Minggu, 21 Juni 2015

Dakwah Kultural Membendung Radikalisme



Dakwah Kultural Membendung Radikalisme

“Tetapi apa yang akan terjadi jika NU dan Muhammadiyah tidak dengan sigap dan segera melakukan counter atas bangkitnya gejala radikalisme di kalangan Islam? Hemat saya tidak ada lain kecuali, NU dan Muhammadiyah sangat mungkin dituduh berada dibalik seluruh aktivitas kaum radikal yang beberapa personalnya telah ditangkap dan dijatuhi hukuman baik hukuman mati maupun hukuman seumur hidup, di dalam negeri atau di luar negeri”

Pencitraan Islam adalah agama kekerasan, tidak ramah dan intoleran oleh negara-negara Barat memang menjadikan beban psikologis umat Islam Indonesia sangat dalam. Lebih lagi ketika pencitraan tersebut berujung pada kata Islam adalah teroris. Mengapa ada citra demikian pejoratif atas Islam, inilah yang kemudian coba dieliminir oleh Lembaga Dakwah NU dan Majlis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah dengan menggelar The Jakarta International Islamic Conference: Strategi Dakwah Menuju Ummatan Wasathan dalam Menghadapi Radikalisme 13-15 Oktober 2003.

Menarik apa yang dilakukan dua lembaga di bawah payung organisasi Islam terbesar di dunia, bukan saja di Indonesia. Mengapa, sebab pada tubuh dua organisasi Islam inilah citra Islam banyak diharapkan. Artinya, ketika NU dan Muhammadiyah tidak dapat menghadirkan “wajah Islam” yang ramah dan toleran sebagaimana harapan banyak orang, yang terjadi adalah semacam afirmasi atas gejala munculnya radikalisme Islam di Indonesia seperti belakangan marak sejak tiga tahun terakhir.

Sungguh berat beban NU dan Muhammadiyah memang harus diakui. Tetapi jika tidak berupaya dengan segera dan strategis maka citra Islam sebagai agama penabur kekerasan dan kebinasaan akan semakin kental, sehingga secara tidak langsung merongrong kewibawaan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin akibat reduksi dari umat Islam sendiri yang sebenarnya sama sekali tidak mencerminkan representasi jamaah terbesar umat Islam Indonesia.

Nilai strategis
Dalam konteks itulah, The Jakarta International Islamic Conference yang diselenggarakan LDNU dan MTDK PP Muhammadiyah dengan menggagas strategi dakwah Islam membendung radikalisme menemukan signifikansinya. Signifikan dari segi isu yang diangkat, serta signifikan dari segi populasi jamaah Islam Indonesia.

Jika apa yang telah dibahas dalam conference selama tiga hari dapat berjalan dengan lancar dalam arti tersosialisasikan ke tengah umat, maka tidak khayal lagi akan ada semacam “semangat baru” dalam tubuh umat Islam yang tengah tercabik-cabik dengan isu radikalisme dan terorisme. Tentu saja radikalisme dan terorisme bukan menjadi tujuan orang berislam, tetapi dengan munculnya gejala ini menjadikan bagian kecil dari Islam seakan-akan memiliki tujuan hidup menjadikan umatnya sebagai teroris.

Dari sinilah kemudian bahaya-bahaya redusir atas paham-paham tasamuh, persaudaraan, kerjasama, keselamatan dan rahmat menjadi semakin nyata adanya. Celakanya adalah dikonstruksikan oleh mereka yang merasa sebagai “pembela Tuhan”, sehingga orang yang tidak berada dalam pahamnya dianggap sebagai “musuh Tuhan” sehingga pantas untuk dilenyapkan, sebab halal darahnya. Sesama umat Islam bahkan dapat saling baku bunuh karena merasa mempertahankan kebenaran yang dipikulnya. Prinsip-prinsip sesama umat Islam adalah saudara acapkali tersingkir oleh egoisme kelompok yang membara dan menggebu-gebu, tanpa rasionalitas yang jelas.

NU dan Muhammadiyah jelas terpukul dengan klaim-klaim sebagian kecil umat Islam yang semacam itu. NU dan Muhammadiyah memang sudah seharusnya tidak rela atas klaim yang dilakukan sekelompok umat Islam Indonesia yang atas nama membela Tuhan menghancurkan citra damai, ramah dan bersaudara dari misi profetik Islam.

Tetapi apa yang akan terjadi jika NU dan Muhammadiyah tidak dengan sigap dan segera melakukan counter atas bangkitnya gejala radikalisme di kalangan Islam? Hemat saya tidak ada lain kecuali, NU dan Muhammadiyah sangat mungkin dituduh berada dibalik seluruh aktivitas kaum radikal yang beberapa personalnya telah ditangkap dan dijatuhi hukuman baik hukuman mati maupun hukuman seumur hidup, di dalam negeri atau di luar negeri.

Oleh sebab itulah, The Jakarta International Islamic Conference LDNU dan MTDK PP Muhammadiyah buat saya sungguh tepat dan mengenai sasaran. Sekali lagi tinggal bagaimana hubungan mesra sebagai bentuk “bulan madu” babakan baru NU-Muhammadiyah dapat terus berlangsung di negeri ini, sehingga dua ormas Islam terbesar ini mampu menampakkan pada publik di level internasional bahwa Islam bukanlah sebagaimana yang mereka citrakan selama ini; Islam sebagai teroris dan kelompok radikal yang kerjanya menganggu keamanan negara lain, atau dalam negeri.

Sebagai jamaah Islam terbesar, memang NU dan Muhammadiyah terlalu sering mendapatkan pekerjaan rumah yang berat, bahkan menohok ulu hati sehingga jika tidak berhati-hati merespon akan menjadi bumerang pada NU dan Muhammadiyah sendiri. Sudah bergerak pun masih diperolok-olok tidak strategis, tidak responsif, dan sejenisnya yang jika ditelusuri ujung-ujungnya adalah hendak mendeskreditkan NU dan Muhammadiyah.

Barangkali memang tidak adil juga menumpahkan seluruh harapan pencitraan Islam Indonesia hanya kepada NU dan Muhammadiyah. Tetapi, berharap kepada ormas Islam yang lainnya juga belum tentu mendapatkan afirmasi positif tentang keinginan mayoritas umat. Inilah problem yang sebenarnya menjadi tanggung jawab seluruh umat Islam Indonesia.

Dakwah Kultural
Tatkala sebagian besar perhatian kita tercurahkan pada perhelatan politik menjelang Pemilu 2004, maka kehadiran LDNU dan MTDK PP Muhammadiyah bergerak dalam wilayah dakwah Islam menjadikan bangsa ini tidak saja bergerak pada aras politik, tetapi kultural.
Dakwah kultural—tanpa perlu saya mendefinisikan terlebih dahulu—sungguh-sungguh sebuah itikad baik yang perlu disambut oleh umat Islam Indonesia. Kita tahu bahwa NU dan Muhammadiyah juga tidak bisa imun dari masalah politik, karena itulah dakwah kultural menjadi semakin penting untuk diperhatikan dan segera dilaksanakan.

Dakwah kultural, sebenarnya sebuah gerakan dakwah yang mengusung tema-tema genuine keindonesiaan sehingga sangat kontekstual dan “membumi”. Oleh sebab itu, dakwah kultural bukanlah strategi dakwah melawan sesama umat Islam, tetapi melakukan kontekstualisasi tafsir-tafsir atas doktrin dengan problem-problem yang muncul di tengah masyarakat Islam.
Disebabkan belakangan muncul gejala kebangkitan radikalisme Islam Indonesia, maka strategi dakwah yang digagas NU dan Muhammadiyah harus tepat dengan isu yang muncul sehingga sekalipun secara tidak langsung melawan radikalisme Islam, tetap akan menjadi perimbangan dan kontrol atas radikalisme Islam itu sendiri. Tentu saja tidak semua orang paham dengan konsep dakwah kultural NU dan Muhammadiyah, tetapi sekurang-kurangnya akan menemukan common sense ketika NU dan Muhammadiyah mampu merespons masalah-masalah aktual yang muncul mengepung umat Islam.

Strategi dakwah kultural NU dan Muhammadiyah karena itu harus benar-benar dikemas untuk mencoba memberikan respons pada gejala sosial yang muncul, bukan pada masalah-masalah klasikal seperti membeberkan pada jamaah tentang ritual-ritual simbolik sebagaimana selama ini dikerjakan oleh sebagian besar ormas Islam, termasuk NU dan Muhammadiyah. Dakwah kultural NU dan Muhammadiyah hemat saya harus mengarah pada pembongkaran “kemungkaran-kemungkaran sosial” seperti terorisme dan radikalisme, korupsi dan nepotisme, kemiskinan, kebodohan serta sejenisnya.

Penutup
Jika NU dan Muhammadiyah mampu meng-create tema-tema yang menjadi bentuk “kemungkaran sosial” sungguh-sungguh akan menemukan relevansi ketika umat Islam tengah berada dalam keterasingan teologi rahmatan lil alamin yang mendamaikan dan toleran. Kemungkaran sosial harus dijadikan musuh bersama umat Islam, jangan ditunda-tunda lagi sehingga bangsa ini mampu bangkit dari keterpurukan.
Sebagai refleksi akhir, ingin saya kemukakan sekali lagi bahwa keberhasilan NU dan Muhammadiyah dalam menampilkan Islam yang damai di Indonesia, hemat saya ketika dua ormas Islam terbesar ini mampu melakukan counter atas munculnya radikalisme secara non violence, bukan dengan cara-cara violent sebab cara violent hanya akan menumbuhkan bentuk-bentuk violence lain yang bahkan lebih dahsyat.

Zuly Qodir, peserta program doktor sosiologi UGM.

Membendung Radikalisme di Dunia Maya



Membendung Radikalisme di Dunia Maya
Terorisme merupakan kejahatan transnasional yang tidak kenal batas negara. Hubungan kuat antara jaringan teroris di dalam dan di luar negeri menempatkan terorisme sebagai persoalan kompleks yang membutuhkan penanganan komprehensif dan integratif antarlini.

Empat tahun belakangan, pemerintah telah berupaya cukup maksimal dalam memutus mata rantai jaringan tersebut. Sejauh ini upaya tersebut sudah mampu melokalisasi kekuatan dalam negeri dengan jaringan internasional. Meski demikian, perubahan lingkungan strategis baik skala nasional maupun internasional serta kemajuan teknologi dan informasi yang begitu kencang membuat pola dinamika terorisme pun berubah.

Pola transnasional terorisme justru semakin menemukan momentumnya ketika teknologi informasi seperti internet menjadi alat komunikasi populer di tengah masyarakat. Tak ayal, ancaman terorisme menjadi meningkat drastis karena teknologi dan informasi menyebabkan batasbatas negara menjadi semakin kabur. Sebuah kejadian di negara tertentu dapat dengan mudah diakses pada belahan bumi yang lain.

Ayman al-Zawahiri, pemimpin Al-Qaeda pengganti Osama, pada 2005 menuliskan pesan kepada pimpinan Al-Qaeda di Irak (AQI), Abu Musab al-Zarqawi: Kita sedang dalam peperangan dan separuh lebih dari peperangan itu terjadi di media. Kita sedang dalam peperangan media demi merebut hati dan pikiran umat kita . Jelas sekali, peperangan media telah lama ditabuh oleh kelompok teroris sebagai medan dan sekaligus strategi baru.

Pada 1988 Osama bahkan telah membentuk Departemen Media di dalam struktur organisasinya. Kini kehadiran media internet telah membuat medan perang itu semakin rumit. Media internet dimanfaatkan oleh kelompok teroris sebagai kontranarasi dari media mainstream.

Jika media mainstream meliput kekerasan terorisme, media teroris menarasikannya sebagai tugas suci dan legitimasi tindakan dengan harapan mendapatkan simpati publik. Internet dengan demikian dijadikan jalan pintasuntukmenyampaikanpesan langsung ke audiens tanpa melalui media mainstream.

Selain website, media sosial juga telah menjadi alat cukup efektif bagi kelompok radikal terorisme sebagai instrumen propaganda, pembangunan jaringan, dan rekrutmen keanggotaan yang bersifat lintas batas negara. Kelompok ISIS menjadi satu model gerakan terorisme yang secara cerdas dan fasih menggunakan kemajuan teknologi dan informasi, khususnya media sosial sebagai alat propaganda dan rekrutmen keanggotaannya.

Melalui media sosial seseorang dapat menjadi radikal dengan tidak harus keluar rumah. Kelompok teroris telah menyediakan berbagai situs dan media sosial yang memandu seseorang secara online.

Pengalaman dari berbagai negara termasuk tiga remaja dari Inggris yang kabur untuk bergabung dengan ISIS menjadi salah satu bukti betapa efektif proses radikalisasi yang terjadi di dunia maya. Seseorang bisa menjadi radikal dan memutuskan untuk mengambil tindakan bergabung dengan kelompok teroris akibat infiltrasi terorisme di dunia maya.

Etika Terhadap Al-Qur’an



“Etika Terhadap Al-Qur’an”
Oleh: Ust. H. Abdul Jalil Muhammad, M.S.I
Staf Pengajar di Madrasah Huffadh Al-Munawwir, Dosen UIN Sunan Kalijaga
Membuka pertemuan pada pagi itu, Ust. Abdul Jalil menayangkan video pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an oleh seorang qari di hadapan khalayak ramai. Ketika sampai di bacaan-bacaan tertentu, orang-orang yang menyimak secara serentak melantunkan shalawat. Di video lain, orang-orang bertakbir dan mengelu-elukan nama Allah. Inilah salah satu fenomena yang disebut dengan ‘resepsi’.
Mengapa ada ‘resepsi’? Karena Al-Quran dianggap sebagai tamu yang datang di tengah-tengah umat Islam dan wajib dihormati. Baik di kalangan muslim Arab maupun non-Arab, dari tanah Hijaz sampai ke Tanah Air. Cara penghormatan umat Islam pun beraneka ragam, sesuai dengan pembentukan budaya di daerahnya masing-masing.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, resepsi berarti: pertemuan (perjamuan) yang diadakan untuk menerima tamu. Dalam sastra, ‘resepsi’ adalah teori yang mementingkan tanggapan pembaca terhadap karya sastra. Sedangkan di dalam Studi Al-Quran, teori resepsi ini membahas tentang bagaimana Al-Quran diterima oleh masyarakat muslim, dan bagaimana mereka memberikan reaksi terhadap Al-Quran.
Ada beberapa bentuk kajian (studi) Al-Qur’an menurut penempatannya terhadap Al-Qur’an, yakni;
  • Kajian yang menempatkan teks Al-Quran sebagai objek kajian, atau dengan istilah Amin al-Khuli dalam Manahij Tajdid: ‘dirasah ma fi al-Qur’an’. Misalnya; tafsir maudhu’i (tematik) dan ma’ani al-Quran.
  • Kajian yang menempatkan hal-hal di luar teks Al-Quran, namun berkaitan erat dengan ‘kemunculannya’ sebagai objek kajian. Amin al-Khuli menyebutnya sebagai ‘dirasah ma haula al-Qur’an’. Misalnya; sejarah Al-Quran, asbab an-nuzul, sirah nabawiyyah)
  • Kajian yang menjadikan pemahaman terhadap teks Al-Quran sebagai objek kajian. Seperti studi kitab tafsir dan mazahib tafsir.
  • Kajian yang memberikan perhatian pada respon dan resepsi masyarakat terhadap teks Al-Quran maupun penafsirannya. Atau istilahnya; ‘The living Qur’an’, Al-Quran yang hidup di masyarakat. Kajian semacam ini menggabungkan antar cabang ilmu Al-Quran dan ilmu sosial.

Kitab suci merupakan unsur penting dalam suatu agama, terlepas dari asal-usul atau sumber kitab tersebut dari mana, yang jelas, kitab itu dianggap suci oleh penganut agama tersebut. Bagaimana aktivitas manusia/penganut agama dalam mempertahankan kesucian sebuah kitab? Dalam budaya pesantren, ketika ada kitab suci Al-Qur’an yang terjatuh ke lantai, seorang santri akan secara reflek mengambil dan menciumnya. Ini adalah salah satu contoh perilaku mempertahankan kesucian kitab suci, atau ‘meresepsi’ Al-Qur’an.
Wahyu Al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad berupa pesan yang kemudian disampaikan kepada umatnya secara oral dari hapalan. Transmisi Al-Quran secara oral pada masa awal Islam adalah hal yang mendominasi, namun hal ini tidak menafikan adanya aktivitas penulisan wahyu Al-Quran. Masyarakat Arab yang ada pada masa turunnya Al-Quran lebih berinteraksi dengan Al-Quran secara oral, yang bersifat ucapan atau bacaan. Maka pada masa awal Islam, para sahabat dan tabi’in memiliki cara tersendiri dalam hal meresepsi Al-Qur’an.
Bagi sahabat ‘Abd Allah bin Mas’ud, aktivitas membaca Al-Quran lebih ia cintai daripada puasa sunnah. Qatadah berkata, “Saya tidak pernah makan bawang perai (al-kurrats) sejak saya mulai membaca Al-Quran.” Jelas bahwa Qatadah di sini mencoba untuk menjaga bau mulutnya dengan tidak memakan makanan yang dapat menimbulkan bau yang kurang sedap di mulut, ini hanya karena ia melihat mulutnya adalah tempat keluarnya ayat-ayat suci Al-Quran. ‘Ikrimah berkata, “Jika salah satu dari kalian menguap dalam keadaan membaca Al-Quran maka jangan keluarkan suara ‘haa haa’ ketika ia membaca.”
Secara periodik, tentu bacaan Al-Qur’an para sahabat sampai kepada masa khataman. Cara para sahabat merespon momen khataman Al-Qur’an pun termasuk dalam kajian resepsi. Misal, ada seorang laki-laki di kota Madinah yang mudawamah membaca Al-Quran dari awal sampai akhir (khatam). Sahabat Ibnu ‘Abbas sering datang kepadanya ketika lelaki itu hendak mengkhatamkan Al-Quran.
Sahabat Ibnu Mas’ud berkata, “Barang siapa yang mengkhatamkan Al-Quran maka dia, pada waktu itu, mempunyai doa yang mustajab.” Oleh karena itu, ketika Ibnu Mas’ud mau mengkhatamkan Al-Quran, beliau sering mengumpulkan keluarganya untuk doa bersama. Resepsi semacam ini tentu tergolong dalam ranah etika, dan belum pernah ada di masa Rasulullah.
Lalu bagaimana etika para sahabat terhadap Al-Qur’an sebagai tulisan berupa mushaf yang terjilid? Bermacam-macam. Sahabat Ali bin Abi Thalib kurang suka jika Al-Quran ditulis dalam bahan yang berukuran kecil.
Ibnu Mas’ud memandang bahwa hiasan terbaik bagi mushaf adalah membacanya dengan benar dan mengamalkannya (at-tilawah bi-haqq), sehingga beliau kurang suka jika mushaf ditulis atau dihiasi dengan emas. Pada masa sahabat dan tabi’in, muncul pula perdebatan mengenai mushaf yang ditulis ini, apakah dapat dijualbelikan?
Sebagian dari sahabat dan tabi’in, seperti Ibnu ‘Umar dan Ibnu Sirin, tidak suka jika mushaf dijualbelikan. Sebagian lain, seperti asy-Sya’bi mencoba mengambil jalan tengah, ia berpendapat bahwa apa yang dibayar itu adalah harga kertas dan upah penulisan, jadi bukan menjualbelikan Al-Quran yang suci.
Itu semua adalah contoh bagaimana umat Islam merespon Al-Qur’an sebagai tamu, baik ketika masih dominan sebagai bacaan yang dihapal, maupun setelah munculnya jilid-jilid mushaf. Resepsi semacam ini bergulir dan berkembang sesuai tempat dan zaman. Termasuk di Indonesia pada masa sekarang.
Misalnya yang terjadi di desa Benda (Sirampog, Brebes), yang dahulu terkenal dengan banyaknya para huffadz Al-Qur’an di kampung itu. Kondisi ini berkat perjuangan Kiai Suhaimi dan Kiai Khalil bin Mahalli, pendiri Pondok Pesantren Al-Hikmah. Ada kisah, Kiai Suhaimi tidak berkenan berjabat tangan dengan seorang hafidz, walaupun santrinya sendiri, kecuali dalam keadaan suci.
Kultur masyarakat Benda di masa itu sangat menghargai Al-Quran dan para hafidz. Sebagai contoh, acara khitanan tidak akan dilaksanakan sebelum adanya acara khataman yang dibaca oleh para hafidz. Anak-anak biasanya tidak dikhitankan sebelum hafal Juz ‘Amma. Bahkan ada beberapa anak yang menghapal Juz ‘Amma walaupun masih belum bisa membaca Al-Quran.
Perlakuan dan penggunaan masyarakat terhadap Al-Qur’an bermacam-macam. Imam Hasan al-Basri pernah mendapat pengaduan seorang suami atas kehidupan rumah tangganya yang kurang harmonis. Kemudia beliau memberikan resep kerukunan rumah tangga dengan menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai mantra amalan. QS. adz-Dzariyat: 47-48, yakni ayat ‘was-samaa-a banaynaahaa..…’ dituliskan di sebutir telur, kemudian dimakan si suami. Lalu ayat ‘wal ardha farsynaahaa…..’ dituliskan di sebutir telur lain dan dimakan si istri.
Atau contoh lain di Banjarmasin, ada kopi Banjar yang terkenal begitu nikmat. Apa resepnya, ternyata si pembuat selalu membacakan Surat al-Ikhlas sejak menggiling kopi, memasak hingga menyeduh dan menghidangkannya. Semua fenomena ini termasuk dalam kajian resepsi masyarakat terhadap Al-Qur’an.

“Tradisi Resepsi Al-Qur’an di Indonesia”



“Tradisi Resepsi Al-Qur’an di Indonesia”
Oleh: Ust. Ahmad Rafiq al-Banjari, Ph. D.
Pakar Living Qur’an, Alumni Temple University, Dosen UIN Sunan Kalijaga
Kajian tentang resepsi berkaitan erat dengan kajian sosial humaniora. Salah satu konsen kajian humaniora adalah tentang perilaku masyarakat dalam merespon kitab-kitab (yang dianggap) suci. Di dalam bukunya, Beyond The Written Word maupun Scripture as The Spoken Word, William Graham mengatakan bahwa kitab suci tak sekedar teks yang dibaca. Tetapi ia hidup bersama orang-orang yang meyakininya dan menaatinya.
Kitab suci dihubungkan dengan masyarakat yang mendengarkan kata-katanya sepenuh perasaan, mereka hidup bersama dan untuk kitab suci tersebut. Ia dianggap suci sebab ada orang-orang yang men-suci-kannya, terlepas dari perihal apakah kitab-kitab itu benar-benar suci atau tidak.
Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan Ust. Abdul Jalil tentang perkataan Ali bin Abi Thalib mengenai kitab suci Al-Qur’an, bahwa aktifitas manusia la yang membuat Al-Quran hidup di tengah masyarakat . Di dalam Nahj al-Balaghah, beliau mengatakan,
“Mushaf Al-Qur’an adalah sesuatu yang diapit dua sampul dan tak bisa berkata-kata sendiri, maka ia membutuhkan pembicara yakni manusia, di dalamnya terkandung ilmu tentang apa yang akan terjadi, tentang apa yang sudah berlalu, penawar bagi duka, dan neraca bagi kehidupan bersosial.”
Kalau ditilik dari sisi lingkupannya, kajian Kitab Suci terbagi dalam tiga ranah;
  • Origin (Asal-usul), yakni kajian tentang asal-usul kitab suci, semisal sejarah dan manuskrip.
  • Form (Bentuk), yaitu kajian tentang bentuk kandungan yang ada di dalam kitab suci, semisal kajian tafsir dan pemaknaan.
  • Function (Fungsi), adalah kajian tentang kegunaan dan penggunaan kitab suci.
Adapun kajian tentang resepsi tergolong dalam kajian Fungsi. Bagaimana fungsi Al-Qur’an di dalam kajian ilmiah? Ada dua macam;
  • Fungsi Informatif, yakni ranah kajian kitab suci sebagai sesuatu yang dibaca, dipahami, dan diamalkan.
  • Fungsi Performatif, yaitu ranah kajian kitab suci sebagai sesuatu yang ‘diperlakukan’. Misalnya sebagai wirid untuk nderes atau bacaan-bacaan suwuk (ruqyah).
Ada pesantren tertentu yang memfungsikan Al-Qur’an lebih cenderung secara performatif dibandingkan informatif. Di sana, kitab tafsir dibaca dari awal hingga khatam, namun tak begitu penting apakah santri paham atau tidak. Justru yang dipentingkan adalah disiplin pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut secara rutin (resitasi).
Lalu apakah fungsi informatif dan performatif ini saling bertentangan? Tentu tidak. Karena sejak zaman Rasulullah pun dua fungsi ini sudah ada dan saling berdampingan. Di dalam Al-Quran sendiri, disebutkan bahwa fungsinya adalah sebagai petunjuk (huda), dan untuk mendapatkan petunjuk tentu harus dipahami dan ditelaah, maka konsep ‘huda’ ini menjadi konsep fungsi informatif Al-Qur’an.
Di sisi lain, Rasulullah bersabda bahwa membaca Al-Qur’an adalah ibadah, setiap huruf yang dibaca mengandung pahala (ajrun). Maka konsep ‘ajrun’ ini menjadi konsep fungsi performatif Al-Qur’an. Belum lagi berbagai hadits tentang penggunaan ayat-ayat tertentu di dalam Al-Qur’an semisal al-Mu’awwidzatain maupun Ayat al-Kursiy.
Dalam kaitannya dengan fungsi Al-Qur’an, kajian resepsi termasuk ke dalam ranah fungsi performatif. Yakni tentang bagaimana respon umat terhadap Al-Qur’an, bagaimana umat menerima dan memaknai teks dalam ruang sosial budayanya. Sebagai obyek resepsi, ada tiga sisi Al-Qur’an yang diresepsi. Yakni tulisannya, bacaannya, dan sistem bahasanya.
Tulisan dan bacaan Al-Qur’an sebagai obyek resepsi sudah dibahas oleh paparan Ust. Abdul Jalil. Di sini, Ust. Ahmad Rafiq mencontohkan perilaku seorang kerabat, ia menaruh plastik bertuliskan aksara Arab di atas lemari karena menghormati tulisannya, ia mengatakan bahwa aksara yang tertulis di bungkus plastik itu sama dengan aksara yang digunakan di dalam Al-Qur’an. Berarti, dalam kasus ini, Bahasa Arab pun mengalami ‘sanctification’ atau pensucian. Hal ini kemudian berkaitan dengan sisi ketiga dalam obyek resepsi, yakni sistem bahasa Al-Qur’an.
Ada lima hal dalam sistem bahasa Al-Qur’an yang menjadi obyek resepsi. Pertama, bunyi (fon), misalnya seperti fenomena yang terjadi di salah satu daerah. Ketika ada ibu hamil, ia dianjurkan –secara tradisional- untuk membaca surat At-Takatsur ayat pertama, padahal tidak ada hubungan makna maupun sejarah antara surat At-Takatsur dengan ibu hamil. Ternyata setelah ditelusuri, alasan tradisi ini adalah agar proses kelahiran bayi bisa berlangsung dengan ‘mendlusur’ (lancar keluarnya). Maka bisa dipahami bahwa fenomena ini mengasosiasikan antara kelahiran secara ‘mendlusur’ dengan rima bunyi awal surat At-Takatsur.
Kedua, kata (morfem). Karena dianggap sebagai bagian yang mulia dalam kitab suci, maka kata-kata yang ada di dalam Al-Qur’an disematkan sebagai nama. Ini adalah hal yang paling umum terjadi di dalam kehidupan umat Islam. Ketiga, kalimat (syntak), contohnya ayat-ayat tertentu di dalam Al-Qur’an yang dijadikan mantra atau jimat. Bahkan ada satu daerah yang percaya, dengan membaca potongan ayat ‘Walyatalatthaf wala yusy’ironna bikum ahadaa’ ketika tendangan penalti, maka bola akan gol dan tidak akan meleset.
Keempat, makna (semantik), yakni penggunaan ayat-ayat di dalam Al-Qur’an sesuai dalam kondisi tertentu dengan maknanya. Kelima, fungsi (pragmatik). Lima obyek ini mengalami resepsinya masing-masing. Sedangkan dalam meresepsi lima obyek tersebut, ada tiga gaya:
  • Pertama, resepsi Eksegesis atau hermeneutik. Yakni ketika Al-Qur’an diposisikan sebagai teks yang berbahasa—Arab—dan bermakna secara bahasa. Resepsi exegesis mewujud dalam bentuk praktik penafsiran al-Quran dan karya-karya Tafsir.
  • Kedua, resepsi Estetis. Dalam resepsi ini, Al-Quran diposisikan sebagai teks yang bernilai estetis (keindahan) atau diterima dengan cara yang estetis pula. Al-Qur’an sebagai teks yang estetis, artinya resepsi ini berusaha menunjukkan keindahan inheren Al-Qur’an, antara lain berupa kajian puitik atau melodik yang terkandung dalam bahasa Al-Qur’an. Al-Qur’an diterima dengan cara yang estetis, artinya Al-Qur’an dapat ditulis, dibaca, disuarakan, atau ditampilkan dengan cara yang estetik.
  • Ketiga, resepsi Fungsional. Dalam gaya resepsi ini, Al-Qur’an diposisikan sebagai kitab yang ditujukan kepada manusia untuk dipergunakan demi tujuan tertentu. Maksudnya, khithab Al-Qur’an adalah manusia, baik karena merespon suatu kejadian ataupun mengarahkan manusia (humanistic hermeneutics). Serta dipergunakan demi tujuan tertentu, berupa tujuan normatif maupun praktis yang mendorong lahirnya sikap atau perilaku.
Resepsi Fungsional dapat mewujud dalam fenomena sosial budaya Al-Qur’an di masyarakat dengan cara dibaca, disuarakan, diperdengarkan, ditulis, dipakai, atau ditempatkan. Tampilannya bisa berupa praktek komunal individual, praktek reguler/rutin – insidentil/temporer, sikap/pengetahuan – material, hingga sistem sosial – adat – hukum – politik. Sehingga jadilah tradisi-tradisi resepsi yang khas terhadap Al-Qur’an.
Tradisi Yasinan adalah salah satu contoh konkrit praktek resepsi komunal dan reguler. Begitu pula dengan tradisi Khataman Al-Qur’an di pesantren-pesantren dengan beragam variasi dan kreasi aaranya, sebagai praktek komunal dan insidental.
Mengapa bisa muncul resepsi-resepsi sedemikian rupa yang kemudian melahirkan tradisi-tradisi? Hal ini tentu disebabkan adanya dua alur pemahaman dalam tradisi Al-Qur’an, yakni transmisi dan transformasi. Transmisi berarti pengalihan pengetahuan dan praktek dari generasi ke generasi, sedangkan Transformasi adalah perubahan bentuk pengetahuan dan praktek sesuai kondisi masing-masing generasi.
Contohnya tentang khasiat surah Al-Fatihah. Sebagaimana diriwayatkan Abu Sa’id al-Khudry, Rasulullah mengabarkan tentang kegunaan surah Al-Fatihah. Pengetahuan ini ditransmisikan melalui rantaian sanad hadits dan tercantum dalam Shahih Bukhari. Kemudian informasi ini ditransmisikan lagi dari generasi ke generasi, hingga tercantum dalam at-Tibyan fi Adab Hamalati al-Qur’an karya An-Nawawi di dalam bab tentang bacaan bagi orang sakit. Lalu muncul lagi dalam Khazinatu al-Asrar dengan tata baca yang berbeda, namun idenya tetap sama; khasiat Al-Fatihah.
Khataman adalah misal yang lain. Pada awalnya, ada sahabat yang mengundang orang-orang ketika ia mengkhatamkan Al-Qur’an. Tentu hal ini belum ada di masa Rasulullah. Kemudian pengetahuan tentang khataman ini ditransmisikan melewati ruang dan waktu, sekaligus mengalami transformasi terhadap bentuk khataman itu. Hingga jadilah pada saat ini bentuk khataman yang sama sekali berbeda namun bermuatan sama. Di Jawa Barat ada Sisingaan yang diarak pada saat khataman Al-Qur’an, di Banjar ada tradisi Payung Kembang, di pesantren-pesantren ada prosesi wisuda, dan sebagainya.
Bagi orang yang tak paham realita sosial masyarakat dan tak memakai kacamata sosial humaniora, akan dengan mudah memberikan stempel sesat atau minimal bid’ah terhadap praktek-praktek transformatif semacam ini. Padahal inilah yang disebut dengan transformasi atau perubahan atas bentuk pengetahuan dan praktek yang ditransmisikan dari generasi ke generasi, sebagai resepsi umat terhadap kitab suci.