Minggu, 29 Maret 2015

Etika Terhadap Al-Qur’an



“Etika Terhadap Al-Qur’an”
Oleh: Ust. H. Abdul Jalil Muhammad, M.S.I
Staf Pengajar di Madrasah Huffadh Al-Munawwir, Dosen UIN Sunan Kalijaga
Membuka pertemuan pada pagi itu, Ust. Abdul Jalil menayangkan video pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an oleh seorang qari di hadapan khalayak ramai. Ketika sampai di bacaan-bacaan tertentu, orang-orang yang menyimak secara serentak melantunkan shalawat. Di video lain, orang-orang bertakbir dan mengelu-elukan nama Allah. Inilah salah satu fenomena yang disebut dengan ‘resepsi’.
Mengapa ada ‘resepsi’? Karena Al-Quran dianggap sebagai tamu yang datang di tengah-tengah umat Islam dan wajib dihormati. Baik di kalangan muslim Arab maupun non-Arab, dari tanah Hijaz sampai ke Tanah Air. Cara penghormatan umat Islam pun beraneka ragam, sesuai dengan pembentukan budaya di daerahnya masing-masing.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, resepsi berarti: pertemuan (perjamuan) yang diadakan untuk menerima tamu. Dalam sastra, ‘resepsi’ adalah teori yang mementingkan tanggapan pembaca terhadap karya sastra. Sedangkan di dalam Studi Al-Quran, teori resepsi ini membahas tentang bagaimana Al-Quran diterima oleh masyarakat muslim, dan bagaimana mereka memberikan reaksi terhadap Al-Quran.
Ada beberapa bentuk kajian (studi) Al-Qur’an menurut penempatannya terhadap Al-Qur’an, yakni;
  • Kajian yang menempatkan teks Al-Quran sebagai objek kajian, atau dengan istilah Amin al-Khuli dalam Manahij Tajdid: ‘dirasah ma fi al-Qur’an’. Misalnya; tafsir maudhu’i (tematik) dan ma’ani al-Quran.
  • Kajian yang menempatkan hal-hal di luar teks Al-Quran, namun berkaitan erat dengan ‘kemunculannya’ sebagai objek kajian. Amin al-Khuli menyebutnya sebagai ‘dirasah ma haula al-Qur’an’. Misalnya; sejarah Al-Quran, asbab an-nuzul, sirah nabawiyyah)
  • Kajian yang menjadikan pemahaman terhadap teks Al-Quran sebagai objek kajian. Seperti studi kitab tafsir dan mazahib tafsir.
  • Kajian yang memberikan perhatian pada respon dan resepsi masyarakat terhadap teks Al-Quran maupun penafsirannya. Atau istilahnya; ‘The living Qur’an’, Al-Quran yang hidup di masyarakat. Kajian semacam ini menggabungkan antar cabang ilmu Al-Quran dan ilmu sosial.
 Kitab suci merupakan unsur penting dalam suatu agama, terlepas dari asal-usul atau sumber kitab tersebut dari mana, yang jelas, kitab itu dianggap suci oleh penganut agama tersebut. Bagaimana aktivitas manusia/penganut agama dalam mempertahankan kesucian sebuah kitab? Dalam budaya pesantren, ketika ada kitab suci Al-Qur’an yang terjatuh ke lantai, seorang santri akan secara reflek mengambil dan menciumnya. Ini adalah salah satu contoh perilaku mempertahankan kesucian kitab suci, atau ‘meresepsi’ Al-Qur’an.
Wahyu Al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad berupa pesan yang kemudian disampaikan kepada umatnya secara oral dari hapalan. Transmisi Al-Quran secara oral pada masa awal Islam adalah hal yang mendominasi, namun hal ini tidak menafikan adanya aktivitas penulisan wahyu Al-Quran. Masyarakat Arab yang ada pada masa turunnya Al-Quran lebih berinteraksi dengan Al-Quran secara oral, yang bersifat ucapan atau bacaan. Maka pada masa awal Islam, para sahabat dan tabi’in memiliki cara tersendiri dalam hal meresepsi Al-Qur’an.
Bagi sahabat ‘Abd Allah bin Mas’ud, aktivitas membaca Al-Quran lebih ia cintai daripada puasa sunnah. Qatadah berkata, “Saya tidak pernah makan bawang perai (al-kurrats) sejak saya mulai membaca Al-Quran.” Jelas bahwa Qatadah di sini mencoba untuk menjaga bau mulutnya dengan tidak memakan makanan yang dapat menimbulkan bau yang kurang sedap di mulut, ini hanya karena ia melihat mulutnya adalah tempat keluarnya ayat-ayat suci Al-Quran. ‘Ikrimah berkata, “Jika salah satu dari kalian menguap dalam keadaan membaca Al-Quran maka jangan keluarkan suara ‘haa haa’ ketika ia membaca.”
Secara periodik, tentu bacaan Al-Qur’an para sahabat sampai kepada masa khataman. Cara para sahabat merespon momen khataman Al-Qur’an pun termasuk dalam kajian resepsi. Misal, ada seorang laki-laki di kota Madinah yang mudawamah membaca Al-Quran dari awal sampai akhir (khatam). Sahabat Ibnu ‘Abbas sering datang kepadanya ketika lelaki itu hendak mengkhatamkan Al-Quran.
Sahabat Ibnu Mas’ud berkata, “Barang siapa yang mengkhatamkan Al-Quran maka dia, pada waktu itu, mempunyai doa yang mustajab.” Oleh karena itu, ketika Ibnu Mas’ud mau mengkhatamkan Al-Quran, beliau sering mengumpulkan keluarganya untuk doa bersama. Resepsi semacam ini tentu tergolong dalam ranah etika, dan belum pernah ada di masa Rasulullah.
Lalu bagaimana etika para sahabat terhadap Al-Qur’an sebagai tulisan berupa mushaf yang terjilid? Bermacam-macam. Sahabat Ali bin Abi Thalib kurang suka jika Al-Quran ditulis dalam bahan yang berukuran kecil.
Ibnu Mas’ud memandang bahwa hiasan terbaik bagi mushaf adalah membacanya dengan benar dan mengamalkannya (at-tilawah bi-haqq), sehingga beliau kurang suka jika mushaf ditulis atau dihiasi dengan emas. Pada masa sahabat dan tabi’in, muncul pula perdebatan mengenai mushaf yang ditulis ini, apakah dapat dijualbelikan?
Sebagian dari sahabat dan tabi’in, seperti Ibnu ‘Umar dan Ibnu Sirin, tidak suka jika mushaf dijualbelikan. Sebagian lain, seperti asy-Sya’bi mencoba mengambil jalan tengah, ia berpendapat bahwa apa yang dibayar itu adalah harga kertas dan upah penulisan, jadi bukan menjualbelikan Al-Quran yang suci.
Itu semua adalah contoh bagaimana umat Islam merespon Al-Qur’an sebagai tamu, baik ketika masih dominan sebagai bacaan yang dihapal, maupun setelah munculnya jilid-jilid mushaf. Resepsi semacam ini bergulir dan berkembang sesuai tempat dan zaman. Termasuk di Indonesia pada masa sekarang.
Misalnya yang terjadi di desa Benda (Sirampog, Brebes), yang dahulu terkenal dengan banyaknya para huffadz Al-Qur’an di kampung itu. Kondisi ini berkat perjuangan Kiai Suhaimi dan Kiai Khalil bin Mahalli, pendiri Pondok Pesantren Al-Hikmah. Ada kisah, Kiai Suhaimi tidak berkenan berjabat tangan dengan seorang hafidz, walaupun santrinya sendiri, kecuali dalam keadaan suci.
Kultur masyarakat Benda di masa itu sangat menghargai Al-Quran dan para hafidz. Sebagai contoh, acara khitanan tidak akan dilaksanakan sebelum adanya acara khataman yang dibaca oleh para hafidz. Anak-anak biasanya tidak dikhitankan sebelum hafal Juz ‘Amma. Bahkan ada beberapa anak yang menghapal Juz ‘Amma walaupun masih belum bisa membaca Al-Quran.
Perlakuan dan penggunaan masyarakat terhadap Al-Qur’an bermacam-macam. Imam Hasan al-Basri pernah mendapat pengaduan seorang suami atas kehidupan rumah tangganya yang kurang harmonis. Kemudia beliau memberikan resep kerukunan rumah tangga dengan menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai mantra amalan. QS. adz-Dzariyat: 47-48, yakni ayat ‘was-samaa-a banaynaahaa..…’ dituliskan di sebutir telur, kemudian dimakan si suami. Lalu ayat ‘wal ardha farsynaahaa…..’ dituliskan di sebutir telur lain dan dimakan si istri.
Atau contoh lain di Banjarmasin, ada kopi Banjar yang terkenal begitu nikmat. Apa resepnya, ternyata si pembuat selalu membacakan Surat al-Ikhlas sejak menggiling kopi, memasak hingga menyeduh dan menghidangkannya. Semua fenomena ini termasuk dalam kajian resepsi masyarakat terhadap Al-Qur’an.

Tidak ada komentar: