Sabtu, 04 Desember 2010

Filsafat Iluminasi dan peripatetik

Filsafat Iluminasi dan peripatetik

Kajian tentang filsafat pada dasarnya selalu ‘berputar’ disekitar kesejatian eksistensi (keberadaan) dan atau kesejatian esensi (keapaan) . Dari kedua ‘kesejatian’ ini yang manakah yang lebih utama?

peripatetik
Didalam literatur kuno, kita bisa menemui setidaknya ada dua kelompok besar sebagai peletak dasar kajian-kajian filafattinggi, dan masing-masing kelompok dikenal dengan kelompok metode iluminasidan peripatetik.
Metode iluminasi mempercayai bahwa dalam mengkaji filsafat tinggi (Ilahiah) atau ketuhanan, tidaklah cukup hanya dengan mengandalkan argumentasi (istidlal) danpenalaran (ta’aqqul) saja, tetapi lebih dari itu yaitu diperlukannya penyucian jiwa serta perjuangan melawan hawa nafsu untuk menyingkap berbagai hakikat.
Metode Iluminasi ini mendapat dukungan dari banyak pihak terutama kalangan filsuf Islam, penganut paham ini dinamakan dengan kelompok paham iluminasionisdengan tokoh-tokohnya yang terkenal seperti Syekh Syihabuddin Syuhrawardi.
Berbeda dengan kelompok iluminasionis, kelompok metode peripatetik yang diilhami oleh Aristoteles mempercayai bahwa argumentasi adalah tempat bertumpunya segala persoalan. Kelompok ini terkenal dengan tokohnya yang bernama Syekh Ar Ra’is Ibnu Sina.
Plato terkadang juga dikaitkan dengan kelompok iluminasionis, namun demikian bagaimana kebenarannya masih perlu dikaji lebih dalam lagi berhubung penulis sejarah filsafat yang terkenal seperti Syahristani sekalipun tidak pernah menyebut Plato sebagai penganut paham ini. Kecuali dengan apa yang dikatakan oleh Syekh Syuhrawardi dalam bukunya ‘Hikmah al Isyraq’ bahwa Phytagoras dan Plato adalah termasuk dari beberapa cendikiawan kuno yang menganut aliran iluminatif.
Terlepas dari apakah Plato termasuk orang yang menganut paham iluminasionis ataupun bukan, namun kita perlu mengingat kembali landasan filsafat plato yang terkenal tentang hakikat (filsafat tinggi). Plato meletakkan pandangannya kepada tiga pilar utama yaitu :
1. Teori Ide.
Menurut teori ini apa-apa yang disaksikan manusia didunia ini, baik substansi ataupun aksiden, pada hakikatnya semua itu sudah ada didunia lain. Yang kita saksikan didunia ini semunya hanya semacam cermin atau bayangan dari dunia lain.
2. Teori tentang roh manusia.
Plato meyakini bahwa sebelum jasad manusia tercipta (manusia terlahir) , maka rohnya telah berada didunia lain yang lebih tinggi dan sempurna, yaitu dunia ide. Setelah jasad tercipta maka roh menempatinya dan sekaligus terikat dengannya.
3. Plato menyimpulkan bahwa ilmu itu adalah mengingat kembali (remind) dan BUKAN mempelajari, yakni apa saja yang kita pelajari didunia ini pada hakikatnyaadalah pengingatan kembali terhadap apa-apa yang sudah pernah kita ketahuisebelumnya. Logikanya adalah karena sebelum roh bergabung dengan jasad, roh tersebut SUDAH ADA didunia lain yang lebih tinggi dan sempurna dan telah menyaksikan dunia tersebut, dan dikarenakan hakikat dari segala sesuatu itu adalah di ‘ide’ nya maka seyogyanya ide ini telah mengetahui berbagai hakikat. Dengan demikian, maka segala sesuatu yang ada setelah roh terikat dengan jasad tidak lain adalah sesuatu yang tadinya kita sudah tahu dan sekarang sudah terlupakan.
Plato menjelaskan kemudian bahwa karena roh sudah terikat didalam jasad, maka roh tidak bisa lagi mendapatkan cahaya sebagaimana yang tadinya dia dapatkan. Hal ini persis seperti tirai yang menghalangi cermin sehingga cermin tidak bisa menerima pancaran cahaya karena terhalang oleh tirai tersebut.
Dan ini hanya bisa disingkap dengan proses dialektika, atau metode iluminasi(penyucian jiwa , penahanan hawa nafsu dll) sehingga pancaran cahaya dapat masuk lagi kedalam cermin dan dan sekaligus bisa lagi merefleksikan gambaran dari dunia lain tadi.
Pandangan ini di tolak keras oleh Aristoteles, menurut Aristoteles perkara ‘ide’ itu adalah urusan mental (zhihn) , jadi tidak ada itu yang namanya universalia ‘ide’ .
Kedua, masalah roh…, Aristoteles percaya bahwa roh itu diciptakan seiring atau hampir bersamaan dengan penciptaan jasad. Dan jasad bukan merupakan tirai penghalang sama sekali bagi roh, bahkan dengan ‘bantuan’ jasadlah roh baru bisa mendapatkan semua informasi dan ilmu baru. Pengetahuan dan informasiyang didapatkan roh adalah melalui perantara jasad berupa panca indra dan instrumen jasad lainnya. Dan lanjut Aristoteles lagi, bahwa roh itu tidak pernah berada didunia lain sehingga roh itu sudah built up dengan berbagai ilmu pengetahuan.

hasil riset kemiskinan

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
A.1. Kemiskinan sebagai Problem Bangsa
Kemiskinan terus menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai nation state, sejarah sebuah Negara yang salah memandang dan mengurus kemiskinan. Dalam Negara yang salah urus, tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak ada investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus migrasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas.
Kemiskinan telah membatasi hak rakyat untuk (1) Memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan; (2) Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum; (3) Hak rakyat untuk memperoleh rasa aman; (4) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau; (5) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan; (6) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan; (6) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; (7) Hak rakyat untuk memperoleh keadilan; (8) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan pemerintahan; (9) Hak rakyat untuk berinovasi; (10) Hak rakyat menjalankan hubungan spiritualnya dengan Tuhan; dan (11) Hak rakyat berpartisipasi dalam menata dan mengelola pemerintahan dengan baik.

A.2. Potret Kemiskinan di Gunungkidul
Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu ikon daerah miskin di Indonesia. Pada dasawarsa 80’an, Gunungkidul terkenal dengan kekeringan dan bahan makanan gaplek (singkong kering yang dijemur). Selain itu, Gunungkidul pada era tersebut terkenal sebagai suplier buruh rumah tangga di ibukota Jakarta. Kondisi semacam itulah yang menjadikan Gunungkidul dikenal sebagai daerah miskin.
Gunungkidul merupakan satu dari 5 kabupaten/ kota yang berada di wilayah Propinsi D.I. Yogyakarta mempunyai luas wilayah 1.485,38 km2 (148.536 Ha), yang merupakan 46,63 % wilayah propinsi DIY, dengan jumlah penduduk 759.859 jiwa, dengan komposisi penduduk 48,9 % laki-laki dan 51,1 % perempuan (Gunungkidul dalam Angka Tahun 2006), dengan batas wilayah sebelah Utara Kabupaten Klaten dan Sukoharjo, sebelah Selatan Samudera Indonesia, sebelah Barat Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman dan sebelah Timur Kabupaten Wonogiri. Kabupaten Gunungkidul terdiri dari 18 kecamatan dan 144 desa dan 1.430 padukuhan. Topografi Gunungkidul bergelombang, semua wilayahnya berada di atas pegunungan kapur kawasan Pegunungan Seribu yang membentang dari Samudera Indonesia hingga ujung utara wilayahnya dengan ketinggian 0-800 mdpl.
Luas wilayah dan sangat beragamnya kondisi geografis menyebabkan permasalahan kemiskinan di Gunungkidul menjadi spesifik. Sampai saat ini Gunungkidul masih menghadapi masalah kemiskinan yang antara lain ditandai oleh jumlah penduduk dan keluarga yang masuk dalam kategori miskin masih cukup tinggi.
Pendek kata, kemiskinan merupakan persoalan yang kompleks dan kronis. Karena sangat kompleks dan kronis, maka cara penanggulangan kemiskinan pun membutuhkan analisis yang tepat, melibatkan semua pihak termasuk partisipasi masyarakat didalam perencanaan program-program penanggulangan kemiskinan. Bentuk partisipasi masyarakat dalam perencanaan maupun pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan yakni keterelibatan aktif masyarakat dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Peran aktif masyarakat dapat diwujudkan melalui pembuatan Citizen Charter (kesepakatan warga) dengan Pemerintah Daerah selaku pemangku kebijakan. Citizen Charter memuat tugas dan fungsi dari masing-masing stakeholders yang bersepakat dan beberapa program-program yang menjadi prioritas untuk segera dilaksanakan. Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dan seluruh stakeholders pada tanggal 17 Desember 2007 telah melakukan penandatanganan piagam kesepakatan warga (Gunungkidul charter) terkait dengan upaya pengentasan kemiskinan yang difasilitasi oleh Maarif Institute Gunungkidul.
Berdsarkan pengamatan Maarif Institute terhadap program-program pemerintah daerah ditahun 2008, program pendidikan keaksaraan dan program bantuan pelayanan pengobatan bagi keluarga miskin merupakan program yang termaktub dalam Gunungkidul charter. Pendidikan dan kesehatan, merupakan kebutuhan dasar bagi setiap orang. Pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang memberikan kemudahan dalam mengakses pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat khususnya yang miskin. Pendidikan yang rendah dipandang sebagai penyebab kemiskinan. Karena masalah pendidikan yang rendah erat kaitannya dengan masalah kebodohan. Kebodohan menjadi salah satu sebab utama kemiskinan. Dari dimensi kesehatan, rendahnya mutu kesehatan masyarakat menyebabkan terjadinya kemiskinan. Pendidikan khususnya melek aksara dan kesehatan merupakan dua indikator Human Development Index (HDI). Semakin rendah tingkat pendidikan dan kesehatan suatu daerah maka semakin rendah pula HDI daerah tersebut.
Kabupaten Gunungkidul termasuk wilayah yang punya komitmen tinggi di bidang pendidikan. Alasan sektor pendidikan diletakkan pada posisi pertama program pembangunan karena kondisi pendidikan di Kabupaten Gunungkidul masih relatif rendah, sebab masih banyak masyarakat yang belum mengeyam pendidikan khususnya di daerah pedesaan.
Salah satu dampak masyarakat yang belum mengeyam pendidikan adalah masih terdapat 47.206 penduduk buta aksara atau 6,42 % dari total penduduk usia 10 tahun keatas sebanyak 756.506 penduduk. Dengan rincian 1,16 % atau 8.534 penduduk usia 10-44 tahun dan 5,26 % atau 38.672 penduduk usia 45 tahun ke atas, ungkap kepala Seksi Pendidikan Masyarakat (Dikmas) Dinas Pendidikan Gunungkidul, Dra. Indri S. Lebih lanjut Indri mengatakan jumlah tersebut merupakan yang tertinggi di propinsi DIY dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya.
Di bidang kesehatan, masih banyaknya warga miskin di kabupaten Gunungkidul menjadi kendala bagi warga miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak. Sehingga rendahnya kondisi kesehatan masyarakat, semakin memperburuk kondisi ekonomi mereka.
Dalam mengatasi kedua permasalahan di atas, pemerintah selama ini telah mengeluarkan beberapa kebijakan. Di bidang pendidikan, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pemberantasan buta aksara, sedangkan di bidang kesehatan pemerintah memberikan bantuan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Dalam rangka mengurangi angka buta aksara, tahun 2008 ini, dinas pendidikan kabupaten Gunungkidul, menjadikan PBA sebagai salah satu program unggulan.
Walaupun begitu, berdasarkan pengamatan dan penelusuran media, pelaksanaan pemberantasan buta aksara masih belum optimal, hal ini terbukti dengan masih tingginya angka buta aksara di kabupaten Gunungkidul. Padahal, dalam pelaksanaan program ini, banyak pihak yang terlibat dan menggunakan anggaran dari APBN sampai APBD kabupaten. Bahkan untuk tahun 2008 ini, Dinas Pendidikan telah menganggarkan 3,5 milyar dari APBD kabupaten.
Di bidang kesehatan, berdasarkan penelusuran media dan hasil penelitian CSDS, pelayanan kesehatan untuk keluarga miskin masih begitu rendah. Sehingga beberapa kali ditemukan kasus, adanya keluarga miskin belum tersentuh pelayanan kesehatan.
Pemenuhan kebutuhan dasar untuk masyarakat khususnya pemberantasan buta aksara dan pelayanan kesehatan untuk keluarga miskin mendesak untuk segera dilaksanakan oleh pemerintah. Maka dalam pelaksanaan program-program terkait diperlukan monitoring secara intensif oleh berbagai pihak agar program-program tersebut tepat sasaran dan mampu menjadi salah satu solusi bagi pengentasan kemiskinan di kabupaten Gunungkidul.

B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
1. Mengetahui sejauh mana kinerja Program Pendidikan keaksaraan di Kabupaten Gunungkidul tahun 2007/2008.
2. Mengetahui sejauh mana pelaksanaan Program Bantuan Pelayanan Kesehatan bagi Keluarga Miskin.
3. Mengetahui sejauh mana keterkaitan antar stakeholders dalam Program Pendidikan keaksaraan dan Bantuan Pelayanan Kesehatan bagi Keluarga Miskin.

C. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini yakni: (1) mendapatkan gambaran kinerja Program Pendidikan Keaksaraan dan Pelaksanaan program Bantuan Pelayanan Kesehatan bagi Keluarga Miskin; (2) dapat digunakan sebagai referensi bagi pemerintah kabupaten Gunungkidul dalam upaya penanggulangan kemiskinan di bidang pendidikan dan kesehatan.

BAB III
METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN
Riset mengenai Monitoring Program Citizen Charter (program pendidikan keaksaraan dan pelayanan pengobatan untuk orang miskin) di Kabupaten Gunungkidul menggunakan metode gabungan yakni metode kuantitatif dan kualitatif. Menurut Brymman (Sarwono, 2006: 263) ada empat model dalam metode pebelitian gabungan yaitu: 1) model penelitian kualitatif digunakan untuk memfasilitasi penelitian kuantitatif, 2) model penelitian kuantitatif digunakan untuk memfasilitasi penelitian kualitatif, 3) pendekatan kuantitatif dan kualitatif diberikan bobot yang sama, dan 4) model triangulasi. Jonathan Sarwono (2006: 268) mengajukan dua model penggabungan yaitu : penggabungan analisis data yang di hasilkan dalam penelitian kualitatif berupa data primer dengan data sekunder kuantitatif, dan penggabungan analisis data kualitatif sekunder dengan data kualitatif primer.
Model gabungan yang digunakan dalam riset ini adalah model ke-III Brymman yakni pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan bobot yang sama. Dalam model ini, menurut Brymman peneliti harus mengembangkan dua desain penelitian secara bersamaan, yaitu desain riset kuantitatif dan desain riset kualitatif. Lebih lanjut Brymman mengatakan dalam model III ini desain riset kuantitatif yang digunakan menggunakan metode survei dan desain riset kualitatif metodenya menggunakan riset partisipatori. (Sarwono, 2006: 266).

B. UNIT ANALISIS
Unit analisis merupakan objek yang menjadi fokus penelitian. Unit analisis yang dimaksud adalah unit terkecil yang akan diteliti. Unit analisis dalam riset ini adalah program-program citizen charter yang diakomodasi APBD kabupaten Gunungkidul dan keterkaitan antar aktor dalam program-program tersebut. Unit analisis riset menekankan pada program pendidikan keaksaraan tahun 2008 dan program pelayanan bantuan pengobatan keluarga miskin di kabupaten Gunungkidul, dan menekankan pada keterkaitan antar aktor (stakeholders) dalam pelaksanaan program-program tersebut. Penekanan tersebut dilakukan untuk memudahkan dalam membidik sasaran riset.

C. SUMBER DATA
Menurut Loflaned, sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen lain (Moleong, 2003: 112). Sedangkan dalam penelitian kuantitatif data utama berupa angka-angka statistik (kuantitatif) atau koding-koding yang dapat dikuantifikasi. (Sarwono, 2006:260). Seperti telah disebutkan di atas, riset ini menggunakan model gabungan sehingga data utama yang berupa data gabungan yaitu berupa kata-kata atau tindakan dan angka-angka stasistik. Sumber data dibedakan menjadi dua macam yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan pada saat penelitian, seperti hasil kuisioner, wawancara, dan pengamatan. Dalam penelitian ini yang dijadikan sumber data primer adalah pihak yang dianggap mempunyai informasi. Informasi yang diperoleh kemudian akan dilengkapi dengan hasil pengamatan langsung selama penelitian berlangsung.
Sedangkan data sekunder dalam hal ini adalah data yang telah lebih dahulu dikumpulkan dan dilaporkan oleh orang di luar penelitian itu sendiri, walaupun yang dikumpulkan itu sesungguhnya adalah data asli (Surachmad, 1972: 156). Data yang diperoleh melalui dokumen tertulis baik yang ada di media cetak maupun elektronik yang berasal dari instansi terkait dan data yang bersumber serta di publikasikan oleh organisasi lain. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui teknik dokumentasi.






D. TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan sehingga masalah penelitian dapat dipecahkan (Nazir, 1988: 233). Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Kuesioner
Kuesioner merupakan salah satu alat yang penting untuk pengambilan data, terutama pada penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif. (Sarwono, 2006: 28). Adapun pihak-pihak yang menjadi responden kuesioner dalam penelitian ini yaitu : Program pendidikan keaksaraan antara lain penilik atau TLD, pengurus PKBM, dan warga belajar KF. Sedangkan program bantuan pelayanan kesehatan keluarga miskin yaitu pasien pengguna pelayanan kesehatan keluarga miskin baik di RSUD maupun puskesmas.
2. Wawancara
Wawancara dapat diartikan sebagai proses untuk memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (Nazir, 1988: 234). Teknik wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data, terutama pada penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif. Data yang diperoleh berupa data primer, yakni data yang diperoleh langsung dari nara sumber. Pemilihan teknik wawancara dikarenakan jenis penelitian kualitatif membutuhkan respon yang valid dari responden atau informan sesuai kontek penelitian. Hal tersebut berdasarkan pendapat Hadi (1992: 143) bahwa wawancara dapat dipandang sebagai metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dikerjakan dengan sistematis berdasarkan kepada tujuan penelitian.
Wawancara ini dimaksudkan untuk menyerap informasi mengenai persepsi, pandangan, pola pikir, pendapat maupun interpretasi terhadap masalah penelitian.. Narasumber yang berhasil diwawancarai serta rinformasi yang dapat digali dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut :
Tabel 3.1
Data narasumber

No
Narasumber
1
Kepala Bidang PLSPO Dinas Pendidikan
2
Kepala Seksi Dikmas
3
Penilik atau TLD
4
Kepala Bidang Kesejahteraan Masyarakat Dinas Kesehatan
5
Direktur RSUD Gunungkidul
6
Ketua Majelis Dikdasmen PD Aisyiyah Gunungkidul
7
Koordinator Program KKN-PBA LPPM UGM

3. Observasi
Observasi adalah pengamatan langsung terhadap obyek penelitian yang didukung dengan disiplin ilmu yang dimiliki oleh peneliti. Observasi ada dua macam yaitu observasi sederhana (simple observation) adalah observasi non partisipasi dan observasi partisipasi. Observasi non partisipasi adalah observasi jika orang yang mengadakan observasi tidak kut mengambil bagian dalam aktivitas masyarakat atau perikehidupan orang-orang yang diobservasi. Sebaliknya dalam observasi partisipasi orang yang mengadakan observasi turut mengambil bagian dalam perikehidupan orang atau orang-orang yang diobservasi. Dalam penelitian ini yang dilakukan adalah observasi nonpartisipasi dimana peneliti hanya mengamati fenomena yang dihadapi secara sistematik disertai dengan pencatatan secara sistematik. Pengamatan yang sudah dilakukan tercatat dalam tabel berikut ini :

Tabel 3.2
Observasi selama penelitian

No
Lokasi Observasi
Objek Observasi
Materi Observasi
1.
Kecamatan Semanu, Nglipar, Wonosari, Ngawen, Patuk, Tanjungsari, Tepus, Semin, Ponjong, dan Rongkop
Penilik, TLD, PKBM, Warga belajar KF
- Kinerja penilik, TLD, PKBM
- partisipasi warga belajar
2.
RSUD Kab. Gunungkidul
Petugas/pegawai RSUD, pasien pengguna bantuan pelayanan kk miskin (rawat jalan dan inap)
- pelayanan terhadap pasien pengguna bantuan pelayanan kk miskin
- kondisi RSUD
3.
Puskesmas kecamatan Semanu, Nglipar, Wonosari, Ngawen, Patuk, Tanjungsari, Tepus, Semin, Ponjong, dan Rongkop
Petugas/pegawai puskesmas, pasien pengguna bantuan pelayanan kk miskin (rawat jalan dan inap)
- pelayanan terhadap pasien pengguna bantuan pelayanan kk miskin
- kondisi puskesmas

4. Dokumentasi
Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data dengan menggunakan data yang ada untuk dipelajari dalam bentuk dokumen yang berupa laporan, berita, catatan, maupun tabel data yang terkait dengan tujuan penelitian. Data yang diambil dari dokumentasi adalah berupa data sekunder yang diharapkan dapat memberikan gambaran tentang keadaan daerah penelitian. Data tersebut kemudian dipakai untuk melengkapi data yang telah digali melalui teknik pengumpulan data lain. Dokumentasi yang akan digali dari internet, surat kabar baik cetak maupun elektronik, buku literatur, laporan-laporan yang berkaitan dengan program pendidikan keaksaraan dan bantuan pelayanan kesehatan keluarga miskin, dan peraturan-peraturan.




E. TEKNIK ANALISA DATA
Analisa data merupakan bagian yang amat penting dalam metode ilmiah, karena dengan analisa, data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian (Nazir, 1988: 405). Analisis data menurut Patton (1987) yang dikutip Moleong (2003: 103) adalah proses mengatur urutan data, menorganisasikan ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Analisa dilakukan agar data lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan (Singarimbun dan Effendi, 1989: 263). Data yang diperoleh dalam penelitian ini sesuai dengan jenis penelitian yang digunakan, maka data yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Yakni dengan melakukan interpretasi terhadap data-data, fakta-fakta, dan informasi-informasi yang diperoleh. Analisis dalam penelitian ini mendasarakan pada perhitungan kuantitatif dan kemampuan nalar peneliti dalam menghubungkan data dan informasi yang diperoleh.
Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu kuesioner, wawancara, observasi, dokumen pribadi, dokumen resmi, dan sebagainya. Setelah dibaca, dipelajari, dan ditelaah, maka langkah berikutnya adalah reduksi data yang dilakukan dengan membuat abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses, dan pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijaga sehingga tetap berada didalamnya. Tahapan akhir dari analisis data ini adalah mengadakan pemeriksaan keabsahan data, dan tahap selanjutnya adalah penafsiran data (Moleong, 2003: 190). Dari data yang diperoleh, selanjutnya dianalisis melalui pendekatan gabungan.

BAB IV
PEMBAHASAN


A. PROGRAM PENDIDIKAN KEAKSARAAN

1. SUMBER DAYA
· Sumber Daya Manusia
Sumber Daya Manusia yaitu orang atau personil yang terlibat dalam Program Pendidikan Keaksaraan. Dalam penelitian ini SDM yang dimaksud adalah dilihat dari kuantitas maupun kualitas. Kualitas sumber daya manusia yang ada pada umumnya diukur dari tingkat pendidikan dan profesi, keduanya akan berpengaruh kemampuan SDM terhadap pemahaman program. Yang mana akan berpengaruh pada kinerja program.
SDM yang terlibat dalam Program Pendidikan Keaksaraan sekaligus sebagai objek dalam riset ini adalah penilik atau TLD, pengurus PKBM, warga belajar, tutor, dan stakeholders yang menyelenggarakan pendidikan keaksaraan di kabupaten Gunungkidul. Sedangkan SDM minimal yang harus ada dalam setiap penyelenggaraan Keaksaraan Fungsional (KF) yaitu penyelenggara, tutor, dan warga belajar. Adapun jumlah penilik, TLD, pengurus PKBM, dan warga belajar dimasing-masing kecamatan dapat dilihat pada rincian sebagai berikut:
Tabel 4.1 Daftar Penilik, Pengurus PKBM, dan Warga Belajar di Kecamatan

No.
Kecamatan

Jumlah

1.

Rongkop
Penilik
TLD
Pengurus PKBM
Warga belajar
1
1
5
1447

2.

Semanu
Penilik
TLD
Pengurus PKBM
Warga belajar
1
1
5
1725

3.

Ngawen
Penilik
TLD
Pengurus PKBM
Warga belajar
1
1
8
380

4.

Nglipar
Penilik
TLD
Pengurus PKBM
Warga belajar
1
1
8
4276

5.

Wonosari
Penilik
TLD
Pengurus PKBM
Warga belajar
1
5
10
4651

6.

Patuk
Penilik
TLD
Pengurus PKBM
Warga belajar
1
1
3
291

7.

Tepus

Penilik
TLD
Pengurus PKBM
Warga belajar
1
1
5
1780

8.

Tanjungsari

Penilik
TLD
Pengurus PKBM
Warga belajar
2
2
5
2193

9.

Semin
Penilik
TLD
Pengurus PKBM
Warga belajar
1
1
12
3403

10.

Ponjong
Penilik
TLD
Pengurus PKBM
Warga belajar
1
1
11
2751
Sumber: Data kuisioner responden 2008, diolah Maarif Institute
Secara umum, penilik atau petugas yang berwenang menangani program pendidikan keaksaraan di masing-masing kecamatan hanya ada satu orang penilik dibantu oleh tenaga lapangan pendidikan masyarakat (TLD). TLD di masing-masing kecamatan jumlahnya berbeda antara kecamatan yang satu dengan kecamatan yang lain.


Diagram 4.1 Ketercukupan Penilik dan TLD dalam Pemberantasan Buta Aksara




Secara kuantitas, apabila melihat wilayah kerja yang luas, sebagian besar atau 70 % responden menyatakan jumlah pegawai penilik di lapangan masih kurang atau belum cukup terkait dengan pemberantasan buta aksara, dan 30 % responden memandang sudah cukup.
Begitu pula dengan jumlah TLD, 70% responden menyatakan bahwa jumlah TLD yang tersedia di tiap kecamatan masih kurang, dan hanya 30% saja yang menyatakan jumlah TLD yang ada sudah mencukupi.
Jumlah ideal TLD yang semestinya ada di tiap kecamatan menurut responden bervariasi, 40% responden menyatakan idealnya TLD di tiap kecamatan ada 2 dan atau 5 orang, dan 10% responden menyatakan idealnya ada 4 dan atau 7 orang.
Diagram 4.2 Jumlah Ideal Penilik/TLD

Berdasarkan temuan data kualitatif di lapangan, minimnya jumlah penilik/petugas berkaitan dengan paradigma pemerintah maupun masyarakat yang masih memandang sebelah mata atau menganaktirikan pendidikan luar sekolah, khususnya pendidikan keaksaraan. Perhatian pemerintah lebih besar kepada pendidikan formal, demikian pula masyarakat, memandang pendidikan nonformal hanya pendidikan pelengkap saja.
Pemahaman penilik dan TLD terhadap fungsi dan tugasnya dalam pelaksanaan program pendidikan keaksaraan secara umum sudah bagus, namun masih ada bebrapa penilik TLD yang tidak memahami program pendidikan keaksaraan secara keseluruhan.
Dari tabel 4.1 dapat pula dilihat secara kuantitas rata-rata pengurus tiap PKBM sebanyak 7 orang. Secara teknis, dalam pelaksanaan keaksaraan fungsional, pengurus PKBM dibantu oleh tutor dengan jumlah rata-rata tutor tiap PKBM sebanyak 11 orang. Jumlah tutor yang ada menurut sebagian besar responden (70%) sudah cukup, bahkan 30% responden menyatakan sangat cukup.
Dari sepuluh PKBM yang menjadi sampel riset, 4% pengurusnya memiliki latar belakang pendidikan SMP/MTs, 28% berlatar belakang pendidikan SMA/MA/SMK atau yang sederajat, 26 % pernah mengenyam pendidikan D3, dan hampir sebagian berpendidikan S1, yakni 42%.
Diagram 4.3 Prosentase Latar Belakang
Pendidikan Pengurus PKBM


PKBM pada umumnya di kelola oleh individu berlatar belakang profesi yang masih dipandang memiliki prestise oleh masyarakat Gunungkidul dan memiliki jaringan/akses ke birokrasi, sehingga diposisikan sebagai tokoh masyarakat. Profesi tersebut antara lain Guru (39%), pegawai negeri sipil (PNS) 18%, dan perangkat desa (15%). Latar belakang profesi lainnya adalah wiraswasta 14%, petani 10%, dan 4% memiliki profesi ganda. Latar belakang pendidikan dan profesi pengurus PKBM akan sangat mempengaruhi pemahaman pengurus terhadap program pendidikan keaksaraan (KF). Seharusnya semakin tinggi pendidikan yang ditempuh oleh pengurus akan semakin berpengaruh pada tingkat pemahaman terhadap program. Namun dilapangan, ditemukan sebagian besar pengurus PKBM tidak memahami tentang mekanisme dan wewenang penerbitan SUKMA.
Jumlah rata-rata warga buta aksara di tiap kecamatan sebanyak 2290 orang. Julmah warga wajib belajar KF rata-rata perempuan, karena laki-laki biasanya enggan atau malu untuk belajar. Namun rerata data warga buta aksara yang terungkap di lapangan antara penilik dan PKBM, berbeda dengan data yang ada pada Bidang PLSPO, hal tersebut dinyatakan oleh penilik di salah satu kecamatan. Sebagian besar warga buta aksara (70%) pernah menempuh jalur pendidikan Sekolah Dasar hanya sampai kelas tiga. Beberapa faktor yang menyebabkan warga buta aksara putus sekolah diantaranya ekonomi (70%), budaya masyarakat (10%), malas (15%), akses ke sekolah (5%). Sebagian besar warga buta aksara mengikuti program KF karena termotivasi ingin bisa membaca, motivasi lainnya adalah ikut-ikutan/didaftar, dan gratis. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemahaman warga terhadap manfaat program KF cukup bagus.

· Sumber Daya Keuangan
Salah satu sumber daya pendukung jalannya program adalah sumber daya keuangan. Sesuai dengan amanat UUD 1945 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pemerintah pusat maupun daerah wajib mengalolkasikan anggaran pendidikan sebesar 20 % baik dalam APBN maupun APBD.
Terkait dengan pemberantasan buta aksara khususnya penyelenggaraan program Keaksaraan Fungsional (KF), anggaran yang dialokasikan dalam APBD Kabupaten tahun 2008 sebesar 3,5 miliar dengan target pengentasan 15 ribu warga buta aksara, mengalami peningkatan dibanding tahun 2007.
Tabel 4.2 Alokasi Anggaran untuk Penyelenggaraan Keaksaraan Fungsional (KF)

No.

Kecamatan

Sumber Dana

Jumlah Kelompok
Ketercukupan
Kurang
Cukup
Sangat Cukup

1.

Rongkop
APBN
APBD Propinsi
APBD Kab.
1
2
10

70 % respondeen berpendpat kurang

30 % respondeen berpendapat cukup

_
2.
Semanu
APBN
APBD Kab.
4
10
3.
Ngawen
APBN
APBD Kab.
28
10
4.
Nglipar
APBN
APBD Kab.
6
2
5.
Wonosari
APBN
APBD Propinsi
4
9
6.
Patuk
APBN
APBD Propinsi
4
4
7.
Tepus
APBN
6
8.
Tanjungsari
APBN
2
9.

Semin
APBN
APBD Kab.
6
9
10.
Ponjong
APBN
APBD Propinsi
2
3
Sumber: Data Kuisoner responden 2008, diolah
Dari tabel diatas dapat dilihat sumber dana program pemberantasan buta aksara di Kabupaten Gunungkidul, khususnya PKBM berasal dari 3 sumber yakni APBN, APBD Propinsi, dan APBD Kabupaten.
Anggaran yang diperoleh PKBM untuk masing-masing kelompok berasannya bervariasi, namun sebagian besar anggaran bersumber dari APBN yaitu sebanyak 53%, APBD Propinsi menempati urutan kedua sebanyak 33%, dan APBD Kabupaten sebanyak 14%.
Diagram 4.4 Alokasi Prosentase Anggaran
yang diperoleh Kelompok


Sedangkan Asyiyah, UGM, Tamaddun, dan stakeholders lainnya hanya bersumber dari APBN dan APBD Propinsi. Secara umum dana yang ada menurut sebagian besar responden (70%) masih kurang dan sisanya (30%) menyatakan sudah mencukupi. Dari 70% responden yang menyatakan kurang, memberikan estimasi anggaran yang ideal secara bervariasi, diatas 2 juta/kelompok sebanyak 60%, 1-2 juta/kelompok sebanyak 10%, 500 ribu-1 juta/kelompok sebanyak 20%, dan 300-500 ribu/kelompok sebanyak 10%. Menurut Kepala Bagian PLSPO anggaran ideal sebesar Rp. 3.320.000,00 per orang untuk 6 bulan. Sebagian besar anggaran yang diperoleh digunakan untuk insentif/gaji tutor, pembelian alat tulis, praktek ketrampilan, transport penyelengara, dan sebagai motivasi warga belajar. Mekanisme pengajuan dana penyelenggaraan KF, sebagai berikut:

Bagan 4.1 Mekanisme pengajuan dana penyelanggaran KF
PKBM melakukan pendataan calon peserta
PKBM melakukan pendataan calon peserta
PKBM membuat proposal dan diajukan kepada Dinas Pendidikan








Proposal akan disetujui apabila PKBM mampu memenuhi kuota yang telah ditetapkan. Kuota peserta KF rata-rata per kelompok sebanyak 10 orang. Berdasarkan informasi dari responden (warga belajar) untuk memenuhi kuota tersebut, pihak PKBM terkadang mengisi kekurangan kuota dengan mengikut sertakan warga belajar yang tidak semestinya ikut dalam penyelenggaraan KF.
Selain itu ada beberapa temuan dilapangan, diantaranya (1) terjadi kesenjangan/kecemburuan antara warga belajar terkait dengan sumber anggaran yang berbeda; (2) besaran anggaran yang diperoleh PKBM tidak diketahui secara keseluruhan oleh pengurus PKBM dan penilik, hanya diketahui ketua dan bendahara.







2. SARANA PRASARANA
Peralatan atau fasilitas merupakan sarana pendukung bagi pelaksanaan program. Kepemilikan sarana merupakan bagian yang tidak dapat diabaikan karena seluruh aktivitas program dalam mencapai tujuan tidak terlepas dari penggunaan saran penunjang yang ada.
Dalam penelitian ini, pengamatan sarana prasarana terbatas pada sarana prasarana yang dibutuhkan dalam rangka penyelenggaraan Keaksaraan Fungsional (KF) baik kuantitas maupun kualitasnya. Adapun sarana prasarana yang dimiliki dalam penyelenggaraan Keaksaraan Fungsional (KF) sebagai berikut:
Tabel 4.3 Sarana Prasarana dalam Penyelenggaraan Keaksaraan Fungsional (KF)

No.
Kecamatan
Jumlah PKBM
Status PKBM
Tempat Penyelenggaraan
Aksesibili
tas
Fasilitas
Penyelenggaraan KF
Akta
Belum
1.
Rongkop
1
1
-
Balai Desa
Mudah
Kurang
2.
Semanu
4
1
3
Balai Desa
Mudah
Cukup
3.
Ngawen
2
1
1
Balai Desa
Mudah
Cukup
4.
Nglipar
6
4
2
Balai Desa
Mudah
Kurang
5.
Wonosari
3
1
2
Rumah Warga
Mudah
Kurang
6.
Patuk
3
1
2
Balai Desa
Mudah
Kurang
7.
Tepus
1
1
-
Balai Desa
Mudah
Cukup
8.
Tanjungsari
3
1
2
Balai Desa
Mudah
Kurang
9.
Semin
2
1
1
Balai Desa
Mudah
Cukup
10.
Ponjong
4
1
3
Rumah Warga
Mudah
Kurang
Sumber: Kuiseioner respondeen 2008, diolah Maarif Institute

Berdasarkan tabel 4.3 diatas, rerata jumlah PKBM di setiap kecamatan ada 3 PKBM dengan status sudah memiliki SK dari Dinas Pendidikan sebanyak 45% dan 55% PKBM belum memiliki SK. Sebagian besar tempat penyelanggaraan KF dilakukan di Balai Desa dengan pertimbangan aksesibilitas dan keterbatasan dana. Dari segi fasilitas dalam penyelengaraan KF, 60% responden menyatakan bahwa fasilitas yang ada masih kurang baik secara kuantitas maupun kualitas. Sedangkan 40% responden menyatakan failitas yang ada sudah mencukupi.

Temuan dilapangan menunjukkan terjdinya kesenjangan fasilitas antara kelompok KF. Biasanya kelompok KF yang menggunakan anggaran dari APBN memiliki fasilitas yang lebih memadai dibandingkan dengan kelompok KF yang menggunakan anggaran dari APBD Propinsi dan APBD Kabupaten. Keadaan tersebut berpengaruh terhadap motivasi warga belajar.

3. KOMUNIKASI
Komunikasi menjadi faktor penting bagi terlaksananya suatu program. Salah satu wujud komunikasi dalam bentuk sosialisasi, koordinasi, dan intensitas pengawasan. Sosialisasi merupakan proses penting bagi tercapainya suatu kebijakan. Dengan adanya sosialisasi kebijakan, diharapkan masyarakat dapat belajar untuk mengerti dan memahami mengenai isi dan tujuan dari suatu kebijakan, sehingga dapat memberikan dukungan secara maksimal terhadap kebijakan tersebut. Sedangkan koordinasi adalah suatu bentuk pertemuan yang diselenggarakan secara rutin oleh pihak-pihak/stakeholders yang terkait dengan pelaksanaan program untuk bersama-sama membahas kekurangan dari pelaksanaan program. Koordinasi dilakukan dengan harapan tidak terjadinya tumpang tindih anggaran, pengulangan kegiatan, efektifitas kerjasama, dan perbedaan persepsi antar stakeholders yang dapat memunculkan konflik. Berbagai bentuk media komunikasi yang dilakukan dalam penyelenggaraan program Keaksaraan Fungsional (KF) sebagai berikut:







Tabel 4.4 Bentuk Komunikasi dalam Penyelenggaraan Keaksaraan Fungsional
No
Sosialisasi
Koordinasi
Monitoring/Pengawasan
Bentuk
Media
Frekuensi
Bentuk
Periode
Bentuk
Frekuensi
1
Pengarahan
Penyuluhan
Pengumuman
· Pertemuan RT/RW
2 kali
Rapat koordinasi
Bulanan
Kunjungan kerja dan sidak
6x/bulan
2
Pengarahan
Penyuluhan
Pengumuman
· Posyandu
· Rapat koordinasi Dukuh
4 kali
Rapat koordinasi
Bulanan
Kunjungan kerja dan sidak
4x/bulan
3
Pengarahan
Penyuluhan
· Rapat pertemuan warga

Rapat koordinasi
-
sidak
4x/bulan
4
Pengarahan
Penyuluhan
Pengumuman
· Pertemuan RT
· Pengajuan, arisan
2 kali
Rapat koordinasi
Bulanan
sidak
5x/bulan
5
Pengarahan
Penyuluhan
· Pertemuan RT/RW

Rapat koordinasi
Bulanan
sidak
4x/bulan
6
Pengarahan
Penyuluhan
Pendekatan emosional
· Pertemuan RT
· Pengajuan, arisan
· Posyansu
· PAUD
3 kali
Rapat koordinasi
3 bulan sekali
Kunjungan kerja
6x/bulan
7
Pengarahan
Penyuluhan
· Pertemuan RT
· Pengajuan, arisan
· Posyansu
· PAUD
2 kali
Rapat koordinasi
Bulanan
Kunjungan kerja dan sidak
5x/bulan
8
Penyuluhan
· Pertemuan RT
· Pengajuan, arisan
· Posyansu
· PAUD
2 kali
Rapat koordinasi
-
sidak
5x/bulan
9
Penyuluhan
Rapat koordinasi
Kunjungan kerja
· Pertemuan pengurus PKBM
1 kali
Rapat koordinasi
Mingguan
sidak
5x/bulan
10
Pengarahan
Penyuluhan
· Pertemuan perangkat desa
4 kali
Rapat koordinasi
Bulanan
sidak
1x/bulan
Sumber: Kuisioner responden 2008, diolah Maarif Institute
Secara umum bentuk sosialisasi program pemberantasan buta aksara/pendidikan keaksaraan yang dilakukan baik oleh pihak pemerintah maupun PKBM atau stake holders lain antara lain pengarahan, penyuluhan, pengumuman/surat edaran melalui lembaga desa dan instansi yang terkait, dan pendekatan individu. Media sosialisasi kepada masyarakat dan pengurus PKBM pada umumnya memanfaatkan forum-forum yang ada di masyarakat seperti pertemuan RT/warga, posyandu, rapat perdukuhan, pengajian, arisan, gotong royong, pada saat kegiatan PAUD, dan rapat pengurus PKBM.
Sedangkan sosialisasi internal pemerintah atau petugas memanfaatkan forum-forum rapat dan kunjungan kerja. Pemanfaatan media tersebut terkait dengan adanya keterbatasan anggaran untuk sosialisasi. Pihak-pihak yang menyelenggarakan sosialisasi antara lain Bidang PLSPO Dinas Pendidikan Gunungkidul, penilik, dan pemerintah desa. Sosialisasi kepada stakeholders kabupaten Gunungkidul baru dilaksanakan satu kali oleh Tim PBA tingkat Propinsi. Frekuensi sosialisasi secara umum dilakukan pada medio bulanan, yang berbeda hanya pada tingkat intensitasnya saja. Walaupun sosialisasi sering dilakukan, namun kendala terbesar pelaksanaan pendidikan keaksaraan justru rendahnya kesadaran warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam program tersebut.
Bentuk pola koordinasi yang dilakukan oleh pemerintah adalah rapat koordinasi secara rutin. Untuk tingkat penilik atau TLD biasanya dilakukan setiap satu minggu dengan Bidang PLSPO khususnya Seksi Dikmas. Koordinasi yang dilakukan oleh pemerintah baik pada level kabupaten maupun level desa melibatkan beberapa stake holders antara lain PKBM, PKK, dan Aisyiyah. Sedangkan stake holders lainnya seperti perguruan tinggi (PT) penyelenggara KKN dan LSM penyelenggara KF tidak pernah diundang dan dilibatkan dalam proses koordinasi. Berdasarkan informasi dari responden, justru yang aktif menghubungi pihak pemerintah adalah pihak PT dan LSM. Masing-masing stake holders terkesan berjalan sendiri-sendiri dan mengutamakan kepentingan sendiri-sendiri. Sehingga tak jarang terjadi miss komunikasi/permasalahan/konflik kepentingan antar pihak pemerintah dengan pihak PT dan LSM/yayasan.
Hal-hal yang menjadi materi konflik kepentingan antara lain permasalahan kevalidan data, sumber data, model atau metode KF, transparansi anggaran yang diperoleh, penerbitan SUKMA, dan follow up setelah KF. Berdasarkan hasil riset, 20% responden pernah berkonflik dengan stake holders lain karena minimnya koordinasi.
Pihak-pihak yang terlibat dalam kerjasama penyelenggaraan pendidikan keaksaraan terbagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok internal dan kelompok eksternal. Kelompok internal meliputi Bidang pemberdayaan perempuan Dinas Sobermas, BPS, Depag kabupaten, penilik, dan TLD. Sedangkan kelompok eksternal meliputi PKBM, Ormas (Aisyiyah, Fatayat untuk anggaran 2006), PKK, LSM/yayasan (Tamaddun, Puspa), PT (UGM, UNY, UAD).
Monitoring/pengawasan secara keseluruhan menjadi tanggung jawab pemerintah. Bentuk pengawasan yang dilakukan oleh pihak pemerintah berupa kunjungan kerja dan inspeksi mendadak ke kelompok-kelompok KF baik yang diselenggarakan oleh pihak PKBM maupun pihak-pihak lain. Pertanggungjawaban PKBM diberikan kepada pihak penilik atau Bidang PLSPO. Pengawasan terhadap ormas dan PT tidak hanya dilakukan oleh dinas pendidikan kabupaten, namun dilakukan pula oleh instansi atau organisasi yang ada di atasnya.






B. PROGRAM BANTUAN PELAYANAN PENGOBATAN KELUARGA MISKIN
1. SUMBER DAYA
· Sumber Daya Manusia
Dalam penelitian ini variabel sumber daya manusia dapat diukur dari tenaga yang memeriksa pasien, sikap petugas dalam memberikan pelayanan terhadap pasien, dan standar pelayanan yang dilakukan dokter pada saat menangani pasien baik di RSUD Wonosari maupun di Puskesmas. Secara keseluruhan jumlah tenaga medis dan paramedis di Kabupaten Gunungkidul baik yang bekerja di RSUD Wonosari maupun puskesmas sebanyak 834 orang. Sedangkan jumlah tenaga non paramedis yang ada sebanyak 346 orang. Dari jumlah tenaga medis yang ada, sebagian besar (60%) melakukan standarisasi pelayanan seperti menanyakan keluhanan, menjelaskan jenis penyakit, menanyakan riwayat penyakit pasien, dan menjelaskan jenis obat. Berdasarkan hasil olahan data, sebanyak 66% responden menyatakan, diperiksa oleh dokter baik di RSUD Wonosari maupun di puskesmas. Sedangkan 27% responden diperiksa oleh bidan, dan 7% sisanya diperiksa oleh perawat.
Dari segi pelayanan yang diberikan oleh petugas RSUD Wonosari, mulai memberikan sapaan, senyuman serta dalam menjelaskan prosedur pelayanan dirasa kurang apabila dibandingkan dengan petugas yang ada di puskesmas. Perbandingan ini dapat dilihat dari 51% responden di RSUD menyatakan sudah bagus dan 49% responden menyatakan kurang. Sedangkan 64% responden di puskesmas menyatakan sudah baik dan 36% menyatakan kurang. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Direktur RSUD bahwa secara internal dari RSUD yang perlu diperbaiki yakni sikap petugas yang kurang ramah dengan melakukan pelatihan manajemen sumber daya manusia (ESQ).



· Sumber Daya Keuangan
Bedasarkan informasi dari responden dan temuan di dokumen RKA APBD tahun 2008, besaran anggaran untuk program Bantuan Pelayanan Pengobatan bagi Keluarga Miskin sebesar 250 juta untuk 332.295 jiwa (95.743 RTM). Besaran anggaran tidak mengalami kenaikan dari tahun ketahun. Anggaran tersebut digunakan sebagai pengganti dana stimulant dari APBN.
Berdasarkan temuan di lapangan, ada beberapa warga yang terdaftar didalam SK Bupati, namun belum mengetahui bahwa warga tersebut terdaftar sebagai pengguna askeskin setelah dikonfirmasi.

2. SARANA PRASARANA
Sarana prasarana yang digunakan sebagai pendukung pelaksanaan program Bantuan Pelayanan Kesehatan bagi Keluarga Miskin terbatas pada sarana prasarana yang dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan, baik kuantitas maupun kualitasnya. Selain itu faktor aksesibilitas juga menjadi salah satu pertimbangan bagi responden untuk menggunakan pelayanan kesehatan. Adapun sarana prasarana yang relative sering digunakan oleh pasien baik di RSUD maupun Puskesmas adalah poli umum, poli anak, poli gigi, poli dalam, KIA, dan bangsal. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh sebagian besar responden yang menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan, pada umumnya menggunakan fasilitas poli umum dan ruang bangsal kelas III bagi responden yang dirawat inap.
Keberadaan sarana prasarana yang ada secara kuantitas sudah mencukupi, namun sebanyak 56% responden menilai kondisi bangsal kelas III baik di RSUD Wonosari maupun puskesmas belum representatif bagi pasien, dari segi kenyamanan tempat, termasuk kesejukan kamar, penataan ruang, maupun kesesuaian makanan pasien. Sebanyak 56% responden menyatakan perlu ada perbaikan terhadap sarana prasarana dalam rangka mendukung pelayanan kesehatan baik di RSUD maupun Puskesmas. Beberapa pelayanan yang dirasa perlu diperbaiki diantaranya ketepatan jam pelayanan puskesmas maupun RSUD, ketersediaan obat-obatan, keberadaan dokter/bidan/perawat, dan keterbukaan dokter saat memeriksa pasien.
Sedangkan bebrapa faktor yang menjadi alasan responden untuk menggunakan pelayanan kesehatan baik di RSUD Wonosari maupun puskesmas adalah jarak yang dekat, biaya murah, keberadaan dokter, bangunannya bagus, kelengkapan obat, peralatan yang lengkap, dan petugas yang ramah. Berdasarkan hasil analisi data yang diperoleh 45% responden memilih menggunakan pelayanan kesehatan di RSUD Wonosari maupun puskesmas dengan pertimbangan jarak yang dekat, 20% responden menyatakan karena biaya murah, 11% responden menyatakan dokter selalu hadir, 11% responden menyatakan karena obatnya lengkap, 4% responden menyatakan karena petugas ramah, 4% responden menyatakan karena bangunan bagus, 2% responden menyatakan karena peralatan medis lengkap, dan 3% responden menyatakan lainnya.
Hal tersebut diatas membukltikan bahwa kualitas pelayanan kesehatan baik di RSUD Wonosari maupun puskesmas belum menjadi pertimbangan utama responden dalam menggunakan fasilitas kesehatan yang ada.

3. KOMUNIKASI
Indikator komunikasi dalam penelitian ini adalah sosialisasi, transparansi dan responsivitas pelayanan. Sosialisasi yang dilakukan pihak RSUD Wonosari dan puskesmas yang terkait dengan program-program kesehatan masih sangat minim. Hal ini dinyatakan oleh 46% responden. Dari temuan dilapangan ada beberapa warga miskin yang terdaftar di SK Bupati tidak mengetahui program Bantuan Pelayanan Kesehatan bagi Keluarga Miskin. Minimnya sosialisasi disebabkan karena tidak adanya anggaran untuk itu. Hal tersebut dinyatakan oleh Direktur RSUD Wonosari.
Transparansi pelayanan kesehatan baik di RSUD Wonosari maupun puskesmas berupa ketersedian informasi tarif, prosedur pelayanan, dan program-program pelayanan kesehatan, menurut 37% responden menyatakan tidak tersedia. Sedangkan 30% responden menyatakan sudah tersedia dan 33% responden menyatakan tidak tahu.
Hal tersebut menunjukkan bahwa belum semua di puskesmas menyediakan informasi-informasi terkait dengan hal-hal diatas. Sedangkan di RSUD Wonosari, penempatan informasi kurang tepat sehingga masih sulit diakses oleh pasien.
Responsivitas pelayanan RSUD Wonosari dan puskesmas meliputi tindakan medis ketika ada KLB, penjaringan aspirasi pelayanan, dan partisipasi warga dalam penyusunan program kessehatan. Jika melihat responsivitas pelayanan yang diberikan RSUD Wonosari maupun puskesmas, hampir sebagian besar responden (46%) menyatakan rendahnya responsivitas pelayanan dari pihak RSUD Wonosari maupun puskesmas. Sedangkan 29% responden menyatakan pihak RSUD Wonosari dan puskesmas sudah cukup responsif. Dan 25% responden menyatakan tidak tahu.
ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI
DAN AKSIOLOGI

PENDAHULUAN
Dalam makalah ini akan memaparkan tentang cabang-cabang dalam filsafat, yang pertama di sebut landasan ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?. Kedua di sebut dengan landasan epistimologis; berusaha menjawab bagaimna proses yang memungkinkan di timbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di perhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?. Sedang yang ketiga, di sebut dengan landasan aksiologi; landasan ini akan menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional?[1]
Jadi untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya. Denganb mengetahuan jawaban-jawaban dari ketiga pertanyaan ini maka dengan mudah kita dapat membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat dalam khasanah kehidupan manusia. Hal ini memungkinkan kita mengenali berbagai pengetahuan yang ada seperti ilmu, seni dan agama serta meletakkan mereka pada tempatnya masing-masing yang saling memperkaya kehidupan kita. Tanpa mengenal ciri-ciri tiap pengetahuan dengan benar maka bukan saja kita dapat memanfaatkan kegunaanya secara maksimal namun kadang kita salah dalam menggunakannya. Ilmu di kacaukan dengan seni, ilmu dikonfrontasikan dengan agama, bukankah tak ada anarki yang lebih menyedihkan dari itu?

PEMBAHASAN
A. Ontologi
Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dlaam konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
1. Objek Formal
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.
2. Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik.
Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan.
Contoh : Sesuatu yang bersifat lahirah itu fana (Tt-P)
Badan itu sesuatu yang lahiri (S-Tt)
Jadi, badan itu fana’ (S-P)
Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik sebagai berikut:
Contoh : Gigi geligi itu gigi geligi rahang dinasaurus (Tt-S)
Gigi geligi itu gigi geligi pemakan tumbuhan (Tt-P)
Jadi, Dinausaurus itu pemakan tumbuhan (S-P)
Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengahj menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a posteriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan subjek, term tengah menjadi akibat dari realitas dalam kesimpulan.[2]
Sementara Jujun S. Suriasumantri dalam pembahasan tentang ontologi memaparkan juga tentang asumsi dan peluang. Sementara dalam tugas ini penulis tidak hendak ingin membahas dua point tersebut.

B. Epistemologi
Masalah epistemology bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat di ketahui. Memang sebenarnya, kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemology. Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya.
Manusia tidak lah memiliki pengetahuan yang sejati, maka dari itu kita dapat mengajukan pertanyaan “bagaimanakah caranya kita memperoleh pengetahuan”?[3]

Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan
a. Empirisme
Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut.
Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang factual.

b. Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.

c. Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman. Baran sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinyan sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaanya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).
Bagi Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan di dasarkan pada pengalaman-meskipun benar hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman.

d. Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah suau sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.
Salah satu di antara unsut-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah, paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.
Hendaknya diingat, intusionisme tidak mengingkati nilai pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme – setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk-hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap di peroleh melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi-yang meliputi sebagian saja-yang diberikan oleh analisa. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaanya yang senyatanya.
e. Dan masih masih banyak lagi yang menjadi bahasan dalam epistemology.

C. Aksiologi
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kamanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. “bukan lagi Goethe yang menciptakan Faust.” Meminjamkan perkataan ahli ilmu jiwa terkenal carl gustav jung,” melainkan faust yang menciptakan Goethe.”
Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaa semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun bagi ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat di elakkan. Dan untuk menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat moral.
Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Sejarah kemanusiaan di hiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban telah menyaksikan sokrates di paksa meminum racun dan John Huss dibakar. Dan sejarah tidak berhenti di sini: kemanusiaan tak pernah urung di halangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dapat melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti dengan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran. “segalanya punya moral,” kata Alice dalam petualangannya di negeri ajaib, “asalkan kau mampu menemukannya.” (adakah yang lebih kemerlap dalam gelap; keberanian yang esensial dalam avontur intelektual?).
Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang ontologi ini adalah berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional?[4]
PENUTUP

Kesimpulan


Dari pembahasan di atas dapat di tarik kesimpulan :
1. Ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?.
2. Epistemologi berusaha menjawab bagaimna proses yang memungkinkan di timbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di perhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?.
3. Aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral?[5]
Pendapat akhir
Fraksi Partai Amanat Nasional

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
KABUPATEN BOYOLALI






Terhadap
Ranperda Perubahan APBD Th 2010
Kabupaten Boyolali


Terhadap
Rancangan Peraturan Daerah Perubahan
APBD Tahun Anggaran 2010
Kabupaten Boyolali

Dibacakan oleh: Mulyanto, SH.

Bismillahirrohmaanirrohiim
Assalamu’alaikum Wr Wb

Yang Terhormat Sdr Ketua, para Wakil Ketua dan Anggota DPRD Boyolali
Yang kami hormati Sdr Bupati, Wakil Bupati dan Anggota MUSPIDA BOYOLALI
Yang hormati Ketua Pengadilan Negeri Boyolali
Yang kami hormati Sdr Kepala Kejaksaan Negeri Boyolali
Yang kami hormati Sdr Sekreatris Daerah, Staf Ahli, Sekretaris DPRD, Para Asisten Bupati, Kepala Dinas, Kepala Badan, dan Kepala Kantor Kabupaten Boyolali
Yang kami hormati, kami cintai dan kami banggakan para sahabat dari pers dan hadirin yang dimuliakan Alloh Tuhan YME.
Sidang Dewan Yang Terhormat,
Pertama marilah kita bersama-sama memanjatkan puji syukur Alhamdulillah atas limpahan rahmat dan nikmat kepada kita semua, sehingga dengan idzin-Nya kita dapat melaksanakan siding paripurna penetapan perubahan APBD 2010, dalam keadaan yang sehat tidak ada kekurangan suatu apapun. Dan dengan mengharap ridhonya mudah-mudahan siding paripurna menjadi bagian dari amal sholeh kita semua. Amien ya rabbal alamin.

SidangParipurna Dewan Yang Terhormat,
Mengawali pembacaan pendapat akhir FPAN ini perkenankanlah kami mengingatkan kembali kepada kita semua, akan arti penting dari dasar-dasar penyelenggaraan pemerintah daerah yaitu UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah. Pada pada dasarnya desentralisasi merupakan pemindahan tugas wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Daerah mempunyai keleluasaan menentukan prioritas pembangunan. Keleluasaan disertai kebebasan menentukan belanja daerah ka menentukan belanja daerah karena disertai perpindahan uang dari pusat ke daerah. Namun demikian dijelaskan di Pasal 23 ayat (2) bahwa keuangan daerah harus dikelola secara transparan dan akuntabel. Kemudian dalam PP No.58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 4 ayat (1) bahkan lebih luas dan tegas lagi, yang mensyaratkan agar keuangan daerah harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat. Maka setiap kebijakan daerah harus mempertimbangkan beberapa dimensi:
· Dimensi Politik artinya setiap proses keputusan harus mempertibangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang direpresentasikan oleh lembaga perwakilan.
· Dimensi Sosial , setiap kebijakan harus terintegrasikan ke dalam institusi sosial yang ada, dengan mempertimbangkan nilai-nilai kepatutan atau etika masyarakat;
· Dimensi Ekonomi, setiap kebijakan harus terarah pada kesejahteraan kolektif
Dari dasar-dasar penyelenggaraan pemerintah daerah yang akuntebel dan tranparan dan setelah menigikuti pembahasan perubahan anggaran tahun 2010 FPAN berpendapat :
1. Bidang Perencanaan dan pengganggaran
Berdasarkan tinjauan terhadap dokumen-dokumen perencanaan pembangunan di Boyolali yang ada, pemerintah Kabupaten Boyolali belum serius menangani penanggulangan, pengentasan maupun pengurangan kemiskinan. Hal ini bisa dilihat dari dukungan dana program kemiskinan yang sangat minim meski telah menjadi prioritas pembangunan dari tahun ke tahun termasuk realisasi APBD perubahan tahun 2010. Bahkan dalam pandangan FPAN belanja program program kemiskinan lebih kecil ketimbang honor panitia kegiatan. Hal ini menjadi sesuatu anomali dalam sistem penyelenggaran pemerntahan di Boyolali khususnya di bidang perencanaan dan pengganggaran. Ini bisa dilihat dalam pidato bupati dalam rangka penyampaikan APBD perubahan yang bertekad akan mengurangi kemiskinan sampai 2 %, serta penjabaran RPJMD 2006 – 2010 Pemerintah Boyolali menetapkan program prioritas sebagai berikut :
® Penanggulangan kemiskinan
® Peningkatan kesempatan kerja
® Peningkatan akses layanan dasar terutama pendidikan dan kesehatan
® Pembangunan infrastruktur
® Revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan

Artinya bahwa prioritas tersebut seharusnya mendapat alokasi anggaran yang lebih besar di banding dengan alokasi honor panitia maupun perjalanan dinas aparatur pemda, sehingga konsistensi atau komitmen pemerintah dalam bentuk alokasi anggaran yang memadahi bagi sektor prioritas, bukan hanya fasilitas aparatur yang terus di tambah dari tahun ke tahun.

SidangParipurna Dewan Yang Terhormat,

2. Pengelolaan keuangan
Dokumen RAPBD Perubahan Kabupaten Boyolali th 2010 belum menyajikan informasi secara lengkap performance aggaran sebagaimana di amanatkan PP.58 th 2005 maupun permendagri 25 th 2009 tentang pengelaloan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan harus specific, measurable, achievable, reasonable, timeframe(SMART), namun kenyataan masih kita temukan masalah-masalah dalam setiap pengganggaran dan pembelajaan. Pedoman penyusunan APBD tahun 2010, Penyusunan APBD harus memenuhi prinsip transparansi, Akuntabilitas, dan keadilan Anggaran yang meliputi ; tujuan, sasaran, sumber pendanaan pada setiap jenis/obyek belanja serta korelasi antara besaran anggaran dengan manfaat dan hasil yang ingin dicapai dalam suatu kegiatan yang dianggarkan. Karena hal tersebut diatas kami merasa kesulitan atas hal-hal sebagai berikut :
a. Korelasi dan kesesuaian antara KUA dan PPAS dengan RAPBD-P, dikarenakan dokumen KUA dan PPAS.
b. Mengukur target kinerja yang akan dicapai oleh sebuah rencana program dan kegiatan, dikarenakan penyajian dokumen RAPBD-P ini hanya menekankan angka-angka input saja, namun tidak memberikan informasi walaupun hanya secara umum mengenai output, hasil dan manfaat sebuah program /kegiatan.
c. Mengetahui tingkat pencapaian kegiatan yang sudah dianggarkan dalam APBD Murni tahun 2010, karena kami tidak mendapatkan informasi tentang sampai sejauh mana penyerapan anggaran pada kegiatan- kegiatan tersebut, padahal ini sangat penting untuk menentukan kebijakan dalam Pembahasan Anggaran Perubahan, terkait, apakah perlu adanya suatu kegiatan baru dalam Anggaran Perubahan ini, Perlukah ditambah ataupu dikurangi jumlah anggarannya ataupun target kinerjanya, apakah sebuah kegiatan layak dilanjutkan ataukah justru dibatalkan atau dialihkan kepada kegiatan yang lain dan sebagainya.
Atas penyajian dokumen diatas F-PAN minta kedepan agar informasi - informasi penting tersebut disajikan bersamaan dengan setiap penyampaian RAPBD atau setidak-tidaknya dijelaskan dalam Nota Keuangan yang disampaikan saudara Bupati.

SidangParipurna Dewan Yang Terhormat,

3. Pelayanan Dasar
Berdasarkan diskusi internal FPAN dan analisis yang dilakukan beberapa LSM di Boyolali dapatdi petakan ada tuju isu utama dalam layanan dasar dan pemenuhan hak-hak dasar warga Boyolali. Ketuju isu yang harus segera ditangani, dan implementasi dalam kebijakan pemerintah Kabupaten Boyolali, khususnya dalam jangka pendek dan jangka menengah . Tujuh isu tersebut adalah:
1. Rendahnya layanan pendidikan dan keterampilan
2. Terbatasnya dan kurangnya kualitas kesehatan
3. Rusaknya lingkungan;
4. Rendahnya produksi dan kerentanan usaha pertanian dalam arti luas, termasuk peternakan dan perikanan;
5. keterbatasan lapangan kerja;
6. Rusaknya infrastruktur perhubungan
7. keluarga berencana;

Oleh karena itu pemerintah daerah harus serius menjalankan fungsi-fungsi pelayanan secara simultan. Dari data yang di keluar BPS indeks pembangunan manusia di Boyolali masih rendah, bahkan lebih rendah dari indeks pembangunan manusia di Jawa Tengah. Artinya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dibawah rata-rata Kabupaten-Kabupaten di Jawa Tengah. Ini memprihatinkan kita, kita semua.
4. Penyelenggaraan Pemerintahan
Gerbong mutasi besar besaran dilakukan Bupati Boyolali terhadap staf administrasi, perawat, guru dan pejabat eselon sudah memasuki putaran yang 5. Dari mutasi ini tentu ada senang dan yang susah, sedih tidak jarang menangis. FPAN memahami sekaligus menyayangkan dan prihatin terhadap kebijakan Mutasi besar-besaran yang dilakukan Bupati Boyolali. Setelah kami secara seksama mendengar, mengkaji mutasi di pemkab menjadi persoalan tersendiri bagi PNS kabupaten Boyolali. Keresahan dan ketidakpastian selalu membayangi bagi sejumlah PNS akibat kebijakan bupati terkait dengan mutasi. Kebijakan mutasi pasca pilkada memberikan dampak psikologis pada PNS yang di mutasi.
Hal ini sangat ironi jika mutasi sebagaimana disampaikan bupati bertujuan untuk pemerataan PNS serta kelanjutan program reformasi yang dicanangkan oleh bupati apalagi landasan yang digunakan adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 09/2003, disisi lain sebagai sebagaiman statemen wakil bupati diberbagai media mutasi staf tidak harus melalui Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) justru menimbulkan tanda tanya di kalangan PNS. PP 09 tahun 2003 secara filosofis mengatur pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS yang mempunyai jabatan, bukan staf. Bupati sebagai Pembina pegawai sesuai dengan PP 9 2003 pasal 14 huruf 7 medelegasikan sebagian wewenang untuk pengangkan, pemberhentian dan pemindahan terkadung maksud memberikan keleluasaan kepada instansi tertentu (SKP) pengguna tenaga PNS sesuai tupoksi pegawai yang bersangkutan.
Persoalan diatas justru bertentangan dengan prinsip Good Governance (Pasal 20 UU No. 32/2004) yaitu :
1. Asas Kepastian Hukum, adalah asas yang mengutamakan landasan per-UU-an, kepatuhan dan keeadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, adalah asas yg menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggara Negara;
3. Asas Kepentingan Umum, adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum d/p kepentingan individu atau kelompok dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.
4. Asas Keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap hak masy untuk memperoleh informasi yg benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.
5. Asas Proporsionalitas, adalah asas yg mengutamakan keseimbangan antara hak % kewajiban Penyelenggara Negara.
6. Asas Profesionalitas, adalah asas yg mengutamakan keahlian yang berlandaskan kompetensi, kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Asas Akuntabilitas, adalah asas yg menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai ketentuan peraturan per-UU-an yang berlaku.
8. Asas Efektifitas, adalah asas yang berorientasi pada tujuan yang tepat guna dan berdaya guna.
9. Asas Efisiensi, adalah asas yang berorientasi pada minimalisasi penggunaan sumber daya untuk mencapai hasil kerja yang terbaik

SidangParipurna Dewan Yang Terhormat,

5. Aparatur
Berkaitan dengan Pengadaan Mobil Operasional yang disepakati oleh badan anggaran dengan eksekutif, FPAN memilih disining opinion. FPAN berpendat hakekat pemberian fasilitas mobil adalah dalam rangka meningkatkan pelayanan masyarakat. Kami memahami bahwa pengadaan mobil dimaksudkan dalam rangka penambahan armada untuk optimalisasi, peningkatan sarana dan prasarana kinerja DPRD. Dengan pengadaan mobil dinas, kami FPAN meminta segenap jajaran eksekutif dan legislative mengatur penggunaan mobil dinas secara terinci, sehingga penggunaan mobil dinas di gunakan sebagaimana mestinya. Sebagaimana pernyataan menteri dalam negeri di majalah gatra yang merencakan akan mengeluarkan peraturan menteri tentang penggunaan mobil dinas, yang hanya boleh digunkan untuk dinas saja, tidak boleh dibawa pulang apalagi di gunakan untuk keluarga. Meski itu baru statemen di public, kami minta bupati untuk mengatur penggunaan mobil, agar penggunaannya di batasi hanya untuk kepentingan dinas. Misalnya larangan mobil dinas dibawa pulang. Kalau itu bias di lakukan akan terjadi efesien yang besar, karena belanja operasianal perawatan mobil dinas yang dianggarkan dalam APBD cukup besar.


SidangParipurna Dewan Yang Terhormat,
Demikian pula kami sampaikan, bahwa setelah mencermati berbagai pelaksanaan kegiatan APBD 2010, dan pencermatan terhadap RAPBD, Fraksi Partai Amanat Nasional, setelah mendengarkan secara langsung baik pendapat2 fungsionaris Partai Amanat Nasional dari tingkat Desa, Kecamatan dan Kabupaten, juga mendengarkan secara langsung pendapat2 dari masyarakat, para penggiat LSM dan akademisi; maka Fraksi Partai Amanat Nasional DPRD Kabupaten Boyolali perlu menyuarakan:
a. Dana Alokasi Khusus, Fraksi PAN meminta kepada Pengguna Anggaran yakni Diknas, agar: mentaati secara menyeluruh Permendiknas No 18 Th 2010 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan DAK untuk SD dan Permendiknas No 19 Th 2010 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan DAK untuk SMP. FPAN mendukung kebijakan pengadaan barang dan jasa menggunakan system elektronik atau yang dikenal e-procurement. Kalau itu di jalankan dengan benar perkiraan kami akan terjadi efesiensi antara 4 sampai 5 milyard. Ini cukup fantastic karena pengalaman pengadaan buku rabat rata-rata antara 20-25%. Namun dalam pengadaan fisik yang saat ini telah berlangsung untuk lebih selektif didalam menentukan rekanan baik dalam tender terbuka maupun pemilihan langsung.
b. Peyertaan modal Pihak ke 3. Pengalihan rencana penyertaan modal sebesar 2 milyard di BKK dan di bank Jateng di pandang positif, di tengah-tengah minimnya anggaran dan lemahnya daya beli masyarakat, sehingga dana itu bisa dimanfaat langsung masyarakat yang kurang mampu atau sebagai stimulant pembangunan di masyarakat.
c. Rapelan Tunjangan Beras
Mengingatkan kepada seluruh para aparatur Kabupaten Boyolali agar tidak bermain-main amanat ini yang sudah 2 tahun dinanti-nanti PNS di Boyolali, jangan sampai ada pemotongan dengan dalih apapun, jangan sampai ada tradisi setiap ada rapelan ada potongan, sebagaimana yang terjadi beberapa waktu yang langsung, kesra guru swasta yang dipotong 25-50 ribu, begitu juga rapelan tujangan profesi meski dengan istilah gotong royonga atau apapun.
d. INTERPELASI
Interpelasi adalah Hak DPRD sebagaimana diatur dalam keputusan DPRD no. 2 tahun 2010 pasal 9, 11 ,12 dan 13. Interpelasi adalah hal biasa sebagaimana definisi mutasi adalah hal yang biasa. Interpelasi adalah hak bertanya DPRD kepada Pemerintah tentang suatu kebijakan. FPAN mengajukan interpelasi karena dalam mutasi sudah menimbulkan ketidakpastian bagi PNS. Dan ingin tahu alasan alasan saudara Bupati menempuh kebijakan yang demikian spektakuler. Melalui sidang Paripurna ini, Fraksi PAN kembali mengajak seluruh anggota menggunakan hak interpelasi demi kebaikan pemerintahan Boyolali dan Demi kepentingan aparatur pemerintahan Boyolali termasuk masyarakat.

Sidang Dewan Yang Terhormat,
Selanjutnya, perlu kami sampaikan kesimpulan dari Proses pembahasan RAPBD yang ikuti oleh anggota FPAN, bahwa Fraksi Partai Amanat Nasional berpendapat MENYETUJUI dan MENERIMA, bahwa Ranperda Perubahan APBD Th 2010 ditetapkan menjadi Perda APBD P tahun 2010 dengan catatan dilaksanakan secara transparan dengan akuntebel, bisa di pertanggungjabkan secara Undang-undang maupun di akherat nanti.
Demikian Pandangan Umum Fraksi Partai Amanat Nasional terhadap Ranperda Perubahan APBD Th 2010 Kabupaten Boyolali, dengan harapan semoga dapat memberikan kemaslahatan umat sesuai dengan maqosidu syar’i yaitu hifdzul dien, dan hifdzul amal.

Akhiirul kalam,
Billahi taufiq walhidayah… Wassalamu’alaikum Wr Wb

Boyolali, 9 oktober 2010
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
KABUPATEN BOYOLALI



Drs. Thontowi Jauhari, SH, M. Si. Musthofa Syafawi, SH
KETUA Sekretaris
Pandangan Umum
Fraksi Partai Amanat Nasional

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
KABUPATEN BOYOLALI




Terhadap
Ranperda :
Pajak Daerah
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan
Penyelenggaraan Adminitrasi Kependudukan
Perubahan Kedua Atas Perda Nomor 14 Tentang Kedudukan Keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa

Kabupaten Boyolali


Terhadap
1. Pajak Daerah
2. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
3. Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan
4. Penyelenggaraan Adminitrasi Kependudukan
5. Perubahan Kedua Atas Perda Nomor 14 Tentang Kedudukan Keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa
Kabupaten Boyolali
Dibacakan oleh: Musthofa, SH

Bismillahirrohmaanirrohiim
Assalamu’alaikum Wr Wb

Yang Terhormat Sdr Ketua, para Wakil Ketua dan Anggota DPRD Boyolali
Yang kami hormati Sdr Bupati, Wakil Bupati dan Anggota MUSPIDA BOYOLALI
Yang hormati Ketua Pengadilan Negeri Boyolali
Yang kami hormati Sdr Kepala Kejaksaan Negeri Boyolali
Yang kami hormati Sdr Sekreatris Daerah, Staf Ahli, Sekretaris DPRD, Para Asisten Bupati, Kepala Dinas, Kepala Badan, dan Kepala Kantor Kabupaten Boyolali
Yang kami hormati, kami cintai dan kami banggakan para sahabat dari pers dan hadirin yang dimuliakan Alloh Tuhan YME.
Sidang Dewan Yang Terhormat,
Dengan mengucap kan Puji syukur alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, yang memberikan segala rahmat, hidayah dan nikmat kepada kita semua, sehingga dengan idzin-Nya kita dapat melaksanakan pekerjaan yang mulia ini, yaitu sidang paripurna dalam keadaan sehat, dan berbahagia.
Dan seraya kita berdoa sebagai ungkapan keprihatinan kita semua, mudah-mudahan rakyat boyolali di jauhkan dari mara bahaya dan bencana yang akhir-akhir ini terus melanda di Negara kita. Sebagaimana doa yang di panjatkan Nabi Muhammad tatkala hijrah ke madinah :
3 $oY­/u‘ Ÿw !$tRõ‹Ï{#xsè? bÎ) !$uZŠÅ¡®S ÷rr& $tRù'sÜ÷zr& 4 $oY­/u‘ Ÿwur ö@ÏJóss? !$uZøŠn=tã #\ô¹Î) $yJx. ¼çmtFù=yJym ’n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB $uZÎ=ö6s% 4 $uZ­/u‘ Ÿwur $oYù=ÏdJysè? $tB Ÿw sps%$sÛ $oYs9 ¾ÏmÎ/ ( ß#ôã$#ur $¨Ytã öÏÿøî$#ur $oYs9 !$uZôJymö‘$#ur 4 MRr& $uZ9s9öqtB $tRöÝÁR$$sù ’n?tã ÏQöqs)ø9$# šúï͍Ïÿ»x6ø9$# ÇËÑÏÈ
· Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.
· Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami.
· Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.
· beri ma'aflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." (al-Baqoroh 286)

Sidang Paripurna Dewan Yang Terhormat,
Mengawali pandangan umum atas 5 Ranperda ini, kami dari FPAN mengajak untuk mengingat kembali pokok pikiran dalam UU nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya pasal 12 di nyatakan bahwa fungsi dari peraturan daerah adalah:
1. Sebagai intrumen kebijakan untuk melaksanakan otonomi daerah sebagaimana di amanatkan dalam undang-undang dasar 1945 dan UU tentang pemerintahan daerah.
2. Merupakan peraturan pelaksana dari peraturan undang-undang yang lebih tinggi.
3. Sebagai penampung kekhususan dan keragaman daerah serta penyalur aspirasi masyarakat daerah,
4. Sebagai alat pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan daerah.
Dari ke 4 fungsi peraturan daerah di atas seharusnya perda-perda yang di buat semestinya dapat menciptakan pemerintahan daerah yang baik (good local governance). Yaitu meningkatnya pelayanan kepada masyarakat (public services), kesejahteraan masyarakat semakin baik, keadilan dan pemerataan, serta terciptanya hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah.

Sidang Paripurna Dewan Yang Terhormat
Dari penjelasan diatas FPAN, setelah membaca, mecermati, menelaah dan mengkaji dari hasil penyampaian 5 Ranperda, mengikuti public hearing serta diskusi internal FPAN, menyampaikan pokok-pokok pikiran dan pendapat terhadap 5 Ranperda adalah :
1. Pajak Daerah
Rancangan Peraturan Daerah tentang Pajak daerah yang di sampaikan eksekutif merupakan turunan dan sekaligus amanat UU 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah, yang mewajibkan daerah untuk mengatur pajak daerah dalam bentuk peraturan daerah, yang meliputi jenis obyek dan subyek wajib pajak :
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g. Pajak Parkir;
h. Pajak Air Tanah;
i. Pajak Sarang Burung Walet;
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan;
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Dan dengan tegas pada pasal 2 ayat 3, UU No 28 tahun 2009, melarang memungut pajak selain jenis pajak diatas untuk kabupaten/ kota. Oleh karena itu FPAN berpendapat karena ranperda pajak daerah bersifat mutatis dan mutandis dari UU no. 28 th 2009, maka perda pajak daerah seharusnya lebih mengatur secara rinci dan bersifat teknis mengenai dasar pengenaan tarif dan cara menghitungnya, penetapan dan pemungutan pajak, tata cara pembayaran dan penagihan pajak, peradilan pajak daerah, penyidikan dan pidana pajak daerah serta personil PPNS. Ini penting karena dalam pelaksanaan dan pengawasan perda tidak lagi berjalan pada wilayah abu-abu. Seperti yang berjalan pada saat ini. Sangat tidak logis banyak rumah makan, hotel, reklame, dll pajak yang tertagih tahun 2010 hanya sekitar 12,6 Milyard, sedangkan retribusi saja mencapai 22 Milyar lebih. Menurut FPAN ada 2 kemungkinan kecilnya pajak tertagih karena factor peraturan daerah tentang pajak daerah yang masih abu-abu belum mengatur secara teknis dan rinci, atau kemungkinan kedua adalah rendahnya integritas petugas pemungut pajak. Maka FPAN mengusulkan agar Perda pajak daerah nantinya diatur secara detail tidak hanya menurunkan dari UU no 28 saja, sehingga kekhusus-san dari Perda dapat terwujudnya keadilan dan pemerataan. Sebagai upaya perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam perda pajak FPAN memandang perlu adanya Control Chieps dalam bentuk mesin register atau sejenisnya yang di tempat pada tempat obyek pajak, sekaligus memaksimalkan potensi pajak yang di masukkan dalam teknis tata cara pemungutan pajak daerah.
Oleh karena pasal-pasal mengenai penetapan tariff perlu pengkajian yang mendalam. Termasuk pada bab 12 sampai dengan 20, atau pasal 57 sampai pasal 78 tentang wilayah pungutan pajak sampai insintif pajak, dengan mempertimbangkan potensi pajak daerah yang sebenarnya cukup besar. Karena banyak penelitian ilmiah tentang potensi pajak daerah Boyolali namun tidak dipertimbangkan sama sekali dalam pembuatan kebijakan perpajakan daerah.

2. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Sejarah pengalihan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari pengelolaan pemerintah pusat ke pemerintahan adalah dalam rangka mendorong potensi pendapatan asli daerah, serta memberikan keleluasaan pemerintah daerah dalam meningkatkan nilai ekonomi daerah atas tanah dan bangunan, dikandung maksud mempermudah pembiayaan pemerintah daerah. Apabila kita cermati bersama dalam Ranperda yang diajukan oleh eksekutif kemungkinan besar pendapatan asli daerah atas BPHTB justru akan mengalami penurunan. Oleh karena itu untuk mengantisipasi penurunan, diperlukan pengaturan secara rijit pada penetapan NPOP, NPOPTKP dan NJOP khususnya pada bab III, pada pokok dasar pengenaan tarif dan cara menghitung BPHTB sehingga tidak ada celah untuk kong kalikong antara wajib pajak dengan petugas pemungut pajak.
Sebab kalau Ranperda BPHTB hanya menurunkan dari UU no.28 th 2009, tidak sejalan dengan semangat UU no.33 th.2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah Pusat dengan Pemerintah daerah.
Oleh karena itu FPAN mendorong pembahasan Ranperda BPHTB ini perlu data yang rinci hasil co-sharing antara pusat dan daerah selama ini, sehingga pasal demi pasal akan lebih jelas dan dapat dipahami oleh wajib pajak maupun petugas pajak, termasuk bila perlu alokasi penggunaan hasil pajak. Maka pasal 11 sampai pasal 32 dalam Ranperda perlu pengkajian khusus, karena hal baru. Termasuk belum diaturnya implementasi proses pengalihan dari pusat ke daerah, karena menyangkut SDM petugas pemungut dan sarana prasarana administrasi perpajakan. Begitu memerlukan data NJOP atas tanah dan bangunan secara lengkap.

Sidang Paripurna Dewan Yang Terhormat
3. Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan
Administrasi kependudukan sangat penting dan strategis, karena penduduk merupakan salah satu pilar dari berdirinya suatu Negara. Jumlah penduduk Boyolali relative besar di bandingkan dengan daerah lain, maka suatu keharus penduduk boyolali di catat, dikelola dan di tingkatkan kualitasnya. UU no. 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan merupakan landasan hukum untuk pengadministrasian penduduk secara benar, tertib, teratur dan berkelanjutan.
Penyelenggaraan administrasian kependudukan pada prinsipnya diarahkan untuk memenuhi hak asasi setiap orang, tanpa diskriminasi. Untuk itu dengan Ranperda Penyelenggaraan Administrasi kependudukan harus menyediakan data base kependudukan yang lengkap akurat, mendukung perumusan kebijakan dan perencenaan pembangunan daerah, sehingga keabsahan data penduduk dapat diikuti oleh semua pihak.
Mencermati Ranperda penyelenggaraan Administrasi Kependudukan, sebagai konsekwensi dari adanya UU no. 12 tahun 2006 tentang kewarga negaraan RI dan UU no.23 tentang administrasi kependudukan, FPAN meminta untuk memperjelas pasal-pasal berkaitan dengan KIA (kartu indentitas anak) pasal 57, SIAK (system informasi adminitrasi kependudukan) pasal 96, dan disertai tata cara pelaksanaan serta mekanisme KIA dan SIAK. FPAN mengusulkan SIAK berbasis Desa, sehingga perkembangan data penduduk mulai dari kelahiran, kematian dan mutasi penduduk dapat diakses secara online, sebagaimana yang di berlakukan oleh NUPTK bagi guru, sehingga tidak ada data ganda penduduk. Dan ini atur dalam pasal-pasal dalan raperda.
Selanjutnya FPAN juga meminta pansus nantinya untuk mengkaji lebih mendalam lagi nominal sanksi administrasi dan ketentuan pidana, serta pengaturan secara detail tentang PPNS yang selalu disebutkan dalam setiap perda sebagai perangkat penegakan peraturan daerah. Yang selama ini menurut info yang di terima FPAN Boyolali justru tidak mempunyai petugas Penyidik pegawai negeri sipil. Ini menjadi ironi selagi terus ditetapkannya peraturan-peraturan daerah tetapi perangkatnya tidak ada.
4. Pertambang mineral bukan logam
Persoalan pertambangan di Boyolali adalah persoalan menahun yang krusial. Naskah akademik sebagai penuntun Ranperda Pertambangan Mineral bukan Logam dan Batuan, menjelaskan paling tidak ada 3 pilar aspek yang harus diperhatiakan dalam usaha pertambangan. Yaitu aspek ekonomi, aspek social dan aspek linkungan. Oleh karena itu dalam Ranperda pertambangan mineral bukan logam dan batuan pengaturan usaha pertambangan tidak hanya : penetapan wilayah pertambangan, pemberian izin pertambangan, evaluasi kegiatan pertambangan, dan pengawasan pengendalian, tetapi upaya menjaga keseimbangan dari ketiga aspek tersebut yaitu ekonomi, social dan linkungan.
FPAN berharap dalam pembahasan ranperda untuk mengkaji lebih detail khusus bab IV pasal 6, 7, 8,9, 10, 11 tentang wilayah pertambangan. FPAN memandang perlu di cantumkan dalam perda ini kawasan yang boleh di tambang dan kawasan yang dilarang untuk di tambang, sehingga memudahkan perizinan usaha pertambangan. Tidak seperti sekarang ketidakjelasan mana zona larangan dan zona boleh di tambang.
Yang selanjutnya berkaitan dengan pemegang wilayah izin usaha tambang, pemberian izin dengan luas maksimal 25.000 (dua puluh lima ribu) perlu di tinjau ulang, ini sangat mungkin di manfaatkan kekuatan-kekuatan politik besar tanpa memperhitungan aspek-aspek social dan lingkungan,
FPAN berharap dalam pembahasan ranperda pertambangan, sekaligus diatur pajak pertambangan, retribusi perizinan, jaminanan reklamasi pasca tambang , asuransi pekerja tambang secara detail, sehingga tidak memunculkan berbagai tafsirn hukum,
5. Perubahan Perda 14 tentang kedudukan keuangan kepala Desa dan perangkat Desa.
Dalam perubahan perda 14 ini pada prinsipnya FPAN, mendorang agar peningkatan penghasilan kepala desa dan perangakat desa sehingga perangkat sejahtera dan dapat memberikan pelayanan secara prima, tetapi tidak mengabaikan kepentingan masyarakat Desa secara. Jangan sampai perubahan perda ini justru membuat perpecahan diantara perangkat desa yang menyebabkan terbengkelainya pelayanan masyarakat desa. FPAN mengusulkan agar masalah kedudukan keuangan perangkat desa di atur lebih rinci di hitung dari sumber pendapat asli desa dan dari sumber bantuan pemerintah kabupaten, dengan berpatokan pada UMK. Sehingga persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kedudukan perangkat desa bisa di minimalisir. Maka dari itu pada saat pembahasan Ranperda pansus bisa mengundang para pemangku kepentingan masyarakat desa, mulai Farum BPD, PARADE, PPDI, tokoh masyarat, ahli pedesaan, untuk mencari format yang menyeluruh berkaitan dengan kedudukan keuangan perangkat desa. Karena ini masalah yang sangat krusial sepanjang di berlakukannya otonomi desa. Lebih dengan diberlakukanya UU no. 32 tahun 2004 dan PP no. 72 tahun 2005.

Sidang Dewan Yang Terhormat,
Selanjutnya, perlu kami sampaikan setelah mengikuti public hearing diskusi awal dengan para pakar, masukan dari kader-kader PAN, serta analisis anggota FPAN terhadap lima ranperda yang disampaikan, bahwa Fraksi Partai Amanat Nasional MENYETUJUI, 5 Ranperda Kabupaten Boyolali agar segera DIBAHAS sesuai jadwal sebagaimana yang telah ditetapkan, Badan Musyawah.

Demikian Pandangan Umum Fraksi Partai Amanat Nasional terhadap Ranperda
1. Pajak Daerah.
2. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
3. Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan
4. Penyelenggaraan Adminitrasi Kependudukan
5. Perubahan Kedua Atas Perda Nomor 14 Tentang Kedudukan Keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa Kabupaten Boyolali,
dengan harapan semoga dapat memberikan pandangan yang menjadi masukan dalam tiap proses pembahasan-pembahasan Ranperda tersebut sehingga dapat menjadi harapan public sampai pada ujung penetapan dalam Sidang Paripurna berikutnya.
Sidang Paripurna Dewan Yang Terhormat
Karena pada awal tadi di buka dengan doa maka pada kesempatan ini kita tutup dengan doa pula sebagaimana doa yang dipanjatkan Nabi Musa AS, ketika berhadapan dengan fir’aun, maka untuk menghilangkan rasa kegentarannya menghadapi kekejamannya seraya berdo’a

As% b>u‘ ÷yuŽõ°$# ’Í< “Í‘ô‰¹ ÇËÎÈ ÷ŽÅc£o„ur þ’Í< “̍øBr& ÇËÏÈ ö@è=ôm$#ur Zoy‰ø)ãã `ÏiB ’ÎT$¡Ïj9 ÇËÐÈ (#qßgs)øÿtƒ ’Í<öqs% ÇËÑÈ @yèô_$#ur ’Ík< #\ƒÎ—ur ô`ÏiB ’Í?÷dr& ÇËÒÈ tbr㍻yd ÓŁr& ÇÌÉÈ ÷Šß‰ô©$# ÿ¾ÏmÎ/ “Í‘ø—r& ÇÌÊÈ çmø.ÎŽõ°r&ur þ’Îû “̍øBr& ÇÌËÈ ö’s1 y7ysÎm7¡èS #ZŽÏVx. ÇÌÌÈ x8tä.õ‹tRur #·ŽÏWx. ÇÌÍÈ y7¨RÎ) MZä. $uZÎ/ #ZŽÅÁt/ ÇÌÎÈ
1. Berkata Musa: "Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku.
2. Dan mudahkanlah untukku urusanku,
3.. Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku,
4. Supaya mereka mengerti perkataanku,
5. Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku,
6. Yaitu Harun, saudaraku,
7. Teguhkanlah dengan dia kekuatanku,
8. Dan jadikankanlah dia sekutu dalam urusanku,
9. Supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau,
10. Dan banyak mengingat Engkau.
11. Sesungguhnya Engkau adalah Maha melihat (keadaan) kami". (Q.S. Thohaa, 25-35)

Demikian
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Boyolali, 21 oktober 2010
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
KABUPATEN BOYOLALI



Drs. Thontowi Jauhari, SH, M. Si. Musthofa Syafawi, SH
KETUA Sekretaris