Sabtu, 04 Desember 2010

hasil riset kemiskinan

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
A.1. Kemiskinan sebagai Problem Bangsa
Kemiskinan terus menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai nation state, sejarah sebuah Negara yang salah memandang dan mengurus kemiskinan. Dalam Negara yang salah urus, tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak ada investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus migrasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas.
Kemiskinan telah membatasi hak rakyat untuk (1) Memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan; (2) Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum; (3) Hak rakyat untuk memperoleh rasa aman; (4) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau; (5) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan; (6) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan; (6) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; (7) Hak rakyat untuk memperoleh keadilan; (8) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan pemerintahan; (9) Hak rakyat untuk berinovasi; (10) Hak rakyat menjalankan hubungan spiritualnya dengan Tuhan; dan (11) Hak rakyat berpartisipasi dalam menata dan mengelola pemerintahan dengan baik.

A.2. Potret Kemiskinan di Gunungkidul
Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu ikon daerah miskin di Indonesia. Pada dasawarsa 80’an, Gunungkidul terkenal dengan kekeringan dan bahan makanan gaplek (singkong kering yang dijemur). Selain itu, Gunungkidul pada era tersebut terkenal sebagai suplier buruh rumah tangga di ibukota Jakarta. Kondisi semacam itulah yang menjadikan Gunungkidul dikenal sebagai daerah miskin.
Gunungkidul merupakan satu dari 5 kabupaten/ kota yang berada di wilayah Propinsi D.I. Yogyakarta mempunyai luas wilayah 1.485,38 km2 (148.536 Ha), yang merupakan 46,63 % wilayah propinsi DIY, dengan jumlah penduduk 759.859 jiwa, dengan komposisi penduduk 48,9 % laki-laki dan 51,1 % perempuan (Gunungkidul dalam Angka Tahun 2006), dengan batas wilayah sebelah Utara Kabupaten Klaten dan Sukoharjo, sebelah Selatan Samudera Indonesia, sebelah Barat Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman dan sebelah Timur Kabupaten Wonogiri. Kabupaten Gunungkidul terdiri dari 18 kecamatan dan 144 desa dan 1.430 padukuhan. Topografi Gunungkidul bergelombang, semua wilayahnya berada di atas pegunungan kapur kawasan Pegunungan Seribu yang membentang dari Samudera Indonesia hingga ujung utara wilayahnya dengan ketinggian 0-800 mdpl.
Luas wilayah dan sangat beragamnya kondisi geografis menyebabkan permasalahan kemiskinan di Gunungkidul menjadi spesifik. Sampai saat ini Gunungkidul masih menghadapi masalah kemiskinan yang antara lain ditandai oleh jumlah penduduk dan keluarga yang masuk dalam kategori miskin masih cukup tinggi.
Pendek kata, kemiskinan merupakan persoalan yang kompleks dan kronis. Karena sangat kompleks dan kronis, maka cara penanggulangan kemiskinan pun membutuhkan analisis yang tepat, melibatkan semua pihak termasuk partisipasi masyarakat didalam perencanaan program-program penanggulangan kemiskinan. Bentuk partisipasi masyarakat dalam perencanaan maupun pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan yakni keterelibatan aktif masyarakat dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Peran aktif masyarakat dapat diwujudkan melalui pembuatan Citizen Charter (kesepakatan warga) dengan Pemerintah Daerah selaku pemangku kebijakan. Citizen Charter memuat tugas dan fungsi dari masing-masing stakeholders yang bersepakat dan beberapa program-program yang menjadi prioritas untuk segera dilaksanakan. Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dan seluruh stakeholders pada tanggal 17 Desember 2007 telah melakukan penandatanganan piagam kesepakatan warga (Gunungkidul charter) terkait dengan upaya pengentasan kemiskinan yang difasilitasi oleh Maarif Institute Gunungkidul.
Berdsarkan pengamatan Maarif Institute terhadap program-program pemerintah daerah ditahun 2008, program pendidikan keaksaraan dan program bantuan pelayanan pengobatan bagi keluarga miskin merupakan program yang termaktub dalam Gunungkidul charter. Pendidikan dan kesehatan, merupakan kebutuhan dasar bagi setiap orang. Pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang memberikan kemudahan dalam mengakses pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat khususnya yang miskin. Pendidikan yang rendah dipandang sebagai penyebab kemiskinan. Karena masalah pendidikan yang rendah erat kaitannya dengan masalah kebodohan. Kebodohan menjadi salah satu sebab utama kemiskinan. Dari dimensi kesehatan, rendahnya mutu kesehatan masyarakat menyebabkan terjadinya kemiskinan. Pendidikan khususnya melek aksara dan kesehatan merupakan dua indikator Human Development Index (HDI). Semakin rendah tingkat pendidikan dan kesehatan suatu daerah maka semakin rendah pula HDI daerah tersebut.
Kabupaten Gunungkidul termasuk wilayah yang punya komitmen tinggi di bidang pendidikan. Alasan sektor pendidikan diletakkan pada posisi pertama program pembangunan karena kondisi pendidikan di Kabupaten Gunungkidul masih relatif rendah, sebab masih banyak masyarakat yang belum mengeyam pendidikan khususnya di daerah pedesaan.
Salah satu dampak masyarakat yang belum mengeyam pendidikan adalah masih terdapat 47.206 penduduk buta aksara atau 6,42 % dari total penduduk usia 10 tahun keatas sebanyak 756.506 penduduk. Dengan rincian 1,16 % atau 8.534 penduduk usia 10-44 tahun dan 5,26 % atau 38.672 penduduk usia 45 tahun ke atas, ungkap kepala Seksi Pendidikan Masyarakat (Dikmas) Dinas Pendidikan Gunungkidul, Dra. Indri S. Lebih lanjut Indri mengatakan jumlah tersebut merupakan yang tertinggi di propinsi DIY dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya.
Di bidang kesehatan, masih banyaknya warga miskin di kabupaten Gunungkidul menjadi kendala bagi warga miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak. Sehingga rendahnya kondisi kesehatan masyarakat, semakin memperburuk kondisi ekonomi mereka.
Dalam mengatasi kedua permasalahan di atas, pemerintah selama ini telah mengeluarkan beberapa kebijakan. Di bidang pendidikan, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pemberantasan buta aksara, sedangkan di bidang kesehatan pemerintah memberikan bantuan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Dalam rangka mengurangi angka buta aksara, tahun 2008 ini, dinas pendidikan kabupaten Gunungkidul, menjadikan PBA sebagai salah satu program unggulan.
Walaupun begitu, berdasarkan pengamatan dan penelusuran media, pelaksanaan pemberantasan buta aksara masih belum optimal, hal ini terbukti dengan masih tingginya angka buta aksara di kabupaten Gunungkidul. Padahal, dalam pelaksanaan program ini, banyak pihak yang terlibat dan menggunakan anggaran dari APBN sampai APBD kabupaten. Bahkan untuk tahun 2008 ini, Dinas Pendidikan telah menganggarkan 3,5 milyar dari APBD kabupaten.
Di bidang kesehatan, berdasarkan penelusuran media dan hasil penelitian CSDS, pelayanan kesehatan untuk keluarga miskin masih begitu rendah. Sehingga beberapa kali ditemukan kasus, adanya keluarga miskin belum tersentuh pelayanan kesehatan.
Pemenuhan kebutuhan dasar untuk masyarakat khususnya pemberantasan buta aksara dan pelayanan kesehatan untuk keluarga miskin mendesak untuk segera dilaksanakan oleh pemerintah. Maka dalam pelaksanaan program-program terkait diperlukan monitoring secara intensif oleh berbagai pihak agar program-program tersebut tepat sasaran dan mampu menjadi salah satu solusi bagi pengentasan kemiskinan di kabupaten Gunungkidul.

B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
1. Mengetahui sejauh mana kinerja Program Pendidikan keaksaraan di Kabupaten Gunungkidul tahun 2007/2008.
2. Mengetahui sejauh mana pelaksanaan Program Bantuan Pelayanan Kesehatan bagi Keluarga Miskin.
3. Mengetahui sejauh mana keterkaitan antar stakeholders dalam Program Pendidikan keaksaraan dan Bantuan Pelayanan Kesehatan bagi Keluarga Miskin.

C. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini yakni: (1) mendapatkan gambaran kinerja Program Pendidikan Keaksaraan dan Pelaksanaan program Bantuan Pelayanan Kesehatan bagi Keluarga Miskin; (2) dapat digunakan sebagai referensi bagi pemerintah kabupaten Gunungkidul dalam upaya penanggulangan kemiskinan di bidang pendidikan dan kesehatan.

BAB III
METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN
Riset mengenai Monitoring Program Citizen Charter (program pendidikan keaksaraan dan pelayanan pengobatan untuk orang miskin) di Kabupaten Gunungkidul menggunakan metode gabungan yakni metode kuantitatif dan kualitatif. Menurut Brymman (Sarwono, 2006: 263) ada empat model dalam metode pebelitian gabungan yaitu: 1) model penelitian kualitatif digunakan untuk memfasilitasi penelitian kuantitatif, 2) model penelitian kuantitatif digunakan untuk memfasilitasi penelitian kualitatif, 3) pendekatan kuantitatif dan kualitatif diberikan bobot yang sama, dan 4) model triangulasi. Jonathan Sarwono (2006: 268) mengajukan dua model penggabungan yaitu : penggabungan analisis data yang di hasilkan dalam penelitian kualitatif berupa data primer dengan data sekunder kuantitatif, dan penggabungan analisis data kualitatif sekunder dengan data kualitatif primer.
Model gabungan yang digunakan dalam riset ini adalah model ke-III Brymman yakni pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan bobot yang sama. Dalam model ini, menurut Brymman peneliti harus mengembangkan dua desain penelitian secara bersamaan, yaitu desain riset kuantitatif dan desain riset kualitatif. Lebih lanjut Brymman mengatakan dalam model III ini desain riset kuantitatif yang digunakan menggunakan metode survei dan desain riset kualitatif metodenya menggunakan riset partisipatori. (Sarwono, 2006: 266).

B. UNIT ANALISIS
Unit analisis merupakan objek yang menjadi fokus penelitian. Unit analisis yang dimaksud adalah unit terkecil yang akan diteliti. Unit analisis dalam riset ini adalah program-program citizen charter yang diakomodasi APBD kabupaten Gunungkidul dan keterkaitan antar aktor dalam program-program tersebut. Unit analisis riset menekankan pada program pendidikan keaksaraan tahun 2008 dan program pelayanan bantuan pengobatan keluarga miskin di kabupaten Gunungkidul, dan menekankan pada keterkaitan antar aktor (stakeholders) dalam pelaksanaan program-program tersebut. Penekanan tersebut dilakukan untuk memudahkan dalam membidik sasaran riset.

C. SUMBER DATA
Menurut Loflaned, sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen lain (Moleong, 2003: 112). Sedangkan dalam penelitian kuantitatif data utama berupa angka-angka statistik (kuantitatif) atau koding-koding yang dapat dikuantifikasi. (Sarwono, 2006:260). Seperti telah disebutkan di atas, riset ini menggunakan model gabungan sehingga data utama yang berupa data gabungan yaitu berupa kata-kata atau tindakan dan angka-angka stasistik. Sumber data dibedakan menjadi dua macam yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan pada saat penelitian, seperti hasil kuisioner, wawancara, dan pengamatan. Dalam penelitian ini yang dijadikan sumber data primer adalah pihak yang dianggap mempunyai informasi. Informasi yang diperoleh kemudian akan dilengkapi dengan hasil pengamatan langsung selama penelitian berlangsung.
Sedangkan data sekunder dalam hal ini adalah data yang telah lebih dahulu dikumpulkan dan dilaporkan oleh orang di luar penelitian itu sendiri, walaupun yang dikumpulkan itu sesungguhnya adalah data asli (Surachmad, 1972: 156). Data yang diperoleh melalui dokumen tertulis baik yang ada di media cetak maupun elektronik yang berasal dari instansi terkait dan data yang bersumber serta di publikasikan oleh organisasi lain. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui teknik dokumentasi.






D. TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan sehingga masalah penelitian dapat dipecahkan (Nazir, 1988: 233). Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Kuesioner
Kuesioner merupakan salah satu alat yang penting untuk pengambilan data, terutama pada penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif. (Sarwono, 2006: 28). Adapun pihak-pihak yang menjadi responden kuesioner dalam penelitian ini yaitu : Program pendidikan keaksaraan antara lain penilik atau TLD, pengurus PKBM, dan warga belajar KF. Sedangkan program bantuan pelayanan kesehatan keluarga miskin yaitu pasien pengguna pelayanan kesehatan keluarga miskin baik di RSUD maupun puskesmas.
2. Wawancara
Wawancara dapat diartikan sebagai proses untuk memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (Nazir, 1988: 234). Teknik wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data, terutama pada penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif. Data yang diperoleh berupa data primer, yakni data yang diperoleh langsung dari nara sumber. Pemilihan teknik wawancara dikarenakan jenis penelitian kualitatif membutuhkan respon yang valid dari responden atau informan sesuai kontek penelitian. Hal tersebut berdasarkan pendapat Hadi (1992: 143) bahwa wawancara dapat dipandang sebagai metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dikerjakan dengan sistematis berdasarkan kepada tujuan penelitian.
Wawancara ini dimaksudkan untuk menyerap informasi mengenai persepsi, pandangan, pola pikir, pendapat maupun interpretasi terhadap masalah penelitian.. Narasumber yang berhasil diwawancarai serta rinformasi yang dapat digali dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut :
Tabel 3.1
Data narasumber

No
Narasumber
1
Kepala Bidang PLSPO Dinas Pendidikan
2
Kepala Seksi Dikmas
3
Penilik atau TLD
4
Kepala Bidang Kesejahteraan Masyarakat Dinas Kesehatan
5
Direktur RSUD Gunungkidul
6
Ketua Majelis Dikdasmen PD Aisyiyah Gunungkidul
7
Koordinator Program KKN-PBA LPPM UGM

3. Observasi
Observasi adalah pengamatan langsung terhadap obyek penelitian yang didukung dengan disiplin ilmu yang dimiliki oleh peneliti. Observasi ada dua macam yaitu observasi sederhana (simple observation) adalah observasi non partisipasi dan observasi partisipasi. Observasi non partisipasi adalah observasi jika orang yang mengadakan observasi tidak kut mengambil bagian dalam aktivitas masyarakat atau perikehidupan orang-orang yang diobservasi. Sebaliknya dalam observasi partisipasi orang yang mengadakan observasi turut mengambil bagian dalam perikehidupan orang atau orang-orang yang diobservasi. Dalam penelitian ini yang dilakukan adalah observasi nonpartisipasi dimana peneliti hanya mengamati fenomena yang dihadapi secara sistematik disertai dengan pencatatan secara sistematik. Pengamatan yang sudah dilakukan tercatat dalam tabel berikut ini :

Tabel 3.2
Observasi selama penelitian

No
Lokasi Observasi
Objek Observasi
Materi Observasi
1.
Kecamatan Semanu, Nglipar, Wonosari, Ngawen, Patuk, Tanjungsari, Tepus, Semin, Ponjong, dan Rongkop
Penilik, TLD, PKBM, Warga belajar KF
- Kinerja penilik, TLD, PKBM
- partisipasi warga belajar
2.
RSUD Kab. Gunungkidul
Petugas/pegawai RSUD, pasien pengguna bantuan pelayanan kk miskin (rawat jalan dan inap)
- pelayanan terhadap pasien pengguna bantuan pelayanan kk miskin
- kondisi RSUD
3.
Puskesmas kecamatan Semanu, Nglipar, Wonosari, Ngawen, Patuk, Tanjungsari, Tepus, Semin, Ponjong, dan Rongkop
Petugas/pegawai puskesmas, pasien pengguna bantuan pelayanan kk miskin (rawat jalan dan inap)
- pelayanan terhadap pasien pengguna bantuan pelayanan kk miskin
- kondisi puskesmas

4. Dokumentasi
Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data dengan menggunakan data yang ada untuk dipelajari dalam bentuk dokumen yang berupa laporan, berita, catatan, maupun tabel data yang terkait dengan tujuan penelitian. Data yang diambil dari dokumentasi adalah berupa data sekunder yang diharapkan dapat memberikan gambaran tentang keadaan daerah penelitian. Data tersebut kemudian dipakai untuk melengkapi data yang telah digali melalui teknik pengumpulan data lain. Dokumentasi yang akan digali dari internet, surat kabar baik cetak maupun elektronik, buku literatur, laporan-laporan yang berkaitan dengan program pendidikan keaksaraan dan bantuan pelayanan kesehatan keluarga miskin, dan peraturan-peraturan.




E. TEKNIK ANALISA DATA
Analisa data merupakan bagian yang amat penting dalam metode ilmiah, karena dengan analisa, data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian (Nazir, 1988: 405). Analisis data menurut Patton (1987) yang dikutip Moleong (2003: 103) adalah proses mengatur urutan data, menorganisasikan ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Analisa dilakukan agar data lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan (Singarimbun dan Effendi, 1989: 263). Data yang diperoleh dalam penelitian ini sesuai dengan jenis penelitian yang digunakan, maka data yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Yakni dengan melakukan interpretasi terhadap data-data, fakta-fakta, dan informasi-informasi yang diperoleh. Analisis dalam penelitian ini mendasarakan pada perhitungan kuantitatif dan kemampuan nalar peneliti dalam menghubungkan data dan informasi yang diperoleh.
Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu kuesioner, wawancara, observasi, dokumen pribadi, dokumen resmi, dan sebagainya. Setelah dibaca, dipelajari, dan ditelaah, maka langkah berikutnya adalah reduksi data yang dilakukan dengan membuat abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses, dan pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijaga sehingga tetap berada didalamnya. Tahapan akhir dari analisis data ini adalah mengadakan pemeriksaan keabsahan data, dan tahap selanjutnya adalah penafsiran data (Moleong, 2003: 190). Dari data yang diperoleh, selanjutnya dianalisis melalui pendekatan gabungan.

BAB IV
PEMBAHASAN


A. PROGRAM PENDIDIKAN KEAKSARAAN

1. SUMBER DAYA
· Sumber Daya Manusia
Sumber Daya Manusia yaitu orang atau personil yang terlibat dalam Program Pendidikan Keaksaraan. Dalam penelitian ini SDM yang dimaksud adalah dilihat dari kuantitas maupun kualitas. Kualitas sumber daya manusia yang ada pada umumnya diukur dari tingkat pendidikan dan profesi, keduanya akan berpengaruh kemampuan SDM terhadap pemahaman program. Yang mana akan berpengaruh pada kinerja program.
SDM yang terlibat dalam Program Pendidikan Keaksaraan sekaligus sebagai objek dalam riset ini adalah penilik atau TLD, pengurus PKBM, warga belajar, tutor, dan stakeholders yang menyelenggarakan pendidikan keaksaraan di kabupaten Gunungkidul. Sedangkan SDM minimal yang harus ada dalam setiap penyelenggaraan Keaksaraan Fungsional (KF) yaitu penyelenggara, tutor, dan warga belajar. Adapun jumlah penilik, TLD, pengurus PKBM, dan warga belajar dimasing-masing kecamatan dapat dilihat pada rincian sebagai berikut:
Tabel 4.1 Daftar Penilik, Pengurus PKBM, dan Warga Belajar di Kecamatan

No.
Kecamatan

Jumlah

1.

Rongkop
Penilik
TLD
Pengurus PKBM
Warga belajar
1
1
5
1447

2.

Semanu
Penilik
TLD
Pengurus PKBM
Warga belajar
1
1
5
1725

3.

Ngawen
Penilik
TLD
Pengurus PKBM
Warga belajar
1
1
8
380

4.

Nglipar
Penilik
TLD
Pengurus PKBM
Warga belajar
1
1
8
4276

5.

Wonosari
Penilik
TLD
Pengurus PKBM
Warga belajar
1
5
10
4651

6.

Patuk
Penilik
TLD
Pengurus PKBM
Warga belajar
1
1
3
291

7.

Tepus

Penilik
TLD
Pengurus PKBM
Warga belajar
1
1
5
1780

8.

Tanjungsari

Penilik
TLD
Pengurus PKBM
Warga belajar
2
2
5
2193

9.

Semin
Penilik
TLD
Pengurus PKBM
Warga belajar
1
1
12
3403

10.

Ponjong
Penilik
TLD
Pengurus PKBM
Warga belajar
1
1
11
2751
Sumber: Data kuisioner responden 2008, diolah Maarif Institute
Secara umum, penilik atau petugas yang berwenang menangani program pendidikan keaksaraan di masing-masing kecamatan hanya ada satu orang penilik dibantu oleh tenaga lapangan pendidikan masyarakat (TLD). TLD di masing-masing kecamatan jumlahnya berbeda antara kecamatan yang satu dengan kecamatan yang lain.


Diagram 4.1 Ketercukupan Penilik dan TLD dalam Pemberantasan Buta Aksara




Secara kuantitas, apabila melihat wilayah kerja yang luas, sebagian besar atau 70 % responden menyatakan jumlah pegawai penilik di lapangan masih kurang atau belum cukup terkait dengan pemberantasan buta aksara, dan 30 % responden memandang sudah cukup.
Begitu pula dengan jumlah TLD, 70% responden menyatakan bahwa jumlah TLD yang tersedia di tiap kecamatan masih kurang, dan hanya 30% saja yang menyatakan jumlah TLD yang ada sudah mencukupi.
Jumlah ideal TLD yang semestinya ada di tiap kecamatan menurut responden bervariasi, 40% responden menyatakan idealnya TLD di tiap kecamatan ada 2 dan atau 5 orang, dan 10% responden menyatakan idealnya ada 4 dan atau 7 orang.
Diagram 4.2 Jumlah Ideal Penilik/TLD

Berdasarkan temuan data kualitatif di lapangan, minimnya jumlah penilik/petugas berkaitan dengan paradigma pemerintah maupun masyarakat yang masih memandang sebelah mata atau menganaktirikan pendidikan luar sekolah, khususnya pendidikan keaksaraan. Perhatian pemerintah lebih besar kepada pendidikan formal, demikian pula masyarakat, memandang pendidikan nonformal hanya pendidikan pelengkap saja.
Pemahaman penilik dan TLD terhadap fungsi dan tugasnya dalam pelaksanaan program pendidikan keaksaraan secara umum sudah bagus, namun masih ada bebrapa penilik TLD yang tidak memahami program pendidikan keaksaraan secara keseluruhan.
Dari tabel 4.1 dapat pula dilihat secara kuantitas rata-rata pengurus tiap PKBM sebanyak 7 orang. Secara teknis, dalam pelaksanaan keaksaraan fungsional, pengurus PKBM dibantu oleh tutor dengan jumlah rata-rata tutor tiap PKBM sebanyak 11 orang. Jumlah tutor yang ada menurut sebagian besar responden (70%) sudah cukup, bahkan 30% responden menyatakan sangat cukup.
Dari sepuluh PKBM yang menjadi sampel riset, 4% pengurusnya memiliki latar belakang pendidikan SMP/MTs, 28% berlatar belakang pendidikan SMA/MA/SMK atau yang sederajat, 26 % pernah mengenyam pendidikan D3, dan hampir sebagian berpendidikan S1, yakni 42%.
Diagram 4.3 Prosentase Latar Belakang
Pendidikan Pengurus PKBM


PKBM pada umumnya di kelola oleh individu berlatar belakang profesi yang masih dipandang memiliki prestise oleh masyarakat Gunungkidul dan memiliki jaringan/akses ke birokrasi, sehingga diposisikan sebagai tokoh masyarakat. Profesi tersebut antara lain Guru (39%), pegawai negeri sipil (PNS) 18%, dan perangkat desa (15%). Latar belakang profesi lainnya adalah wiraswasta 14%, petani 10%, dan 4% memiliki profesi ganda. Latar belakang pendidikan dan profesi pengurus PKBM akan sangat mempengaruhi pemahaman pengurus terhadap program pendidikan keaksaraan (KF). Seharusnya semakin tinggi pendidikan yang ditempuh oleh pengurus akan semakin berpengaruh pada tingkat pemahaman terhadap program. Namun dilapangan, ditemukan sebagian besar pengurus PKBM tidak memahami tentang mekanisme dan wewenang penerbitan SUKMA.
Jumlah rata-rata warga buta aksara di tiap kecamatan sebanyak 2290 orang. Julmah warga wajib belajar KF rata-rata perempuan, karena laki-laki biasanya enggan atau malu untuk belajar. Namun rerata data warga buta aksara yang terungkap di lapangan antara penilik dan PKBM, berbeda dengan data yang ada pada Bidang PLSPO, hal tersebut dinyatakan oleh penilik di salah satu kecamatan. Sebagian besar warga buta aksara (70%) pernah menempuh jalur pendidikan Sekolah Dasar hanya sampai kelas tiga. Beberapa faktor yang menyebabkan warga buta aksara putus sekolah diantaranya ekonomi (70%), budaya masyarakat (10%), malas (15%), akses ke sekolah (5%). Sebagian besar warga buta aksara mengikuti program KF karena termotivasi ingin bisa membaca, motivasi lainnya adalah ikut-ikutan/didaftar, dan gratis. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemahaman warga terhadap manfaat program KF cukup bagus.

· Sumber Daya Keuangan
Salah satu sumber daya pendukung jalannya program adalah sumber daya keuangan. Sesuai dengan amanat UUD 1945 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pemerintah pusat maupun daerah wajib mengalolkasikan anggaran pendidikan sebesar 20 % baik dalam APBN maupun APBD.
Terkait dengan pemberantasan buta aksara khususnya penyelenggaraan program Keaksaraan Fungsional (KF), anggaran yang dialokasikan dalam APBD Kabupaten tahun 2008 sebesar 3,5 miliar dengan target pengentasan 15 ribu warga buta aksara, mengalami peningkatan dibanding tahun 2007.
Tabel 4.2 Alokasi Anggaran untuk Penyelenggaraan Keaksaraan Fungsional (KF)

No.

Kecamatan

Sumber Dana

Jumlah Kelompok
Ketercukupan
Kurang
Cukup
Sangat Cukup

1.

Rongkop
APBN
APBD Propinsi
APBD Kab.
1
2
10

70 % respondeen berpendpat kurang

30 % respondeen berpendapat cukup

_
2.
Semanu
APBN
APBD Kab.
4
10
3.
Ngawen
APBN
APBD Kab.
28
10
4.
Nglipar
APBN
APBD Kab.
6
2
5.
Wonosari
APBN
APBD Propinsi
4
9
6.
Patuk
APBN
APBD Propinsi
4
4
7.
Tepus
APBN
6
8.
Tanjungsari
APBN
2
9.

Semin
APBN
APBD Kab.
6
9
10.
Ponjong
APBN
APBD Propinsi
2
3
Sumber: Data Kuisoner responden 2008, diolah
Dari tabel diatas dapat dilihat sumber dana program pemberantasan buta aksara di Kabupaten Gunungkidul, khususnya PKBM berasal dari 3 sumber yakni APBN, APBD Propinsi, dan APBD Kabupaten.
Anggaran yang diperoleh PKBM untuk masing-masing kelompok berasannya bervariasi, namun sebagian besar anggaran bersumber dari APBN yaitu sebanyak 53%, APBD Propinsi menempati urutan kedua sebanyak 33%, dan APBD Kabupaten sebanyak 14%.
Diagram 4.4 Alokasi Prosentase Anggaran
yang diperoleh Kelompok


Sedangkan Asyiyah, UGM, Tamaddun, dan stakeholders lainnya hanya bersumber dari APBN dan APBD Propinsi. Secara umum dana yang ada menurut sebagian besar responden (70%) masih kurang dan sisanya (30%) menyatakan sudah mencukupi. Dari 70% responden yang menyatakan kurang, memberikan estimasi anggaran yang ideal secara bervariasi, diatas 2 juta/kelompok sebanyak 60%, 1-2 juta/kelompok sebanyak 10%, 500 ribu-1 juta/kelompok sebanyak 20%, dan 300-500 ribu/kelompok sebanyak 10%. Menurut Kepala Bagian PLSPO anggaran ideal sebesar Rp. 3.320.000,00 per orang untuk 6 bulan. Sebagian besar anggaran yang diperoleh digunakan untuk insentif/gaji tutor, pembelian alat tulis, praktek ketrampilan, transport penyelengara, dan sebagai motivasi warga belajar. Mekanisme pengajuan dana penyelenggaraan KF, sebagai berikut:

Bagan 4.1 Mekanisme pengajuan dana penyelanggaran KF
PKBM melakukan pendataan calon peserta
PKBM melakukan pendataan calon peserta
PKBM membuat proposal dan diajukan kepada Dinas Pendidikan








Proposal akan disetujui apabila PKBM mampu memenuhi kuota yang telah ditetapkan. Kuota peserta KF rata-rata per kelompok sebanyak 10 orang. Berdasarkan informasi dari responden (warga belajar) untuk memenuhi kuota tersebut, pihak PKBM terkadang mengisi kekurangan kuota dengan mengikut sertakan warga belajar yang tidak semestinya ikut dalam penyelenggaraan KF.
Selain itu ada beberapa temuan dilapangan, diantaranya (1) terjadi kesenjangan/kecemburuan antara warga belajar terkait dengan sumber anggaran yang berbeda; (2) besaran anggaran yang diperoleh PKBM tidak diketahui secara keseluruhan oleh pengurus PKBM dan penilik, hanya diketahui ketua dan bendahara.







2. SARANA PRASARANA
Peralatan atau fasilitas merupakan sarana pendukung bagi pelaksanaan program. Kepemilikan sarana merupakan bagian yang tidak dapat diabaikan karena seluruh aktivitas program dalam mencapai tujuan tidak terlepas dari penggunaan saran penunjang yang ada.
Dalam penelitian ini, pengamatan sarana prasarana terbatas pada sarana prasarana yang dibutuhkan dalam rangka penyelenggaraan Keaksaraan Fungsional (KF) baik kuantitas maupun kualitasnya. Adapun sarana prasarana yang dimiliki dalam penyelenggaraan Keaksaraan Fungsional (KF) sebagai berikut:
Tabel 4.3 Sarana Prasarana dalam Penyelenggaraan Keaksaraan Fungsional (KF)

No.
Kecamatan
Jumlah PKBM
Status PKBM
Tempat Penyelenggaraan
Aksesibili
tas
Fasilitas
Penyelenggaraan KF
Akta
Belum
1.
Rongkop
1
1
-
Balai Desa
Mudah
Kurang
2.
Semanu
4
1
3
Balai Desa
Mudah
Cukup
3.
Ngawen
2
1
1
Balai Desa
Mudah
Cukup
4.
Nglipar
6
4
2
Balai Desa
Mudah
Kurang
5.
Wonosari
3
1
2
Rumah Warga
Mudah
Kurang
6.
Patuk
3
1
2
Balai Desa
Mudah
Kurang
7.
Tepus
1
1
-
Balai Desa
Mudah
Cukup
8.
Tanjungsari
3
1
2
Balai Desa
Mudah
Kurang
9.
Semin
2
1
1
Balai Desa
Mudah
Cukup
10.
Ponjong
4
1
3
Rumah Warga
Mudah
Kurang
Sumber: Kuiseioner respondeen 2008, diolah Maarif Institute

Berdasarkan tabel 4.3 diatas, rerata jumlah PKBM di setiap kecamatan ada 3 PKBM dengan status sudah memiliki SK dari Dinas Pendidikan sebanyak 45% dan 55% PKBM belum memiliki SK. Sebagian besar tempat penyelanggaraan KF dilakukan di Balai Desa dengan pertimbangan aksesibilitas dan keterbatasan dana. Dari segi fasilitas dalam penyelengaraan KF, 60% responden menyatakan bahwa fasilitas yang ada masih kurang baik secara kuantitas maupun kualitas. Sedangkan 40% responden menyatakan failitas yang ada sudah mencukupi.

Temuan dilapangan menunjukkan terjdinya kesenjangan fasilitas antara kelompok KF. Biasanya kelompok KF yang menggunakan anggaran dari APBN memiliki fasilitas yang lebih memadai dibandingkan dengan kelompok KF yang menggunakan anggaran dari APBD Propinsi dan APBD Kabupaten. Keadaan tersebut berpengaruh terhadap motivasi warga belajar.

3. KOMUNIKASI
Komunikasi menjadi faktor penting bagi terlaksananya suatu program. Salah satu wujud komunikasi dalam bentuk sosialisasi, koordinasi, dan intensitas pengawasan. Sosialisasi merupakan proses penting bagi tercapainya suatu kebijakan. Dengan adanya sosialisasi kebijakan, diharapkan masyarakat dapat belajar untuk mengerti dan memahami mengenai isi dan tujuan dari suatu kebijakan, sehingga dapat memberikan dukungan secara maksimal terhadap kebijakan tersebut. Sedangkan koordinasi adalah suatu bentuk pertemuan yang diselenggarakan secara rutin oleh pihak-pihak/stakeholders yang terkait dengan pelaksanaan program untuk bersama-sama membahas kekurangan dari pelaksanaan program. Koordinasi dilakukan dengan harapan tidak terjadinya tumpang tindih anggaran, pengulangan kegiatan, efektifitas kerjasama, dan perbedaan persepsi antar stakeholders yang dapat memunculkan konflik. Berbagai bentuk media komunikasi yang dilakukan dalam penyelenggaraan program Keaksaraan Fungsional (KF) sebagai berikut:







Tabel 4.4 Bentuk Komunikasi dalam Penyelenggaraan Keaksaraan Fungsional
No
Sosialisasi
Koordinasi
Monitoring/Pengawasan
Bentuk
Media
Frekuensi
Bentuk
Periode
Bentuk
Frekuensi
1
Pengarahan
Penyuluhan
Pengumuman
· Pertemuan RT/RW
2 kali
Rapat koordinasi
Bulanan
Kunjungan kerja dan sidak
6x/bulan
2
Pengarahan
Penyuluhan
Pengumuman
· Posyandu
· Rapat koordinasi Dukuh
4 kali
Rapat koordinasi
Bulanan
Kunjungan kerja dan sidak
4x/bulan
3
Pengarahan
Penyuluhan
· Rapat pertemuan warga

Rapat koordinasi
-
sidak
4x/bulan
4
Pengarahan
Penyuluhan
Pengumuman
· Pertemuan RT
· Pengajuan, arisan
2 kali
Rapat koordinasi
Bulanan
sidak
5x/bulan
5
Pengarahan
Penyuluhan
· Pertemuan RT/RW

Rapat koordinasi
Bulanan
sidak
4x/bulan
6
Pengarahan
Penyuluhan
Pendekatan emosional
· Pertemuan RT
· Pengajuan, arisan
· Posyansu
· PAUD
3 kali
Rapat koordinasi
3 bulan sekali
Kunjungan kerja
6x/bulan
7
Pengarahan
Penyuluhan
· Pertemuan RT
· Pengajuan, arisan
· Posyansu
· PAUD
2 kali
Rapat koordinasi
Bulanan
Kunjungan kerja dan sidak
5x/bulan
8
Penyuluhan
· Pertemuan RT
· Pengajuan, arisan
· Posyansu
· PAUD
2 kali
Rapat koordinasi
-
sidak
5x/bulan
9
Penyuluhan
Rapat koordinasi
Kunjungan kerja
· Pertemuan pengurus PKBM
1 kali
Rapat koordinasi
Mingguan
sidak
5x/bulan
10
Pengarahan
Penyuluhan
· Pertemuan perangkat desa
4 kali
Rapat koordinasi
Bulanan
sidak
1x/bulan
Sumber: Kuisioner responden 2008, diolah Maarif Institute
Secara umum bentuk sosialisasi program pemberantasan buta aksara/pendidikan keaksaraan yang dilakukan baik oleh pihak pemerintah maupun PKBM atau stake holders lain antara lain pengarahan, penyuluhan, pengumuman/surat edaran melalui lembaga desa dan instansi yang terkait, dan pendekatan individu. Media sosialisasi kepada masyarakat dan pengurus PKBM pada umumnya memanfaatkan forum-forum yang ada di masyarakat seperti pertemuan RT/warga, posyandu, rapat perdukuhan, pengajian, arisan, gotong royong, pada saat kegiatan PAUD, dan rapat pengurus PKBM.
Sedangkan sosialisasi internal pemerintah atau petugas memanfaatkan forum-forum rapat dan kunjungan kerja. Pemanfaatan media tersebut terkait dengan adanya keterbatasan anggaran untuk sosialisasi. Pihak-pihak yang menyelenggarakan sosialisasi antara lain Bidang PLSPO Dinas Pendidikan Gunungkidul, penilik, dan pemerintah desa. Sosialisasi kepada stakeholders kabupaten Gunungkidul baru dilaksanakan satu kali oleh Tim PBA tingkat Propinsi. Frekuensi sosialisasi secara umum dilakukan pada medio bulanan, yang berbeda hanya pada tingkat intensitasnya saja. Walaupun sosialisasi sering dilakukan, namun kendala terbesar pelaksanaan pendidikan keaksaraan justru rendahnya kesadaran warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam program tersebut.
Bentuk pola koordinasi yang dilakukan oleh pemerintah adalah rapat koordinasi secara rutin. Untuk tingkat penilik atau TLD biasanya dilakukan setiap satu minggu dengan Bidang PLSPO khususnya Seksi Dikmas. Koordinasi yang dilakukan oleh pemerintah baik pada level kabupaten maupun level desa melibatkan beberapa stake holders antara lain PKBM, PKK, dan Aisyiyah. Sedangkan stake holders lainnya seperti perguruan tinggi (PT) penyelenggara KKN dan LSM penyelenggara KF tidak pernah diundang dan dilibatkan dalam proses koordinasi. Berdasarkan informasi dari responden, justru yang aktif menghubungi pihak pemerintah adalah pihak PT dan LSM. Masing-masing stake holders terkesan berjalan sendiri-sendiri dan mengutamakan kepentingan sendiri-sendiri. Sehingga tak jarang terjadi miss komunikasi/permasalahan/konflik kepentingan antar pihak pemerintah dengan pihak PT dan LSM/yayasan.
Hal-hal yang menjadi materi konflik kepentingan antara lain permasalahan kevalidan data, sumber data, model atau metode KF, transparansi anggaran yang diperoleh, penerbitan SUKMA, dan follow up setelah KF. Berdasarkan hasil riset, 20% responden pernah berkonflik dengan stake holders lain karena minimnya koordinasi.
Pihak-pihak yang terlibat dalam kerjasama penyelenggaraan pendidikan keaksaraan terbagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok internal dan kelompok eksternal. Kelompok internal meliputi Bidang pemberdayaan perempuan Dinas Sobermas, BPS, Depag kabupaten, penilik, dan TLD. Sedangkan kelompok eksternal meliputi PKBM, Ormas (Aisyiyah, Fatayat untuk anggaran 2006), PKK, LSM/yayasan (Tamaddun, Puspa), PT (UGM, UNY, UAD).
Monitoring/pengawasan secara keseluruhan menjadi tanggung jawab pemerintah. Bentuk pengawasan yang dilakukan oleh pihak pemerintah berupa kunjungan kerja dan inspeksi mendadak ke kelompok-kelompok KF baik yang diselenggarakan oleh pihak PKBM maupun pihak-pihak lain. Pertanggungjawaban PKBM diberikan kepada pihak penilik atau Bidang PLSPO. Pengawasan terhadap ormas dan PT tidak hanya dilakukan oleh dinas pendidikan kabupaten, namun dilakukan pula oleh instansi atau organisasi yang ada di atasnya.






B. PROGRAM BANTUAN PELAYANAN PENGOBATAN KELUARGA MISKIN
1. SUMBER DAYA
· Sumber Daya Manusia
Dalam penelitian ini variabel sumber daya manusia dapat diukur dari tenaga yang memeriksa pasien, sikap petugas dalam memberikan pelayanan terhadap pasien, dan standar pelayanan yang dilakukan dokter pada saat menangani pasien baik di RSUD Wonosari maupun di Puskesmas. Secara keseluruhan jumlah tenaga medis dan paramedis di Kabupaten Gunungkidul baik yang bekerja di RSUD Wonosari maupun puskesmas sebanyak 834 orang. Sedangkan jumlah tenaga non paramedis yang ada sebanyak 346 orang. Dari jumlah tenaga medis yang ada, sebagian besar (60%) melakukan standarisasi pelayanan seperti menanyakan keluhanan, menjelaskan jenis penyakit, menanyakan riwayat penyakit pasien, dan menjelaskan jenis obat. Berdasarkan hasil olahan data, sebanyak 66% responden menyatakan, diperiksa oleh dokter baik di RSUD Wonosari maupun di puskesmas. Sedangkan 27% responden diperiksa oleh bidan, dan 7% sisanya diperiksa oleh perawat.
Dari segi pelayanan yang diberikan oleh petugas RSUD Wonosari, mulai memberikan sapaan, senyuman serta dalam menjelaskan prosedur pelayanan dirasa kurang apabila dibandingkan dengan petugas yang ada di puskesmas. Perbandingan ini dapat dilihat dari 51% responden di RSUD menyatakan sudah bagus dan 49% responden menyatakan kurang. Sedangkan 64% responden di puskesmas menyatakan sudah baik dan 36% menyatakan kurang. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Direktur RSUD bahwa secara internal dari RSUD yang perlu diperbaiki yakni sikap petugas yang kurang ramah dengan melakukan pelatihan manajemen sumber daya manusia (ESQ).



· Sumber Daya Keuangan
Bedasarkan informasi dari responden dan temuan di dokumen RKA APBD tahun 2008, besaran anggaran untuk program Bantuan Pelayanan Pengobatan bagi Keluarga Miskin sebesar 250 juta untuk 332.295 jiwa (95.743 RTM). Besaran anggaran tidak mengalami kenaikan dari tahun ketahun. Anggaran tersebut digunakan sebagai pengganti dana stimulant dari APBN.
Berdasarkan temuan di lapangan, ada beberapa warga yang terdaftar didalam SK Bupati, namun belum mengetahui bahwa warga tersebut terdaftar sebagai pengguna askeskin setelah dikonfirmasi.

2. SARANA PRASARANA
Sarana prasarana yang digunakan sebagai pendukung pelaksanaan program Bantuan Pelayanan Kesehatan bagi Keluarga Miskin terbatas pada sarana prasarana yang dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan, baik kuantitas maupun kualitasnya. Selain itu faktor aksesibilitas juga menjadi salah satu pertimbangan bagi responden untuk menggunakan pelayanan kesehatan. Adapun sarana prasarana yang relative sering digunakan oleh pasien baik di RSUD maupun Puskesmas adalah poli umum, poli anak, poli gigi, poli dalam, KIA, dan bangsal. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh sebagian besar responden yang menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan, pada umumnya menggunakan fasilitas poli umum dan ruang bangsal kelas III bagi responden yang dirawat inap.
Keberadaan sarana prasarana yang ada secara kuantitas sudah mencukupi, namun sebanyak 56% responden menilai kondisi bangsal kelas III baik di RSUD Wonosari maupun puskesmas belum representatif bagi pasien, dari segi kenyamanan tempat, termasuk kesejukan kamar, penataan ruang, maupun kesesuaian makanan pasien. Sebanyak 56% responden menyatakan perlu ada perbaikan terhadap sarana prasarana dalam rangka mendukung pelayanan kesehatan baik di RSUD maupun Puskesmas. Beberapa pelayanan yang dirasa perlu diperbaiki diantaranya ketepatan jam pelayanan puskesmas maupun RSUD, ketersediaan obat-obatan, keberadaan dokter/bidan/perawat, dan keterbukaan dokter saat memeriksa pasien.
Sedangkan bebrapa faktor yang menjadi alasan responden untuk menggunakan pelayanan kesehatan baik di RSUD Wonosari maupun puskesmas adalah jarak yang dekat, biaya murah, keberadaan dokter, bangunannya bagus, kelengkapan obat, peralatan yang lengkap, dan petugas yang ramah. Berdasarkan hasil analisi data yang diperoleh 45% responden memilih menggunakan pelayanan kesehatan di RSUD Wonosari maupun puskesmas dengan pertimbangan jarak yang dekat, 20% responden menyatakan karena biaya murah, 11% responden menyatakan dokter selalu hadir, 11% responden menyatakan karena obatnya lengkap, 4% responden menyatakan karena petugas ramah, 4% responden menyatakan karena bangunan bagus, 2% responden menyatakan karena peralatan medis lengkap, dan 3% responden menyatakan lainnya.
Hal tersebut diatas membukltikan bahwa kualitas pelayanan kesehatan baik di RSUD Wonosari maupun puskesmas belum menjadi pertimbangan utama responden dalam menggunakan fasilitas kesehatan yang ada.

3. KOMUNIKASI
Indikator komunikasi dalam penelitian ini adalah sosialisasi, transparansi dan responsivitas pelayanan. Sosialisasi yang dilakukan pihak RSUD Wonosari dan puskesmas yang terkait dengan program-program kesehatan masih sangat minim. Hal ini dinyatakan oleh 46% responden. Dari temuan dilapangan ada beberapa warga miskin yang terdaftar di SK Bupati tidak mengetahui program Bantuan Pelayanan Kesehatan bagi Keluarga Miskin. Minimnya sosialisasi disebabkan karena tidak adanya anggaran untuk itu. Hal tersebut dinyatakan oleh Direktur RSUD Wonosari.
Transparansi pelayanan kesehatan baik di RSUD Wonosari maupun puskesmas berupa ketersedian informasi tarif, prosedur pelayanan, dan program-program pelayanan kesehatan, menurut 37% responden menyatakan tidak tersedia. Sedangkan 30% responden menyatakan sudah tersedia dan 33% responden menyatakan tidak tahu.
Hal tersebut menunjukkan bahwa belum semua di puskesmas menyediakan informasi-informasi terkait dengan hal-hal diatas. Sedangkan di RSUD Wonosari, penempatan informasi kurang tepat sehingga masih sulit diakses oleh pasien.
Responsivitas pelayanan RSUD Wonosari dan puskesmas meliputi tindakan medis ketika ada KLB, penjaringan aspirasi pelayanan, dan partisipasi warga dalam penyusunan program kessehatan. Jika melihat responsivitas pelayanan yang diberikan RSUD Wonosari maupun puskesmas, hampir sebagian besar responden (46%) menyatakan rendahnya responsivitas pelayanan dari pihak RSUD Wonosari maupun puskesmas. Sedangkan 29% responden menyatakan pihak RSUD Wonosari dan puskesmas sudah cukup responsif. Dan 25% responden menyatakan tidak tahu.

Tidak ada komentar: