Selasa, 04 Januari 2011

MENYOAL PEMBUATAN RAPERDA CSR


Terdapat fenomena menarik dengan apa yang dilakukan saat ini oleh Dewan Perwakina Rakyat Daerah (DPRD), baik tingkat I (satu) maupun tingkat II (dua), khususnya pada daerah-daerah yang memiliki kawasan industri terpadu dan cadangan Sumber Daya Alam (SDA) melimpah, baik industri tersebut dikelola oleh perusahaan berbentuk BUMN, BUMD maupun swasta, yaitu dengan adanya penggodokan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang mengatur mengenai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau lebih familiar dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR). Beberapa daerah yang saat ini diketahui sedang membahas pembuatan Raperda CSR adalah DPRD Kabupaten Serang, DPRD Kota Serang, DPRD Kota Cilegon, DPRD Kota Bandung, DPRD Kabupaten Tangerang, DPRD Otorita Batam, DPRD Kota Bogor, dan DPRD Kalimantan Timur.
Berbagai hal yang melatarbelakangi dibuatnya Raperda CSR oleh masing-masing DPRD, mulai dari perwujudan pengingatan sekaligus peringatan kepada perusahaan agar konsisten melakukan program CSR sebagai bentuk kompensasi akibat dampak negatif yang ditimbulkan terhadap lingkungan dan sosial, motif lainnya adalah menghimpun dana CSR perusahaan oleh pemerintah daerah (Pemda) sehingga program CSR dilakukan satu atap dan pelaksananya oleh Pemda, hingga ada upaya beberapa daerah dalam rangka meningkatkan perolehan dana APBD dengan menghimpun dana yang bersumber dari anggaran CSR perusahaan.
Terdapat beberapa bias ketika Raperda CSR pada akhirnya menjadi sebuah Perda; pertama, ada kesan Pemda berupaya membagi beban tanggungjawab pembangunan kepada perusahaan. kedua, ada upaya meraup dana untuk pembangunan daerah yang bersumber dari pihak ketiga sehingga klaim APBD meningkat. Ketiga, Pemda berupaya mengelola program CSR satu atap di koordinir oleh Pemda, walaupun belum jelas pola dan pelaksanaannya seperti apa.
Jika melihat Peraturan yang melingkupi mengenai CSR atau Program Kemitran dan Bina Lingkungan (PKBL) BUMN, Pada dasarnya baru terdapat tiga landasan hukum, Pertama, Peraturan Menteri Negara BUMN No: Per-05/MBU/2007, isinya adalah Pasal 1 ayat (6), bahwa Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil, yang selanjutnya disebut Program Kemitraan, adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN, dan pada pasal 1 ayat (7) dijelaskan bahwa Program Bina Lingkungan, yang selanjutnya disebut Program BL, adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Sedangkan ruang lingkup bantuan Program BL BUMN, sesuai dengan Pasal 11 ayat (2) huruf e meliputi: Bantuan korban bencana alam; Bantuan pendidikan dan atau pelatihan; Bantuan peningkatan kesehatan; Bantuan pengembangan prasarana dan atau sarana umum; Bantuan sarana ibadah; danBantuan pelestarian alam.
Kedua, Peraturan yang mengikat Perseroan Terbatas (PT) adalah Undang-undang No.40 Tahun 2007. Dalam pasal 74 diatur bahwa : (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, (2)Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran, (3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketiga, Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 15 (b) menyatakan bahwa"Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan." Meskipun UU ini telah mengatur sanksi-sanksi secara terperinci terhadap badan usaha atau usaha perseorangan yang mengabaikan CSR (Pasal 34), UU ini baru mampu menjangkau investor asing dan belum mengatur secara tegas perihal CSR bagi perusahaan nasional.
Pada dasarnya peraturan yang melingkupi CSR adalah peraturan yang masih dalam proses penyempurnaan. Peraturan Menteri BUMN sebetulnya lebih detail membahas mengenai apa saja yang termasuk dalam program kemitraan dan bina lingkungan dibanding UU PT maupun UU penanaman modal. Undang-Undang PT seakan berlaku diskrimintaif, karena hanya mengatur perusahaan ekstraktif (terkait SDA), tidak mengikat perusahaan lain yang sama-sama berdampak negatif terhadap lingkungan dan sosial. Selain itu sampai dengan saat ini sudah hampir tiga tahun Peraturan pemerintah (PP) mengenai turunan dari Undang-undang PT belum selesai dibahas. Setali tiga uang Undang-undang Penanaman modal hanya mengatur CSR bagi investor asing.
Jika melihat tata aturan hukum yang melingkupi-pun masih belum sempurna, lantas bagaimana dengan Raperda CSR? Tidakkah nantinya ketika PP diterbitkan beresiko akan tumpang tindih. Seharusnya pemerintah daerah banyak belajar dari pengalaman dimana Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan ratusan Perda karena tumpang tindih dengan aturan diatasnya, dan berapakah anggaran yang harus dikeluarkan untuk terbitnya sebuah perda yang kesannya hanya untuk kebutuhan pragmatis.
Satu hal yang tidak boleh dinafikan dalam membuat Raperda CSR adalah harus menggunakan juga logika perusahaan. Akan menjadi sebuah kontradiktif ketika daerah banyak menarik investor dari luar untuk membuka industrinya di daerah, namun dengan terlalu banyaknya aturan dan biaya maintenance yang dikeluarkan apakah malah tidak akan membuat investor hengkang. Logika sederhana, biaya perizinan usaha di Indonesia sangat besar dan itu pun belum menjamin izin tersebut tuntas dari hulu sampai hilir. Izin formal dan pajak lumayan besar, belum lagi perizinan di tingkat provinsi, kabupaten hingga kecamatan. Ditambah yang informal ”biaya bawah meja” untuk mempercepat proses, upeti, jatah preman, proposal-proposal pembangunan masjid, sekolah dan lain-lain. Apa jadinya jika ditambah lagi beban perusahaan dengan adanya Perda yang mengatur CSR, dimana substansinya lebih pada menghimpun anggaran CSR dari perusahaan.
Alangkah lebih baik pemerintah daerah memperjuangkan hak-hak buruh, peningkatan UMK, dan lain sebagainya, tanpa harus dipusingkan kewajiban sosial perusahaan yang sebetulnya sudah diatur dalam RKP dan RKL Analisi Mengenai Dampak Lingkungan dan Sosial (Amdalsos), sebetulnya keseriusan perusahaan dalam penerapan CSR tingga dievaluasi pada level itu, karena dalam Amdalsos sudah ada indikator sosial dan lingkungannya, jika perusahaan melanggar maka pemerintah tinggal mencabut Amdalnya. Kondisi yang terjadi adalah Amdalsos sendiri mulai dari permohonan hingga haslnya bisa ”diatur” pemerintah dan perusahaan, dan yang dirugikan adalah masyarakat setempat.
Secara hakikat berbicara CSR bukan hal yang mudah dalam arti menetapkan program asal jalan, asal sumbang, asal ada anggaran, yang ada pada akhirnya malah merusak social capital masyarakat. CSR dilakukan berdasarkan pertimbangan yang matang didasarkan pada “kebutuhan masyarakat” bukan “keinginan masyarakat”. Minimal terdapat empat tahapan dalam melakukannya CSR yaitu need assessment (kajian kebutuhan), plan of treatment (perencanaan program), treatment action (aplikasi program), termination (pemutusan bantuan) dan evaluation (evaluasi), kesemua rangkaian proses ini memerlukan proses panjang, membutuh mereka yang ahli dan memiliki kapasitas dalam menjalankannya, karena program tersebut berkaitan dengan lokalitas, kebermanfaatan, keberdayaan, hubungan mutualisme, kepentingan stakeholder. Apakah pemerintah daerah ketika mengajukan dirinya mengelola program CSR sanggup mengerjakan detail program diatas, sedangkan peran pemerintah sendiri merupakan bagian dari stakeholder yang memiliki fungsi kontrol terhadap pelaksanaan CSR perusahaan. Tidak ada logika yang membenarkan fungsi kontrol malah nantinya harus dikontrol.
Alangkah lebih baik jika pembuatan Raperda CSR bukan menjadi sebuah euphoria atau budaya ikut-ikutan antar daerah didasarkan pada matematika anggaran semata, melainkan perlu pengkajian secara mendalam. CSR memang merupakan bentuk keharusan bagi perusahaan tapi harus dilihat dahulu aturan apa yang melingkupinya. Jauh lebih baik jika pemerintah daerah melihat dahulu kondisi ‘kesehatan perusahaan’ jangankan mengatur CSR, gaji buruh pun misalnya masih dibawah UMK. Lebih baik memperkuat kontrol pelaksanaan RKP dan RKL Amdalsos, jikapun ingin membenahi, adalah melakukan kontrol sejauhmana pelaksanaan CSR yang sudah ada apakah memberdayakan masyarakat lokal atau malah membuat dependensi baru, lalu Pemda memberikan rekomendasinya.

KEMISKINAN KULTURAL BUAH DARI KEMISKINAN STRUKTURAL


Kemiskinan dalam perspektif ekonomi, didefiniskan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan. Sumber daya dalam konteks ini tidak hanya aspek finansial, melainkan semua jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan dalam arti luas. Kemiskinan ini menggunakan indikator yang sifatnya materi seperti kepemilikan harta benda, income perkapita, maupun konsumsi sebagaimana Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan indikator konsumsi sebesar 21,00 kalori/ orang setiap hari yang disetarakan dengan pendapatan tertentu, atau pendekatan Bank Dunia yang menggunakan standar 1 dolar AS/ orang setiap hari. Contoh kemiskinan ini adalah tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan beserta akses lain, seperti kesehatan, pekerjaan maupun pendidikan.
Kemiskinan dalam perspektif kesejahteraan sosial mengarah pada keterbatasan individu atau kelompok dalam mengakses jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Faktor penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal, dalam hal ini bersumber dari si miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan dan adanya hambatan budaya. Sedangkan faktor eksternal berasal dari luar kemampuan sesorang tersebut, seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang menghambat seseorang mendapatkan sumber daya. Secara sederhana kemiskinan dalam persepektif ilmu kesejahteraan sosial dimaknai sebagai kemiskinan yang pada awalnya disebabkan oleh kemiskinan ekonomi, kemudian dikarenakan terlalu lama dalam kondisi tersebut baik karena faktor tidak disengaja, disengaja maupun karena dipelihara menyebabkan efek domino yaitu tumbuhnya patologi atau masalah-masalah sosial. Sedangkan resiko ketika kemiskinan sudah menjadi masalah sosial adalah selain harus menyelesaikan masalah ekonomi itu sendiri juga mengatasi masalah sosial yang timbul. Contohnya adalah: munculnya kriminalitas, budaya malas, korupsi, disparitas sosial yang menyebabkan konflik, dan ketergantungan pada pihak lain.
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang muncul bukan karena ketidakmampuan si miskin untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja. Struktur sosial tersebut tidak mampu menguhubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang tersedia, baik yang disediakan oleh alam, pemerintah maupun masyarakat yang ada disekitarnya. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini adalah buruh tani, pemulung, penggali pasir dan mereka yang tidak terpelajar dan tidak terlatih. Pihak yang berperan besar dari terciptanya kemiskinan struktural ini adalah pemerintah, karena pemerintah yang memiliki kekuasaan dan kebijakan cenderung membiarkan masyarakat dalam kondisi miskin, tidak mengeluarkan kebijakan yang pro masyarakat miskin, jikapun ada lebih berorientasi pada proyek, bukan pada pembangunan kesejahteraan. Sehingga tidak ada masyarakat miskin yang ‘naik kelas’, artinya jika pada awalanya buruh, nelayan, pemulung maka selamanya menjadi buruh nelayan dan pemulung, karena tidak ada upaya dalam menaikan derajat dan kemampuan mereka baik itu dalam kesempatan pendidikan atau pelatihan.
Sedangkan kebudayaan kemiskinan, merupakan kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Dalam komunitas lokal ditemui ada rumah yang bobrok, penuh sesak dan bergerombol. Ditingkat keluarga, masa kanak-kanak cenderung singkat, cepat dewasa, cepat menikah. Pada individu mereka ada perasaan tidak berharga, tidak berdaya dan rendah diri akut.
Pandangan lain tentang budaya kemiskinan adalah, bahwa kebudayaan kemiskinan merupakan efek domino dari belenggu kemiskinan struktural yang menghinggap masyarakat terlalu lama, sehingga membuat masyarakat apatis, pasrah, berpandangan jika sesuatu yang terjadi adalah takdir, dalam konteks keagamaan disebut dengan paham Jabariah, terlebih paham ini disebarkan dan di doktrinasikan dalam mimbar agama. Contoh kemiskinan ini ada pada masyarakat pedesaan, komunitas kepercayaan atau agama, dan kalangan marginal lainnya.
Dalam konteks kemiskinan di Indonesia, jika ditinjauan dari makalah Masalah-Masalah Kemiskinan, secara tidak langsung menunjukkan adanya keterkaitan antara kemiskinan struktural dengan kemiskinan kultural, terlebih status indonesia selain sebagai negara berkembang, juga mengalami proses sejarah penjajahan yang amat panjang, kurang lebih 350 tahun. Dimulai dari pemerintah kolonial belanda yang menanamkan komersialisasi pertanian dalam bentuk perpajakan, pembukaan lahan baru dan membuka jalan raya, yang justru dampaknya adalah merosotnya kesejahteraan petani, memperkaya mereka yang memiliki modal besar yaitu elit-elit ekonomi desa. Pasca penjajahan belanda, pemerintah orde lama fokus pada pembangunan aspek politik, proses pengintegrasian wilayah jajahan belanda kedalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada fase ini kondisi perekonomian negara jauh dari stabil, penanganan masalah kemiskinan belum menjadi prioritas. Masyarakat tidak beranjak dari situasi miskin karena secara struktural tidak terprioritaskan.

Pada saat pemerintahan orde baru, kebijakan politik mulai terarahkan pada usaha mengatasi kemiskinan, melalui jalan melakukan pinjaman dana kepada lembaga luar negeri yaitu IGGI yang kemudian berganti nama menjadi CGI. Namun dampak dari kebijakan ini bukan malah menghapus masalah kemiskinan, melainkan menciptakan kemiskinan babak baru, dimana tumbuhnya industrialisasi di desa-desa dalam wujud eksploitasi seperti: pertambangan, penebangan hutan, pembangunan pertanian tanaman industri dan sebagainya, yang pada akhirnya semakin menumbuhkan disparitas sosial yang semakin akut, dan tidak merubah kehidupan masyarakat miskin dan malah memperkaya mereka yang sudah kaya.
Oleh karena itu dilihat dari perjalanan kemiskinan diatas, dalam konteks ke-Indonesiaan, Kemiskinan kultural merupakan buah dari kemiskinan struktural, masyarakat terbentuk menjadi fatalis, semakin pasrah, menganggap miskin sebagai nasib dan garis hidup, selain juga sering diperkual dalam mimbar-mimbar agama, mengenai pemahaman keliru mengenai takdir untuk selalu bersabar dan bersyukur, sebagaimana ajaran fahamjabariyah, agar masyarakat tetap bersabar menerima ‘takdir’ yang ada.
Jika dilihat dari argumentasi diatas mayoritas kemiskinan yang hadir saat ini merupakan dominasi kemiskinan struktural, tidak ada proses transformasi kelas dimana buruh tani tetaplah menjadi buruh tani, begitu pula nelayan, pemulung, dan lain-lain. Jikapun ada program penanggulangan kemiskinan sifatnya residual, proyek, insidental, tidak berkelanjutan dan tidak mengena pada substansi atau menyentuh akar dari kemiskinan.

Kemiskinan Struktural Masyarakat Nelayan

Pendahuluan

“ Nenek Moyangku Seorang Pelaut….”. Nyanyian itu pastinya tidak lagi asing di telinga kita. Betapa tidak, dari kecil kita sudah diajari oleh guru kita tentang dendangan lagu tersebut. Tapi apakah kita sadar, ternyata nyanyian itu tidak hanya sekedar nyanyian belaka. Pelaut sangat identik dengan orang-orang yang hidup di daerah perairan atau lebih tepatnya disebut dengan laut. Indonesia, sebuah negara maritime yang lebih dari wilayah lautnya meliputi 2/3 dari seluruh luas wilayah Negara dan memiliki kekayaan bahari yang begitu melimpah, layaknya menjadi surga setiap pelaut dan nelayan yang hidup di bumi ini. Namun apakah kenyataannya seperti itu?

Rasanya sulit untuk sekedar menjawab iya atas pertanyaan tersebut. Kenyataannya, nelayan yang mendiami pesisir lebih dari 22 persen dari seluruh penduduk Indonesia justru berada di bawah garis kemiskinan dan selama ini menjadi golongan yang palingterpinggirkan karena kebijakan dalam pembangunan yang lebih mengarah kepada daratan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, penduduk miskin di indonesia mencapai 34,96 juta jiwa dan 63,47 persen % di antaranya adalah masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dan pedesaan. Di sisi lain pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumberdaya kelautan dan pesisir selalu beriringan dengan kerusakan lingkungan dan habitat seperti terumbu karang dan hutan mangrove, dan hampir semua eksosistim pesisir Indonesia terancam kelestariannya.

Hal tersebut menimbulkan sebuah ironi yang sangat bagi kita semua karena bagaimana bisa, sebuah negeri dengan kekayaan laut yang begitu melimpah malah tidak memberikan kesejahteraan bagi para nelayan? Apa sebetulnya yang menjadi masalah? Tulisan berikut ini akan mencoba untuk menguraikan permasalahan tersebut secara lebih mendalam.

Kemiskinan dan Anekdot bernama Persamaan dan Kesamaan di Hadapan Hukum

Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut[1]. Kemiskinan tidak bisa hanya dilihat dari sudut ekonomi saja karena kemiskinan ternyata berkaitan dengan berbagai aspek, diantaranya aspek sosial budaya, bahwa persoalan kemiskinan sangat erat hubungannya dengan budaya[2]. Dari sudut ini, kita dapat melihat bahwa budaya turut ambil bagian dalam membuat seseorang menjadi miskin[3].

Menurut teori konservatif, kemiskinan berasal dari karakteristik khas orang-orang miskin. Seseorang menjadi miskin bukan hanya karena masalah mental atau tiadanya kesempatan untuk sejahtera, tetapi juga karena adanya perspektif masyarakat yang menyisihkan dan memiskinkan orang.

Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa penyebab kemiskinan setidaknya terkait dengan tiga dimensi[4], yaitu :

  • Dimensi Ekonomi

Kurangnya sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan orang, baik secara financial ataupun segala jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

  • Dimensi Sosial dan Budaya

Kekurangan jaringan social dan struktur yang mendukung untuk mendapatkan kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat.

  • Dimensi Sosial dan Politik

Rendahnya derajat akses terhadap kekuatan yang mencakup tatanan sistem social politik.

Di dunia bagian manapun, rasanya kita akan sulit menemukan ada suatu negara tanpa orang miskin. Bahwa pengelompokkan golongan berdasarkan suatu kualifikasi miskin dan kaya memang menjadi suatu fitrah dan oleh karenanya akan selalu ada dalam kehidupan manusia. Namun, akan menjadi sebuah masalah apabila kemiskinan diartikan sedemikian rupa sehingga menimbulkan perbedaan diantara para warga masyarakat secara tegas. Disinilah diperlukan peran hukum untuk menjamin adanya suatu persamaan di hadapan hukum tanpa memandang status dan derajat seseorang.

Ironisnya, lebih sering hukum berlaku yang sebaliknya. Kekayaan memberikan perlindungan hukum yang lebih aman, malah sering juga melestarikan ketidakadilan hukum antara si kaya dan si miskin. Hidup dibagi dalam beberapa kelas, dan mimpi kita tentang ”persamaan dan kesamaan di hadapan hukum” semakin lama semakin memudar[5]. Contoh yang sangat menarik di kemukakan oleh C.J.M. Schuyt – dalam bukunya Keadilan dan Effektivitas dalam Pembangunan Kesempatan Hidup – yaitu dalam peristiwa tragedi kapal Titanic yang tenggelam di laut Atlantik. Kapal yang terdiri dari 3 kelas itu memberikan bukti, bahwa penumpang kelas I lebih terjamin keselamatannya jika dibandingkan dengan penumpang kelas II dan III, dan penumpang kelas II lebih terjamin dari penumpang kelas III. Contoh lain dikemukakan oleh Todung Mulya Lubis, bahwa seseorang yang mampu membayar advokat kelas satu akan mendapat harapan sukses yang lebih besar dibandingkan dengan seseorang yang hanya mampu membayar seorang pengacara masyakat (pokrol bambu). Seorang yang mampu membayar seorang dokter spesialis akan mempunyai harapan lebih besar untuk sembuh ketimbang seseorang yang hanya mampu membayar seorang mantri biasa.

Melalui contoh-contoh tersebut, jelaslah bagi kita bahwa kelebihan uang atau kekayaan ternyata memberikan jaminan keselamatan yang lebih baik. Pada akhirnya kita memang harus mengakui bahwa pengkotak-kotakan memang telah jadi sifat kehidupan kita. Rasa hormat atau kepercayaan terhadap ”persamaan” adalah omong kosong kaum intelektual. Dan ini semua adalah contoh dari ketidakjujuran kita terhadap diri sendiri[6].

Kondisi Nelayan Indonesia

Bank Dunia memperhitungkan bahwa 108,78 juta orang atau 49 persen dari total penduduk Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin[7]. Kalangan tersebut hidup hanya kurang dari 2 dollar AS atau sekitar Rp. 19.000,– per hari. Badan Pusat Statistik (BPS), dengan perhitungan yang agak berbeda dari Bank dunia, mengumumkan angka kemiskinan di Indonesia ‘hanya’ sebesar 34,96 juta orang (15,42 persen)[8]. Angka tersebut diperoleh berdasarkan ukuran garis kemiskinan ditetapkan sebesar 1,55 dollar AS. Namun, terlepas dari perbedaan angka-angka tersebut, yang terpenting bagi kita adalah bukan memperdabatkan masalah banyaknya jumlah orang miskin di Indonesia, tapi bagaimana menemukan solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan tersebut.

Dengan potensi yang demikian besar, kesejahteraan nelayan justru sangat minim dan identik dengan kemiskinan. Sebagian besar (63,47 persen) penduduk miskin di Indonesia berada di daerah pesisir dan pedesaan[9]. Data statistik menunjukan bahwa upah riil harian yang diterima seorang buruh tani (termasuk buruh nelayan) hanya sebesar Rp. 30.449,- per hari[10]. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan upah nominal harian seorang buruh bangunan biasa (tukang bukan mandor) Rp. 48.301,- per hari[11]. Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat ada keterkaitan erat antara kemiskinan dan pengelolaan wilayah pesisir.

Tekanan terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka kemiskinan di wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula memicu sebuah lingkaran setan karena penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir, namun penduduk miskin pulalah yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan. Dengan kondisi tersebut, tidak mengherankan jika praktik perikanan yang merusak masih sering terjadi di wilayah pesisir. Pendapatan mereka dari kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang dengan cyanide masih jauh lebih besar dari pendapatan mereka sebagai nelayan. Dengan besarnya perbedaan pendapatan tersebut di atas, sulit untuk mengatasi masalah kerusakan ekosistem pesisir tanpa memecahkan masalah kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir itu sendiri.

Analisa Penyebab Kemiskinan Nelayan

Masalah kemiskinan nelayan merupakan masalah yang bersifat multi dimensi sehingga untuk menyelesaikannya diperlukan sebuah solusi yang menyeluruh, dan bukan solusi secara parsial. Untuk kita, terlebih dahulu harus diketahui akar masalah yang menjadi penyebab terjadinya kemiskinan nelayan.

Secara umum, kemiskinan masyarakat pesisir ditengarai disebabkan oleh tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat, antara lain kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, inftastruktur. Di samping itu, kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses terhadap informasi, teknologi dan permodalan, budaya dan gaya hidup yang cenderung boros, menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah. Pada saat yang sama, kebijakan Pemerintah selama ini kurang berpihak pada masyarakat pesisir sebagat salah satu pemangku kepentingan di wilayah pesisir.

1. Kondisi Alam

Kompleksnya permasalahan kemiskinan masyarakat nelayan terjadi disebabkan masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam yang keras yang selalu diliputi ketidakpastian (uncertainty) dalam menjalankan usahanya. Musim paceklik yang selalu datang tiap tahunnya dan lamanya pun tidak dapat dipastikan akan semakin membuat masyarakat nelayan terus berada dalam lingkaran setan kemiskinan (vicious circle) setiap tahunnya.

2. Tingkat pendidikan nelayan

Nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi modern, kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat rendah. Tingkat pendidikan nelayan berbanding lurus dengan teknologi yang dapat dihasilkan oleh para nelayan, dalam hal ini teknologi di bidang penangkapan dan pengawetan ikan. Ikan cepat mengalami proses pembusukan dibandingkan dengan bahan makanan lain disebabkan oleh bakteri dan perubahan kimiawi pada ikan. Oleh karena itu, diperlukan teknologi pengawetan ikan yang baik. Selama ini, nelayan hanya menggunakan cara yang tradisional untuk mengawetkan ikan. Hal tersebut salah satunya disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan dan pengusaaan nelayan terhadap teknologi.

3. Pola kehidupan nelayan sendiri

Streotipe semisal boros dan malas oleh berbagai pihak sering dianggap menjadi penyebab kemiskian nelayan. Padahal kultur nelayan jika dicermati justru memiliki etos kerja yang handal. Bayangkan mereka pergi subuh pulang siang, kemudian menyempatkan waktunya pada waktu senggang untuk memperbaiki jaring. Memang ada sebagian nelayan yang mempunyai kebiasaan dan budaya boros dan hal tersebut menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah

4. Pemasaran hasil tangkapan

Tidak semua daerah pesisir memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Hal tersebut membuat para nelayan terpaksa untuk menjual hasil tangkapan mereka kepada tengkulak dengan harga yang jauh di bawah harga pasaran.

5. Program pemerintah yang tidak memihak nelayan

Salah satunya adalah dengan adanya kenaikan BBM yang merupakan momok bagi nelayan, melihat tingginya ketergantungan mereka terutama pada jenis solar. Jika sampan bermesin ukuran 5-12 PK membutuhkan rata-rata 10 liter solar sekali melaut, maka setiap sampan akan mengelurakan biaya Rp.21.000 dalam kondisi harga normal atau di pangkalan sebesar Rp.2100. Tetapi pada umumnya nelayan membeli harga solar Rp.25.00-27.000, karena tergantung pada tingkatan agen yang bermain di lapangan. Semakin banyak agennya maka semakin panjanglah rantai pasarnya dan semakin tinggilah harga solar sampai ke tangan nelayan. Harga tersebut ‘terpaksa” dibeli, untuk bisa melanjutkan hidup dengan melaut, meskipun dengan kondisi pas-pasan[12].

Selain itu, proses pemangkasan kekuatan rakyat pada masa orde baru, masih terasakan dengan melemahnya kearifan-kearfian lokal. Dulu, tradisi jamu laut di Sumatera Utara masih efektif terutama dalam hal pelarangan penangkapan ikan pada musim tertentu. Biasanya setelah jamu laut, dilarang pergi melaut selama beberapa hari, dengan demikian ada waktu pemulihan sumber daya ikan . Tak heran kalau sehabis jamu laut, dipercaya ada berkah laut dengan hasil tangkapan yang banyak. Sayangnya, semuanya itu tidak lagi seutuhnya terjadi hari ini, karena jamu lautpun sudah mulai pudar, dan hanya menjadi ritus-ritus belaka. Potret kemiskinan struktural terjadi karena negara sejak lama mengabaikan potensi bahari yang kaya raya ini sehingga hanya dikuasai segelinitir orang termasuk sebagain besar oleh kapal-kapal asing.

Patron-Klien, sebuah Hubungan Simbiosis Mutualisme atau Parasitisme?

Tidak semua nelayan memiliki perahu sendiri. Nelayan yang tidak mempunyai modal untuk membeli perahu, terpaksa meminjam uang kepada tengkulak. Pada umumnya para tengkulak (tokeh/patron) memberikan pinjaman kalau hasil tangkapan nelayan (klien) minim atau “nombok”. Ketergantungan nelayan pada tokehnya berawal dari utang/pinjaman, dan biasanya dilakukaan pada saat paceklik atau memperbaiki kerusakan alat tangkap seperti jaring dan menganti tali kajar. Meskipun demikian, ada juga pihak yang menilai bahwa keberadaan para patron (tokeh) tersebut justeru menolong nelayan. Konon, selama ini negara tidak mampu memberikan pinjaman lunak, dan kalaupun ada bank, mereka juga tidak bisa mengaksesnya karena alat tangkap sebagai faktor produksi tak bisa jadi agunan.

Indikator ini memang tidak selalu sama di setiap daerah karena seperti di Pekalongan, banyak juragan kapal yang mengeluh dengan sikap anak buah kapal (nelayan) yang cenderung terlalu banyak menuntut sehingga keuntungan juragan kapal menjadi terbatas. Namun secara umum terbatasnya kemampuan nelayan dalam mengembangkan kemampuan ekonominya karena nelayan seperti ini telah terjerat oleh utang yang dipinjam dari para juragan. Konsekuensinya adalah mereka harus menjual hasil tangkapan mereka kepada tengkulak/juragan tersebut yang bisa memainkan harga ikan semaunya tanpa memperdulikan harga pasaran.

Dalam perspektif struktural kemiskinan nelayan tidak hanya disebabkan hubungan patron-klien yang menimbulkan jeratan utang dan mengarah pada bentuk eksploitasi. Tetapi kemiskinan nelayan juga terjadi karena keterbatsan akses nelayan terhadap hak pengusaan sumberdaya perikanan. Penguasaan atas sumberdaya perikanan selama ini lebih banyak dinikmati oleh kolaborasi pemilik modal dan birokrat. Sebagai fakta adalah masih beroperasinya pukat harimau (trawl) di seluruh perairan Indonesia yang berakibat pada penyerobotan terhadap wilayah tangkap nelayan tradisional (traditional fishing ground).

Bahkan adanya musim-musim tertentu dimana ikan jenis tertentu banyak dan sedikit menggambarkan bahwa kehidupan mereka tergantung pada rejeki laut. Dalam satu daerah dimana terdapat desa-desa pesisir juga memiliki perbedaan dalam tingkat kesurplusan sumberdaya perikanan. Bahkan ukuran rumah yang terbuat dari bilik bambu dan sudah condong belum tentu bisa menjadi ukuran miskin karena mungkin saja ditemukan barang elektronik seperti TV. Pola hubungan patron klien memungkinkan mereka berutang dalam artian digunakan pada tujuan yang baik maupun tidak semisal membeli suatu barang berharga di rumah. Sehingga tak heran jika, umumnya nelayan berenang dalam kubangan utang. Penghasilan Rp.175.000/bulan tidaklah susah diperoleh ketika musim ikan banyak. Bahkan bisa tiga kali lipat, sekalipun dengan sistem bagi hasil dengan tokenya. Tapi besoknya, mungkin hanya dapat Rp.10.000, lalu kemudian meminjam ke tokeh, begitu seterusnya.

Namun berdasarkan pandangan nelayan (perspektif emic), kuatnya pola patron-klien di masyarakat nelayan disebabkan oleh kegiatan perikanan yang penuh resiko dan ketidakpastian sehingga tidak ada pilihan lain bagi mereka selain bergantung pada pemilik modal (patron). Dari hal tersebut, bisa dibayangkan apa yang akan diterima para nelayan dengan sistem yang demikian, sehingga sangatlah wajar jika kemiskinan menjadi bagian yang akrab dalam kehidupan mereka.

Masalah Kelautan dan Perikanan Indonesia di Mata Dunia

Walau sebagai negara maritim yang sejak zaman nenek moyang dikenal sebagai bangsa pelaut yang ulung, Indonesia masih terlalu lemah poisisinya dalam “peta” kelautan dunia. Persoalan tapal batas, pemetaan teritori garis pantai sampai penamaan pulau-pulau dan kalkulasi jumlah pasti sebaran pulau Indonesia memang menjadi masalah sejak masa awal Kemerdekaan Indonesia sampai saat ini. Sehingga friksi perbatasan laut menjadi rawan konflik dan sengketa dengan negara-negara tetangga yang berbatas laut langsung dengan Indonesia (terutama dengan Malaysia, Singapura, dan Australia). Hal ini juga bersinggungan dengan faktor keamanan laut, illegal fishing (pencurian ikan), pelanggaran batas, dan tindak kriminalitas kelautan lainnya. Data statistik menunjukankerugian sekitar 1/2 (setengah) milyar dollar sampai 4 (empat) milyar dollar per tahun akibat pencurian ikan oleh orang asing [13]. Persoalan ini masih ditambah dengan aspek lingkungan hidup kelautan kita yang jauh dari kategori ideal. Padahal Indonesia punya potensi kelautan yang luar biasa besar dan posisi tawar yang tinggi secara ekonomi, strategi dan politik.

Di tengah banyaknya persoalan dan masalah di bidang kelautan yang belum terselesaikan, Inisiatif dan gagasan besar dari Indonesia demi lestarinya laut dan kesejahteraan masyarakat, menciptakan acara konferensi internasional bertajuk “World Ocean Conference” dan “Coral Triangle Initiative Summit” yang digelar sepanjang 11 hingga 15 Mei 2009 di Manado, Sulawesi Utara. dihadiri oleh perwakilan dari 121 negara.

Agenda pokok yang akan dibahas dalam WOC dan CTIS tersebut adalah:

1. Penentuan bentang laut (sea scapes) prioritas yang cukup luas untuk percontohan pengelolaan yang baik dan berkelanjutan untuk setiap negara peserta.

2. Pengembangan jejaring kawasan konservasi laut.

3. Pengelolaan perikanan berbasis ekosistem dan pengelolaan sumber daya hayati laut.

4. Pengembangan pendanaan yang berkelanjutan, termasuk pengembangan kapasitas dan pelibatan sektor swasta.

5. Penyesuaian terukur terhadap perubahan iklim.

6. Memperbaiki status ancaman terhadap beberapa spesies laut.

Pentingnya WOC dan CTIS bagi Indonesia dan negara-negara peserta, juga dilatarbelakangi kurangnya kepedulian dunia internasional terhadap pelestarian laut dan pengelolaan kekayaan hayatinya. Selaku tuan rumah, diharapkan Indonesia dapat memegang peran penting dalam isu di bidang kelautan sehingga posisi tawar dan eksistensi Indonesia sebagai negara dengan garis pantai terpanjang keempat di dunia – setelah Amerika Serikat, Kanada dan Rusia – dapat meningkat. Pada akhirnya, kita semua sama-sama berharap, dengan terselenggarannya WOC dan CIT akan menjadi satu langkah besar yang positif untuk membenahi sektor kelautan kita.

Langkah yang Harus Kita Ambil

Keterpaduan penanganan kemiskinan nelayan sangat dibutuhkan sekali, tujuannya adalah untuk menghilangkan egosektor dari masing-masing pemangku kepentingan. Keterpaduan tersebut adalah sebagai berikut : pertama, keterpaduan sektor dalam tanggung jawab dan kebijakan. Keputusan penanganan kemiskinan nelayan harus diambil melalui proses koordinasi diinternal pemerintah, yang perlu digaris bawahi adalah kemiskinan nelayan tidak akan mampu ditangani oleh secara kelembagaan oleh sektor kelautan dan perikanan, mulai dari pusat sampai kedaerah. Kedua, keterpaduan keahlian dan pengetahuan, untuk merumuskan berbagai kebijakan, strategi, dan program harus didukung berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan keahlian, tujuannya adalah agar perencanaan yang disusun betul-betul sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat nelayan. Ketiga, keterpaduan masalah dan pemecahan masalah sangat diperlukan untuk mengetahui akar permasalahan yang sesungguhnya, sehingga kebijakan yang dibuat bersifat komprehensif, dan tidak parsial. Keempat, keterpaduan lokasi, memudahkan dalam melakukan pendampingan, penyuluhan dan pelayanan (lintas sektor), sehingga program tersebut dapat dilakukan secara efektif dan efesien.

Kegagalan penanganan kemiskinan nelayan ini selama ini, disamping kurangnya keterpaduan, juga terdapatnya berbagai kelemahan dalam perencanaan. Untuk itu dalam proses perencanaan harus unsur-unsur sebagai berikut[14] :

1. Perumusan sasaran yang jelas, berupa ; hasil akhir yang diharapkan dari kegiatan yang dibuat, kelembagaan yang bertanggung jawab, serta objek dari kegiatan.

2. Pengidentifikasian situasi yang ada, yaitu dengan mempertimbangkan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman), tujuannya untuk mengetahui kondisi sesungguhnya tentang objek yang akan ditangani. Selanjutnya akan memudahkan dalam menyusun berbagai strategi yang mendukung penanganan kemiskinan nelayan.

3. Penentuan tujuan harus bersifat spesifik (objek, kegiatan, dibatasi waktu dan terukur), sehingga pengentasan kemiskinan nelayan jelas siapa sasarannya dan jenis kegiatan yang akan dilakukan, dan selanjutnya berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam pencapaian tujuan dapat ditentukan dengan jelas.

4. Menganalisa keadaan, pelaksanaan kegiatan harus disesuaikaan antara ketentuan yang telah ditetapkan dengan realiatas yang ada dilapangan, dan apabila terjadi permasalahan diluar dugaan, maka perlu segera dibuatkan stretegi dan tindakan baru untuk menutup jurang perbedaan.

5. Pendampingan, monitoring dan evaluasi, pendampingan harus dilakukan awal kegiatan dilaksanakan, sampai paca kegiatan, sehingga akan menjadi bahan evaluasi, apakah kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Selanjutnya melalui konsep yang dikemukakan ini akan dapat dirumuskan berbagai strategi pengentasan kemiskinan seperti: perluasan kesempatan kerja, pemberdayaan kelembagaan masyarakat, peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM, perlindungan sosial, dan penataan kemitraan global.

Menciptakan Program Pemerintah yang Memihak

Bahwa musim paceklik akan hadir dalam setiap tahunnya. Oleh karenanya berbagai strategi adaptasi dilakukan masyarakat nelayan untuk bertahan hidup. Strategi adaptasi yang biasanya dilakukan adalah memobilisasi peran perempuan (kaum istri) dan anak-anaknya untuk mencari nafkah[15]. Keterlibatan perempuan dalam mencari nafkah untuk keluarga di wilayah pesisir atau desa-desa nelayan tidak terlepas dari sistem pembagian kerja secara seksual (the division of labour by sex) yang berlaku pada masyarakat setempat.

Kaum perempuan biasanya terlibat penuh dalam kegiatan pranata-pranata sosial ekonomi yang mereka bentuk, seperti arisan, kegiatan pengajian berdimensi kepentingan ekonomi, simpan pinjam, dan jaringan sosial yang bisa mereka manfaatkan untuk menunjang kelangsungan hidup keluarga. Hadirnya pranata-pranata tersebut merupakan strategi adaptasi masyarakat nelayan dalam menghadapi kesulitan hidup yang dihadapinya. Strategi adaptasi diartikan sebagai pilihan tindakan yang bersifat rasional dan efektif sesuai dengan konteks lingkungan sosial, politik, ekonomi dan ekologi, dimana penduduk miskin itu hidup.

Sedangkan strategi adaptasi yang dilakukan para nelayan (kaum suami) adalah diversifikasi pekerjaan untuk memperoleh sumber penghasilan baru. Bahkan, strategi adaptasi tersebut diselingi dengan menjual barang-barang berharga yang ada dan berhutang. Namun, kedua strategi ini pun tidak mudah didapat karena berbagai faktor telah membatasi akses mereka.

Dengan segala keterbatasan yang ada, masyarakat nelayan mengembangkan sistem jaringan social yang merupakan pilihan strategi adaptasi yang sangat signifikan untuk dapat mengakses sumberdaya ikan yang semakin langka. Jaringan sosial diartikan oleh Mitchell sebagai seperangkat hubungan khusus atau spesifik yang terbentuk di antara kelompok orang[16].

Oleh karena itu, diperlukan kebijakan pemerintah yang nyata dalam mengatasi masa pacaklik ini, salah satunya jaminan sosial. Jaminan yang dibutuhkan masyarakat nelayan tidak muluk-muluk, mereka hanya memerlukan tersedianya dana kesehatan dan dana paceklik. Sementara itu, kebijakan tersebut harus disusun oleh struktur sosial budaya lokal, baik yang berhubungan dengan masalah institusi maupun dengan sistem pembagian kerja yang berlaku dalam masyarakat nelayan. Hal ini dikarenakan, pranata-pranata sosial budaya yang ada merupakan potensi pembangunan masyarakat nelayan yang bisa dieksplorasi untuk mengatasi kemiskinan dan kesulitas ekonomi lainnya.

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di sektor kelautan dan perikanan yang saat ini digalakkan oleh pemerintah, diharapkan bisa menurunkan angka kemiskinan nelayan di Indonesia. Melalui pengembangan kegiatan perekonomian masyarakat yang berbasis pada sumber daya lokal, baik masyarakat maupun sumber daya alamnya, para nelayan dapat mengembangkan usaha sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Dengan demikian, diharapkan dapat memberantas kemiskinan, menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, khususnya di kalangan masyarakat nelayan.

Selain itu, pemerintah juga perlu mendorong sektor perbankan untuk membuka kantor kasnya di setiap Tempat Pemasaran Ikan (TPI) yang bisa mengatasi kesulitan para bakul untuk menutup tagihannya. Termasuk fungsi perbankan disini adalah menyediakan dana yang diperlukan nelayan untuk berlayar. Sayangnya dengan kondisi kehidupan nelayan yang pas-pasan, tampaknya sangat sulit bagi perbankan untuk menjalankan fungsi tersebut tanpa adanya agunan yang memadai dari para nelayan.

Di sini bila dimungkinkan pemerintah bisa menyediakan dana khusus sebagai jaminan kepada perbankan untuk menyalurkan dananya kepada nelayan. Kalaupun perbankan tidak mampu memenuhi peran tersebut, pemerintah bisa menempatkan dananya sebagai penyertaan modal kepada KUD-KUD pengelola TPI. Memang, nada miring tentang KUD seringkali kita dengar sehingga pemerintah pun cenderung berhati-hati bila ingin memberdayakan KUD. Namun, pendapat ini tidak bisa digeneralisasi secara membabi buta, karena masih cukup banyak pengurus KUD yang mempunyai hati nurani seperti KUD-KUD pengelola TPI. Tidak ada salahnya, mulai sekarang pemerintah mulai mencoba mengalokasikan dana retribusi dari transaksi di TPI untuk diarahkan kepada penyediaan modal bagi nelayan. Dengan demikian misalokasi anggaran diharapkan tidak akan banyak terjadi, karena dengan memberdayakan KUD berarti pula mendorong bangkitnya kekuatan ekonomi nelayan[17].

Selain mengambil kebijakan yang memihak, hukum juga harus difungsikan sebagai sarana perubahan social. Kita bisa ambil contoh kebijakan pemerintah di Malaysia yang sangat memihak kepada pribumi, dalam hal ini etnis Melayu. dalam regulasinya, pemerintah Malayasia mendorong agar 20 – 25 persen kepemilikan saham-saham perusahaan dikuasai oleh etnis Melayu. Bahkan pada tahun 2020, Malaysia menargetkan kepemilihan saham etnis Melayu bertambah menjadi 30 persen[18]. Dalam hal ini, Hukum dapat difungsikan sebagai alat rekayasa social untuk mensejahterakan para nelayan.

Penutup

Kemiskinan merupakan masalah yang multidimensional sehingga pendekatan untuk mengentaskan kemiskinan juga harus multidimensional. Dalam hal mengatasi kemiskinan kaum nelayan, Setidaknya perlu mengagas dan mewujudkan harapan akan perkuatan sektor kelautan dari semua aspek. Mulai dari gazetteer pulau, pemetaan wilayah terbaru, penegasan tapal batas, perkuatan armada pertahanan lautan (penambahan jumlah kapal patroli laut sampai jumlah ideal), pengembangan dan kawal tetap pulau-pulau terluar, penertiban zona tangkapan ikan dan aktivitas kelautan lain, sampai persoalan penyelamatan lingkungan perairan. Ini juga termasuk perkuatan sektor perikanan, perjuangan nasib nelayan lokal (dalam negeri), penegasan dan penegakan hukum perairan dan kelautan, sampai pemanfaatan berkelanjutan potensi laut yang ramah lingkungan. Begitu banyak “pekerjaan rumah” yang harus diselesaikan Indonesia untuk bisa tegar perkasa sebagai satu negara maritim terbesar dunia.

Dengan demikian mengatasi kemiskinan nelayan sebaiknya harus diawali dengan adanya data akurat statistik. Selanjutnya ditindaklanjuti mengenai apa penyebab dari kemiskinan tersebut, apakah karena jeratan utang atau faktor lain. Kemudian cara atau metode untuk menaggulanginya lebih terfokus, pada nelayan-nelayan yang berada pada subordinasi tokeh. Bagaimanpun juga bahwa penyebab kemiskinan tidaklah sama disemua wilayah, bahkan ukurannyapun bisa berbeda-beda atau tergantung kondisi setempat. Sehingga formula pengentasan kemiskinanpun tidak bisa digeneralisir pada semua wilayah atau semua sektor. Kemiskinan yang dialami oleh nelayan tidak bisa disamamakan dengan ukuran kemiskinan buruh di perkotaan. Bahkan dalam suatu di kabupaten yang sama belum tentu bisa diratakan ukuranya pada desa-desa pesisir yang ada. Program pengentasan kemiskinan nelayan membutuhkan strategi khusus yang mampu menjawab realitas yang terjadi hari ini. Selain itu, peranan hukum juga menjadi sangat penting untuk mensejahterakan para nelayan.


DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Arumbiang, Kasihono. Kiat Mengentaskan Kemiskinan di Pedesaan Tanpa Menggunakan Dana APBN. Aliansi Koperasi Pertanian Indonesia. Jakarta : Delima Rimbun, 2008.

Mulya Lubis, Todung. Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktrural. Jakarta : LP3ES, 1986.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Cetakan 38. Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2005.

Dr. Tellisa Aulia. F. “Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan dan Kemiskinan Aspek Sosial Budaya”. Draft Laporan Final Hibah Multidisiplin UI. 2009.

Artikel :

Andini, Ayu. “Indonesia Gelar World Ocean Conference Pertama di Dunia”. www.indofamilynet.com, 04-05-2009 18:43.

Bakara, Evin H. “Antara WOC dan Ruwetnya Persoalan Kelautan Indonesia”. www.harian-global.com. 15-05-2009 10:39.

Himti, Ibrahim. “Wilayah Laut Indonesia”.

Marbun, Leonardo. “Kenaikan BBM dan Kemiskinan Nelayan”.

Samhadi, Sri Hartati., Ahmad Arif, dan Maria Hartiningsih. “Petani Berhadapan dengan Kekuasaan”. Kompas, 11 April. 2008, 41.

Solihin, Akhmad. “Musim Paceklik Nelayan dan Jaminan Sosial“.

Solihin, Akhmad. “Mencermati Kontraversi HP3”. http://ikanbijak.wordpress.com. April 18, 2008.

Sudrajat, Ihwan. “Membangkitkan Kekuatan Ekonomi Nelayan”. Suara Merdeka, 13 Desember 2002.

____________.“Separuh Penduduk Masih Rentan Menjadi Miskin”, Kompas, 8 Desember 2006, halaman I.

____________. “Kepemilikan Saham untuk Etnis Melayu Ditingkatkan”. Kompas, 1 April 2006, halaman 8.


[1] Soerjono Soekanto. “Sosiologi Suatu Pengantar”. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006). hal. 320.

[2] Menurut Oscar Lewis (1966), kemiskinan bukanlah semata-mata kekurangan dalam ukuran ekonomi, tetapi juga melibatkan kekurangan dalam ukuran kebudayaan dan kejiwaan dan memberi corak tersendiri pada kebudayaan yang diwariskan dari generasi orang tua kepada anak melalui proses sosialisasi.

[3] teori demikian disebut dengan teori cultural.

[4] Dr. Tellisa Aulia. F. “Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan dan Kemiskinan dari Aspek Sosial Budaya”.

[5] Todung M. Lubis, “Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktura”, (Jakarta: LP3ES, 1986). hal. 9.

[6] Todung M. Lubis, “Pembangunan dan Hak-Hak Asasi Manusia” dalam Prisma, No. 12, Desember 1979, hal 11-20.

[7]Separuh Penduduk Masih Rentan Menjadi Miskin”, Kompas, 8 Desember 2006, hal. I.

[8] Data Biro Pusat Statistik (BPS) per Maret 2008.

[9] Ibid.

[10] Berita Resmi Statistik No. 26/05/Th. XII, 1 Mei 2009

[11] Ibid.

[12] Leonardo Marbun. “Kenaikan BBM dan Kemiskinan Nelayan”.

[13] Ibrahim Himti, “Wilayah Laut Indonesia”.

[14] Azman, Syaiful. “Konsep Penanganan Kemiskinan Nelayan .“

[15] Kusnadi. ”Nelayan : Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial” (2000).

[16] ibid.

[17] Ihwan Sudrajat. “Membangkitkan Kekuatan Ekonomi Nelayan”. Suara Merdeka, 13 Desember 2002.

[18]Kepemilikan Saham untuk Etnis Melayu Ditingkatkan”. Kompas. 1 April 2006, hal. 8.


Politik Ekonomi Kebijakan Fiskal Islam

oleh: Hidayatullah Muttaqin

Pemahaman tentang politik ekonomi negara Islam sangat diperlukan untuk memahmai politik ekonomi kebijakan fiskal Islam. Sebab politik ekonomi merupakan garis kebijakan ekonomi yang melandasi kebijakan-kebijakan ekonomi negara seperti halnya kebijakan fiskal. Menurut an-Nabhani, politik ekonomi merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh hukum-hukum yang dipergunakan untuk memecahkan mekanisme mengatur urusan manusia.*1) Jadi politik ekonomi dalam kebijakan fiskal meliputi dua hal, yaitu (a) hukum-hukum yang dipergunakan, dan (b) tujuan yang ingin dicapai dengan hukum-hukum tersebut.

Dari sisi tujuan hukum, tujuan kebijakan fiskal Islam tidak dapat dilepaskan dari tujuan syariat Islam. Muhammad Husain Abdullah menyebutkan ada delapan tujuan luhur syariat Islam, yaitu; memelihara keturunan, akal, kemuliaan, jiwa, harta, agama, ketentraman/keamanan, dan memelihara negara.*2) Sementara itu dalam konteks kebijakan keuangan negara, Zallumsangat menekankan bahwa kebijakan keuangan negara Islam bertujuan untuk mencapai kemaslahatan*3) kaum Muslimin, memelihara urusan mereka, menjaga agar kebutuhan hidup mereka terpenuhi, tersebarnya risalah Islam dengan dakwah dan jihad fi sabililillah.*4)

Menurut an-Nahbani dan al-Maliki, politik ekonomi Islam adalah jaminan atas pemenuhan seluruh kebutuhan pokok (al-hajat al-asasiyah/basic needs) bagi setiap individu dan juga pemenuhan berbagai kebutuhan sekunder dan luks (al-hajat al-kamaliyah) sesuai kadar kemampuan individu bersangkutan yang hidup dalam masyarakat tertentu dengan kekhasan di dalamnya.*5) Dengan demikian titik berat sasaran pemecahan permasalahan dalam ekonomi Islam terletak pada permasalahan individu manusia bukan pada tingkat kolektif (negara dan masyarakat).*6) Menurut al-Maliki, ada empat perkara yang menjadi asas politik ekonomi Islam. Pertama, setiap orang adalah individu yang memerlukan pemenuhan kebutuhan. Kedua, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok dilakukan secara menyeluruh (lengkap). Ketiga, mubah(boleh) hukumnya bagi individu mencari rezki (bekerja) dengan tujuan untuk memperoleh kekayaan dan meningkatkan kemakmuran hidupnya. Keempat, nilai-nilai luhur (syariat Islam) harus mendominasi (menjadi aturan yang diterapkan) seluruh interaksi yang melibatkan individu-individu di dalam masyarakat.*7)

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa politik ekonomi kebijakan fiskal Islam adalah menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap warga negara (Muslim dan non Muslim/kafir dzimmi) dan mendorong mereka agar dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Politik ekonomi inilah yang menjadi garis dasar kebijakan fiskal Islam dan akan sangat terlihat dalam fungsi alokasi dan distribusi.

Politik Ekonomi Kebijakan Fiskal Konvensional

Berbeda dengan politik ekonomi kebijakan fiskal Islam, politik ekonomi kebijakan fiskal konvensional seperti yang diterapkan di Indonesia menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai asas atau sasaran yang harus dicapai perekonomian nasional.*8) Dalam pembahasan RAPBN hingga menjadi APBN antara pemerintah dan DPR, termasuk pandangan para pengamat ekonomi, salah satu isu sentralnya adalah pertumbuhan ekonomi. Misalnya, mantan Menteri Keuangan Boediono dalam Raker Komisi IX DPR-RI tanggal 4 Mei 2004 menyatakan keyakinannya sasaran pertumbuhan ekonomi 4,8% untuk periode tahun 2004. Boediono memprediksikan pada tahun 2005 pertumbuhan ekonomi mencapai 5,0%–5,5%. Ia optimis angka pertumbuhan tersebut dapat dicapai dalam tahun mendatang.*9) Sementara itu dalam pidato kenegaraan Presiden RI di hadapan DPR pada tanggal 18 Agustus, mantan Presiden Megawati menyatakan bahwa asumsi pertumbuhan ekonomi yang mendasari RAPBN 2005 adalah 5,4%.*10)

Adapun argumentasi pemerintah, DPR, dan pengamat ekonomi yang menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai sasaran utama kebijakan fiskal (dalam kerangka lebih luas kebijakan makro ekonomi), yaitu untuk menuntaskan berbagai permasalahan krusial ekonomi seperti kemiskinan dan pengangguran. Misalnya, Boediono menekankan seandainya angka pertumbuhan ekonomi 5,0% – 5,5% dapat dicapai, tingkat pertumbuhan sebesar itu masih belum memadai untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran di Indonesia.*11) Maksudnya, agar kemiskinan dan pengangguran dapat dikikis secara berarti diperlukan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Pendapat serupa juga dikemukakan mantan Menko Perekonomian Dorodjatun, bahwa untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran diperlukan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dorodjatun mencontohkan untuk menampung tenaga kerja baru sebanyak 2,5 juta orang dibutuhkan pertumbuhan ekonomi sebesar 7%.*12) Hanya saja untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi pemerintah harus realistis. Ketua Panitia Anggaran DPR, Abdullah Zainie berpendapat angka pertumbuhan yang realistis untuk tahun 2005 adalah 5,4%. Menurutnya angka pertumbuhan lebih dari itu, seperti 6% adalah tidak realistis mengingat keterbatasan dana pemerintah sementara partisipasi dana swasta belum terlalu dapat diharapkan karena masih rendahnya tingkat investasi.*13) Jadi logika kebijakan makro ekonomi yang diterapkan di Indonesia adalah “kemiskinan dan pengangguran akan terpecahkan dengan sendirinya jika pertumbuhan ekonomi tinggi”.*14

Betapa urgennya masalah pertumbuhan ekonomi dalam paradigma ekonomi konvensional diungkapkan oleh Thurow. Sebagaimana dikutip Umar Capra, Thurow menyatakan “Jika negara memiliki pertumbuhan yang lebih cepat, maka ia akan memiliki lapangan kerja yang lebih banyak dan pendapatan yang lebih tinggi bagi siapa saja, dan ia tidak perlu risau mengenai distribusi lapangan kerja atau pendapatan. … Dalam keadaan apa pun, distribusi sumber-sumber daya ekonomi secara otomatis akan menjadi lebih merata seiring dengan proses pertumbuhan ekonomi.”*15)

Agar pertumbuhan ekonomi yang tinggi tercapai maka kebijakan-kebijakan makro ekonomi dan fiskal diarahkan untuk menggenjot tingkat produksi nasional*16) melalui peningkatan investasi, konsumsi masyarakat, dan ekspor.*17) Lantas bagaimanakah caranya agar hal tersebut dapat dicapai? Logikanya, untuk meningkatkan ekspor, kapasitas terpasang industri dalam negeri harus ditingkatkan, tapi hal ini sangat tergantung pada daya saing dan permintaan pasar dunia terhadap komoditas-komoditas yang diproduksi di Indonesia. Begitu pula untuk meningkatkan konsumsi masyarakat, tingkat pendapatan masyarakat harus didorong, antara lain melalui penyerapan tenaga kerja baru dan pengangguran. Artinya untuk menyerap tenaga kerja sebanyak mungkin, investasi dan kapasitas terpasang industri di Indonesia harus ditingkatkan. Sebaliknya agar investasi meningkat, pasar dalam negeri harus memilki daya tarik bagi para investor, antara lain berupa tingginya pemintaan (konsumsi) masyarakat. Jadi dalam logika ini, kunci peningkatan output Indonesia (baik PDB dan PNB) adalah peningkatan investasi, dengan kata lain tingkat investasi yang tinggi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang tinggi.*18)

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimanakah menarik investasi dari dalam (PMDN)*19) dan luar negeri (PMA)*20) ke Indonesia? Menjawab permasalahan rendahnya investasi di Indonesia paska tahun 1997 Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia Andre Steer, sebagaimana dikutip Republika mengatakan “Indonesia harus menciptakan lingkungan atau situasi kondusif (iklim investasi – tambahan penulis) di mana orang-orang mau berinvestasi di sini.”*21) Untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif setidaknya pemerintah harus melakukan kebijakan-kebijakan ekonomi dan deregulasi yang pro pasar, menciptakan stabilitas keamanan dan sosial, kepastian hukum dan menghilangkan ekonomi biaya tinggi (seperti pungli dan korupsi). Intinya adalah bagaimana membentuk persepsi positif tentang Indonesia di mata para investor dengan meminimalisir country risk.

Dari sisi peranan pemerintah, tidak mengherankan jika pemerintah berusaha mengarahkan kebijakan fiskal pro pasar (market oriented) meskipun untuk itu pemerintah harus melakukan kebijakan yang mengesampingkan hak-hak masyarakat. Terlebih dalam situasi krisis seperti sekarang, dengan beban utang yang sangat besar, memaksa pemerintah mengandalkan peranan modal swasta dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi.*22)

Besarnya harapan pemerintah terhadap modal swasta dapat dilihat dari jumlah investasi yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 5,4%. Menurut Abdullah Zainie, dana yang dibutuhkan agar target pertumbuhan terpenuhi adalah Rp 440 trilyun. Sementara peranan langsung fiskal pemerintah (APBN) yang dapat disalurkan adalah Rp 56 trilyun, sedangkan sisanya ditutupi oleh APBD sebesar Rp 40 trilyun, BUMN dan BUMD sebesar Rp 135 trilyun, dan investasi swasta (PMDN dan PMA) Rp 205 trilyun.*23) Atas dasar kebutuhan investasi swasta inilah, pemerintah mengambil kebijakan apapun yang dipandang dapat memulihkan kepercayaan para investor baik lokal maupun asing. Bahkan menurut pandangan mantan Menteri Keuangan Boediono, pulihnya kerpecayaan para investor terhadap Indonesia merupakan syarat mutlak bagi negeri ini keluar dari krisis ekonomi.*24)

Jadi politik ekonomi kebijakan fiskal konvensional (baca: Kapitalisme) yang diterapkan di Indonesia berdiri di atas prinsip pertumbuhan ekonomi, di mana pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan tujuan sekaligus solusi berbagai macam permasalahan perekonomian nasional, seperti kemiskinan dan pengangguran. Kebijakan fiskal (dalam konteks lebih luas pembangunan) dikatakan berhasil bila pemerintah dapat membawa perekonomian Indonesia pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sebagaimana yang pernah dicapai Indonesia sebelum krisis ekonomi terjadi sejak tahun 1997. Sebaliknya pertumbuhan ekonomi yang rendah atau stagnan, dianggap sebagai kegagalan kebijakan ekonomi pemerintah.

Di atas prinsip mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi, ditegakkan pula prinsip kebijakan fiskal yang bersahabat dengan pasar (market friendly) atau bersahabat dengan para investor (investors friendly). Dengan prinsip ini, jika terjadi benturan kepentingan antara public interest dengan investor interestdalam kebijakan fiskal, maka pemerintah akan memenangkan kalangan investor.*25) Seperti yang tersirat dari pemikiran Boediono, bahwa kebijakan fiskal harus dilakukan secara berhati-hati dan dengan pertimbangan yang matang akan dampaknya terhadap kepercayaan para investor. Jangan sampai kebijakan fiskal yang dipilih berakibat pada melemahnya kepercayaan pasar walaupun baru sekedar “mengagetkan” mereka saja.*26)

Dalam pandangan an-Nabhani, politik ekonomi pertumbuhan adalah keliru dan tidak sesuai dengan realitas, serta tidak akan menyebabkan meningkatnya taraf hidup dan kemakmuran bagi setiap individu secara menyeluruh. Politik ekonomi konvesional ini menitikberatkan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia secara kolektif yang dicerminkan dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Akibatnya pemecahan permasalahan ekonomi terfokus pada barang dan jasa yang dapat dihasilkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, bukan pada individu manusianya. Sehingga pembahasan ekonomi yang krusial untuk dipecahkan terfokus pada masalah peningkatan produksi.*27)

Agar hal tersebut tercapai, aturan main (hukum) dan kebijakan yang diterapkan negara harus akomodir terhadap para pelaku ekonomi yang menjadi lokomotif pertumbuhan, yakni para pemilik modal (investor). Konsekuensinya, meskipun pertumbuhan ekonomi tinggi distribusi pendapatan menjadi sangat timpang sebab sebagian kekayaan nasional memusat di tangan segelintir orang saja (para pemilik modal). Menurut Capra, pertumbuhan ekonomi yang tinggi mendorong peningkatan pendapatan golongan kaya dan menyebabkan kesenjangan semakin lebar.[28] Inilah yang dikatakan an-Nahbani bahwa distribusi pendapatan di negara yang menerapkan ekonomi Kapitalis didasarkan pada kebebasan kepemilikan, sehingga yang menang adalah yang kuat, yakni para investor.929)

Politik Ekonomi Kebijakan Fiskal Islam

Menurut an-Nabhani, realitas menunjukkan kebutuhan-kebutuhan manusia yang harus dipenuhi adalah kebutuhan setiap individunya (misalnya si Ahmad dan Feri), bukan kebutuhan manusia secara kolektif (seperti kebutuhan bangsa Indonesia).*30) Logikanya, untuk siapakah hasil-hasil pertanian seperti beras, juga kebutuhan atas rumah, pelayanan pendidikan dan kesehatan, selain untuk memenuhi kebutuhan Ahmad, Feri, dan setiap warga negara Indonesia lainnya. Jadi pertanyaan mendasar atas permasalahan ekonomi manusia adalah apakah kebutuhan setiap individu manusia terpenuhi atau tidak? Berdasarkan realitas tersebut, an-Nabhani menyatakan kunci permasalahan ekonomi terletak pada distribusi kekayaan kepada setiap warga negara.*31)

Berpijak pada pemikiran ini, sasaran pemecahan permasalahan ekonomi seperti kemiskinan adalah kemiskinan yang menimpa individu bukan kemiskinan yang menimpa negara atau bangsa. Dengan terpecahkannya permasalahan kemiskinan yang menimpa indvidu dan terdistribusikannya kekayaan nasional secara adil dan merata, maka hal itu akan mendorong mobilitas kerja warga negara sehingga dengan sendirinya akan meningkatkan kekayaan nasional. Sebaliknya, terpecahkannya kemiskinan negara yang ditandai dengan besarnya kekayaan nasional (GNP/GDP) dan tingginya pendapatan perkapita tidak akan memecahkan kemiskinan yang menimpa individu warga negara.*32) Misalnya, Amerika Serikat dikenal sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia memiliki PDB sebesar US$ 10,506 trilyun pada kuartal III 2002.*33) Akan tetapi kekuatan ekonomi sebesar itu tidak mampu menuntaskan kemiskinan di AS sendiri. Data statistik Badan Sensus AS yang dikutip Kate Randall memaparkan tingkat kemiskinan di AS pada tahun 2001 mencapai 11,7% atau sekitar 32,9 juta jiwa. Sementara itu estimasi Randall menyatakan 30% atau sekitar 84,4 juta penduduk AS miskin.*34) Menurut Capra, adalah sebuah paradoks di negara-negara paling kaya dan paling kuat ekonominya di dunia tetapi jutaan penduduknya berkutat dalam kemiskinan dan terjebak di pemukiman-pemukiman yang buruk dan semakin buruk.*35)

Ketika kunci permasalahan ekonomi terletak pada distribusi kekayaan yang adil, maka yang harus dijelaskan adalah bagaimanakah metode untuk menciptakan distribusi kekayaan yang adil melalui kebijakan fiskal, sebagaimana yang dikatakan Allah dalam Qs. al-Hasyr [59]: 7 yang artinya “… Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu …”.

Dalam Islam, kebijakan fiskal hanyalah salah satu mekanisme untuk menciptakan distribusi ekonomi yang adil. Karenanya kebijakan fiskal tidak akan berfungsi dengan baik bila tidak didukung oleh mekanisme-mekanisme lainnya yang diatur melalui syariat Islam, seperti mekanisme kepemilikan, mekanisme pemanfaatan dan pengembangan kepemilikan, dan mekanisme kebijakan ekonomi negara.*36) Dengan kata lain, syariat Islam harus diterapkan secara menyeluruh (kaffah) tanpa dipilah-pilah (parsial) agar syari’ah mechanism dapat dengan sempurna mengatur distribusi ekonomi yang adil. Adapun peranan kebijakan fiskal sebagai salah satu bentuk intervensi pemerintah dalam perekonomian merupakan konsekuensi logis dari kewajiban syariat sebagai jawaban atas salah satu realitas yang menunjukkan bahwa tidak semua warga negara memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang dalam ekonomi konvensional dikenal sebagai masalah “eksternalitas” dan kegagalan pasar (market failure).

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, politik ekonomi yang mendasari kebijakan fiskal Islam adalah menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu secara menyeluruh dan mendorong mereka memenuhi berbagai kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya. Menurut al-Maliki kebutuhan pokok yang disyariatkan oleh Islam terbagi dua.Pertama, kebutuhan-kebutuhan primer bagi setiap individu secara menyeluruh. Kebutuhan ini meliputi pangan (makanan), sandang (pakaian) dan papan (tempat tinggal).*37) Kedua, kebutuhan-kebutuhan pokok bagi rakyat secara keseluruhan. Kebutuhan-kebutuhan katagori ini adalah keamanan, kesehatan dan pendidikan.*38)

Dari politik ekonomi ini dapat dijabarkan arah kebijakan fiskal Islam sebagai berikut:

Pertama, negara Islam melihat permasalahan kemiskinan yang harus dipecahkan adalah kemiskinan yang menimpa individu bukan kemiskinan yang menimpa negara.*39)

Kedua, negara Islam menempatkan masalah kemiskinan sebagai masalah ekonomi yang krusial dan mendesak untuk dipecahkan.

Ketiga, kebijakan untuk memecahkan masalah kemiskinan secara langsung diarahkan kepada individu, yakni setiap warga negara yang masuk katagori miskin.*40)

Keempat, kebijakan menjamin pemenuhan kebutuhan pokok ditujukan kepada seluruh warga negara tanpa memandang agama, warna kulit, suku bangsa, dan status sosial. Hanya saja intervensi negara melalui kebijakan fiskal berupa jaminan pemenuhan akan pangan, sandang dan papan khusus ditujukan kepada warga negara miskin yang kepala keluarga dan ahli warisnya tidak mampu lagi memberikan nafkah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarganya. Sedangkan warga negara yang berasal dari keluarga mampu tidak mendapatkan subsidi negara. Selanjutnya intervensi negara dalam pengadaan jaminan dan pelayanan keamanan, kesehatan dan pendidikan (public utilities) secara cuma-cuma ditujukan kepada seluruh warga negara tanpa memandang apakah warga tersebut dari golongan kaya atau tidak. Artinya dalam katagori ini subsidi diberikan kepada seluruh rakyat.

Kelima, negara memahami bahwa setiap warga masyarakat berhak untuk mendapatkan kekayaan dan meningkatkan kekayaan yang dimilikinya asalkan diperoleh dengan jalan yang dibenarkan syara’. Karena itu, negara Islam melakukan intervensi dengan tujuan mendorong warga masyarakat memperoleh kekayaan yang dapat mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya secara ma’ruf*41) sesuai dengan kemampuan warga itu sendiri. Bentuk-bentuk intervensi ini disesuaikan dengan tingkat kebutuhan, sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi warga masyarakat setempat. Maksudnya pola kebijakan yang diterapkan tidak pukul rata dan tidak sentralistik, tetapi bersifat bottom up sesuai kondisi dan harapan warga masyarakat setempat. Intinya pola kebijakan yang diterapkan ditujukan untuk mencapai kemaslahatan warga masyarakat.

Keenam, intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan fiskal adalah kebijakan makro ekonomi. Kebijakan pada level makro ini harus diturunkan (dijabarkan) ke dalam level mikro yang bersentuhan langsung dengan aktivitas riil ekonomi masyarakat. Karena itu agar efek fiskal berdampak positif bagi peningkatan taraf hidup masyarakat secara luas dan menyeluruh, pemerintah harus mengembangkan pola-pola kebijakan (skema) mikro yang bottom updengan menyesuaikannya dengan potensi, kondisi, dan aspirasi warga masyarakat. Dari sisi permodalan negara dapat mengembangkan pola pinjaman tanpa bunga, subsidi, atau pola patnership seperti mudharabah danmusyarakah. Di sisi lain negara juga harus menyediakan infrastruktur, sarana dan pra sarana yang menunjang kegiatan produksi, jasa dan perdagangan masyarakat, seperti listrik, sarana komunikasi, jalan umum dan sarana transportasi, serta bangunan pasar. Juga negara harus memberikan kemudahan akses bahan baku, menyediakan informasi dan membantu pemasaran, termasuk memperkerjakan tenaga ahli dan konsultan untuk melatih dan membentuk jiwa wira usaha (interprenurship) ataupun keahlian teknis bagi para pekerja.

Ketujuh, negara harus mampu menjalankan politik pertanian dan politik industri yang sesuai tuntutan syara’ untuk mencapai kemandirian ekonomi. Sebab penguasaan dua pilar perekonomian ini sangat menentukan kekuatan ekonomi nasional dari segi kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, dan pasokan alat-alat pertanian untuk meningkatkan produktivitas pertanian, dan pasokan mesin-mesin pabrik dan industri.

Kedelapan, negara Islam wajib mengadakan fasilitas umum dan pelayanan publik yang sangat dibutuhkan oleh warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, sehingga berbagai kepentingan dan urusan masyarakat terpenuhi dengan lancar.

Kesembilan, agar pejabat dan aparatur negara (termasuk tenaga ahli yang dikontrak pemerintah) dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat, dan juga supaya kewenangan yang mereka miliki tidak disimpangkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok, maka negara wajib memberikan santunan dan gaji yang layak kepada mereka.

Kesepuluh, sebagaimana yang dipaparkan Zallum bahwa kebijakan fiskal tidak hanya berfungsi dalam tataran ekonomi, tetapi juga untuk pertahanan dan keamanan, serta penyebaran agama Islam ke seluruh penjuru dunia. Karena itu kebijakan fiskal Islam juga difokuskan untuk mendukung dan menjaga kesinambungan (sustainability) jihad fi sabilillah dan dakwah Islamiyah.Wallahu a’lam bishawab.

——————————————————————————–

[1] Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, (An-Nidlam al-Iqtishadi fil Islam), alih bahasa Moh. Maghfur Wachid, cet. v, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hal. 52. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Abdurrahman al-Maliki dalam bukunya “Politik Ekonomi Islam (terjemahan)”. Menurut al-Maliki, politik ekonomi merupakan target yang menjadi sasaran hukum-hukum yang menangani pengaturan perkara-perkara manusia. (Lihat Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, (As-Siyasatu al-Iqtishadiyatu al-Mutsla), alih bahasa Ibnu Sholah, cet. i, (Bangil: Al-Izzah, 2001), hal. 37.

[2] Muhammad Husain Abdullah, Studi Dasar-Dasar Pemikiran Islam, (Dirasat fi al-Fikri al-Islami), alih bahasa Zamroni, cet. i, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002), hal. 80.

[3] Dengan adanya tujuan mencapai kemaslahatan atau kebaikan bagi kaum Muslimin, bukan berarti kemaslahatan menjadi tolak ukur kebijakan fiskal. Tetapi yang dimaksud dengan kemaslahatan bagi kaum Muslimin adalah segala hal yang menurut syara’ baik bagi umat, dan untuk mencapai kemaslahatan tersebut kebijakan fiskal yang ditempuh harus didasarkan kepada syara’ itu sendiri bukan didasarkan kepada kemaslahatan.

[4] Lihat Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khilafah, (Al Amwal fi Daulah Al Khilafah), cet. i, alih bahasa Ahmad S. dkk, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002), hal. 4, 5, 13, 14, 28, 30, 34, 36, 50, 67, 138, ,139.

[5] Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif…, hal. 52. Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, hal. 37.

[6] Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi…, hal. 53. Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, hal 37.

[7] Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, hal. 37.

[8] Revrisond Baswir dkk, Pembangunan tanpa Perasaan: Evaluasi Pemenuhan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, cet. ii, (Jakarta: ELSAM, 2003), hal. 2-3.

[9] Boediono, Keterangan Menteri Keuangan tentang Rencana Kerja Pemerintah, Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2005, http://www.fiskal.depkeu.go.id

[10] Central for Banking Crisis Indonesia, Defisit Anggaran RAPBN 2005 Rp 16,9 Trilyun, 16 Agustus 2004, http://www.cbcindonesia.com

[11] Boediono, Keterangan Menteri Keuangan.

[12] Gatra Online, Djatun: Empat Langkah Kurangi Kemiskinan, 17 Oktober 2003, http://www.gatra.com Menurut perhitungan FE UI yang dikemukakan oleh Khatib Basri, dalam beberapa tahun terakhir setiap pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen akan menyerap 200 – 250 ribu tenaga kerja. Berdasarkan perhitungan ini, pertumbuhan ekonomi sebesar 5,45% hanya akan menyerap 1.090.000 – 1.350.000 tenaga kerja. (Lihat M. Khatib Basri, Kembali ke Dasar Prinsip Ekonomi, 5 Juli 2004, http://www.kompas.com) Menurut Mubyarto, hubungan pertumbuhan ekonomi dengan kemiskinan tidak lurus dan tidak konsisten. (Lihat Mubyarto, Kemiskinan, Pengangguran, dan Ekonomi Indonesia, 4 Agustus 2003, http://www.ekonomipancasila.org)

[13] Kompas edisi online, Pemerintah tidak Berani Menargetkan Pertumbuhan Ekonomi 6 Persen 2005, 17 Mei 2004, http://www.kompas.com

[14] Lihat Mubyarto, Kemiskinan, Pengangguran…, Republika Online, Mubyarto: Ekonomi Indonesia Keliru, 10 Desember 2003,http://www.republika.co.id, Gatra Online, Djatun: Empat Langkah, Kurangi Kemiskinan, M. Khatib Basri, Kembali ke Dasar Prinsip Ekonomi.

[15] Leter Thurow, The Illusion of Economy Necessity, dalam Solo and Anderson (1981), hal. 250, dalam M. Umar Capra, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Islam and Economic Challenge), alih bahasa Ikhwan Abidin Basri, cet i, (Jakata: Gema Insani Press, 2000), hal. 52.

[16] Pertumbuhan ekonomi merupakan pertumbuhan tingkat output suatu negara secara keseluruhan. (Lihat Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus, Makroekonomi: Edisi keempatbelas, (Macroeconomics), alih bahasa Haris Munandar dkk, cet. iv, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1997), hal. 55.)

[17] Boediono, Keterangan Menteri Keuangan.

[18] Di masa Orde Baru kepercayaan akan kemampuan pertumbuhan ekonomi dalam menuntaskan kemiskinan (trickle down effect) – meskipun kemudian dibungkus trilogi pembangunan – telah menyeret Indonesia pada jebakan utang (debt trap). Pemerintah saat itu meyakini utang luar negeri merupakan sumber investasi pembangunan yang sangat penting untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

[19] Penanaman modal dalam negeri.

[20] Penanaman modal asing.

[21] Republika Online, CGI Prihatinkan Iklim Investasi di Indonesia, 4 Juni 2004, http://www.republika.co.id

[22] Dari sisi tren ekonomi global memang terjadi penurunan (pergeseran) peranan pemerintah dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi dibandingkan peranan swasta. Hal ditandai dengan berkurangnya peranan pinjaman luar negeri dibandingkan peranan penanaman modal swasta dalam investasi. Menurut laporan Bank Dunia dalam Global Development Finance, selama periode 1990-1996 peranan pinjaman luar negeri menurun dan cenderung stagnan, sedangkan arus modal swasta meningkat tanpa fluktuasi. Pada tahun 1996, jumlah pinjaman luar negeri yang diserap negara-negara berkembang sebesar US$ 60 miliar, sementara arus modal swasta yang masuk ke negara-negara berkembang mencapai US$ 244 miliar. (Republika, Ketika Arus Dana Swasta ke Negara Berkembang Melonjak, 26 Maret 1997.)

[23] Kompas edisi online, Pemerintah tidak Berani.

[24] Dalam hal ini Boediono juga menyalahkan ketiadaan kepercayaan pasar sebagai penyebab utama krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia (Lihat Boediono, Kebijakan Fiskal: Sekarang dan Selanjutnya, dalam Heru Subyantoro (ed.), Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003), hal. 48.). Sewaktu kampanye pemilihan umum presiden tahap I dan II 2004, para calon presiden dan wakil presiden sama-sama menekankan pentingnya kepercayaan pasar untuk membangkitkan perekonomian Indonesia.

[25] Contohnya pemerintah lebih memilih memberikan subsidi kepada perbankan nasional dengan mengurangi dan menghapus berbagai subsidi untuk masyarakat. Mahalnya biaya pendidikan, khususnya biaya pendidikan di perguruan tinggi negeri merupakan salah satu dampak penghapusan subsidi pendidikan.

[26] Boediono, Kebijakan Fiskal, hal. 49.

[27] Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi, hal. 19-20.

[28] M. Umar Capra, Islam dan Tantangan Ekonomi, hal. 52.

[29] Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi, hal. 19.

[30] Ibid, hal. 20.

[31] Ibid.

[32] Ibid.

[33] Council of Economic Advisers USA, Economic Report of the Presiden February 2003, http://w3.access.gpo.gov/usbudget/fy2004/sheets/b1.xls

[34] Kate Randall, US Poverty Rose Sharply in 2001, 27 September 2002,http://www.wsws.org

[35] M. Umar Capra, Islam dan Tantangan Ekonomi, hal. 132.

[36] Detail pembahasan tentang hal ini silahkan dibaca buku Taqiyuddin an-Nabhani “Membangun Sistem Ekonomi Alternatif”.

[37] Dalil syara’nya antara lain QS. al-Baqarah: 184 dan 233, an-Nisa: 5, al-Hajj: 28, ath-Thalaq: 6, at-Taubah: 24.

[38] Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, hal. 168 dan 186.

[39] Pandangan ini bukan pandangan yang mengedepankan individu (individualistik), tapi realitanya memang yang ditimpa kemiskinan itu adalah si individunya, yakni si A, si B, si C, dan lain-lainnya.

[40] Negara Islam langsung mengarahkan kebijakan fiskalnya kepada warga masyarakat yang ditimpa kemiskinan. Arah ini berbeda 180 derajat sengan kebijakan fiskal konvensional yang untuk memecahkan kemiskinan harus menggemukkan golongan kaya dulu baru kemudian kekayaan yang dipupuk secara nasional dialirkan dari golongan kaya tersebut ke golongan miskin (trickle down effect) melalui mekanisme pasar.

[41] Secara baik di mana perkembangan kebutuhan sekunder dan tersier mengikuti perkembangan sarana kehidupan dan teknologi, serta kebiasaan masyarakat setempat (lokal).