Minggu, 12 April 2015

MEMBEBASAN DARI KETERTINDASAN



MEMBEBASAN DARI KETERTINDASAN
Disusun : Sarbini[1]

  1. PENDAHULUAN

Kehadiran orang-orang gelandangan, membludaknya angka pengangguran dan kaum tertindas ditengah-tengah gelombang dasyat globalisasi tidak hanya menunjukkan krisis politik dan ekonomi, namun juga krisis spiritual. Dalam masyarakat yang terobsesi dengan material, kekuasaan  dan kesuksesan secara material, keberadaan kaum tertindas telah menjadi stigma sebagai manusia yang mengalami degenerasi, tidak berdaya dan penuh kegagalan. Dari sudut pandang Islam tentu kita memilih posisi “keberpihakkan kepada orang-orang tertindas” yang kebetulan mendominasi strata masyarakat kita. Maka perlu dibangkitkan kesadarannya untuk menjadi agen-agen transformasi sebagai bagian dari pembebasan atas nama Tuhan kini dan esuk.
      Untuk memperluas pemaknaan kembali kaum tertindas dalam al-Qur’an perlu membangun fundasi teologis dan fiqih orang-orang tertindas akibat ketidakberdayaan.  Populasi kaum tertindas (mustadh’afin) baru merupakan kecenderungan politik dan ekonomi  structural 3 dekade terakhir, akan tumbuh terus dan lebih-lebih krisis ekonomi yang berkepanjangan bahkan pasca pencabutan subsidi BBM. Pada akhirnya kaum tertindas menjadi subkultur yang menyebar.
      Ledakan kemiskinan adalah akibat kemajuan kapitalis dan neoliberalisme. Maka sangat pentik untuk menegakkan organisasi-organisasi social untuk menyediakan diri  memobilisasi orang-orang miskin lepas dari jurang penindasan. Mobilisasi ini harus dipandu dengan sejumlah konsep dan teori gerakan yang viable berorientasi  pada aksi, bahkan memiliki analisis yang yang efektif  tentang system dominasi/Hegemoni  dan berakar pada etika profetik Qur’ani. Kombinasi teori dan praksis dalam membangun gerakan adalah refleksi kritis dan kedasaran kritis atas realitas budaya kapitalisme untuk perubahan.
      Oleh karena itu untuk menggerakkan kesadaran kritis dibutuhkan partisipasi besar dari kepemimpinan kaum tertindas itu sendiri. Melalui integrasi kaum intelektual dan kaum tertindas, aktivis dan agamawan dalam membangun gerakan social baru yang visible. Yang di barengi  pembangunan ideology untuk mewujudkan gerakan social baru. Maka terkadang cara-cara sub-version diperlukan untuk mengganti konsep-konsep tradisional. Cara pandang sub-version untuk meruntuhkan tafsir dan tradisi keagamaan dan social budaya yang hegemonic atas teks-teks suci. Dengan cara ini konstruk penindasan dapat dibaca sebagai kritik untuk pembebasan dan humanisasi.
Islam sangat menaruh perhatian yang besar terhadap kaum tertindas, tertekan dan teraniaya, sampai-sampai Tuhan menjanjikan para pejuang yang membebaskan penindasan, ketidakadilan adalah syurga.[2]  dalam konteks sosio-historis. Kehadiran Muhammad bertepatan dengan tradisi Chaos yang melanda masyarakat Arab, khususnya suku Quraisy dan suku-suku sekitarnya, tempat misi awal kenabian  Muhammad dilahirkan. Tatanan yang dianut adalah hukum kapitalistik-eksploitatif atau yang dikenal hukum rimba , yang kuat akan memenangkan pengaruh dengan menguasai sumber-sumber ekonomi sosial politik. Masyarakat terpecah belah menjadi kelompok-kelompok kecil yang mengunggulkan tribalisme dan primordialisme golongan.
Penindasan dan eksploitasi dilakukan secara terang-terangan terhadap kaum lemah seperti budak, kelompok miskin dan wanita-wanita. Bahkan dalam pandangan masyarakat kala itu, wanita tidak dilihat sebagai manusia seutuhnya, mereka terpenjara oleh dominasi sistem maskulin yang mengeksploitasi kaum perempuan. Dalam masyarakat tersebut muncul suatu stigma bahwa melahirkan bayi perempuan adalah suatu aib, bahkan mereka layak untuk dikubur hidup-hidup.[3]
Secara lebih vulgar, kondisi dunia sekitarnya saat kelahiran Muhammad diilustarasikan sebagai masyarakat biadab. Dalam suasana alam yang garang panas berpasir. Kehidupan individu tidak pernah menemukan ketenangan dan kedamaian. Masyarakat badui, penghuni padang pasir Arabia, tercarut dari karakteristik kemanusiaannya. Kekurangan harta benda di tengah terik padang pasir menyuburkan kriminalitas dan penyakit sosial lain yang demikian kronis. Pembunuhan, perampasan, perkosaan, dan perjudian menjadi warna dominan yang terlembaga dalam kehidupan dalam masyarakat.
      Hal ini dikarenakan kondisi  ekonomi yang suram diakibatkan terjadi oligarki perdagangan dimana keserakahan terhadap materi oleh elit-elit suku tidak menghiraukan aturan dan budaya kesukuan. Akibatnya anak-anak yatim, janda-janda dan orang miskin menderita luar biasa.  Mereka dipaksa bekerja tanpa upah. Budak-budak perempuan dipaksa melayani tuan-tuannya. Mereka tidak memiliki harkat dan martabat kemanusiaan.[4]
  1. PARADIGMA PEMBEBASAN
Pertama, tauhid sebagai landasan perjuangan membela kaum tertindas. Tauhid adalah sebuah totalitas kreasi harmoni. Alam semesta sebagai refleksi kebesaran Tuhan yang di lihat kehidupan dan nilai yang sama. Implikasi logis dari pandangan dunia tauhid,  adalah bahwa menerima kondisi masyarakat dalam keadaan penuh kontradiksi sosial dan diskriminasi, serta menerima pengkotak-kotakan dalam masyarakat sebagai suatu syirk, lawan dari tauhid, yaitu menentang pandangan kesatuan antara Allah, manusia dan alam. Secara tegas Ali  Syari’ati menyatakan:“Tauhid tidak terbagi-bagi atas dunia kini dan akhirat nanti, atas yang alamiah dengna supra-alamiah, atas substansi dan arti, atas jiwa dan raga. Jadi tauhid kita pandang keseluruh eksistensi sebagai suatu bentuk tungal,  s[5]uatu organisme tunggal, yang hidup dan memiliki kesadaran, cipta, rasa dan karsa.”
Tidak di ragukan lagi bahwa konsep Tauhid yaitu “pandangan dunia yang integral” yang merupakan konsep sentral. Oleh karena menurut Ali Syari’ati Tauhid memandang dunia sebagai suatu imperium, sedangkan lawannya syirk memandang dunia sebagai suatu sistem feodal. Dengan pandangan ini maka dunia memiliki kehendak, kesadaran diri, tanggap, citra-cita, dan tujuan. Dengan bersandar pada keyakinan ini, Ali Syari’ati menolak pahtheisme, politheisme, dualisme, atau trinitarianisme. Ia hanya percaya kepada tauhid, monotheisme. Tauhid adalah pandangan hidup tentang kesatuan universal, kesatuan antara tiga hipostasis yang terpisah, Allah , alam, dan manusia, yang ketiganya mempunyai gerak yang sama, serta hidup yang sama
Kedua, pembebasan sebagai  transformasi sosial. Asghar Ali Egeneeri menyebutkan, dalam Islam konsep tauhid bukan saja berarti keesaan Tuhan, namun juga bermakna kesatuan manusia (unity of mankind). Dengan mengikuti analogi Ahmad Amin, Asghar menggambarkan bahwa orang yang memperbudak sesamanya berarti ingin menjadi Tuhan, penguasa yang merendahkan rakyatnya berarti ingin menjadi Tuhan, manusia yang menindas manusia lain berarti ingin menjadi Tuhan, padahal tiada Tuhan selain Allah.[6] Dengan demikian, teologi bukan saja jalan bagi manusia untuk merasakan kehadiran Tuhan mereka. Yang lebih penting dari itu, bagaimana manusia bisa memancarkan keimanan dan ketauhidan akan Tuhan melalui pembebasan terhadap orang- orang yang tidak dihargai kemanusiaannya. Doktrin agama-agama berulang kali mengajarkan umat manusia untuk menebarkan keadilan dan perdamaian di muka bumi.
Ketiga, melakukan refleksi atas keberagamaan. Hassan Hanafi menggugat doktrin itu dengan mengemukakan bahwa umat Islam tidak pernah menjadi umat yang satu karena mereka selalu terbagi dalam dua kutub, yaitu Muslim yang kaya dan Muslim yang miskin. Bahkan pada wilayah yang lebih ekstrem, hingga kini masih ditemukan umat beragama yang seolah mendapat lisensi dari Tuhan untuk membunuh sesamanya (lisence to kill). Dengan demikian masih bisa kita bagi lagi menjadi Muslim penindas dan Muslim tertindas. Inilah yang perlu menjadi gugatan agama saat ini.Karena itu, kehadiran paradigma beragama yang manusiawi dan tertuju pada praksis penyadaran, pembebasan, dan perlawanan amat kita perlukan saat ini. Penyadaran terhadap kaum miskin akan realitas ketertindasan dan kemiskinan yang menimpanya, sekaligus memberi inspirasi teologis-kemanusiaan bagi terjadinya pembebasan. Begitu pula perlawanan terhadap arogansi manusia yang selama ini jadi penindas.

C. MODEL HERMENEUTIKA PEMBEBASAN
Model pembebasan ala Farid Esack dapat kita temukan dalam buku yang terkenal “Qur’an, Liberation and Pluralisme : An Islamic Perspective of Interrelegious Solidarity Againts Oppression. Dengan metode hermeneutika  buku ini ingin menyampaikan bahwa setiap kehidupan kehidupan dapat dijalani dengan penuh keyakinan terhadap Al-Qur’an dan kontek kehidupan sekarang bersama-sama dengan kepercayaan lain, berkeja sama dengan untuk membangun masyarakat yang lebih manusiawi. Mengembangkan gagasan dengan pendekatan hermeneutika al-Qur’an merupakan kontribusi Islam terhadap pengembangan pluralisme.
Point penting yang dapat dicatat dalam buku ini ialah pertama, cara al-Qur’an mendefinisikan diri (Muslim) dan orang lain (non Muslim) dengan tujuan menciptakan ruang bagi kebenaran dan keadilan orang lain dalam teologi pluralisme untuk pembebasan. Kedua menggali hubungan antara eksklusivisme keagamaan dan  konsevatisme politik (yang mendukung Apartheide) disatu sisi dengan inklusivisme keagamaan dan bentuk politik progresif (yang mendukung perjuangan pembebasan) disisi lain. Ketiga, dukungan  rasional yang bersifaat Qur’ani.[7]
      Masyarakat plural, apartheid dan keterbelakangan di Afrika Selatan, telah menyusun apa yang disebut hermeneutical circle dalam teologi pembebasan. Juan Luis Segundo mendefinisikan hermeneutical circle sebagai perubahan terus menerus dalam melakukan interpretasi terhadap kitab suci yang dipandu oleh perubahan-perubahan berkesinambungan dalam realitas masa kini, baik individu maupun masyarakat  Ia mengemukakan dua syarat untuk menciptakan hermeneutical circle : persoalan-persoalan yang mendalam dan kaya serta keraguan terhadap situasi yang nyata; dan interpretasi baru terhadap kitab suci yang juga mendalam dan kaya.
Skema I
Hermeneutical Double Movement Fazlur Rahman











 



Generalisasi jawaban-jawaban spesifik

Menentukan tujuan-tujuan moral-sosial Al-Qur’an


















Masyarakat Islam
 
 





            Perbedaan fundamental antara lingkaran Segundo dan metodologi Fazlur Rahman adalah keputusan secara sadar untuk memasuki hermeneutical circle dari sudut praksis pembebasan yang ditentukan secara politik. Segundo menyatakan, hermeneutical circle didasarkan atas fakta bahwa pilihan politik untuk perubahan pembebasan adalah unsure intrinsic dari iman.[8]  Sementara Rahman menyatakan bahwa metode hermeneutika yang memadai berkaitan khusus dengan aspek-aspek kognitif dari wahyu (1982 : 4). Kunci hermeneutika untuk upaya-upaya kognitif ini adalah Iman dan kemauan untuk dibimbing. Tafsir kontemporer memfokuskan pada lingkungan histories wahyu sebagai alat paling berharga dalam memahami[9] Ia mengusulkan proses interpretasi yang melibatkan gerakan ganda (double movement); dari masa kini ke periode           Al-Qur’an dan kembali ke masa kini.[10] 
      Di samping Rahman, Mohammaed Arkoun juga menawarkan pendekatan hermeneutika kontemporer. Ia memandang krisis legitimasi bagi agama saat ini memaksa para sarjana untuk bicara tentang cara pemikiran yang heuristik . Ia sangat menekankan pendekatan histories sosiologis-antropologis, tapi juga tidak menolak pendekatan filsafat dan teologi. Bahkan ia ingin memperkayanya dengan memasukkan kondisi histories dan sosial konkret dalam mana Islam dipraktekkan. Arkoun menyajikan “garis-garis pemikiran heuristik fundamental” untuk merekapitulasi pengetahuan Islam dan memperhadapkannya dengan pengetahuan kontemporer. Garis-garis pemikiran itu mencakup : pertama, manusia muncul dalam masyarakat melalui “kegunaan” yang berubah-ubah (aktivitas, pengalaman, sensasi, observasi, dst). Setiap “kegunaan” (use) dikonversi dalam bentuk tanda tanda realitas yang diungkapkan melalui bahasa sebagai system tanda[11]  Ini terjadi sebelum interpretasi wahyu. Kitab suci dikomunikasikan melalui bahasa alam yang menggunakan system tanda dan setiap tanda adalah lokus  operasi konvergen (persepsi, ekspresi, interpretasi, terjemahan) yang menandai adanya hubungan antara bahasa dan pikiran (ibid). konsekuensinya bagi pemikiran tradisional tentang wahyu dan bahasa : paham tentang kesucian bahasa Arab tak dapat dipertahankan, dan inti pemikiran Islam terwakili sebagai persiapan bahasa dan semantik.
      Kedua, semua tanda dan symbol adalah produk manusia (produksi semiotic) dalam proses sosial dan budaya yang tak terpisah dari histories. Historisitas adalah satu dimensi dari kebenaran[12] , kebenaran yang dibentuk oleh alat-alat, konsep-konsep, definisi dan postulat yang selalu berubah. Ketiga, keimanan tidak ada pada independensi manusia sendiri, tidak pula berasal dari kehendak atau karunia Tuhan, tapi ia dibentuk, diungkapkan dan diaktualisasikan dalam dan melalui wacana . Keempat, system legitimasi tradisional yang diwakili pemikiran teologi Islam klasik dan yurisprudensi Islam dan perbendaharaan katanya tidak mempunyai relevansi epistemologis. Disiplin-disiplin ini terlalu kompromi dengan bias-bias ideology yang ditekankan oleh kelas penguasa dan para intelektual tukangnya.
      Aplikasi gagasan-gagasan Arkoun dapat dilihat pada analisis tentang proses wahyu dan cara teks ditulis menjadi kitab yang otoritatif damn suci. Ia membedakan tiga level firman Allah : 1) Firman Allah sebagai transenden, tak terbatas dan tidak dikenal oleh manusia sebagai suatu keseluruhan yang diwahyukan melalui nabi. Hal ini diungkapkan dalam bahasa Al-Qur’an  sebagai al-Lawh al-Mahfuz (QS. 85 : 22) atau Umm al-Kitab (QS. 43 : 4); 2). Manifestasi histories firman Allah melalui nabi-nabi Israel (dalam bahasa Ibrani), Yesus (bahasa Aram) dan Muhammad (bahasa Arab). Ia dihafal dan ditransmisikan secara oral selama periode sebelum ditulis  dan 3) Objektifikasi teks dari firman Allah telah terjadi (al-Qur’an menjadi mushaf) dan kitab ini tersedia bagi orang beriman hanya melalui versi tertulis yang terpelihara dalam kanon resmi tertutup.








Skema II
Metode Hermeneutika Mohammed Arkoun

Firman Allah                                                               Sejarah penyelamatan

Peristiwa pembuka                                                      Komunitas Muslim

Transmisi

Korpus resmi tertutup

Korpus tertafsir

Tradisi – hafalan kolektif, seleksi, pengumpulan,
eliminasi, kristalisasi, mitologisasi, sakralisasi

Masyarakat
Angan-angan sosial
Muncul kritik rasionalitas

            Arkoun menjelaskan proses gerak penurunan wahyu dan gerak mendaki dari komunitas yang menafsirkan menuju keselamatan sesuai dengan perspektif vertical tentang semua kreasi sebagaimana adanya ditekankan oleh wacana qur’ani. Komunitas yang menafsirkan adalah subjeck-actant dari keseluruhan sejarah dunia yang diwakili, diinterpretasikan dan digunakan sebagai tahapan sulit untuk mempersiapkan penyelamatan yang diskisahkan Tuhan sebagai bagian dari wahyu yang mendidik  Hubungan individu dengan kitab sebagai firman Allah sama dengan hubungan sosial politik dengan komunitas yang menafsirkan (lihat skema II).
            Esack melihat ada kekurangan pada dua pendekatan di atas – Rahman dan Arkoun. Pendekatan Rahman, menurutnya, kurang apresiasi atas kompleksitas tugas hermeneutika dan pluralisme intelektual yang intrinsic didalamnya. Rahman lebih menyesalkan ketundukan Islam pada politik daripada nilai-nilai Islam sejati yang mengendalikan politik, tanpa mengakui dialektika antara kedunya. Ia terlalu menekankan criteria kognisi dan mengabaikan hubungan antara kognisi dan praksis. Ketika Rahman mengklaim élan moral dasar al-Qur’an – kesadaran akan Tuhan dan keadilan sosial – ia lupa akan sebab-sebab structural dari ketidakadilan itu[13]
            Sementara itu, kritik Esack pada Arkoun lebih ditujukan pada pendapatnya yang menyatakan bahwa pengetahuan sebagai lapisan otoritas diterima dan dihargai, pengetahuan terlepas dari ideology, mampu menjelaskan formasi dan menguasai pengaruhnya. Menurut Esack, pengetahuan sebagaimana alat sosial lainnya, disamping dapat dikritik, juga tidak pernah dapat netral. “Setiap hermeneutika membutuhkan parti-sansip secara sadar ataupun tidak” .
      Tampaknya Esack ingin menutupi kekurangan Rahman dan Arkoun, dengan menawarkan hermeneutika pembebasannya. Ia yakin bahwa tugas Muslim memahami Al-Qur’an dalam konteks penindasan ada dua hal :
1.       Untuk memaparkan cara interpretasi tradisional dan kepercayaan-kepercayaan tentang fungsi teks sebagai ideology dengan tujuan untuk melegitimasi tatanan yang tidak adil; untuk mengakui kesatuan umat manusia, menggali dimensi-dimensi keagamaan dalam situasi ketidakadilan dari teks dan mempergunakannya untuk melakukan pembebasan (misalnya hubungan Tuhan dengan orang lapar dan eksploitasi. Dimensi teologis ini seacra simultan membentuk dan dibentuk oleh aktivitas islamisis dalam perjuangan demi keadilan dan kebebasan[14]    
Untuk mencari dimensi-dimensi keagamaan dalam situasi sosio ekonomi tertentu dan menyorotinya membuka kemungkinan bagi kita untuk menekankan penghargaan atas teks-teks tertentu secara selektif dan arbitrer, dan mengeluarkan teks-teks lainnya. Anda tidak dapat benar-benar taat pada Allah jika anda dalam keadaan lapar. Ketaatan semacam ini adalah bentuk pemaksaan. Hadis nabi, “Saya yang berada di bawah lindungan Allah sangat memperhatikan kefakiran dan kekufuran (Ibn Hanbal, 1978, 2 : 101), adalah indicator hubungan antara kurangnya iman dan kemiskinan. Al-Qur’an juga menyebutkan klaim Fir’aun sebagai Tuhan dan melahirkan konsekuensi politik atas perbudakan bangsa Israel (QS. 10 : 83-, 90).
2.       Respon bahwa mencari dimensi teologis dalam konteks politik tertentu tidak mengimplikasikan bahwa kita memandang politik sebagai satu-satunya dimensi iman dan bahwa teks bernilai hanya jika berkaitan langsung dengan kepentingan politik
      Esack melihat ada 3 unsur intrinsic dalam proses memahami teks : Pertama, masuk dalam pikiran pengarang. Dalam kasus al-Qur’an, Tuhan dipandang sebagai pengarang. Muslim perlu masuk kedalam pikiran Tuhan. Oleh karena itu, Tuhan berperan langsung dalam pemahaman teks; yang lain menjadikan Muhammad sebagai kunci dalam melahirkan makna, bagi Rahman dan kaum tradisionalis, makna terletak di dalam teks dan dapat digali oleh “pikiran murni”. Inilah yang disebut pendekatan personal. Problem sebenarnya adalah bagaimana menerapkan pendekatan ini secara sadar pada arena sosio-politik atau domain moralitas publik dengan cara tertentu.
      Kedua, penafsiran adalah binatang dengan banyak beban. Partisipasi aktif penafsir dalam melahirkan makna mengimplikasikan bahwa menerima teks dan mengeluarkan makna darinya tidak ada pada dirinya sendiri. Menerima dan menafsir, dan makna adalah selalu parsial. Setiap penafsir memasuki proses interpretasi dengan pra pemahaman tentang persoalan yang dikemukakan teks. Makna selalu berada dalam struktur pemahaman itu sendiri. Jadi, :”Tak ada interpretasi tak berdosa, tak ada penafsir tak berdosa, dan tak ada teks tak berdosa” . Kita perlu membedakan antara diri dengan kondisi dimana diri itu berada. Mengabaikan ambiguitas bahasa dan sejarah serta impaknya pada interpretasi, menyebabkan tak ada perbedaan antara Islam normative dan apa yang “dipikirkan” orang beriman[15]
      Ketiga, interpretasi tidak lari dari bahasa, sejarah dan tradisi. Masa lalu adalah masa kini. Siapapun yang menggunakan bahasa “memikul pra pemahaman” yang sebagian sadar dan lebih sering tidak sadar akan sejarah dan tradisi bahasa tersebut (Tracy, 1987 : 16). Kita tidak bisa lari dari semua ini. Makna kata selalu dalam proses. Menurut Cantwell Smith, “Menggunakan suatu kata berarti berpartisipasi dalam proses sejarah maknanya yang terus-menerus Makna literal dari suatu ucapan selalu problematic dan tidak pernah bebas nilai. Ini khususnya berkaitan dengan ucapan simbolik dan suci. Pluralitas bahasa dan ambiguitas sejarah tak dapat dihindarkan dalam upaya memahami. Problem bahasa tak terbatas pada penafsir tapi juga meluas pada tradisi atau teks yang ditafsirkan. Tindakan menafsirkan apapun adalah partisipasi dalam proses linguistik-historis. Pembentukan tradisi dan partisipasi ini terjadi dalam ruang dan waktu tertentu. Perlakuan kita terhadap Al-Qur’an juga terjadi dalam batasan-batasan ini; kita tidak dapat keluar dari dan menempatkan diri di atas bahasa, budaya dan tradisi[16]

D. THE NEW SOCIAL MOVEMENT : SEBAGAI BASIS PEMBEBASAN MUSTAD’AFIN
                  Muhammad Syahrur[17]  mencatat, Islam sejak diutusnya Nabi Muhammad sebagai Rasul hingga kini tidak mengalami krisis peribadatan. Orang mengerjakan sholat bertambah jutaan, jumlah masjid terus bertambah, diseluruh penjuru dunia. Orang yang menuaikan haji terus bertambah bahkan tempatnya sudah tidak mencukupi. Orang yang melaksanakan puasa terus semakin banyak dan tempat suci juga luas. Disini ibadah yang dilakukan umat Islam tidak pernah mengalami krisis apapun. Tetapi kehidupan umat Islam sangat dipengaruhi keadaan situasi  Tirani ekonomi-politik yang membawa pandangan relasi kekuasaan dan kapital akan mempengaruhi tatanan kemasyarakatan, yang gambarkan Syahrur dengan symbol sebagaima kisah al-qur’an dengan Fir’aun yang merupakan puncak kekuasaan yang mencakup karakteritik tiranisme (penindasan dan represif, sedangkan Hamman sebagai symbol orang-orang menjaga kesucian tuhan tapi justru kelakuannya jauh dari nilai-nilai yang diajarkan Tuhan. Dan Qorun sebagi kapitalisme yang terus menghisap sesama manusia.
      Sebenarnya kendala yang paling utama adalah moralitas manusia yang selama ini melakukan penindasan. Dalam konteks ini, perlawanan menjadi suatu tindakan yang niscaya dilakukan ketika sistem ekonomi, sosial, politik, budaya, bahkan agama bernilai penindasan. Menurut Muhammad Abduh, agama justru harus menjadi daya dobrak teologis (theological striking force) dalam melakukan perlawanan. Mengubah kesadaran spiritual menjadi instrumen perlawanan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Maka yang terpenting adalah bagaimana mengomunikasikan bahasa agama menjadi inspirasi pembebasan. Pedoman inilah yang selalu menjadi misi suci para nabi. Mereka tak hanya mengajarkan tentang aturan-aturan teologis yang baku, tapi justru yang patut diteladani adalah kemampuan mereka menghayati risalah ketuhanan dalam bahasa teologis yang bernilai transformatif dan membebaskan.[18]
Saat ini umat Islam, misalnya, sangat sering membedakan antara misi kenabian dan keulamaan. Ulama seolah hanya memikirkan masalah masjid, kitab suci, dan ritualisme, sementara refleksi pembebasan adalah urusan kaum intelektual dan para aktivis pembaharuan. Padahal, ulama adalah pewaris para nabi yang juga harus mengemban misi pembebasan.
Para nabi adalah kaum intelektual-pendakwah (missionaries) yang tidak hanya sebagai intelligent and rational being, tetapi juga relational being capable of communion and self- gift. Kematangan berpikir para nabi juga diikuti dengan rasa solidaritas yang amat tinggi. Elitisme beragama telah menjadi misi iman yang profetis. Sejarah nabi-nabi adalah sejarah pengorbanan kemanusiaan, yaitu riwayat tentang pembaharuan dari tata sosial menindas menuju tata sosial membebaskan. Para nabi adalah kaum pendakwah yang mengajak dan mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan pengorbanan hidup. Mereka juga adalah para intelektual yang senantiasa melakukan refleksi kritis atas situasi sosial di sekitarnya.
Karena itu, para intelektual dan agamawan masa kini harus mengemban misi profetis. Secara khusus, Ignacio Ellacuria menyebutkan bahwa peran kaum intelektual dewasa ini harus berpihak pada transformasi sosial serta bersuara bagi mereka yang tidak punya suara dan memperjuangkan hak-hak mereka.
Jarang sekali tulisan tentang gerakan Islam yang dikaitkan dengan pembebasan tertentu, misalnya pembebasan dari kemiskinan atau ketertindasan, kebebasan berbicara dan sebagainya. Pengecualian mungkin di Afrika Selatan yang ditulis sendiri oleh aktivisnya, yaitu Dr. Farid Esack,  dimana sebagian kaum Muslim di sana menjadi bagian dari gerakan pembebasan dari kebijakan apartheid. Fakta ini praktis bertolak belakang dengan tulisan-tulisan tentang gerakan agama lain. Kita dengan mudah bisa menemukan suatu gerakan pembebasan dari ketertindasan seperti Martin Luther King Jr. di AS; Sulak Civaraksa di Thailand; Desmon Tutu dan Nelson Mandela di Afrika Selatan; Kardinal Sin di Pilipina; Uskup Bello di Timor Timur; Romo Mangun dan Ibu Gedong Oka di Indonesia, untuk beberapa contoh.
Sedangkan gerakan Islam hampir selalu berupa Islam Fundamentalis seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jamaat Al-Islamy di Pakistan; belakangan muncul Taliban dan Mujahidin di Afghaistan; FIS di Al-Jazair; revolusi Mullah di Iran dan seterusnya. Pemikiran yang konspiratif akan mempertanyakan kemungkinan adanya rekayasa pemunculan gerakan-gerakan dan para tokohnya itu sebagai penentang Barat atau AS khususnya serta modernisasi, dan karena itu sebagai gerakan antagonis. Sebaliknya, gerakan dan tokoh di luar Islam sebagai penyelamat manusia dari ketertindasan kekuasaan dan tirani.
Tetapi pemikiran jernih akan memberikan kemungkinan bagi penilaian betapa capaian Islam atas pandangannya tentang dunia dan manusia begitu terbatas dan sempit. maka dalam Islam gerakan sosial dan revolusi cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan demi meraih tujuan “kejayaan agama” (baca: kekuasaan). Dengan demikian, ada problematik secara ideologis dan mungkin teologis bagi pandangan Islam dalam melihat pembebasan dalam dimensi-dimensi kemanusiaan. Perbedaan mendasar antara teologi pembebasan dalam Katolik misalnya, ia secara langsung melakukan pemberdayaan rakyat untuk mengambil arus lain dari mainstream. Penyadaran atau conscientization dalam bahasa Paulo Freire, kepada rakyat telah mengukuhkan kesadaran yang bersifat massal. Kepemimpinan dan keterlibatan para pemimpin Katolik untuk kasus di Amerika Latin misalnya, mampu menggoyahkan struktur Gereja yang hirarkis dan sekaligus struktur negara dan modal yang berhimpitan di luarnya. Tetapi dalam waktu yang sama para aktor itu sendiri tidak mengambil alih struktur hirarkis semula maupun struktur negara dan modal. Melainkan para pelaku, yakni rakyat lah yang mengambil keuntungan dari proses tersebut [19]
Teologi pembebasan Islam seperti yang dirintis oleh Engineer  di India sulit untuk tidak dikatakan berhenti pada diskursus. Memang ada satu dua pemikirannya memberikan pengaruh untuk tafsir praksis seperti kesetaraan perempuan dan anti-diskriminasi tetapi sulit untuk dikatakan ia merupakan akibat langsung dari gerakan itu. Hal ini pun dengan mengabaikan hasil capaian yang terukur, misalnya bagi perempaun dan non-Muslim di negara mayoritas Muslim hingga saat ini. Sebaliknya, gerakan Islam yang terukur dan mampu menggerakkan kesadaran banyak orang justeru mengarah kepada ketidakbebasan dan penerapan diktum-diktum agama atau nash-nash secara tekstual.
Gerakan sosial biasanya didefinisikan sebagai gerakan bersama sekelompok orang atau masyarakat yang terorganisir tetapi informal bersifat lintas kelompok untuk menentang atau mendesakkan perubahan. Banyak versi dan dimensi dari definisi gerakan sosial itu tetapi belum  menekankan pentingnya empat unsur utama, yaitu (1) jaringan yang kuat tetapi interakisnya bersifat informal atau tidak terstruktur. Dengan kata lain ada ikatan ide dan komitmen bersama di antara para anggota atau konstituen gerakan itu meskipun mereka dibedakan dalam profesi, kelas sosial, dll. (2) Ada sharing keyakinan dan solidaritas di antara mereka; (3) ada aksi bersama dengan membawa isu yang bersifat konfliktual. Ini berkaitan dengan penentangan atau desakan terhadap perubahan tertentu; (4) Aksi tuntutan itu bersifat kontinyu tetapi tidak terinstitusi dan mengikuti prosedur rutin seperti dikenal dalam organisasi atau agama, misalnya. Dengan demikian, bisa diidealkan bahwa gerakan sosial sesungguhnya berangkat dari kesadaran sekelompok orang atas kepentingannya. Meskipun selalu dibutuhkan kepemimpinan di dalam semua gerakan sosial tersebut, tetapi keuntungan (value-added) dan capaiannya selalu harus kembali kepada konstituen gerakan dan bukan kepada pemimpinnya.. Tiga buku berikut mungkin bisa dijadikan contoh, yaitu (1) Aktor Demokrasi, Catatan Tentang Gerakan Perlawanan di Indonesia (Arief Budiman at al. [ed.], ISAI 2001); (2) Gelombang Perlawanan Rakyat, Kasus-Kasus Gerakan Rakyat di Indonesia (N. Kusuma at. al. [ed.], Insist, 200); (3) Gerakan Sosial, Wahana Civil Society bagi Demokratisasi (Iwan Gardono Sujatmiko [ed.], LP3ES, 2006).
E. CATATAN PENUTUP
Catatan narasi tentang gerakan sosial di Indonesia bagi upaya pemebebasan kaun mustadl’afin:
1. Gerakan pembebasan biasanya  lebih menguntungkan pemimpin atau yang dianggap sebagai pemimpin dan karena itu gerakan selama ini belum memberikan impact kepada mereka orang-orang tertindas.
2. Gerakan-gerakan itu juga umumnya diinisiasi oleh para pemimpin itu ketimbang atas kesadaran orang yang tertindas sejak semula.
3. Beberapa gerakan lebih menampakkan ciri top down.
Yang terjadi kemudian adalah bahwa gerakan sosial tersebut cenderung bukan representasi keinginan dari konstituen melainkan sebaliknya, ia merupakan bentuk penundukan atau titipan dari struktur politik negara atau kekuasaan tertentu. Gejala demikian dalam literatur gerakan sosial disebut contra social movements atau contra movements, yaitu cara-cara pemerintah atau kekuasaan menundukkan tuntutan gerakan soaial untuk menolak atau menghadang perubahan yang didesakkan atau dengan kata lain cara memaksakan kebijakan penguasa kepada kelompok tertentu (). Gerakan sosial Islam yang radikal pun di Indonesia banyak bukti merupakan rekayasa dari penguasa tertentu.






























DAFTAR PUSTAKA



Asghar Ali Engineer,Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,   2003,

Ali Syari’ati, Pemimpin Mustad’afin : Sejarah Panjang melawan Penindasan , Bandung : Muthahari Paperbacks, 2001

Farid Essack, Membebaskan Yang Tertindas, Bandung Mizan  2000,

Kalid Abou El-Fadl, Selamatkan Islam dari Islam Puritan, Jakarta : Serambi, 2006

Jhon Luis Segundo, The Liberation of Theology, New York : Obis Books, 1991

Muhammad Syahrur,  Tirani Islam, Yogyakarta : LKIS,  2003,

Munir Mulkan, Teologi Kiri, Landasan Membela Kaum Mustadl’afin, Yogyakarta : Kreasi Wacana,

Michael Lowy, Teologi Pembebasan, Yogyakarta :Insist Press, 1999 

Arief Budiman at al. [ed.Aktor Demokrasi, Catatan Tentang Gerakan Perlawanan di Indonesia  Jakarta : ISAI 2001

N. Kusuman,  Gelombang Perlawanan Rakyat, Kasus-Kasus Gerakan Rakyat di Indonesia  Yogyakarta : Insist, 2000

Iwan Gardono Sujatmiko [ed.) Gerakan Sosial, Wahana Civil Society bagi Demokratisasi, Jakarta :  LP3ES, 2006.



[1]Makalah disampaikan dalam diskusi kelas program Doktor untuk memenuhi tugas mata kuliah Pemikiran Islam Kontemporer
[2]Lihat Q.S. 4:135, larangan memutar balikkan keadilan, dan menolak keadilan, Q.S. 5:9, larangan berbuat tidak adil sesama manusia, Q.S. 93:9-10 menindas anak yatim dan orang terlantar, Q.S. 3: 159, larangan berbuat kasar pada sesama. 
[3]Lihat Q.S. At-Takwir, 8-9. “Dan apabila bayi-bayi perempuan dikubur hidup-hidup ditanya. Karena dosa apakah dia dibunuh?”
 
[4]Asghar Ali Engineer,Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,   2003, h. 42

[5] Ali Syari’ati, Pemimpin Mustad’afin : Sejarah Panjang melawan Penindasan , Bandung : Muthahari Paperbacks, 2001, h. 73
[6] Asghar Ali Egeneeri, Islam dan Teologi Pembebasan,  Op.cit
[7]Farid Essack, Membebaskan Yang Tertindas, Bandung Mizan  2000, h. 14
[8]Jhon Luis Segundo, The Liberation of Theology, New York : Obis Books, 1991, h.3-6

[9]Ibid. h. 1-11

[10] lihat skema I, Op.cit. , Esack,2000 : 66

[11] Farid Esack, Op.cit., h.8
[12]Ibid. h. 8
[13]Ibid. h. 67 – 68

[14]Ibid. h.11
[15]Ibid.75
[16]Ibid.76.

[17]Muhammad Syahrur,  Tirani Islam, Yogyakarta : LKIS,  2003, h. 235-236
[18]Munir Mulkan, Teologi Kiri, Landasan Membela Kaum Mustadl’afin, Yogyakarta : Kreasi Wacana, 231-235 
[19]Michael Lowy, Teologi Pembebasan, Yogyakarta :Insist Press, 1999