Pada 8 November 2002, Pangeran Salman bin Abd al-Aziz, Gubernur Riyadh, berkata: “Ketika seseorang memberi zakat kepada seorang miskin, ia tidak dapat mengajukan syarat-syarat tentang bagaimana si miskin itu akan memanfaatkan dananya. Jika dana itu digunakan untuk melakukan aksi-aksi kejahatan tertentu, maka hal itu bukanlah tanggung jawab si pemberi dana” (dikutip Burr and Collins, 2006: 26).

Ada kesan lepas tangan di sini. Bagaimana jalan tengah bisa dicapai? Yakni agar dana tetap tersalurkan, tetapi bahaya dana itu jatuh ke tangan kelompok yang salah bisa dihindari? Pertama, perlu ditegaskan kepada pemerintah Saudi agar mereka transparan dalam menyalurkan dana. Hal ini juga harus dimintakan kepada lembaga-lembaga donor Saudi yang bukan pemerintah–dan di sini kerjasama dengan pemerintah Saudi mutlak diperlukan. Dengan begitu bisa diketahui kepada siapa dana itu disalurkan dan untuk apa.

Strategi kedua adalah dengan “menjinakkan” ekspansi Wahhabisme. Kita harus mendudukkan perkara ini, karena Wahhabisme bagaimanapun adalah doktrin resmi Kerajaan Arab Saudi, yang pasti akan didesakkan kepada kita. Caranya, antara lain, dengan melibatkan mereka di dalam berbagai kegiatan dialog antariman. Kegiatan ini tak kalah pentingnya dibanding dialog ataragama. Karena, seperti umum diketahui, kekerasan sektarian terjadi bukan hanya di antara pemeluk agama yang berbeda, tetapi juga di antara pemeluk agama yang sama. Kekerasan Syi`ah melawan Sunni di Irak adalah contoh terakhir yang memilukan.

Percaya Diri

Kunci keberhasilan strategi di atas adalah jika kita punya rasa percaya diri yang cukup dan siap mendesakkan agenda-agenda di atas. Dan kita punya sumberdaya yang cukup untuk itu. Kesempatan pun ada di pihak kita.

Ingat: di mata dunia, setelah peristiwa 11 September 2001, di mana 15 dari 19 teroris yang terlibat adalah warganegara Arab Saudi, kerajaan itu sedang sempoyongan dan sedang memperbaiki citra. Mereka antara lain menutup beberapa lembaga penyalur dana mereka di dunia. Dengan begitu, mereka sebenarnya sudah mengakui, setidaknya sebagian, tuduhan bahwa mereka ikut mengembangkan paham Islam radikal yang menumbuhkan terorisme. Inilah yang memecut mereka untuk memperbaiki citra. Niat kerjasama yang disampaikan pejabat pemerintah Arab saudi di depan SBY dan JK beberapa minggu lalu adalah bagian dari proyek memperbaiki citra ini.

Dibanding Arab Saudi, citra Indonesia jauh lebih baik. Sudah lama kita dikenal sebagai negeri muslim moderat, dengan jumlah muslim terbesar di dunia. Kita juga negara yang tengah mengonsolidasikan demokrasi, yang keberhasilannya bisa menjadi contoh cocoknya perpaduan demokrasi dan Islam.

Ketika keharuman Islam belakangan ini dirusak segelintir pengikutnya yang memperjuangkan kepentingan mereka dengan aksi-aksi kekerasan, mata dunia tertuju ke kita, untuk mengembalikan keharuman itu. Ini mungkin beban terlalu berat untuk kita pikul, tetapi jelas ia memberi kesempatan dan sumberdaya kepada kita untuk mendesakkan agenda-agenda kita di dunia, termasuk dalam kerjasama kita dengan pemerintah Arab Saudi.

Siapa pun boleh bersikap skeptis terhadap niat pemerintah Saudi mengembangkan Islam moderat. Tetapi skeptisisme saja kurang membantu. Akan lebih produktif jika kita menerapkan beberapa strategi yang bisa mengurangi skeptisme kita, sambil mendesakkan kepentingan dan agenda sendiri.

***

Yusuf Qardawi the Moderate)

By Luthfi Assyaukanie

Source: Seputar Indonesia, 12/01/2007

Yusuf Qardawi (lahir 1926) adalah seorang intelektual Muslim moderat yang namanya telah mencuat sejak pertengajan tahun 1980an. Ketika saya masih kuliah di Yordania sekitar akhir tahun 1980an, Qardawi kerap diundang ke berbagai universitas di Timur Tengah untuk menyampaikan ceramahnya yang menyejukkan. Karya-karyanya banyak didiskusikan dan dirujuk para mahasiswa Arab yang saat itu terbelah antara kelompok sekularis dan kelompok ultra-konservatif. Qardawi mengambil sikap persis di tengah. Ia kerap mengkritik para intelektual Arab sekular dan juga mengkritik kaum ultra-konservatif.

Karya-karyanya, seperti al-Sahwah Islamiyah bayn al-Juhud wa al-Tatarruf (kebangkitan Islam antara penolakan dan ekstrimisme) dan al-Halal wa al-Haram fi al-Islam (yang halal dan yang haram dalam Islam) merefleksikan pandangan moderatnya. Ia tidak menyetujui cara-cara kaum sekular yang ingin mentransformasikan budaya Arab-Islam ke dunia modern sepenuhnya berdasarkan rasionalitas. Ia juga mengkritik kaum ultra-konservatif yang telalu berpegang pada teks-teks suci (nash) sambil mengabaikan akal-pikiran manusia sama sekali.

Dengan sikap moderatnya seperti itu, Qardawi memiliki cukup banyak pengikut, tapi sekaligus juga menuai dua kelompok musuh. Kaum sekular Arab kerap menganggapnya sebagai “orang konservatif yang pura-pura modern.” Sementara kaum ultra-konservatif menganggapnya sebagai “ahli fikih yang mengabaikan hadis dan sunnah nabi.”

Memang tidak mudah menjadi seorang moderat di tengah dua ekstrim masyarakat yang terbelah. Sejak kekalahan perang Arab-Israel pada tahun 1967, masyarakat Muslim Arab terbelah menjadi dua kelompok ekstrim itu: kelompok sekular dan kelompok ultra-konservatif. Banyak ulama dan tokoh Islam yang mencoba mengambil jalan tengah. Tapi, tidak semuanya berhasil. Qardawi adalah salah-satunya yang saya kira hingga kini masih terus setia berada pada garis tengah itu.

Qardawi menganggap posisi moderat adalah posisi yang dianjurkan al-Qur’an dan hadis Nabi. Dia mengutip al-Qur’an surah al-Maidah 143: “Kami jadikan kalian umat pertengahan (ummatan wasatan).” Dia juga mengutip beberapa hadis Nabi, seperti: “sebaik-baik perkara adalah pertengahan,” “takutlah akan berlebih-lebihan dalam beragama,” dan “Allah menginginkan kemudahan dan bukan kerumitan.”

Dalam galeri pemikiran Arab kontemporer, Yusuf Qardawi biasanya diletakkan sejajar dengan para ulama moderat lainnya, seperti Muhammad al-Ghazali, Anwar Jundi, dan Fathi Yakan. Meskipun beberapa pandangannya ada yang konservatif, tapi Qardawi cukup “liberal” jika dibandingkan dengan, misalnya, Sayyid Qutb, Muhammad Qutb, dan tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin lainnya.

Mungkin karena itulah, Charles Kurzman, seorang sarjana Amerika Serikat, menganggap Yusuf Qardawi sebagai seorang “Muslim Liberal,” dan memasukkannya ke dalam buku yang disuntingnya, Wacana Islam Liberal (Paramadina, 2001). Agaknya, Kurzman melihat Qardawi dari posisi kelompok ultra-konservatif yang memang tidak masuk akal dalam cara-cara mereka menjalankan agama (membolehkan pembunuhan, teror, perusakan, dll). Namun, jika dilihat dari sudut pandang kaum liberal (sekular), Qardawi tetaplah sebagai seorang konservatif.

Para intelektual Muslim liberal seperti Muhammad Arkoun, Hassan Hanafi, dan Nasr Hamed Abu Zayd menganggap Qardawi tetap sebagai seorang konservatif yang tidak berani melakukan ijtihad-ijtihad keagamaan yang lebih fundamental. Bahkan dalam isu-isu yang kurang fundamental seperti jilbab dan bunga bank, Qardawi masih menganut pandangan konservatif.

Qardawi menjadi “liberal” dan “moderat” jika ia dipertentangkan dengan kaum ekstrimis (mutatarrif), dan menjadi konservatif jika dia dihadapkan dengan para pembaru Muslim dalam tradisi Muhammad Abduh dan Ali Abd al-Raziq. Dalam konteks Indonesia, posisi Qardawi sama dengan para tokoh-tokoh Islam yang mengklaim diri sebagai orang moderat tapi pada saat yang sama tetap merangkul pandangan-pandangan konservatif. Contoh yang tepat barangkali adalah para anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang jelas-jelas menolak terorisme Islam tapi pada saat yang sama mengharamkan pluralisme dan menyesatkan Ahmadiyah.

Dalam wacana pemikiran Islam di dunia Arab kontemporer ada dua istilah yang merujuk pada makna yang sama, yakni nahdah dan sahwah. Kedua istilah ini berarti “kebangkitan” atau renaissance dalam bahasa Eropa. Istilah pertama, nahdah, digunakan untuk merujuk para pembaru Muslim tercerahkan, seperti Muhammad Abduh, Qassim Amin, dan Ali Abd al-Raziq. Sementara istilah kedua, sahwah, digunakan untuk merujuk para pembaru yang dalam pemikiran politik cukup “moderat” (dalam pengertian mau menerima demokrasi) tapi dalam isu-isu keagamaan tetap bersikap konservatif.

Yusuf Qardawi menempatkan diri dalam kelompok sahwah. Dalam bukunya, al-Sahwah al-Islamiyah, secara tegas ia memposisikan diri sebagai pendukung gerakan sahwah Islamiyah. Ia mendukung demokrasi, tapi menolak partai politik yang tidak Islami. Ia mendukung modernitas, tapi menolak bunga bank. Qardawi jelas-jelas menolak gerakan nahdah yang diprakarsai Abduh, dan karenanya, dia cenderung bersikap konservatif dalam banyak isu keagamaan.

Dalam konteks Indonesia, sikap keberagamaan Yusuf Qardawi lebih dekat dengan orang-orang MUI, ketimbang para pembaru Muslim seperti almarhum Nurcholish Madjid atau Abdurrahman Wahid. Dalam hal pemikiran politik, sikap dia lebih dekat kepada PKS (Partai Keadilan Sejahtera) ketimbang partai-partai nasionalis lainnya, seperti PKB, PAN, dan PDIP. Dilihat secara keseluruhan, saya kira, Qardawi lebih tepat dianggap sebagai seorang konservatif yang mencoba menjadi moderat.

Akhirnya, kedatangan Yusuf Qardawi ke Indonesia saya kira patut disambut baik. Paling tidak untuk menyemaikan pikiran-pikiran “moderat” di tengah kecenderungan masyarakat kita yang semakin ultra-konservatif. Peran Qardawi, saya kira, memang di situ, yakni mengurangi potensi-potensi ektrim dalam beragama yang akhir-akhir ini menggejala di dunia Islam.

Luthfi Assyaukanie. Peneliti Freedom Institute dan Pengajar di Universitas Paramadina, Jakarta.

Salah satu gagasan umat Islam untuk membangun perabadan Islam pasca jajahan kolonial adalah kembali pada autentisitas Islam. Namun bentuk dari Islam autentik muncul dalam wajah yang beragam, satu sisi ada yang menganjurkan kepada Al-qur’an dan Sunnah secara tekstual dan menolak segala bentuk peradaban Barat, yang kemudian memunculkan sikap keberislaman yang ekstrem dan fundamental. Pada sisi lain autentisitas Islam direspon dengan upaya penyatuan tradisi Islam dengan modernitas Barat secara kritis, yang kemudian melahirkan kelompok Islam yang moderat-progresif. Masing-masing kelompok sama-sama mengklaim sebagai Islam autentik. Lantas bagaimanakah bentuk Islam Autentik itu sebenarnya? Dan mungkinkah untuk konteks keindonesiaan ditumbuhkembangkan? Apa Peran Muhammadiyah? Bagaimana langkah-langkahnya? Berikut kita ikuti wawancara Deni al Asy’ari dari SM dengan Prof. Dr. H. Ahmad Syafi’i Ma’arif,MA, Penasehat PP Muhammadiyah, Mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)

Apakah betul bahwa jejak penjajahan kolonial terhadap negara Muslim merupakan faktor pendorong umat Islam untuk menumbuhkan Islam Autentik?

Jadi yang pertama harus kita lihat begini, bahwa cara kita menyalahkan penjajahan terhadap kemunduran Islam itu boleh saja, akan tetapi kita harus jujur mengatakan, mengapa umat Islam itu dijajah? Sesungguhnya umat Islam itu memang pantas untuk dijajah, karena di dalam Islam itu sendiri sudah terjadi pembusukan-pembusukan sebelumnya. Misalnya kita sudah tidak lagi responsif terhadap perubahan zaman. Bahkan secara kultural, saya lihat sampai hari ini umat Islam itu masih berada dalam jajahan. Walaupun sesudah Perang Dunia Kedua beberapa negara Muslim mendapatkan pendidikan politik. Tapi sebagian besar umat Islam itu masih belum menemukan jati dirinya sampai hari ini, yaitu bagaimana Islam yang autentik itu dihadirkan, tapi usaha ke arah itu memang kini terus berjalan.

Masing-masing kelompok Islam cenderung mengklaim kelompoknya sebagai Islam autentik, bagaimanakah bentuk atau visi dari Islam autentik ini sebenarnya?

Jadi Islam autentik itu adalah Islam yang mampu menawarkan peradaban alternatif kepada dunia modern yang sekuleristik dan ateistik. Dalam Al-Qur’an banyak sekali terdapat ayat yang mengatakan Rahmatan Lil’alamin yang salah satu bunyinya “Kami tidak mengutus engkau Muhammad kecuali sebagai Rahmat bagi sekalian Alam”. Rahmat bagi sekalian alam ini yang menjadi visi dan misi Islam Autentik itu. Jadi Islam harus mampu memberi rahmat bagi sekalian alam, kepada seluruh makhluk, kepada seluruh manusia, termasuk kepada mereka yang tidak percaya kepada Tuhan sekalipun. Namun Islam autentik yang seperti definisi dan memiliki visi rahmatan lil’alamin di atas itu bisa dikatakan sulit ditemui saat sekarang.

Mengapa Islam autentik itu sulit ditemui di dunia Islam saat sekarang ?

Karena ulah sebagian umat Islam itu sendiri, jadi kalau anda baca bukunya “Islam dan Demokrasi” karya Fatimah Mernissi misalnya, walaupun tidak sepenuhnya teoritik, karena ada pengalaman perjalanannya di beberapa negara Muslim, dia melihat bahwa Islam yang autentik itu sudah dibungkus oleh budaya politik despotik. Peristiwa ini terjadi setelah munculnya Daulah Umayyah, kemudian diteruskan oleh Daulah Abbasiyah. Jadi pesan egalitarian yang sebenarnya menyatu dengan tauhid sudah dimusnahkan oleh sikap despotik tersebut. Memang kita akui pada masa itu ada sedikit yang positif atau kemajuannya, seperti kebudayaan maju, ilmu pengetahuan maju, filsafat maju, tapi pada sesungguhnya Islam tidak mungkin utuh sebagai Islam autentik. Oleh karenanya saya pernah menulis, bahwa peradaban termasuk peradaban Islam itu sendiri dibangun di atas tengkorak saudaranya sendiri. Misalnya Abbasiyah dibangun di atas tengkorak Umayyah, dan Umayyah dibangun di atas tengkorak keluarga Ali. Inilah sejarah dalam dunia Islam. Walaupun demikian yang terjadi, kita tidak boleh tenggelam disini. Sebab membaca masa lampau harus dilakukan dengan sikap kritis, yaitu dengan mengambil pelajaran yang sebaik-baiknya, dan kita tolak mana yang sudah menyimpang dari nilai-nilai Islam. Jadi, singkatnya Islam autentik itu adalah Islam yang dibenarkan oleh Al-Qur’an dan oleh nilai-nilai kenabian (propethic value). Setidaknya menurut saya ini sebagai bentuk parameter Islam autentik tersebut.

Lantas bagaimana dengan kehadiran dua kutub Islam (Islam ekstrem dan moderat) yang sama-sama mengklaim sebagai Islam Autentik. Apakah mereka sudah berhasil?

Munculnya dua kutub Islam sebagaimana yang pernah disinggung oleh Khalid Abu El Fadl yaitu Islam puritan (ekstrem) dan Islam moderat yang masing-masing kelompok berada di pihak yang benar itu betul adanya demikian. Sebab bagi yang puritan, kembali pada Islam autentik itu adalah kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah secara tekstual. Kemudian mereka melihat Islam itu sebagai perangkat hukum secara total, dan bagi mereka kemerdekaan itu tidak penting, demokrasi, hak asasi ditolak, karena itu berasal dari Barat. Sementara Islam yang moderat, itu tidak ambil pusing dari mana sumbernya, selama prinsip-prinsip demokrasi itu bisa menegakkan keadilan, menegakkan persamaan, menegakkan persaudaraan dan tidak bertentangan dengan Islam yang autentik, maka akan diterima. Sebab bagi mereka Islam itu adalah yang bisa menghargai individu, dan memandang manusia itu sebagai anak Adam yang dimuliakan di sisi Allah.

Tapi satu kenyataan yang tidak dapat dikatakan baik adalah, bahwa baik kelompok Islam puritan maupun kelompok moderat, harus mengakui secara obyektif dan jujur, bahwa mereka jika ditinjau dari perspektif rahmatan lil’alamin masih berada di buritan peradaban. Kedua-duanya sama-sama tidak menentukan jalannya peradaban hingga sampai saat ini. Oleh karena itu, ke depan mari kita baca diri kita dengan benar, berkaca baik-baik dan berhenti saling menyalahkan. Berdiskusi boleh, berdebat boleh tapi jangan saling memusuhi. Menurut saya itu langkah yang terbaik saat sekarang dilakukan.

Bagaimana menghindari pengutuban Islam yang sama-sama mengklaim sebagai Islam autentik?

Saya rasa tergantung pendidikan juga, tapi yang penting adalah komunikasi harus dijaga, dan dilakukan secara jujur. Dengan niat yang tulus tanpa berprasangka buruk, kemudian kita buang jauh-jauh sikap subyektivisme sejarah dan kita buang pula kepentingan pribadi. Jadi, kita duduk dan berdiskusi bersama dengan menekankan aspek kejujuran dan niat yang tulus. Kemudian sama-sama bergerak ke arah rahmatan lil’alamin.

Untuk konteks Indonesia Islam ekstrem ini secara kuantitas relatif kecil, tapi secara kenyataan gaungnya melebihi Islam moderat, bagaimana ini bisa terjadi?

Ini sebabnya karena gerakan keagamaan yang arus besar seperti Muhammadiyah dan NU itu sudah keberatan “sungu”. NU dan Muhammadiyah itu sudah terlalu keberatan beban, sehingga tidak sempat lagi menyantuni orang-orang yang sedang “gelisah”. Walaupun orang-orang yang kelompok ekstrem ini tidak punya dasar yang kokoh sebenarnya. Dan ini menurut saya bukan gejala baru, tapi bagaimanapun juga, untuk menyikapi fenomena yang demikian harus dengan kearifan, dan kita tetap berprinsip bahwa jangan sampai mereka diadili dengan kekerasan fisik, kecuali mereka melanggar hukum.

Bagaimana peran Islam moderat (NU dan Muhammadiyah) untuk menciptakan ruang agar perannya lebih tampak daripada kelompok Islam ekstrem?

Baik Muhammadiyah ataupun NU, jangan memikirkan umatnya sendiri, dua organisasi besar ini harus bisa keluar dari “kandang”. Akan tetapi memang kadang-kadang ini sangat sulit sekali dilakukan, karena keberatan “sungu” tadi. Muhammadiyah sibuk dengan lembaga pendidikan dan rumah sakitnya, sedangkan NU sibuk dengan pesantrennya. Sehingga tidak sempat lagi melihat keluar. Memang dua organisasi besar ini ibarat gajah setengah lumpuh. Sehingga mereka ini tidak sempat lagi menyantuni kegelisahan orang-orang terhadap pemikiran keagamaan.

Jikalau demikian, maka bisa disimpulkan bahwa kemunculan kelompok Islam ekstrem di Indonesia merupakan kegagalan dari ormas Muhammadiyah dan NU?

Saya tidak mau menyebutkan bahwa munculnya kelompok Islam ekstrem itu sebagai bentuk kegagalan Muhammadiyah dan NU, tapi saya melihat ini sebagai akibat dari keterbatasan peran yang dilakukan oleh dua ormas tersebut.

Apa peran strategis yang harus dilakukan oleh Muhammadiyah sendiri untuk menumbuhkan Islam yang Autentik itu di Indonesia?

Saya kira yang harus dilakukan oleh Muhammadiyah adalah dengan belajar secara sungguh-sungguh, pahamilah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi itu secara mendalam, dengan mengambil pesan moral atau benang merah dari Al-Qur’an. Sehingga semua cita-cita, semua gerak harus diarahkan pada pesan-pesan moral tersebut, dan saya rasa itu bisa dilakukan. Kemudian kita betul-betul harus ikhlas, sebab tanpa keikhlasan agama itu tidak ada. Ini kadangkala kita sulit melakukannya, dalam kenyataannya tampak kalau kita itu tidak ikhlas, tapi kita pakai ayat-ayat lain yang bisa dimanipulasi sehingga menunjukkan bahwa kita itu ikhlas.l Dn