Minggu, 21 Agustus 2011

PANDANGAN UMUM

FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL

TERHADAP

RAPERDA RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN

DAN RAPERDA PENYERTAAN MODAL

Bismillahirrahmanirrahim

Assalaamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Yang kami hormati Saudara Ketua dan Para Wakil Ketua DPRD Boyolali ;

Yang kami hormati Saudara Bupati, Wakil Bupati dan Anggota Muspida Boyolali

Yang kami hormati Kepala Kejaksaan Negeri, Ketua Pengadilan Negeri (atau yang mewakili)

Yang kami hormati Sdr plt Sekreatris Daerah, Staf Ahli, Sekretaris DPRD, Para Asisten Bupati, Kepala Dinas, Kepala Badan, dan Kepala Kantor Kabupaten Boyolali

Yang kami hormati Para Anggota DPRD Kabupaten Boyolali dan hadirin sekalian yang berbahagia ;

Alhamdulillah, puji dan syukur Kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan nikmat, rahmat dan karunia-Nya sehingga Kita dapat hadir dalam Rapat Paripurna DPRD hari ini untuk menyusun pekerjaan besar bagi masa depan Boyolali dengan harapan Allah meridhoi usaha kita. Salawat dan salam senantiasa terlimpahkan kepada junjungan Kita Nabi Muhammad SAW, para sahabat dan keluarganya, serta para pengikutnya sehingga sunnah-sunnah beliau menjadi inspirasi dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah Boyolali yang kita cintai ini.

Sebelumnya menyampaikan pandangan umum atas dua ranperda RTRW dan penyertaan modal ini izinkan, FPAN menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas penanganan bencana merapi baik pada masa tanggap darurot maupun pasca erupsi merapi. Keprihatinan ini kita sampaikan melihat kondisi korban bencana merapi yang sampai saat ini belum menerima hak-hak sebagai pengungsi pada masa tanggap darurat maupun rehabilitasi dan rekonstruksi pasca erupsi merapi. Salah satu hal yang membuat prihatin adalah belum di cairkan dana jatah hidup untuk lauk pauk kepada para pengungsi maupun korban bencana yang besarnya mencapai kurang lebih 2 milyard yang berasal dari pemerintah provinsi. Oleh karena FPAN pada kesempatan ini meminta konfirmasi, mengapa hal ini bisa terjadi dan apakah ada aturan yang menghambat sehingga jadup sebagai hak pengungsi maupun korban merapi belum di realisasikan. Dan juga persoalan yang menyangkut penanganan bencana lahar dingin terkesan pemerintah Kabupaten Boyolali sangat lambat dalam menanganinya, meski upaya-upaya telah dilakukan, maka kami FPAN memohon Pemerintah Boyolali lebih serius lagi, khusus BPBD kabupaten Boyolali yang telah di bentuk.

Hadirin Rapat Paripurna yang berbahagia,

Setelah membaca naskah akademik dan draf ranperda rencana tata ruang wilayah, FPAN mengajak untuk menyimak kembali UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, serta UU No 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Dan Perlindungan Lingkungan Hidup. PP no.15 tahun 2010 tentang penyelenggaraan penataan ruang, Perda Provinsi Jawa tengah No.6 tahun 2010 tentang RTRW Provinsi Jawa Tengah, bahwa yang dimaksudkan tata ruang wilayah adalah kebijakan dalam menetapkan lokasi kawasan yang dilindungi, lokasi pengembangan kawasan budidaya yang di dalamnya termasuk kawasan produksi dan pemukiman, pola jaringan prasarana wilayah yang akan di kembangkan sesuai prioritas dalam kurun waktu perencaanaan.

Berangkat pemahaman tentang tata raung wilayah diatas, maka tujuan disusunnya peraturan daerah mengenahi rencana tata ruang adalah sebagai berikut;

  1. Terselenggaranya pemanfaatan ruang yang berwawasan lingkungan berlandaskan wawasan nusantara dan Ketahanan Nasional;
  2. Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya.
  3. Tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk :
    • mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur, dan sejahtera;
    • mewujudkan keterpaduan dalam penggunaaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia;
    • meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia;
  4. Mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan (contoh yang paling sering kita alami adalah banjir, erosi eruspsi, dan sedimentasi); dan
  5. Mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan

Oleh karena dalam penyusunan Tata Ruang , minimal ada tiga prinsip dasar atau kaidah yang patut diperhatikan. Pemenuhan prinsip dasar ini juga dapat digunakan sebagai indikator untuk mengukur tingkat kerentanan dan implikasi terhadap pelaksanaan Tata Ruang. Secara sederhana prinsip dasar penyusunanan RTRW ini digunakan untuk menjamin keberlangsungan hak-hak dasar masyarakat agar terhindar dari dampak negatif pelaksanaan sebuah Tata Ruang. Tiga Prinsip dasar tersebut antara lain:

1. Prinsip berkelanjutan secara Ekologi ; Artinya dalam penyusunan RTRW kabupaten Boyolali haruslah memperhatikan pola pemanfaatan Ekologi (lingkungan), sehingga tidak menyebabkan kerusakan ekologi/ lingkungan yang akan berdampak negatif pada kehidupan masyarakat di sekitarnya. Prinsip ini dapat diukur dengan menggunakan beberapa indikator antara lain;

· Tidak melakukan eksploitasi yang destruktif terhadap sumber daya alam, seperti tambang galian C,

· Tidak melakukan konversi atau merubah fungsi suatu kawasan atau ekosistem yang akan mengakibatkan terjadinya bencana banjir dan tanah longsor, terganggunya eksistensi (keberadaan) masyarakat dan dapat menghilangkan mata pencaharian masyarakat,

· Tidak merubah fungsi status kawasan yang memang benar-benar harus dilindungi dan sudah diatur dalam peraturan negara,

· Tidak mengkonversi lahan pertanian yang subur untuk dialih fungsikan perumahaman atau kawasan industri dalam skala besar dengan pola monokultur yang memang tidak sesuai dengan karakteristik lokal.

2. Prinsip berkelanjutan secara ekonomi. Artinya RTRW harus menjamin dan memperhatikan keberadaan keberadaan ekonomi tradisional pada suatu wilayah atau kawasan tertentu. Prinsip ini dapat diukur dengan beberapa indikator, antara lain

· Memberdayakan usaha atau industri kecil serta menolong sistem ekonomi kerakyatan berbasis lokal,

· Menjamin hasil produksi dan pengelolaan untuk hasil-hasil pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan dan kerajinan,

· Menyediakan sarana dan prasarana untuk peningkatan ekonomi kerakyatan.

3. Prinsip berkelanjutan secara Sosial-Budaya. Artinya dalam penyusunan RTRW harus tetap menjamin keberadaan atau hak-hak masyarakat untuk berkembang dan sudah menjadi tradisi masyarakat. Prinsip ini dapat diukur dengan beberapa indikator antara lain;

· Adanya dukungan pemerintah Boyolali kepada masyarakat dalam mengembangkan sosial-budayaan seperti di karakteristik masyarakat selo, masyarakat pengging, masyarakat Tumang, ampel dll;

· Penyelamatan peninggalan-peninggalan objek bersejarah;

· Penguatan kontrol sosial terhadap kebudayaan asing oleh masyarakat;

· Penguatan peraturan-peraturan di masyarakat lokal tentang pengembangan pertanian, perikanan dalam pengelolaan wilayahnya;

· mengedepankan peran aktif pemuda dan peran perempuan dalam pengambilan keputusan-keputusan politik, serta;

· Mengedepankan musyawarah dalam setiap penyelesaian masalah.

Rapat Paripurna dewan yang terhormat,

Memperhatikan dasar-dasar filosofis yang di jadikan acuan dalam penyusunan undang-undang atau peraturan rencana tata ruang wilayah, maka setelah membaca, menelaah melalui diskusi dengan beberapa pihak serta memperhatikan hasil hearing terhadap draf ranperda RTRW FPAN berpendapat :

1. Struktur ranperda RTRW dalam batang tubuh perda yang terdiri 12 bab 83 pasal yang diajukan belum mencantumkan bab yang mengatur kerja sama antar daerah, atau kerja sama antara pemerintah dengan swasta, bab atau pasal tentang kerjasama dalam pengembangan kawasan, hal di pandang penting karena salah dalam visi dan misi Bupati Boyolali adalah pro-invistasi sehingga dengan adanya bab dan pasal bentuk kerja sama antar pemerintah daerah dan kerjasama swasta akan mendorong investor berminat menanamkan modal di Boyolali, karena peraturan daerah tentang RTRW sebagai pintu masuk untuk menarik investor, mengapa hal ini tidak atur sekalian, atau pemerintah daerah Boyolali akan mengatur kerjasama antar pemerintah daerah dan swasta terkait pengembangan tata ruang wilayah menjadi perda tersendiri. FPAN mengusulkan agar perda RTRW ditambah bab atau pasal yang mengatur kerjasama, karena perda RTRW tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan perda no.6 tentang RTRW Provinsi Jawa Tengah.

2. Rencana strukur ruang wilayah kabupaten dalam Bab III perlu di perjelas dalam menetapkan kawasan pedesaan dan kawasan perkotaan, sesuai dengan UU no.26 tahun 2007 tentang penataan ruang, sehingga sitem pelayanan pedesaan dan sistem pelayanan perkotaan yang di tetapkan sebagai kawasan pengembangan tidak rancu antara DPP, PKW, PKL, PKLp, PPK, dalam zonasi yang berbasis desa bukan kecamatan. Penataan ruang kawasan pedesaan harus menitik beratkan kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Maka pasal 7-10 bab III dalam penetapan zonasi pedesaan harus di lakukan penelitian yang mendalam. Seperti penetapan DPP (Desa Pusat Pertumbuhan) yang hanya di proyeksikan 13 desa. Apa yang menjadi dasar penetapan DPP, PKL (pusat kegiatan lokal), PKlp (pusat kegiatan lokal promosi) dan PPK (pusat pelayanan kawasan), KTP2D (kawasan terpadu pusat pengembangan desa), sebagaimana dalam draf ranperda

3. Rencana pengembangan sistem prasaran utama khususnya prasarana transportasi udara (ps.17), apakah ini sudah sesuai dengan RTRW provinsi, RTRW nasional atau tata ruang yang di kembangkan oleh TNI-AU sebagai pemilik Bandara Adi sumarmo dan Angkasa Pura I sebagai pengelola Bandara, ini penting karena selama ini Pemerintah kabupaten Boyolali, tidak pernah melakukan co-sharing terhadap pengembangan kawasan Bandara Adi Sumarmo, apalagi co-sharing pendapatan pengelolaan Bandara. Oleh FPAN mengusulkan agar dalam pembahasan RTRW yang menyangkut pasal 17 perlu mengundang pihak TNI-AU mapun PT. Angkasa Pura, karena multi-efek dari pengembangan sekitar Bandara sangat strategis. Dan sangat mungkin desa-desa di sekitar Bandara, Ngesrep, Sindon, Gagaksipat, Dibal dan Sobokerto di jadikan Kota satelit, tanpa menghilangkan kekhasan desa tersebut sebagai penyangga pertanian di kecamatan Ngemplak.

4. Rencana pola ruang wilayah Kabupaten (bab IV) perlu kiranya di kembangkan kawasan penyangga iklim atau di kenal sebagai desa iklim disamping pengembangan kawasan hutan lindung, desa iklim lebih spesifik karena berbasis desa sedang hutan lindung dikawasan hutan, hal ini penting karena kota Boyolali yang 10 tahun cukup sejuk, sekarang sangat panas, maka apabila desa iklim yang di kembangkan pada zonasi desa-desa di Cepogo, Musuk, Selo, Ampel dan Mojosongo, dengan membuat indikator-indikator tertentu, sesuai dengan tingkat produksi Oksigen. Oleh karena itu FPAN mengusulkan, rencana pola pengembangan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya (ps 24-29) perlu di tetapkan indikator–indikator tertentu yang menjadikan kawasan lindung dan kawasan budidaya sebagai penyangga iklim.

5. Penetapan kawasan industri (ps 41) dengan kategori sedang sampai besar dengan penyedian lahan kurang lebih 1.191 ha, perlu di rinci dengan zonasi berbasis desa, bukan kecamatan, hal ini dimaksudkan untuk menjaga kawasan pertanian yang subur, agar tidak dialih fungsikan menjadi lahan industri misalkan kecamatan Teras diarahkan ke kawasan desa mana, kecamatan Banyudono, di arahkan ke desa mana, Ngemplak desa mana, sehingga investor bisa mengetahui kawasan yang layak untuk pengembangan industri. Apakah pemerintah daerah sudah punya konsep untuk ini?

6. Penetapan kawasan strategis (bab V ps 45) untuk pertumbuhan ekonomi, sosial budaya dan daya dukung lingkungan alat ukur yang di gunakan apa? Mengapa Simo dan Andong tidak dimasukkan dalam kawasan pertumbuhan ekonomi? Sedang kalau dilihat pertumbuhan ekonomi cukup signifikan, ini bisa dilihat data BPS. Oleh karena FPAN mengusulkan masuk kawasan PKL atau PKLp, dengan fakta industri garmen di dua kecamatan tersebut potensi untuk di dorong tidak hanya industri rumah tangga tetapi bisa industri besar.

7. Kelembagaan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (bab IX ps 68) perlu dirinci tugas pokok fungsi serta syarat keanggotaan BKPRD, dan keterlibatan masyarakat dalam kelembagaan ini di masukkan dalam pasal-pasal ini, tidak diatur melalui keputasan bupati, agar kelembagaan ini bisa dikontrol masyarakat secara luas, sebagaiman bab sebelumnya (ps 64) tentang hak kewajiban dan peran masyarakat dalam penataan ruang wilayah.

Wabillaahitaufik wal hidayah wassalaamu’alaikum Wr, Wb.

Boyolali, 29 Januari 2011

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

KABUPATEN BOYOLALI

FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONA (FPAN)

Ketua, Sekretaris

DRS. THONTOWI JAUHARI, S.H., M.Si. MUSTHOFA SYAFAWI, SH.

Selasa, 04 Januari 2011

MENYOAL PEMBUATAN RAPERDA CSR


Terdapat fenomena menarik dengan apa yang dilakukan saat ini oleh Dewan Perwakina Rakyat Daerah (DPRD), baik tingkat I (satu) maupun tingkat II (dua), khususnya pada daerah-daerah yang memiliki kawasan industri terpadu dan cadangan Sumber Daya Alam (SDA) melimpah, baik industri tersebut dikelola oleh perusahaan berbentuk BUMN, BUMD maupun swasta, yaitu dengan adanya penggodokan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang mengatur mengenai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau lebih familiar dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR). Beberapa daerah yang saat ini diketahui sedang membahas pembuatan Raperda CSR adalah DPRD Kabupaten Serang, DPRD Kota Serang, DPRD Kota Cilegon, DPRD Kota Bandung, DPRD Kabupaten Tangerang, DPRD Otorita Batam, DPRD Kota Bogor, dan DPRD Kalimantan Timur.
Berbagai hal yang melatarbelakangi dibuatnya Raperda CSR oleh masing-masing DPRD, mulai dari perwujudan pengingatan sekaligus peringatan kepada perusahaan agar konsisten melakukan program CSR sebagai bentuk kompensasi akibat dampak negatif yang ditimbulkan terhadap lingkungan dan sosial, motif lainnya adalah menghimpun dana CSR perusahaan oleh pemerintah daerah (Pemda) sehingga program CSR dilakukan satu atap dan pelaksananya oleh Pemda, hingga ada upaya beberapa daerah dalam rangka meningkatkan perolehan dana APBD dengan menghimpun dana yang bersumber dari anggaran CSR perusahaan.
Terdapat beberapa bias ketika Raperda CSR pada akhirnya menjadi sebuah Perda; pertama, ada kesan Pemda berupaya membagi beban tanggungjawab pembangunan kepada perusahaan. kedua, ada upaya meraup dana untuk pembangunan daerah yang bersumber dari pihak ketiga sehingga klaim APBD meningkat. Ketiga, Pemda berupaya mengelola program CSR satu atap di koordinir oleh Pemda, walaupun belum jelas pola dan pelaksanaannya seperti apa.
Jika melihat Peraturan yang melingkupi mengenai CSR atau Program Kemitran dan Bina Lingkungan (PKBL) BUMN, Pada dasarnya baru terdapat tiga landasan hukum, Pertama, Peraturan Menteri Negara BUMN No: Per-05/MBU/2007, isinya adalah Pasal 1 ayat (6), bahwa Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil, yang selanjutnya disebut Program Kemitraan, adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN, dan pada pasal 1 ayat (7) dijelaskan bahwa Program Bina Lingkungan, yang selanjutnya disebut Program BL, adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Sedangkan ruang lingkup bantuan Program BL BUMN, sesuai dengan Pasal 11 ayat (2) huruf e meliputi: Bantuan korban bencana alam; Bantuan pendidikan dan atau pelatihan; Bantuan peningkatan kesehatan; Bantuan pengembangan prasarana dan atau sarana umum; Bantuan sarana ibadah; danBantuan pelestarian alam.
Kedua, Peraturan yang mengikat Perseroan Terbatas (PT) adalah Undang-undang No.40 Tahun 2007. Dalam pasal 74 diatur bahwa : (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, (2)Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran, (3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketiga, Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 15 (b) menyatakan bahwa"Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan." Meskipun UU ini telah mengatur sanksi-sanksi secara terperinci terhadap badan usaha atau usaha perseorangan yang mengabaikan CSR (Pasal 34), UU ini baru mampu menjangkau investor asing dan belum mengatur secara tegas perihal CSR bagi perusahaan nasional.
Pada dasarnya peraturan yang melingkupi CSR adalah peraturan yang masih dalam proses penyempurnaan. Peraturan Menteri BUMN sebetulnya lebih detail membahas mengenai apa saja yang termasuk dalam program kemitraan dan bina lingkungan dibanding UU PT maupun UU penanaman modal. Undang-Undang PT seakan berlaku diskrimintaif, karena hanya mengatur perusahaan ekstraktif (terkait SDA), tidak mengikat perusahaan lain yang sama-sama berdampak negatif terhadap lingkungan dan sosial. Selain itu sampai dengan saat ini sudah hampir tiga tahun Peraturan pemerintah (PP) mengenai turunan dari Undang-undang PT belum selesai dibahas. Setali tiga uang Undang-undang Penanaman modal hanya mengatur CSR bagi investor asing.
Jika melihat tata aturan hukum yang melingkupi-pun masih belum sempurna, lantas bagaimana dengan Raperda CSR? Tidakkah nantinya ketika PP diterbitkan beresiko akan tumpang tindih. Seharusnya pemerintah daerah banyak belajar dari pengalaman dimana Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan ratusan Perda karena tumpang tindih dengan aturan diatasnya, dan berapakah anggaran yang harus dikeluarkan untuk terbitnya sebuah perda yang kesannya hanya untuk kebutuhan pragmatis.
Satu hal yang tidak boleh dinafikan dalam membuat Raperda CSR adalah harus menggunakan juga logika perusahaan. Akan menjadi sebuah kontradiktif ketika daerah banyak menarik investor dari luar untuk membuka industrinya di daerah, namun dengan terlalu banyaknya aturan dan biaya maintenance yang dikeluarkan apakah malah tidak akan membuat investor hengkang. Logika sederhana, biaya perizinan usaha di Indonesia sangat besar dan itu pun belum menjamin izin tersebut tuntas dari hulu sampai hilir. Izin formal dan pajak lumayan besar, belum lagi perizinan di tingkat provinsi, kabupaten hingga kecamatan. Ditambah yang informal ”biaya bawah meja” untuk mempercepat proses, upeti, jatah preman, proposal-proposal pembangunan masjid, sekolah dan lain-lain. Apa jadinya jika ditambah lagi beban perusahaan dengan adanya Perda yang mengatur CSR, dimana substansinya lebih pada menghimpun anggaran CSR dari perusahaan.
Alangkah lebih baik pemerintah daerah memperjuangkan hak-hak buruh, peningkatan UMK, dan lain sebagainya, tanpa harus dipusingkan kewajiban sosial perusahaan yang sebetulnya sudah diatur dalam RKP dan RKL Analisi Mengenai Dampak Lingkungan dan Sosial (Amdalsos), sebetulnya keseriusan perusahaan dalam penerapan CSR tingga dievaluasi pada level itu, karena dalam Amdalsos sudah ada indikator sosial dan lingkungannya, jika perusahaan melanggar maka pemerintah tinggal mencabut Amdalnya. Kondisi yang terjadi adalah Amdalsos sendiri mulai dari permohonan hingga haslnya bisa ”diatur” pemerintah dan perusahaan, dan yang dirugikan adalah masyarakat setempat.
Secara hakikat berbicara CSR bukan hal yang mudah dalam arti menetapkan program asal jalan, asal sumbang, asal ada anggaran, yang ada pada akhirnya malah merusak social capital masyarakat. CSR dilakukan berdasarkan pertimbangan yang matang didasarkan pada “kebutuhan masyarakat” bukan “keinginan masyarakat”. Minimal terdapat empat tahapan dalam melakukannya CSR yaitu need assessment (kajian kebutuhan), plan of treatment (perencanaan program), treatment action (aplikasi program), termination (pemutusan bantuan) dan evaluation (evaluasi), kesemua rangkaian proses ini memerlukan proses panjang, membutuh mereka yang ahli dan memiliki kapasitas dalam menjalankannya, karena program tersebut berkaitan dengan lokalitas, kebermanfaatan, keberdayaan, hubungan mutualisme, kepentingan stakeholder. Apakah pemerintah daerah ketika mengajukan dirinya mengelola program CSR sanggup mengerjakan detail program diatas, sedangkan peran pemerintah sendiri merupakan bagian dari stakeholder yang memiliki fungsi kontrol terhadap pelaksanaan CSR perusahaan. Tidak ada logika yang membenarkan fungsi kontrol malah nantinya harus dikontrol.
Alangkah lebih baik jika pembuatan Raperda CSR bukan menjadi sebuah euphoria atau budaya ikut-ikutan antar daerah didasarkan pada matematika anggaran semata, melainkan perlu pengkajian secara mendalam. CSR memang merupakan bentuk keharusan bagi perusahaan tapi harus dilihat dahulu aturan apa yang melingkupinya. Jauh lebih baik jika pemerintah daerah melihat dahulu kondisi ‘kesehatan perusahaan’ jangankan mengatur CSR, gaji buruh pun misalnya masih dibawah UMK. Lebih baik memperkuat kontrol pelaksanaan RKP dan RKL Amdalsos, jikapun ingin membenahi, adalah melakukan kontrol sejauhmana pelaksanaan CSR yang sudah ada apakah memberdayakan masyarakat lokal atau malah membuat dependensi baru, lalu Pemda memberikan rekomendasinya.

KEMISKINAN KULTURAL BUAH DARI KEMISKINAN STRUKTURAL


Kemiskinan dalam perspektif ekonomi, didefiniskan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan. Sumber daya dalam konteks ini tidak hanya aspek finansial, melainkan semua jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan dalam arti luas. Kemiskinan ini menggunakan indikator yang sifatnya materi seperti kepemilikan harta benda, income perkapita, maupun konsumsi sebagaimana Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan indikator konsumsi sebesar 21,00 kalori/ orang setiap hari yang disetarakan dengan pendapatan tertentu, atau pendekatan Bank Dunia yang menggunakan standar 1 dolar AS/ orang setiap hari. Contoh kemiskinan ini adalah tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan beserta akses lain, seperti kesehatan, pekerjaan maupun pendidikan.
Kemiskinan dalam perspektif kesejahteraan sosial mengarah pada keterbatasan individu atau kelompok dalam mengakses jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Faktor penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal, dalam hal ini bersumber dari si miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan dan adanya hambatan budaya. Sedangkan faktor eksternal berasal dari luar kemampuan sesorang tersebut, seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang menghambat seseorang mendapatkan sumber daya. Secara sederhana kemiskinan dalam persepektif ilmu kesejahteraan sosial dimaknai sebagai kemiskinan yang pada awalnya disebabkan oleh kemiskinan ekonomi, kemudian dikarenakan terlalu lama dalam kondisi tersebut baik karena faktor tidak disengaja, disengaja maupun karena dipelihara menyebabkan efek domino yaitu tumbuhnya patologi atau masalah-masalah sosial. Sedangkan resiko ketika kemiskinan sudah menjadi masalah sosial adalah selain harus menyelesaikan masalah ekonomi itu sendiri juga mengatasi masalah sosial yang timbul. Contohnya adalah: munculnya kriminalitas, budaya malas, korupsi, disparitas sosial yang menyebabkan konflik, dan ketergantungan pada pihak lain.
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang muncul bukan karena ketidakmampuan si miskin untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja. Struktur sosial tersebut tidak mampu menguhubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang tersedia, baik yang disediakan oleh alam, pemerintah maupun masyarakat yang ada disekitarnya. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini adalah buruh tani, pemulung, penggali pasir dan mereka yang tidak terpelajar dan tidak terlatih. Pihak yang berperan besar dari terciptanya kemiskinan struktural ini adalah pemerintah, karena pemerintah yang memiliki kekuasaan dan kebijakan cenderung membiarkan masyarakat dalam kondisi miskin, tidak mengeluarkan kebijakan yang pro masyarakat miskin, jikapun ada lebih berorientasi pada proyek, bukan pada pembangunan kesejahteraan. Sehingga tidak ada masyarakat miskin yang ‘naik kelas’, artinya jika pada awalanya buruh, nelayan, pemulung maka selamanya menjadi buruh nelayan dan pemulung, karena tidak ada upaya dalam menaikan derajat dan kemampuan mereka baik itu dalam kesempatan pendidikan atau pelatihan.
Sedangkan kebudayaan kemiskinan, merupakan kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Dalam komunitas lokal ditemui ada rumah yang bobrok, penuh sesak dan bergerombol. Ditingkat keluarga, masa kanak-kanak cenderung singkat, cepat dewasa, cepat menikah. Pada individu mereka ada perasaan tidak berharga, tidak berdaya dan rendah diri akut.
Pandangan lain tentang budaya kemiskinan adalah, bahwa kebudayaan kemiskinan merupakan efek domino dari belenggu kemiskinan struktural yang menghinggap masyarakat terlalu lama, sehingga membuat masyarakat apatis, pasrah, berpandangan jika sesuatu yang terjadi adalah takdir, dalam konteks keagamaan disebut dengan paham Jabariah, terlebih paham ini disebarkan dan di doktrinasikan dalam mimbar agama. Contoh kemiskinan ini ada pada masyarakat pedesaan, komunitas kepercayaan atau agama, dan kalangan marginal lainnya.
Dalam konteks kemiskinan di Indonesia, jika ditinjauan dari makalah Masalah-Masalah Kemiskinan, secara tidak langsung menunjukkan adanya keterkaitan antara kemiskinan struktural dengan kemiskinan kultural, terlebih status indonesia selain sebagai negara berkembang, juga mengalami proses sejarah penjajahan yang amat panjang, kurang lebih 350 tahun. Dimulai dari pemerintah kolonial belanda yang menanamkan komersialisasi pertanian dalam bentuk perpajakan, pembukaan lahan baru dan membuka jalan raya, yang justru dampaknya adalah merosotnya kesejahteraan petani, memperkaya mereka yang memiliki modal besar yaitu elit-elit ekonomi desa. Pasca penjajahan belanda, pemerintah orde lama fokus pada pembangunan aspek politik, proses pengintegrasian wilayah jajahan belanda kedalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada fase ini kondisi perekonomian negara jauh dari stabil, penanganan masalah kemiskinan belum menjadi prioritas. Masyarakat tidak beranjak dari situasi miskin karena secara struktural tidak terprioritaskan.

Pada saat pemerintahan orde baru, kebijakan politik mulai terarahkan pada usaha mengatasi kemiskinan, melalui jalan melakukan pinjaman dana kepada lembaga luar negeri yaitu IGGI yang kemudian berganti nama menjadi CGI. Namun dampak dari kebijakan ini bukan malah menghapus masalah kemiskinan, melainkan menciptakan kemiskinan babak baru, dimana tumbuhnya industrialisasi di desa-desa dalam wujud eksploitasi seperti: pertambangan, penebangan hutan, pembangunan pertanian tanaman industri dan sebagainya, yang pada akhirnya semakin menumbuhkan disparitas sosial yang semakin akut, dan tidak merubah kehidupan masyarakat miskin dan malah memperkaya mereka yang sudah kaya.
Oleh karena itu dilihat dari perjalanan kemiskinan diatas, dalam konteks ke-Indonesiaan, Kemiskinan kultural merupakan buah dari kemiskinan struktural, masyarakat terbentuk menjadi fatalis, semakin pasrah, menganggap miskin sebagai nasib dan garis hidup, selain juga sering diperkual dalam mimbar-mimbar agama, mengenai pemahaman keliru mengenai takdir untuk selalu bersabar dan bersyukur, sebagaimana ajaran fahamjabariyah, agar masyarakat tetap bersabar menerima ‘takdir’ yang ada.
Jika dilihat dari argumentasi diatas mayoritas kemiskinan yang hadir saat ini merupakan dominasi kemiskinan struktural, tidak ada proses transformasi kelas dimana buruh tani tetaplah menjadi buruh tani, begitu pula nelayan, pemulung, dan lain-lain. Jikapun ada program penanggulangan kemiskinan sifatnya residual, proyek, insidental, tidak berkelanjutan dan tidak mengena pada substansi atau menyentuh akar dari kemiskinan.

Kemiskinan Struktural Masyarakat Nelayan

Pendahuluan

“ Nenek Moyangku Seorang Pelaut….”. Nyanyian itu pastinya tidak lagi asing di telinga kita. Betapa tidak, dari kecil kita sudah diajari oleh guru kita tentang dendangan lagu tersebut. Tapi apakah kita sadar, ternyata nyanyian itu tidak hanya sekedar nyanyian belaka. Pelaut sangat identik dengan orang-orang yang hidup di daerah perairan atau lebih tepatnya disebut dengan laut. Indonesia, sebuah negara maritime yang lebih dari wilayah lautnya meliputi 2/3 dari seluruh luas wilayah Negara dan memiliki kekayaan bahari yang begitu melimpah, layaknya menjadi surga setiap pelaut dan nelayan yang hidup di bumi ini. Namun apakah kenyataannya seperti itu?

Rasanya sulit untuk sekedar menjawab iya atas pertanyaan tersebut. Kenyataannya, nelayan yang mendiami pesisir lebih dari 22 persen dari seluruh penduduk Indonesia justru berada di bawah garis kemiskinan dan selama ini menjadi golongan yang palingterpinggirkan karena kebijakan dalam pembangunan yang lebih mengarah kepada daratan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, penduduk miskin di indonesia mencapai 34,96 juta jiwa dan 63,47 persen % di antaranya adalah masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dan pedesaan. Di sisi lain pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumberdaya kelautan dan pesisir selalu beriringan dengan kerusakan lingkungan dan habitat seperti terumbu karang dan hutan mangrove, dan hampir semua eksosistim pesisir Indonesia terancam kelestariannya.

Hal tersebut menimbulkan sebuah ironi yang sangat bagi kita semua karena bagaimana bisa, sebuah negeri dengan kekayaan laut yang begitu melimpah malah tidak memberikan kesejahteraan bagi para nelayan? Apa sebetulnya yang menjadi masalah? Tulisan berikut ini akan mencoba untuk menguraikan permasalahan tersebut secara lebih mendalam.

Kemiskinan dan Anekdot bernama Persamaan dan Kesamaan di Hadapan Hukum

Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut[1]. Kemiskinan tidak bisa hanya dilihat dari sudut ekonomi saja karena kemiskinan ternyata berkaitan dengan berbagai aspek, diantaranya aspek sosial budaya, bahwa persoalan kemiskinan sangat erat hubungannya dengan budaya[2]. Dari sudut ini, kita dapat melihat bahwa budaya turut ambil bagian dalam membuat seseorang menjadi miskin[3].

Menurut teori konservatif, kemiskinan berasal dari karakteristik khas orang-orang miskin. Seseorang menjadi miskin bukan hanya karena masalah mental atau tiadanya kesempatan untuk sejahtera, tetapi juga karena adanya perspektif masyarakat yang menyisihkan dan memiskinkan orang.

Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa penyebab kemiskinan setidaknya terkait dengan tiga dimensi[4], yaitu :

  • Dimensi Ekonomi

Kurangnya sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan orang, baik secara financial ataupun segala jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

  • Dimensi Sosial dan Budaya

Kekurangan jaringan social dan struktur yang mendukung untuk mendapatkan kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat.

  • Dimensi Sosial dan Politik

Rendahnya derajat akses terhadap kekuatan yang mencakup tatanan sistem social politik.

Di dunia bagian manapun, rasanya kita akan sulit menemukan ada suatu negara tanpa orang miskin. Bahwa pengelompokkan golongan berdasarkan suatu kualifikasi miskin dan kaya memang menjadi suatu fitrah dan oleh karenanya akan selalu ada dalam kehidupan manusia. Namun, akan menjadi sebuah masalah apabila kemiskinan diartikan sedemikian rupa sehingga menimbulkan perbedaan diantara para warga masyarakat secara tegas. Disinilah diperlukan peran hukum untuk menjamin adanya suatu persamaan di hadapan hukum tanpa memandang status dan derajat seseorang.

Ironisnya, lebih sering hukum berlaku yang sebaliknya. Kekayaan memberikan perlindungan hukum yang lebih aman, malah sering juga melestarikan ketidakadilan hukum antara si kaya dan si miskin. Hidup dibagi dalam beberapa kelas, dan mimpi kita tentang ”persamaan dan kesamaan di hadapan hukum” semakin lama semakin memudar[5]. Contoh yang sangat menarik di kemukakan oleh C.J.M. Schuyt – dalam bukunya Keadilan dan Effektivitas dalam Pembangunan Kesempatan Hidup – yaitu dalam peristiwa tragedi kapal Titanic yang tenggelam di laut Atlantik. Kapal yang terdiri dari 3 kelas itu memberikan bukti, bahwa penumpang kelas I lebih terjamin keselamatannya jika dibandingkan dengan penumpang kelas II dan III, dan penumpang kelas II lebih terjamin dari penumpang kelas III. Contoh lain dikemukakan oleh Todung Mulya Lubis, bahwa seseorang yang mampu membayar advokat kelas satu akan mendapat harapan sukses yang lebih besar dibandingkan dengan seseorang yang hanya mampu membayar seorang pengacara masyakat (pokrol bambu). Seorang yang mampu membayar seorang dokter spesialis akan mempunyai harapan lebih besar untuk sembuh ketimbang seseorang yang hanya mampu membayar seorang mantri biasa.

Melalui contoh-contoh tersebut, jelaslah bagi kita bahwa kelebihan uang atau kekayaan ternyata memberikan jaminan keselamatan yang lebih baik. Pada akhirnya kita memang harus mengakui bahwa pengkotak-kotakan memang telah jadi sifat kehidupan kita. Rasa hormat atau kepercayaan terhadap ”persamaan” adalah omong kosong kaum intelektual. Dan ini semua adalah contoh dari ketidakjujuran kita terhadap diri sendiri[6].

Kondisi Nelayan Indonesia

Bank Dunia memperhitungkan bahwa 108,78 juta orang atau 49 persen dari total penduduk Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin[7]. Kalangan tersebut hidup hanya kurang dari 2 dollar AS atau sekitar Rp. 19.000,– per hari. Badan Pusat Statistik (BPS), dengan perhitungan yang agak berbeda dari Bank dunia, mengumumkan angka kemiskinan di Indonesia ‘hanya’ sebesar 34,96 juta orang (15,42 persen)[8]. Angka tersebut diperoleh berdasarkan ukuran garis kemiskinan ditetapkan sebesar 1,55 dollar AS. Namun, terlepas dari perbedaan angka-angka tersebut, yang terpenting bagi kita adalah bukan memperdabatkan masalah banyaknya jumlah orang miskin di Indonesia, tapi bagaimana menemukan solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan tersebut.

Dengan potensi yang demikian besar, kesejahteraan nelayan justru sangat minim dan identik dengan kemiskinan. Sebagian besar (63,47 persen) penduduk miskin di Indonesia berada di daerah pesisir dan pedesaan[9]. Data statistik menunjukan bahwa upah riil harian yang diterima seorang buruh tani (termasuk buruh nelayan) hanya sebesar Rp. 30.449,- per hari[10]. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan upah nominal harian seorang buruh bangunan biasa (tukang bukan mandor) Rp. 48.301,- per hari[11]. Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat ada keterkaitan erat antara kemiskinan dan pengelolaan wilayah pesisir.

Tekanan terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka kemiskinan di wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula memicu sebuah lingkaran setan karena penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir, namun penduduk miskin pulalah yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan. Dengan kondisi tersebut, tidak mengherankan jika praktik perikanan yang merusak masih sering terjadi di wilayah pesisir. Pendapatan mereka dari kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang dengan cyanide masih jauh lebih besar dari pendapatan mereka sebagai nelayan. Dengan besarnya perbedaan pendapatan tersebut di atas, sulit untuk mengatasi masalah kerusakan ekosistem pesisir tanpa memecahkan masalah kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir itu sendiri.

Analisa Penyebab Kemiskinan Nelayan

Masalah kemiskinan nelayan merupakan masalah yang bersifat multi dimensi sehingga untuk menyelesaikannya diperlukan sebuah solusi yang menyeluruh, dan bukan solusi secara parsial. Untuk kita, terlebih dahulu harus diketahui akar masalah yang menjadi penyebab terjadinya kemiskinan nelayan.

Secara umum, kemiskinan masyarakat pesisir ditengarai disebabkan oleh tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat, antara lain kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, inftastruktur. Di samping itu, kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses terhadap informasi, teknologi dan permodalan, budaya dan gaya hidup yang cenderung boros, menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah. Pada saat yang sama, kebijakan Pemerintah selama ini kurang berpihak pada masyarakat pesisir sebagat salah satu pemangku kepentingan di wilayah pesisir.

1. Kondisi Alam

Kompleksnya permasalahan kemiskinan masyarakat nelayan terjadi disebabkan masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam yang keras yang selalu diliputi ketidakpastian (uncertainty) dalam menjalankan usahanya. Musim paceklik yang selalu datang tiap tahunnya dan lamanya pun tidak dapat dipastikan akan semakin membuat masyarakat nelayan terus berada dalam lingkaran setan kemiskinan (vicious circle) setiap tahunnya.

2. Tingkat pendidikan nelayan

Nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi modern, kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat rendah. Tingkat pendidikan nelayan berbanding lurus dengan teknologi yang dapat dihasilkan oleh para nelayan, dalam hal ini teknologi di bidang penangkapan dan pengawetan ikan. Ikan cepat mengalami proses pembusukan dibandingkan dengan bahan makanan lain disebabkan oleh bakteri dan perubahan kimiawi pada ikan. Oleh karena itu, diperlukan teknologi pengawetan ikan yang baik. Selama ini, nelayan hanya menggunakan cara yang tradisional untuk mengawetkan ikan. Hal tersebut salah satunya disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan dan pengusaaan nelayan terhadap teknologi.

3. Pola kehidupan nelayan sendiri

Streotipe semisal boros dan malas oleh berbagai pihak sering dianggap menjadi penyebab kemiskian nelayan. Padahal kultur nelayan jika dicermati justru memiliki etos kerja yang handal. Bayangkan mereka pergi subuh pulang siang, kemudian menyempatkan waktunya pada waktu senggang untuk memperbaiki jaring. Memang ada sebagian nelayan yang mempunyai kebiasaan dan budaya boros dan hal tersebut menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah

4. Pemasaran hasil tangkapan

Tidak semua daerah pesisir memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Hal tersebut membuat para nelayan terpaksa untuk menjual hasil tangkapan mereka kepada tengkulak dengan harga yang jauh di bawah harga pasaran.

5. Program pemerintah yang tidak memihak nelayan

Salah satunya adalah dengan adanya kenaikan BBM yang merupakan momok bagi nelayan, melihat tingginya ketergantungan mereka terutama pada jenis solar. Jika sampan bermesin ukuran 5-12 PK membutuhkan rata-rata 10 liter solar sekali melaut, maka setiap sampan akan mengelurakan biaya Rp.21.000 dalam kondisi harga normal atau di pangkalan sebesar Rp.2100. Tetapi pada umumnya nelayan membeli harga solar Rp.25.00-27.000, karena tergantung pada tingkatan agen yang bermain di lapangan. Semakin banyak agennya maka semakin panjanglah rantai pasarnya dan semakin tinggilah harga solar sampai ke tangan nelayan. Harga tersebut ‘terpaksa” dibeli, untuk bisa melanjutkan hidup dengan melaut, meskipun dengan kondisi pas-pasan[12].

Selain itu, proses pemangkasan kekuatan rakyat pada masa orde baru, masih terasakan dengan melemahnya kearifan-kearfian lokal. Dulu, tradisi jamu laut di Sumatera Utara masih efektif terutama dalam hal pelarangan penangkapan ikan pada musim tertentu. Biasanya setelah jamu laut, dilarang pergi melaut selama beberapa hari, dengan demikian ada waktu pemulihan sumber daya ikan . Tak heran kalau sehabis jamu laut, dipercaya ada berkah laut dengan hasil tangkapan yang banyak. Sayangnya, semuanya itu tidak lagi seutuhnya terjadi hari ini, karena jamu lautpun sudah mulai pudar, dan hanya menjadi ritus-ritus belaka. Potret kemiskinan struktural terjadi karena negara sejak lama mengabaikan potensi bahari yang kaya raya ini sehingga hanya dikuasai segelinitir orang termasuk sebagain besar oleh kapal-kapal asing.

Patron-Klien, sebuah Hubungan Simbiosis Mutualisme atau Parasitisme?

Tidak semua nelayan memiliki perahu sendiri. Nelayan yang tidak mempunyai modal untuk membeli perahu, terpaksa meminjam uang kepada tengkulak. Pada umumnya para tengkulak (tokeh/patron) memberikan pinjaman kalau hasil tangkapan nelayan (klien) minim atau “nombok”. Ketergantungan nelayan pada tokehnya berawal dari utang/pinjaman, dan biasanya dilakukaan pada saat paceklik atau memperbaiki kerusakan alat tangkap seperti jaring dan menganti tali kajar. Meskipun demikian, ada juga pihak yang menilai bahwa keberadaan para patron (tokeh) tersebut justeru menolong nelayan. Konon, selama ini negara tidak mampu memberikan pinjaman lunak, dan kalaupun ada bank, mereka juga tidak bisa mengaksesnya karena alat tangkap sebagai faktor produksi tak bisa jadi agunan.

Indikator ini memang tidak selalu sama di setiap daerah karena seperti di Pekalongan, banyak juragan kapal yang mengeluh dengan sikap anak buah kapal (nelayan) yang cenderung terlalu banyak menuntut sehingga keuntungan juragan kapal menjadi terbatas. Namun secara umum terbatasnya kemampuan nelayan dalam mengembangkan kemampuan ekonominya karena nelayan seperti ini telah terjerat oleh utang yang dipinjam dari para juragan. Konsekuensinya adalah mereka harus menjual hasil tangkapan mereka kepada tengkulak/juragan tersebut yang bisa memainkan harga ikan semaunya tanpa memperdulikan harga pasaran.

Dalam perspektif struktural kemiskinan nelayan tidak hanya disebabkan hubungan patron-klien yang menimbulkan jeratan utang dan mengarah pada bentuk eksploitasi. Tetapi kemiskinan nelayan juga terjadi karena keterbatsan akses nelayan terhadap hak pengusaan sumberdaya perikanan. Penguasaan atas sumberdaya perikanan selama ini lebih banyak dinikmati oleh kolaborasi pemilik modal dan birokrat. Sebagai fakta adalah masih beroperasinya pukat harimau (trawl) di seluruh perairan Indonesia yang berakibat pada penyerobotan terhadap wilayah tangkap nelayan tradisional (traditional fishing ground).

Bahkan adanya musim-musim tertentu dimana ikan jenis tertentu banyak dan sedikit menggambarkan bahwa kehidupan mereka tergantung pada rejeki laut. Dalam satu daerah dimana terdapat desa-desa pesisir juga memiliki perbedaan dalam tingkat kesurplusan sumberdaya perikanan. Bahkan ukuran rumah yang terbuat dari bilik bambu dan sudah condong belum tentu bisa menjadi ukuran miskin karena mungkin saja ditemukan barang elektronik seperti TV. Pola hubungan patron klien memungkinkan mereka berutang dalam artian digunakan pada tujuan yang baik maupun tidak semisal membeli suatu barang berharga di rumah. Sehingga tak heran jika, umumnya nelayan berenang dalam kubangan utang. Penghasilan Rp.175.000/bulan tidaklah susah diperoleh ketika musim ikan banyak. Bahkan bisa tiga kali lipat, sekalipun dengan sistem bagi hasil dengan tokenya. Tapi besoknya, mungkin hanya dapat Rp.10.000, lalu kemudian meminjam ke tokeh, begitu seterusnya.

Namun berdasarkan pandangan nelayan (perspektif emic), kuatnya pola patron-klien di masyarakat nelayan disebabkan oleh kegiatan perikanan yang penuh resiko dan ketidakpastian sehingga tidak ada pilihan lain bagi mereka selain bergantung pada pemilik modal (patron). Dari hal tersebut, bisa dibayangkan apa yang akan diterima para nelayan dengan sistem yang demikian, sehingga sangatlah wajar jika kemiskinan menjadi bagian yang akrab dalam kehidupan mereka.

Masalah Kelautan dan Perikanan Indonesia di Mata Dunia

Walau sebagai negara maritim yang sejak zaman nenek moyang dikenal sebagai bangsa pelaut yang ulung, Indonesia masih terlalu lemah poisisinya dalam “peta” kelautan dunia. Persoalan tapal batas, pemetaan teritori garis pantai sampai penamaan pulau-pulau dan kalkulasi jumlah pasti sebaran pulau Indonesia memang menjadi masalah sejak masa awal Kemerdekaan Indonesia sampai saat ini. Sehingga friksi perbatasan laut menjadi rawan konflik dan sengketa dengan negara-negara tetangga yang berbatas laut langsung dengan Indonesia (terutama dengan Malaysia, Singapura, dan Australia). Hal ini juga bersinggungan dengan faktor keamanan laut, illegal fishing (pencurian ikan), pelanggaran batas, dan tindak kriminalitas kelautan lainnya. Data statistik menunjukankerugian sekitar 1/2 (setengah) milyar dollar sampai 4 (empat) milyar dollar per tahun akibat pencurian ikan oleh orang asing [13]. Persoalan ini masih ditambah dengan aspek lingkungan hidup kelautan kita yang jauh dari kategori ideal. Padahal Indonesia punya potensi kelautan yang luar biasa besar dan posisi tawar yang tinggi secara ekonomi, strategi dan politik.

Di tengah banyaknya persoalan dan masalah di bidang kelautan yang belum terselesaikan, Inisiatif dan gagasan besar dari Indonesia demi lestarinya laut dan kesejahteraan masyarakat, menciptakan acara konferensi internasional bertajuk “World Ocean Conference” dan “Coral Triangle Initiative Summit” yang digelar sepanjang 11 hingga 15 Mei 2009 di Manado, Sulawesi Utara. dihadiri oleh perwakilan dari 121 negara.

Agenda pokok yang akan dibahas dalam WOC dan CTIS tersebut adalah:

1. Penentuan bentang laut (sea scapes) prioritas yang cukup luas untuk percontohan pengelolaan yang baik dan berkelanjutan untuk setiap negara peserta.

2. Pengembangan jejaring kawasan konservasi laut.

3. Pengelolaan perikanan berbasis ekosistem dan pengelolaan sumber daya hayati laut.

4. Pengembangan pendanaan yang berkelanjutan, termasuk pengembangan kapasitas dan pelibatan sektor swasta.

5. Penyesuaian terukur terhadap perubahan iklim.

6. Memperbaiki status ancaman terhadap beberapa spesies laut.

Pentingnya WOC dan CTIS bagi Indonesia dan negara-negara peserta, juga dilatarbelakangi kurangnya kepedulian dunia internasional terhadap pelestarian laut dan pengelolaan kekayaan hayatinya. Selaku tuan rumah, diharapkan Indonesia dapat memegang peran penting dalam isu di bidang kelautan sehingga posisi tawar dan eksistensi Indonesia sebagai negara dengan garis pantai terpanjang keempat di dunia – setelah Amerika Serikat, Kanada dan Rusia – dapat meningkat. Pada akhirnya, kita semua sama-sama berharap, dengan terselenggarannya WOC dan CIT akan menjadi satu langkah besar yang positif untuk membenahi sektor kelautan kita.

Langkah yang Harus Kita Ambil

Keterpaduan penanganan kemiskinan nelayan sangat dibutuhkan sekali, tujuannya adalah untuk menghilangkan egosektor dari masing-masing pemangku kepentingan. Keterpaduan tersebut adalah sebagai berikut : pertama, keterpaduan sektor dalam tanggung jawab dan kebijakan. Keputusan penanganan kemiskinan nelayan harus diambil melalui proses koordinasi diinternal pemerintah, yang perlu digaris bawahi adalah kemiskinan nelayan tidak akan mampu ditangani oleh secara kelembagaan oleh sektor kelautan dan perikanan, mulai dari pusat sampai kedaerah. Kedua, keterpaduan keahlian dan pengetahuan, untuk merumuskan berbagai kebijakan, strategi, dan program harus didukung berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan keahlian, tujuannya adalah agar perencanaan yang disusun betul-betul sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat nelayan. Ketiga, keterpaduan masalah dan pemecahan masalah sangat diperlukan untuk mengetahui akar permasalahan yang sesungguhnya, sehingga kebijakan yang dibuat bersifat komprehensif, dan tidak parsial. Keempat, keterpaduan lokasi, memudahkan dalam melakukan pendampingan, penyuluhan dan pelayanan (lintas sektor), sehingga program tersebut dapat dilakukan secara efektif dan efesien.

Kegagalan penanganan kemiskinan nelayan ini selama ini, disamping kurangnya keterpaduan, juga terdapatnya berbagai kelemahan dalam perencanaan. Untuk itu dalam proses perencanaan harus unsur-unsur sebagai berikut[14] :

1. Perumusan sasaran yang jelas, berupa ; hasil akhir yang diharapkan dari kegiatan yang dibuat, kelembagaan yang bertanggung jawab, serta objek dari kegiatan.

2. Pengidentifikasian situasi yang ada, yaitu dengan mempertimbangkan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman), tujuannya untuk mengetahui kondisi sesungguhnya tentang objek yang akan ditangani. Selanjutnya akan memudahkan dalam menyusun berbagai strategi yang mendukung penanganan kemiskinan nelayan.

3. Penentuan tujuan harus bersifat spesifik (objek, kegiatan, dibatasi waktu dan terukur), sehingga pengentasan kemiskinan nelayan jelas siapa sasarannya dan jenis kegiatan yang akan dilakukan, dan selanjutnya berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam pencapaian tujuan dapat ditentukan dengan jelas.

4. Menganalisa keadaan, pelaksanaan kegiatan harus disesuaikaan antara ketentuan yang telah ditetapkan dengan realiatas yang ada dilapangan, dan apabila terjadi permasalahan diluar dugaan, maka perlu segera dibuatkan stretegi dan tindakan baru untuk menutup jurang perbedaan.

5. Pendampingan, monitoring dan evaluasi, pendampingan harus dilakukan awal kegiatan dilaksanakan, sampai paca kegiatan, sehingga akan menjadi bahan evaluasi, apakah kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Selanjutnya melalui konsep yang dikemukakan ini akan dapat dirumuskan berbagai strategi pengentasan kemiskinan seperti: perluasan kesempatan kerja, pemberdayaan kelembagaan masyarakat, peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM, perlindungan sosial, dan penataan kemitraan global.

Menciptakan Program Pemerintah yang Memihak

Bahwa musim paceklik akan hadir dalam setiap tahunnya. Oleh karenanya berbagai strategi adaptasi dilakukan masyarakat nelayan untuk bertahan hidup. Strategi adaptasi yang biasanya dilakukan adalah memobilisasi peran perempuan (kaum istri) dan anak-anaknya untuk mencari nafkah[15]. Keterlibatan perempuan dalam mencari nafkah untuk keluarga di wilayah pesisir atau desa-desa nelayan tidak terlepas dari sistem pembagian kerja secara seksual (the division of labour by sex) yang berlaku pada masyarakat setempat.

Kaum perempuan biasanya terlibat penuh dalam kegiatan pranata-pranata sosial ekonomi yang mereka bentuk, seperti arisan, kegiatan pengajian berdimensi kepentingan ekonomi, simpan pinjam, dan jaringan sosial yang bisa mereka manfaatkan untuk menunjang kelangsungan hidup keluarga. Hadirnya pranata-pranata tersebut merupakan strategi adaptasi masyarakat nelayan dalam menghadapi kesulitan hidup yang dihadapinya. Strategi adaptasi diartikan sebagai pilihan tindakan yang bersifat rasional dan efektif sesuai dengan konteks lingkungan sosial, politik, ekonomi dan ekologi, dimana penduduk miskin itu hidup.

Sedangkan strategi adaptasi yang dilakukan para nelayan (kaum suami) adalah diversifikasi pekerjaan untuk memperoleh sumber penghasilan baru. Bahkan, strategi adaptasi tersebut diselingi dengan menjual barang-barang berharga yang ada dan berhutang. Namun, kedua strategi ini pun tidak mudah didapat karena berbagai faktor telah membatasi akses mereka.

Dengan segala keterbatasan yang ada, masyarakat nelayan mengembangkan sistem jaringan social yang merupakan pilihan strategi adaptasi yang sangat signifikan untuk dapat mengakses sumberdaya ikan yang semakin langka. Jaringan sosial diartikan oleh Mitchell sebagai seperangkat hubungan khusus atau spesifik yang terbentuk di antara kelompok orang[16].

Oleh karena itu, diperlukan kebijakan pemerintah yang nyata dalam mengatasi masa pacaklik ini, salah satunya jaminan sosial. Jaminan yang dibutuhkan masyarakat nelayan tidak muluk-muluk, mereka hanya memerlukan tersedianya dana kesehatan dan dana paceklik. Sementara itu, kebijakan tersebut harus disusun oleh struktur sosial budaya lokal, baik yang berhubungan dengan masalah institusi maupun dengan sistem pembagian kerja yang berlaku dalam masyarakat nelayan. Hal ini dikarenakan, pranata-pranata sosial budaya yang ada merupakan potensi pembangunan masyarakat nelayan yang bisa dieksplorasi untuk mengatasi kemiskinan dan kesulitas ekonomi lainnya.

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di sektor kelautan dan perikanan yang saat ini digalakkan oleh pemerintah, diharapkan bisa menurunkan angka kemiskinan nelayan di Indonesia. Melalui pengembangan kegiatan perekonomian masyarakat yang berbasis pada sumber daya lokal, baik masyarakat maupun sumber daya alamnya, para nelayan dapat mengembangkan usaha sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Dengan demikian, diharapkan dapat memberantas kemiskinan, menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, khususnya di kalangan masyarakat nelayan.

Selain itu, pemerintah juga perlu mendorong sektor perbankan untuk membuka kantor kasnya di setiap Tempat Pemasaran Ikan (TPI) yang bisa mengatasi kesulitan para bakul untuk menutup tagihannya. Termasuk fungsi perbankan disini adalah menyediakan dana yang diperlukan nelayan untuk berlayar. Sayangnya dengan kondisi kehidupan nelayan yang pas-pasan, tampaknya sangat sulit bagi perbankan untuk menjalankan fungsi tersebut tanpa adanya agunan yang memadai dari para nelayan.

Di sini bila dimungkinkan pemerintah bisa menyediakan dana khusus sebagai jaminan kepada perbankan untuk menyalurkan dananya kepada nelayan. Kalaupun perbankan tidak mampu memenuhi peran tersebut, pemerintah bisa menempatkan dananya sebagai penyertaan modal kepada KUD-KUD pengelola TPI. Memang, nada miring tentang KUD seringkali kita dengar sehingga pemerintah pun cenderung berhati-hati bila ingin memberdayakan KUD. Namun, pendapat ini tidak bisa digeneralisasi secara membabi buta, karena masih cukup banyak pengurus KUD yang mempunyai hati nurani seperti KUD-KUD pengelola TPI. Tidak ada salahnya, mulai sekarang pemerintah mulai mencoba mengalokasikan dana retribusi dari transaksi di TPI untuk diarahkan kepada penyediaan modal bagi nelayan. Dengan demikian misalokasi anggaran diharapkan tidak akan banyak terjadi, karena dengan memberdayakan KUD berarti pula mendorong bangkitnya kekuatan ekonomi nelayan[17].

Selain mengambil kebijakan yang memihak, hukum juga harus difungsikan sebagai sarana perubahan social. Kita bisa ambil contoh kebijakan pemerintah di Malaysia yang sangat memihak kepada pribumi, dalam hal ini etnis Melayu. dalam regulasinya, pemerintah Malayasia mendorong agar 20 – 25 persen kepemilikan saham-saham perusahaan dikuasai oleh etnis Melayu. Bahkan pada tahun 2020, Malaysia menargetkan kepemilihan saham etnis Melayu bertambah menjadi 30 persen[18]. Dalam hal ini, Hukum dapat difungsikan sebagai alat rekayasa social untuk mensejahterakan para nelayan.

Penutup

Kemiskinan merupakan masalah yang multidimensional sehingga pendekatan untuk mengentaskan kemiskinan juga harus multidimensional. Dalam hal mengatasi kemiskinan kaum nelayan, Setidaknya perlu mengagas dan mewujudkan harapan akan perkuatan sektor kelautan dari semua aspek. Mulai dari gazetteer pulau, pemetaan wilayah terbaru, penegasan tapal batas, perkuatan armada pertahanan lautan (penambahan jumlah kapal patroli laut sampai jumlah ideal), pengembangan dan kawal tetap pulau-pulau terluar, penertiban zona tangkapan ikan dan aktivitas kelautan lain, sampai persoalan penyelamatan lingkungan perairan. Ini juga termasuk perkuatan sektor perikanan, perjuangan nasib nelayan lokal (dalam negeri), penegasan dan penegakan hukum perairan dan kelautan, sampai pemanfaatan berkelanjutan potensi laut yang ramah lingkungan. Begitu banyak “pekerjaan rumah” yang harus diselesaikan Indonesia untuk bisa tegar perkasa sebagai satu negara maritim terbesar dunia.

Dengan demikian mengatasi kemiskinan nelayan sebaiknya harus diawali dengan adanya data akurat statistik. Selanjutnya ditindaklanjuti mengenai apa penyebab dari kemiskinan tersebut, apakah karena jeratan utang atau faktor lain. Kemudian cara atau metode untuk menaggulanginya lebih terfokus, pada nelayan-nelayan yang berada pada subordinasi tokeh. Bagaimanpun juga bahwa penyebab kemiskinan tidaklah sama disemua wilayah, bahkan ukurannyapun bisa berbeda-beda atau tergantung kondisi setempat. Sehingga formula pengentasan kemiskinanpun tidak bisa digeneralisir pada semua wilayah atau semua sektor. Kemiskinan yang dialami oleh nelayan tidak bisa disamamakan dengan ukuran kemiskinan buruh di perkotaan. Bahkan dalam suatu di kabupaten yang sama belum tentu bisa diratakan ukuranya pada desa-desa pesisir yang ada. Program pengentasan kemiskinan nelayan membutuhkan strategi khusus yang mampu menjawab realitas yang terjadi hari ini. Selain itu, peranan hukum juga menjadi sangat penting untuk mensejahterakan para nelayan.


DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Arumbiang, Kasihono. Kiat Mengentaskan Kemiskinan di Pedesaan Tanpa Menggunakan Dana APBN. Aliansi Koperasi Pertanian Indonesia. Jakarta : Delima Rimbun, 2008.

Mulya Lubis, Todung. Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktrural. Jakarta : LP3ES, 1986.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Cetakan 38. Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2005.

Dr. Tellisa Aulia. F. “Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan dan Kemiskinan Aspek Sosial Budaya”. Draft Laporan Final Hibah Multidisiplin UI. 2009.

Artikel :

Andini, Ayu. “Indonesia Gelar World Ocean Conference Pertama di Dunia”. www.indofamilynet.com, 04-05-2009 18:43.

Bakara, Evin H. “Antara WOC dan Ruwetnya Persoalan Kelautan Indonesia”. www.harian-global.com. 15-05-2009 10:39.

Himti, Ibrahim. “Wilayah Laut Indonesia”.

Marbun, Leonardo. “Kenaikan BBM dan Kemiskinan Nelayan”.

Samhadi, Sri Hartati., Ahmad Arif, dan Maria Hartiningsih. “Petani Berhadapan dengan Kekuasaan”. Kompas, 11 April. 2008, 41.

Solihin, Akhmad. “Musim Paceklik Nelayan dan Jaminan Sosial“.

Solihin, Akhmad. “Mencermati Kontraversi HP3”. http://ikanbijak.wordpress.com. April 18, 2008.

Sudrajat, Ihwan. “Membangkitkan Kekuatan Ekonomi Nelayan”. Suara Merdeka, 13 Desember 2002.

____________.“Separuh Penduduk Masih Rentan Menjadi Miskin”, Kompas, 8 Desember 2006, halaman I.

____________. “Kepemilikan Saham untuk Etnis Melayu Ditingkatkan”. Kompas, 1 April 2006, halaman 8.


[1] Soerjono Soekanto. “Sosiologi Suatu Pengantar”. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006). hal. 320.

[2] Menurut Oscar Lewis (1966), kemiskinan bukanlah semata-mata kekurangan dalam ukuran ekonomi, tetapi juga melibatkan kekurangan dalam ukuran kebudayaan dan kejiwaan dan memberi corak tersendiri pada kebudayaan yang diwariskan dari generasi orang tua kepada anak melalui proses sosialisasi.

[3] teori demikian disebut dengan teori cultural.

[4] Dr. Tellisa Aulia. F. “Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan dan Kemiskinan dari Aspek Sosial Budaya”.

[5] Todung M. Lubis, “Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktura”, (Jakarta: LP3ES, 1986). hal. 9.

[6] Todung M. Lubis, “Pembangunan dan Hak-Hak Asasi Manusia” dalam Prisma, No. 12, Desember 1979, hal 11-20.

[7]Separuh Penduduk Masih Rentan Menjadi Miskin”, Kompas, 8 Desember 2006, hal. I.

[8] Data Biro Pusat Statistik (BPS) per Maret 2008.

[9] Ibid.

[10] Berita Resmi Statistik No. 26/05/Th. XII, 1 Mei 2009

[11] Ibid.

[12] Leonardo Marbun. “Kenaikan BBM dan Kemiskinan Nelayan”.

[13] Ibrahim Himti, “Wilayah Laut Indonesia”.

[14] Azman, Syaiful. “Konsep Penanganan Kemiskinan Nelayan .“

[15] Kusnadi. ”Nelayan : Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial” (2000).

[16] ibid.

[17] Ihwan Sudrajat. “Membangkitkan Kekuatan Ekonomi Nelayan”. Suara Merdeka, 13 Desember 2002.

[18]Kepemilikan Saham untuk Etnis Melayu Ditingkatkan”. Kompas. 1 April 2006, hal. 8.