Minggu, 03 Januari 2010

TRADISI ”INTELEKTUAL” DI DUNIA BARAT DAN ISLAM
Ditulis pada 26 September, 2007 oleh greata
Kuala Lumpur, hari ke-23 bulan September 2007. Jarum jam menunjukkan pukul4.30 pm. Sebuah diskusi santai dan bermuatan berat sedang digelar. Suasananampak sejuk, manakala hujan menyelesaikan gerimis terakhirnya dan para pesertamulai bergerak dari ruang teduhnya masing-masing. Tak ketinggalan Dr. Adi Setia,Khalif Muammar, MA., Malki Abd. Natsir, MA., Nirwan Syafrin, MA., dan beberapasenior INSISTS ikut menikmati ramuan ilmiah sang pemateri, Dr. Syamsuddin Arif,seorang yang sempat singgah di Frankfurt, Jerman, untuk menempuh program doktorkeduanya. Diskusi ini megambil topik “Intelektual dan Intelektualisme:perspektif Barat dan Islam”. Slide yang sudah dihidangkan menambah semakinrenyahnya pemateri mengurai lembar demi lembar khazanah keilmuannya. Peserta punnampak antusias dan takjub manakala fakta-fakta sejarah mengemuka dengandetailnya, disertai ide-ide cemerlang mengelaborasi “intelektual” dan“intelektualisme” dengan framework (islamic worldview) yangdisiapkan untuk membedahnya.
Intelektual BaratUraian tentang fakta-fakta sejarah tentang citra buruk “intelektual” mengawalipresentasi pemateri. Katanya, pada tahun 1898, seorang perwira berpangkat kapten‘keturunan Yahudi dipecat dari dinas ketentaraan Perancis karena dicurigaibekerja sebagai mata-mata pihak asing’. Namanya Albert Dreyfus. Kasus Dreyfusinilah kemudian menjadikan masyarakat Prancis terbelah dua; yang membela danyang mengutuk. Yang mengutuk Dreyfus disebut oleh yang pertama sebagaianti-semit atau rasis dan pembela Dreyfus disebut sebagai les intellectuels dandéracinés oleh yang kedua. Diantara pembelanya seperti Emile Zola (1840-1902),Emile Durkheim (1858-1917) dan Anatole France (1844-1924), sedang yang mengutukadalah seperti Maurice Barrés (1862-1923) dan Fedinand Brunetiére.Nah, dari kasus inilah kemudian sebutan intelektual lebih merupakan pemburukandari pada sanjungan, yang berlaku tidak hanya di Perancis, tapi juga di Inggrisdan Amerika. Oleh karenanya pemateri mencibir fakta-fakta sejarahnya, mulai dariPerancis, Inggris, Jerman, bahkan Rusia.Ada beberapa teori intelektual yang dikemukakan pemateri. Ia memulai denganteori intelektual ala Julien Benda (1867-1956). Lewat buku monumentalnya, LaTrahison Des Clercs (1927), Benda memberi beberapa catatan tentang intelektual.Diantaranya, seorang intelektual adalah pejuang kebenaran dan keadilan, tekundan menikmati bidang yang digelutinya, tidak ditunggangi ambisius materi dankepentingan sesaat, berani keluar dari sarangnya untuk memprotes ketidakadilandan menyuarakan kebenaran, walau mahal resikonya, dan oleh itu ia tidak takutpenjara atau hidup susah. Singkatnya, sosok-sosok semacam Socrates, Yesus, danSpinoza adalah profil yang sangat pas bagi Benda.Kalau teori Benda terlihat sangat elitis, mengawang-awang, sebagaimana EdwardSaid (1935-2003) dan Ernest Gellner (1925-1995) mengkritiknya, maka lain halnyadengan seorang sosiolog Régis Debray yang lebih praktis dan dinamis. Ia membagitiga generasi intekletual. Pertama, 1900-1930, terdiri dari para pengajar(teachers) yang membela Dreyfus, seperti Émile Zola, Émile Durkheim dan AnatoleFrance. Kedua, 1930-1960, diwakili oleh para penulis (writers; novelist,essayist). Ketiga, dari tahun 1960-sekarang, mereka yang disebut sebagai“Cendekiawan Selebritis”, yang suka tampil di media massa, yang punya pesona,sensasional dan ingin terkenal dan mengabaikan standar keilmuan dan kejujuran.Seorang Jean Francois Sirinelli pun merasakan fenomena generasi ketiga ini,seraya ia berteriak lantang, “Faut-il sonner le glas des intellectuals?”, atau“Apakah intelektual kini sudah tiba ajalnya?”Lain lagi dengan pandangan Antonio Gramsci (1891-1937), yang membagiintelektual menjadi dua macam; intelektual “tradisional” dan intelektual“organik”. Intelektual yang pertama adalah mereka para tokoh agama, guru/dosen,birokrat, dan seperti mereka inilah profil intelektual yang tidak membumi, hidupdalam ilusi dan utopia. Sedangkan yang kedua adalah intelektual yang aktif,tidak pernah diam, senantiasa berbuat sesuatu untuk masyarakatnya. Di sinipemateri meminjam ungkapan Edward Said “always on the move, on the make”.Karena intelektual di Barat tidak bisa lepas dari istilah intelligentsia, makapemateri mengajak kroscek ke negara asal pemproduksi istilah ini. Ternyata iaberasal dari Polandia dan Russia. Di Polandia, ‘inteligentsia’ adalah paralulusan sekolah, minimal sekolah menengah, dan yang mengerti sejarah Polandia.Mereka ini yang disebut mature (dewasa), lebih layak memimpin dan mengelolanegara ketimbang kaum borjuis yang tidak punya idealisme dan suka korupsi.Sementara di Russia, intelligentsia adalah orang-orang bangsawan yangmengambil jarak dari kaum borjuis kapitalis dan merasa terpanggil untukmemanggil bangsa. Kelompok inilah yang kemudian dijuluki ‘slavophile’ karenamerekalah yang menuntut penghapusan feodalisme dan tsarisme, menghendakiperombakan total sistem politik, ekonomi dan sosial. Kelompok ini sempat eksissetelah Tsar digulingkan pada revolusi Oktober 1917, setelah kemudian ditumpashabis oleh Stalin.Sedangkan di Inggris dan Amerika, istilah intelektual mempunyai konotasinegatif. Bagi masyarakat Inggris, intelektual itu sebutan bagi orang-orang yangirrasional, egois, ‘sok pintar’. Bahkan seorang sekretaris luar negeri di masaPM Margaret Thatcher, Sir Geoffrey Howe, menyifati Salman Rushdie (penulis buku“ayat-ayat setan”) sebagai ‘arrogant’, ‘a dangerous opportunist’, dan ‘amultiple renegade’. Lebih jauh lagi, Paul Johnson, lewat karyanya Intellectuals(1988), mengutuk kalangan inteletual dengan menyatakan, “no wises as mentors, orworthier as exemplars, than the witch doctors or priest of old” atau ‘tak layakjadi teladan.’Melihat akar sejarahnya, maka pemateri memberikan beberapa karakter pentingintelektual di Barat. Yakni: non-committal, tak terikat dari segi ide;independent, tak terikat dari segi aksi; non-sectarian, untuk semua golongan;non-partisan, tidak memihak; non-conformis, pantang menyerah; rebellion,cenderung memberontak; oppositional, menentang arus; dan dissident, beraniberbeda; resistent, menunjukkan perlawanan. Bagaimana dengan intelektual didalam Islam?Intelektual IslamIstilah “intelektual” dikenal baru-baru ini saja di dunia Islam, menurutpemateri. Nah inilah istilah impor dari peradaban lain, seperti halnya“falsafah”. Oleh karena itu mesin worldview Islam bermain di sini. Istilah ini,“intelektual”, dengan konteks masyarakat Barat yang sudah disebut di atas,tidak boleh dipindah begitu saja ke dalam Islam. Itu tidak bisa. Selama ini,cendekiawan-cendekiawan muslim di Indonesia sangat memaksakan penggunaan istilahitu dengan segala motifnya. Sebagai contoh, ketika muncul kasus Ahmadiyah,tampillah pembela ahmadiyah atas nama kaum intelektual dan membela atas namaHAM. Nah itu baru contoh kecil penggunaan istilah itu yang sangat dipaksakan.Contoh lainnya, ketika kalangan modernis atau liberalis dengan lantangnyamenggugat otoritas Al-Quran, Hadits, ulama, dll. mereka mengatasnamakanintelektual. Nah itu sikap yang sangat Barat dan tidak bijak serta terburu-burumenggunakan istilah asing.Kalau diperhatikan, ada makna universal dalam istilah intelektual, seperti‘memperjuangkan keadilan dan kebenaran’, ‘pendirian kuat’, ‘tidak mudah terbawaarus’, dll. Makna universal ini ada di mana-mana, tidak saja di Barat.Masalahnya adalah ketika makna universal diterapkan ke dalam partikular. Sepertimenentang arus dalam konteks di dunia Kristen tidak akan sama kasusnya denganmenentang arus dalam konteks di dunia Islam. Membela kebenaran dalam konteksdunia Barat tidak sama dengan membela kebenaran dalam konteks dunia Islam.Dengan demikian, dengan melepaskan makna partikulernya dan mengambil maknaunversalnya, maka pemateri mengajak melihat makna-makna universal itu dalamIslam. Ternyata, kata pemateri, cendekiawan dan intelektual sejati itu dalamIslam adalah para Nabi dan penerusnya, waratsat al-Ambiya’ (pewaris para nabi)dan penerus risalah profetis.
Intelektual Profetik atau DiabolikIntelektual dalam khazanah Islam mempunyai dua tipe, mengikut sejarah dankonteks keislaman, yaitu (1) intelektual profetik; dan (2) intelektual diabolik.Intelektual profetik adalah para nabi dan waratsat al-ambiya’, pewarisnya.Merekalah para pembela kebenaran, sebagaimana kebenaran yang terkonsep dalamal-Quran. Sedangkan cendekiawan diabolik adalah iblis dan para pengikutnya.Kalau diamati lebih jauh, karakter Iblis sangat pas dengan ciri intelektual diBarat. Ia tidak mau terikat dengan aturan Allah (non-committal, independent),tidak mau menyerah (non-conformis), memberontak (rebellion), menentang arus(oppositional), dll. yang menyatu dalam kata “takabbur”.Contoh-contoh cendekiawan diabolik ini sangat banyak sekali dalam sejarah.Sepeti Kan’an putra nabi Nuh yang menolak naik ke atas perahu, Haman sebagai theintellectual in the service of tyrant, Fir’aun, Musa Samiri sebagai cendikiawanyang membuat tuhan dari patung lembu, kaum kuffar dari ahlu kitab di zaman NabiMuhammad sebagai para-pakar yang kafir, dan lain sebagainya.Sendangkan contoh cendekiawan profetik adalah seperti para nabi, sahabat,ulama. Dari para nabi sebut saja Nabi Ibrahim yang menentang kuasa Namrudz. NabiLuth juga intelektual yang menentang arus kaumnya yang masyoritas lesbi dan guy.Dari kalangan sahabat, Abu Darda’ disebut sebagai intelektual yang beranimengatakan kebenaran dengan lantang di depan Muawiyah, penguasa waktu itu. Darikalangan ulama, seperti Hasan al-Basri, Imam Syafii, Ibnu Taimiyah, Imam Ahmadbin Hambal, dll, dan di Indonesi seperti HAMKA, Syeh Yusuf Al-Makasari, MohammadNatsir, di mana mereka berani mengeraskan suara kebenaran dan merelakan resikoyang terus mengancam.Dari uraian di atas, inteletual dalam Islam cukup dikenali dengan tigacirinya. Pertama, ia tidak ada rasa takut menyuarakan kebenaran (la khaufunalaihim wa la hum yahzanun). Kedua, tidak ditunggangi kepentingan-kepentinganpribadi, kelompok, partai dan lain-lain (la yas alukum alaihi ajran wahummuhtadun). Ia hanya ditunggangi kepentingan misi Tuhannya. Ketiga, ia adalahagent of change/agen perubahan, dan bukan subject of change/yang dirubah olehlingkungannya.
Wallahu a’lam,