Minggu, 29 Maret 2015

Tradisi Resepsi Al-Qur’an di Indonesia



Kajian tentang resepsi berkaitan erat dengan kajian sosial humaniora. Salah satu konsen kajian humaniora adalah tentang perilaku masyarakat dalam merespon kitab-kitab (yang dianggap) suci. Di dalam bukunya, Beyond The Written Word maupun Scripture as The Spoken Word, William Graham mengatakan bahwa kitab suci tak sekedar teks yang dibaca. Tetapi ia hidup bersama orang-orang yang meyakininya dan menaatinya.
Kitab suci dihubungkan dengan masyarakat yang mendengarkan kata-katanya sepenuh perasaan, mereka hidup bersama dan untuk kitab suci tersebut. Ia dianggap suci sebab ada orang-orang yang men-suci-kannya, terlepas dari perihal apakah kitab-kitab itu benar-benar suci atau tidak.
Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan Ust. Abdul Jalil tentang perkataan Ali bin Abi Thalib mengenai kitab suci Al-Qur’an, bahwa aktifitas manusia la yang membuat Al-Quran hidup di tengah masyarakat . Di dalam Nahj al-Balaghah, beliau mengatakan,
“Mushaf Al-Qur’an adalah sesuatu yang diapit dua sampul dan tak bisa berkata-kata sendiri, maka ia membutuhkan pembicara yakni manusia, di dalamnya terkandung ilmu tentang apa yang akan terjadi, tentang apa yang sudah berlalu, penawar bagi duka, dan neraca bagi kehidupan bersosial.”
Kalau ditilik dari sisi lingkupannya, kajian Kitab Suci terbagi dalam tiga ranah;
  • Origin (Asal-usul), yakni kajian tentang asal-usul kitab suci, semisal sejarah dan manuskrip.
  • Form (Bentuk), yaitu kajian tentang bentuk kandungan yang ada di dalam kitab suci, semisal kajian tafsir dan pemaknaan.
  • Function (Fungsi), adalah kajian tentang kegunaan dan penggunaan kitab suci.
Adapun kajian tentang resepsi tergolong dalam kajian Fungsi. Bagaimana fungsi Al-Qur’an di dalam kajian ilmiah? Ada dua macam;
  • Fungsi Informatif, yakni ranah kajian kitab suci sebagai sesuatu yang dibaca, dipahami, dan diamalkan.
  • Fungsi Performatif, yaitu ranah kajian kitab suci sebagai sesuatu yang ‘diperlakukan’. Misalnya sebagai wirid untuk nderes atau bacaan-bacaan suwuk (ruqyah).
Ada pesantren tertentu yang memfungsikan Al-Qur’an lebih cenderung secara performatif dibandingkan informatif. Di sana, kitab tafsir dibaca dari awal hingga khatam, namun tak begitu penting apakah santri paham atau tidak. Justru yang dipentingkan adalah disiplin pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut secara rutin (resitasi).
Lalu apakah fungsi informatif dan performatif ini saling bertentangan? Tentu tidak. Karena sejak zaman Rasulullah pun dua fungsi ini sudah ada dan saling berdampingan. Di dalam Al-Quran sendiri, disebutkan bahwa fungsinya adalah sebagai petunjuk (huda), dan untuk mendapatkan petunjuk tentu harus dipahami dan ditelaah, maka konsep ‘huda’ ini menjadi konsep fungsi informatif Al-Qur’an.
Di sisi lain, Rasulullah bersabda bahwa membaca Al-Qur’an adalah ibadah, setiap huruf yang dibaca mengandung pahala (ajrun). Maka konsep ‘ajrun’ ini menjadi konsep fungsi performatif Al-Qur’an. Belum lagi berbagai hadits tentang penggunaan ayat-ayat tertentu di dalam Al-Qur’an semisal al-Mu’awwidzatain maupun Ayat al-Kursiy.
Dalam kaitannya dengan fungsi Al-Qur’an, kajian resepsi termasuk ke dalam ranah fungsi performatif. Yakni tentang bagaimana respon umat terhadap Al-Qur’an, bagaimana umat menerima dan memaknai teks dalam ruang sosial budayanya. Sebagai obyek resepsi, ada tiga sisi Al-Qur’an yang diresepsi. Yakni tulisannya, bacaannya, dan sistem bahasanya.
Tulisan dan bacaan Al-Qur’an sebagai obyek resepsi sudah dibahas oleh paparan Ust. Abdul Jalil. Di sini, Ust. Ahmad Rafiq mencontohkan perilaku seorang kerabat, ia menaruh plastik bertuliskan aksara Arab di atas lemari karena menghormati tulisannya, ia mengatakan bahwa aksara yang tertulis di bungkus plastik itu sama dengan aksara yang digunakan di dalam Al-Qur’an. Berarti, dalam kasus ini, Bahasa Arab pun mengalami ‘sanctification’ atau pensucian. Hal ini kemudian berkaitan dengan sisi ketiga dalam obyek resepsi, yakni sistem bahasa Al-Qur’an.
Ada lima hal dalam sistem bahasa Al-Qur’an yang menjadi obyek resepsi. Pertama, bunyi (fon), misalnya seperti fenomena yang terjadi di salah satu daerah. Ketika ada ibu hamil, ia dianjurkan –secara tradisional- untuk membaca surat At-Takatsur ayat pertama, padahal tidak ada hubungan makna maupun sejarah antara surat At-Takatsur dengan ibu hamil. Ternyata setelah ditelusuri, alasan tradisi ini adalah agar proses kelahiran bayi bisa berlangsung dengan ‘mendlusur’ (lancar keluarnya). Maka bisa dipahami bahwa fenomena ini mengasosiasikan antara kelahiran secara ‘mendlusur’ dengan rima bunyi awal surat At-Takatsur.
Kedua, kata (morfem). Karena dianggap sebagai bagian yang mulia dalam kitab suci, maka kata-kata yang ada di dalam Al-Qur’an disematkan sebagai nama. Ini adalah hal yang paling umum terjadi di dalam kehidupan umat Islam. Ketiga, kalimat (syntak), contohnya ayat-ayat tertentu di dalam Al-Qur’an yang dijadikan mantra atau jimat. Bahkan ada satu daerah yang percaya, dengan membaca potongan ayat ‘Walyatalatthaf wala yusy’ironna bikum ahadaa’ ketika tendangan penalti, maka bola akan gol dan tidak akan meleset.
Keempat, makna (semantik), yakni penggunaan ayat-ayat di dalam Al-Qur’an sesuai dalam kondisi tertentu dengan maknanya. Kelima, fungsi (pragmatik). Lima obyek ini mengalami resepsinya masing-masing. Sedangkan dalam meresepsi lima obyek tersebut, ada tiga gaya:
  • Pertama, resepsi Eksegesis atau hermeneutik. Yakni ketika Al-Qur’an diposisikan sebagai teks yang berbahasa—Arab—dan bermakna secara bahasa. Resepsi exegesis mewujud dalam bentuk praktik penafsiran al-Quran dan karya-karya Tafsir.
  • Kedua, resepsi Estetis. Dalam resepsi ini, Al-Quran diposisikan sebagai teks yang bernilai estetis (keindahan) atau diterima dengan cara yang estetis pula. Al-Qur’an sebagai teks yang estetis, artinya resepsi ini berusaha menunjukkan keindahan inheren Al-Qur’an, antara lain berupa kajian puitik atau melodik yang terkandung dalam bahasa Al-Qur’an. Al-Qur’an diterima dengan cara yang estetis, artinya Al-Qur’an dapat ditulis, dibaca, disuarakan, atau ditampilkan dengan cara yang estetik.
  • Ketiga, resepsi Fungsional. Dalam gaya resepsi ini, Al-Qur’an diposisikan sebagai kitab yang ditujukan kepada manusia untuk dipergunakan demi tujuan tertentu. Maksudnya, khithab Al-Qur’an adalah manusia, baik karena merespon suatu kejadian ataupun mengarahkan manusia (humanistic hermeneutics). Serta dipergunakan demi tujuan tertentu, berupa tujuan normatif maupun praktis yang mendorong lahirnya sikap atau perilaku.
Resepsi Fungsional dapat mewujud dalam fenomena sosial budaya Al-Qur’an di masyarakat dengan cara dibaca, disuarakan, diperdengarkan, ditulis, dipakai, atau ditempatkan. Tampilannya bisa berupa praktek komunal individual, praktek reguler/rutin – insidentil/temporer, sikap/pengetahuan – material, hingga sistem sosial – adat – hukum – politik. Sehingga jadilah tradisi-tradisi resepsi yang khas terhadap Al-Qur’an.
Tradisi Yasinan adalah salah satu contoh konkrit praktek resepsi komunal dan reguler. Begitu pula dengan tradisi Khataman Al-Qur’an di pesantren-pesantren dengan beragam variasi dan kreasi aaranya, sebagai praktek komunal dan insidental.
Mengapa bisa muncul resepsi-resepsi sedemikian rupa yang kemudian melahirkan tradisi-tradisi? Hal ini tentu disebabkan adanya dua alur pemahaman dalam tradisi Al-Qur’an, yakni transmisi dan transformasi. Transmisi berarti pengalihan pengetahuan dan praktek dari generasi ke generasi, sedangkan Transformasi adalah perubahan bentuk pengetahuan dan praktek sesuai kondisi masing-masing generasi.
Contohnya tentang khasiat surah Al-Fatihah. Sebagaimana diriwayatkan Abu Sa’id al-Khudry, Rasulullah mengabarkan tentang kegunaan surah Al-Fatihah. Pengetahuan ini ditransmisikan melalui rantaian sanad hadits dan tercantum dalam Shahih Bukhari. Kemudian informasi ini ditransmisikan lagi dari generasi ke generasi, hingga tercantum dalam at-Tibyan fi Adab Hamalati al-Qur’an karya An-Nawawi di dalam bab tentang bacaan bagi orang sakit. Lalu muncul lagi dalam Khazinatu al-Asrar dengan tata baca yang berbeda, namun idenya tetap sama; khasiat Al-Fatihah.
Khataman adalah misal yang lain. Pada awalnya, ada sahabat yang mengundang orang-orang ketika ia mengkhatamkan Al-Qur’an. Tentu hal ini belum ada di masa Rasulullah. Kemudian pengetahuan tentang khataman ini ditransmisikan melewati ruang dan waktu, sekaligus mengalami transformasi terhadap bentuk khataman itu. Hingga jadilah pada saat ini bentuk khataman yang sama sekali berbeda namun bermuatan sama. Di Jawa Barat ada Sisingaan yang diarak pada saat khataman Al-Qur’an, di Banjar ada tradisi Payung Kembang, di pesantren-pesantren ada prosesi wisuda, dan sebagainya.
Bagi orang yang tak paham realita sosial masyarakat dan tak memakai kacamata sosial humaniora, akan dengan mudah memberikan stempel sesat atau minimal bid’ah terhadap praktek-praktek transformatif semacam ini. Padahal inilah yang disebut dengan transformasi atau perubahan atas bentuk pengetahuan dan praktek yang ditransmisikan dari generasi ke generasi, sebagai resepsi umat terhadap kitab suci.
TANYA JAWAB

Tanya:
Dalam hal fungsional Al-Qur’an dan hubungannya dengan awal pewahyuan, apa yang musti didahulukan; iqro’ (membaca) atau isma’ (menyimak)? Apakah ada kemukjizatan Al-Qur’an yang berkaitan dengan suara/bunyi (i’jaz shauti)? Lalu apa makna Rasulullah mengucapkan ‘maa ana bi qoori-in’? (Soleh)
Bagaimana umat Islam meresepsi Al-Qur’an sebelum adanya mushaf? Bagaimana metode para sahabat dalam menghapal Al-Qur’an, muraja’ah hapalan, dan prosesi khataman, sebelum ada mushaf ? (Aidah)
Jawab:
Ahmad Rafiq: apa yang didahulukan, iqra’ atau isma’? Kalau menelaah kronologi pewahyuan, bisa disimpulkan bahwa wahyu diturunkan dalam bentuk bunyi, bukan teks. Serta meskipun perintahnya untuk membaca, namun tidak ada obyek bacaan.
Memang tidak salah jika banyak pemaknaan awam yang mengatakan bahwa ‘Iqro!’ adalah ‘Bacalah kitab suci ini, dan pahamilah, lalu amalkanlah!’, memang tidak salah. Namun jika merunut kronologi pewahyuan Al-Qur’an, tentu pemaknaan seperti itu terlalu jauh. Maksud dari ‘iqro’ di sini adalah perintah menyimak (isma’) lalu kemudian menirukan bacaan yang dicontohkan Malaikat Jibril.
Adapun maksud ‘maa ana bi qoori-in’ tidak serta merta berarti bahwa Rasulullah buta huruf. Karena urusan baca tulis berkaitan dengan teks, sedangkan dalam peristiwa pewahyuan ini tidak ada teks, melainkan hanya bunyi. Maka ucapan Rasulullah dalam konteks ini adalah bernuansa perendahan diri sebagai manusia yang menghadapi kejadian yang begitu luar biasa. Pembahasan yang berkaitan tentang ke-ummiy-an Rasulullah menjadi salah satu tema perbincangan para ulama sejak dahulu hingga hari ini dan tak pernah selesai.
Tentang mukizat suara (i’jaz shauti), meskipun tidak ada keterangan yang jelas dari Rasulullah tentang hal ini, namun pada kenyataannya banyak terjadi. Contoh besar dalam hal ini adalah keislaman Umar yang dipicu oleh bacaan ayat Al-Qur’an adiknya, Fathimah.
Abdul Jalil: bagaimana para sahabat menghapal Al-Qur’an sebelum ada mushaf? Yakni dengan langsung menghapalkan apa yang mereka dengar. Adapun cara muroja’ah para sahabat adalah dengan membaca terus-menurus, dan jika lupa suatu ayat maka mereka akan bertanya kepada sahabat-sahabat yang lain. Metode hapalan dan muroja’ah semacam ini masih dipraktekkan –misalnya- di Maroko.
Bagaimana bentuk khataman para sahabat? Pada masa itu, yang dimaksud dengan ‘khataman’ jelas berbeda dengan praktek khataman kita pada saat ini. Bagi kita, yang dimaksud khataman adalah menyelesaikan bacaan Al-Qur’an dari awal Fatihah sampai akhir an-Nas. Tidak demikian pada masa sahabat, saat itu yang dimaksud khataman adalah menyelesaikan bagian yang dihapal masing-masing orang/sahabat. Tentu hapalan Ibnu Mas’ud atau Zaid ibn Tsabit yang sejak muda bersama Nabi berbeda dengan hapalan Abu Hurairah yang baru datang di kemudian hari. Maka setiap orang memiliki kuantitas hapalan yang berbeda-beda, saat mereka menyelesaikan bacaan atas hapalannya, itulah khataman.
Apakah ada mukjizat suara (i’jaz shauti)? Ada satu disertasi menarik di Mesir yang membahas tentang musikalitas dan bunyi akhir ayat-ayat Al-Qur’an. Ada juga karya Muhammad Syamlul yang menyatakan bahwa I’jaz Tilawah itu nyata adanya. Salah satunya adalah adanya kaitan antara bacaan tajwid Al-Quran dengan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat yang bersangkutan.
Salah satu contoh adalah bacaan imalah; majreehaa, sebagai penekanan kesan terhadap makna yang terkandung di dalamnya. Agar si pembaca ayat bisa merasakan suasana bahtera Nabi Nuh yang terombang-ambing. Atau dalam lafal la ta’manna, bacaan isymam yang terbunyikan seakan-akan tidak sama dengan gerakan bibir, yakni agar si pembaca ayat merasakan kondisi yang sedang digambarkan, yakni ketika saudara-saudara Nabi Yusuf mengatakan hal-hal yang tidak sesuai dengan isi hati mereka. Semua hal ini bisa dikategorikan dalam mukjizat shauti (bunyi) dalam Al-Qur’an.
Kesimpulan:

Al-Qur’an menjadi sesuatu hal yang istimewa di tengah kehidupan umat Islam. Kehadirannya mendapat sambutan di tengah-tengah umat dalam berbagai bentuk dan rupa, sesuai kondisi sosial budaya. Inilah yang kemudian disebut dengan ‘resepsi’.
Ada tiga bentuk resepsi umat terhadap Al-Qur’an, yakni; resepsi Eksegesis yang berkaitan dengan makna dan kandungan ilmu di dalamnya, resepsi Estetis yang berhubungan dengan keindahan yang terkandung maupun keindahan dalam memperlakukannya, dan resepsi Fungsional yang berkaitan dengan fenomena sosial budaya Al-Qur’an di masyarakat, dengan cara dibaca, disuarakan, diperdengarkan, ditulis, dipakai, atau ditempatkan.
Tradisi resepsi Al-Qur’an yang muncul, khususnya di Indonesia, adalah fenomena kebudayaan dan bisa ditelaah secara ilmiah melalui kajian sosiologis. Adapun keabsahan tradisi-tradisi tersebut dalam hukum-hukum formal fiqh tentu perlu ditimbang lagi dengan ukuran-ukuran yang berbeda. []
~
Moderator: Muhammad Ahya Anshari
Fotografer: Mohammed Habibi
Juru Tulis: Zia Ul Haq
Tradisi Resepsi Al-Qur’an di Indonesia”
Oleh: Ust. Ahmad Rafiq al-Banjari, Ph. D.
Pakar Living Qur’an, Alumni Temple University, Dosen UIN Sunan Kalijaga

Kitab suci dihubungkan dengan masyarakat yang mendengarkan kata-katanya sepenuh perasaan, mereka hidup bersama dan untuk kitab suci tersebut. Ia dianggap suci sebab ada orang-orang yang men-suci-kannya, terlepas dari perihal apakah kitab-kitab itu benar-benar suci atau tidak.
Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan Ust. Abdul Jalil tentang perkataan Ali bin Abi Thalib mengenai kitab suci Al-Qur’an, bahwa aktifitas manusia la yang membuat Al-Quran hidup di tengah masyarakat . Di dalam Nahj al-Balaghah, beliau mengatakan,
“Mushaf Al-Qur’an adalah sesuatu yang diapit dua sampul dan tak bisa berkata-kata sendiri, maka ia membutuhkan pembicara yakni manusia, di dalamnya terkandung ilmu tentang apa yang akan terjadi, tentang apa yang sudah berlalu, penawar bagi duka, dan neraca bagi kehidupan bersosial.”
Kalau ditilik dari sisi lingkupannya, kajian Kitab Suci terbagi dalam tiga ranah;
  • Origin (Asal-usul), yakni kajian tentang asal-usul kitab suci, semisal sejarah dan manuskrip.
  • Form (Bentuk), yaitu kajian tentang bentuk kandungan yang ada di dalam kitab suci, semisal kajian tafsir dan pemaknaan.
  • Function (Fungsi), adalah kajian tentang kegunaan dan penggunaan kitab suci.
Adapun kajian tentang resepsi tergolong dalam kajian Fungsi. Bagaimana fungsi Al-Qur’an di dalam kajian ilmiah? Ada dua macam;
  • Fungsi Informatif, yakni ranah kajian kitab suci sebagai sesuatu yang dibaca, dipahami, dan diamalkan.
  • Fungsi Performatif, yaitu ranah kajian kitab suci sebagai sesuatu yang ‘diperlakukan’. Misalnya sebagai wirid untuk nderes atau bacaan-bacaan suwuk (ruqyah).
Ada pesantren tertentu yang memfungsikan Al-Qur’an lebih cenderung secara performatif dibandingkan informatif. Di sana, kitab tafsir dibaca dari awal hingga khatam, namun tak begitu penting apakah santri paham atau tidak. Justru yang dipentingkan adalah disiplin pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut secara rutin (resitasi).
Lalu apakah fungsi informatif dan performatif ini saling bertentangan? Tentu tidak. Karena sejak zaman Rasulullah pun dua fungsi ini sudah ada dan saling berdampingan. Di dalam Al-Quran sendiri, disebutkan bahwa fungsinya adalah sebagai petunjuk (huda), dan untuk mendapatkan petunjuk tentu harus dipahami dan ditelaah, maka konsep ‘huda’ ini menjadi konsep fungsi informatif Al-Qur’an.
Di sisi lain, Rasulullah bersabda bahwa membaca Al-Qur’an adalah ibadah, setiap huruf yang dibaca mengandung pahala (ajrun). Maka konsep ‘ajrun’ ini menjadi konsep fungsi performatif Al-Qur’an. Belum lagi berbagai hadits tentang penggunaan ayat-ayat tertentu di dalam Al-Qur’an semisal al-Mu’awwidzatain maupun Ayat al-Kursiy.
Dalam kaitannya dengan fungsi Al-Qur’an, kajian resepsi termasuk ke dalam ranah fungsi performatif. Yakni tentang bagaimana respon umat terhadap Al-Qur’an, bagaimana umat menerima dan memaknai teks dalam ruang sosial budayanya. Sebagai obyek resepsi, ada tiga sisi Al-Qur’an yang diresepsi. Yakni tulisannya, bacaannya, dan sistem bahasanya.
Tulisan dan bacaan Al-Qur’an sebagai obyek resepsi sudah dibahas oleh paparan Ust. Abdul Jalil. Di sini, Ust. Ahmad Rafiq mencontohkan perilaku seorang kerabat, ia menaruh plastik bertuliskan aksara Arab di atas lemari karena menghormati tulisannya, ia mengatakan bahwa aksara yang tertulis di bungkus plastik itu sama dengan aksara yang digunakan di dalam Al-Qur’an. Berarti, dalam kasus ini, Bahasa Arab pun mengalami ‘sanctification’ atau pensucian. Hal ini kemudian berkaitan dengan sisi ketiga dalam obyek resepsi, yakni sistem bahasa Al-Qur’an.
Ada lima hal dalam sistem bahasa Al-Qur’an yang menjadi obyek resepsi. Pertama, bunyi (fon), misalnya seperti fenomena yang terjadi di salah satu daerah. Ketika ada ibu hamil, ia dianjurkan –secara tradisional- untuk membaca surat At-Takatsur ayat pertama, padahal tidak ada hubungan makna maupun sejarah antara surat At-Takatsur dengan ibu hamil. Ternyata setelah ditelusuri, alasan tradisi ini adalah agar proses kelahiran bayi bisa berlangsung dengan ‘mendlusur’ (lancar keluarnya). Maka bisa dipahami bahwa fenomena ini mengasosiasikan antara kelahiran secara ‘mendlusur’ dengan rima bunyi awal surat At-Takatsur.
Kedua, kata (morfem). Karena dianggap sebagai bagian yang mulia dalam kitab suci, maka kata-kata yang ada di dalam Al-Qur’an disematkan sebagai nama. Ini adalah hal yang paling umum terjadi di dalam kehidupan umat Islam. Ketiga, kalimat (syntak), contohnya ayat-ayat tertentu di dalam Al-Qur’an yang dijadikan mantra atau jimat. Bahkan ada satu daerah yang percaya, dengan membaca potongan ayat ‘Walyatalatthaf wala yusy’ironna bikum ahadaa’ ketika tendangan penalti, maka bola akan gol dan tidak akan meleset.
Keempat, makna (semantik), yakni penggunaan ayat-ayat di dalam Al-Qur’an sesuai dalam kondisi tertentu dengan maknanya. Kelima, fungsi (pragmatik). Lima obyek ini mengalami resepsinya masing-masing. Sedangkan dalam meresepsi lima obyek tersebut, ada tiga gaya:
  • Pertama, resepsi Eksegesis atau hermeneutik. Yakni ketika Al-Qur’an diposisikan sebagai teks yang berbahasa—Arab—dan bermakna secara bahasa. Resepsi exegesis mewujud dalam bentuk praktik penafsiran al-Quran dan karya-karya Tafsir.
  • Kedua, resepsi Estetis. Dalam resepsi ini, Al-Quran diposisikan sebagai teks yang bernilai estetis (keindahan) atau diterima dengan cara yang estetis pula. Al-Qur’an sebagai teks yang estetis, artinya resepsi ini berusaha menunjukkan keindahan inheren Al-Qur’an, antara lain berupa kajian puitik atau melodik yang terkandung dalam bahasa Al-Qur’an. Al-Qur’an diterima dengan cara yang estetis, artinya Al-Qur’an dapat ditulis, dibaca, disuarakan, atau ditampilkan dengan cara yang estetik.
  • Ketiga, resepsi Fungsional. Dalam gaya resepsi ini, Al-Qur’an diposisikan sebagai kitab yang ditujukan kepada manusia untuk dipergunakan demi tujuan tertentu. Maksudnya, khithab Al-Qur’an adalah manusia, baik karena merespon suatu kejadian ataupun mengarahkan manusia (humanistic hermeneutics). Serta dipergunakan demi tujuan tertentu, berupa tujuan normatif maupun praktis yang mendorong lahirnya sikap atau perilaku.
Resepsi Fungsional dapat mewujud dalam fenomena sosial budaya Al-Qur’an di masyarakat dengan cara dibaca, disuarakan, diperdengarkan, ditulis, dipakai, atau ditempatkan. Tampilannya bisa berupa praktek komunal individual, praktek reguler/rutin – insidentil/temporer, sikap/pengetahuan – material, hingga sistem sosial – adat – hukum – politik. Sehingga jadilah tradisi-tradisi resepsi yang khas terhadap Al-Qur’an.
Tradisi Yasinan adalah salah satu contoh konkrit praktek resepsi komunal dan reguler. Begitu pula dengan tradisi Khataman Al-Qur’an di pesantren-pesantren dengan beragam variasi dan kreasi aaranya, sebagai praktek komunal dan insidental.
Mengapa bisa muncul resepsi-resepsi sedemikian rupa yang kemudian melahirkan tradisi-tradisi? Hal ini tentu disebabkan adanya dua alur pemahaman dalam tradisi Al-Qur’an, yakni transmisi dan transformasi. Transmisi berarti pengalihan pengetahuan dan praktek dari generasi ke generasi, sedangkan Transformasi adalah perubahan bentuk pengetahuan dan praktek sesuai kondisi masing-masing generasi.
Contohnya tentang khasiat surah Al-Fatihah. Sebagaimana diriwayatkan Abu Sa’id al-Khudry, Rasulullah mengabarkan tentang kegunaan surah Al-Fatihah. Pengetahuan ini ditransmisikan melalui rantaian sanad hadits dan tercantum dalam Shahih Bukhari. Kemudian informasi ini ditransmisikan lagi dari generasi ke generasi, hingga tercantum dalam at-Tibyan fi Adab Hamalati al-Qur’an karya An-Nawawi di dalam bab tentang bacaan bagi orang sakit. Lalu muncul lagi dalam Khazinatu al-Asrar dengan tata baca yang berbeda, namun idenya tetap sama; khasiat Al-Fatihah.
Khataman adalah misal yang lain. Pada awalnya, ada sahabat yang mengundang orang-orang ketika ia mengkhatamkan Al-Qur’an. Tentu hal ini belum ada di masa Rasulullah. Kemudian pengetahuan tentang khataman ini ditransmisikan melewati ruang dan waktu, sekaligus mengalami transformasi terhadap bentuk khataman itu. Hingga jadilah pada saat ini bentuk khataman yang sama sekali berbeda namun bermuatan sama. Di Jawa Barat ada Sisingaan yang diarak pada saat khataman Al-Qur’an, di Banjar ada tradisi Payung Kembang, di pesantren-pesantren ada prosesi wisuda, dan sebagainya.
Bagi orang yang tak paham realita sosial masyarakat dan tak memakai kacamata sosial humaniora, akan dengan mudah memberikan stempel sesat atau minimal bid’ah terhadap praktek-praktek transformatif semacam ini. Padahal inilah yang disebut dengan transformasi atau perubahan atas bentuk pengetahuan dan praktek yang ditransmisikan dari generasi ke generasi, sebagai resepsi umat terhadap kitab suci.
TANYA JAWAB

Tanya:
Dalam hal fungsional Al-Qur’an dan hubungannya dengan awal pewahyuan, apa yang musti didahulukan; iqro’ (membaca) atau isma’ (menyimak)? Apakah ada kemukjizatan Al-Qur’an yang berkaitan dengan suara/bunyi (i’jaz shauti)? Lalu apa makna Rasulullah mengucapkan ‘maa ana bi qoori-in’? (Soleh)
Bagaimana umat Islam meresepsi Al-Qur’an sebelum adanya mushaf? Bagaimana metode para sahabat dalam menghapal Al-Qur’an, muraja’ah hapalan, dan prosesi khataman, sebelum ada mushaf ? (Aidah)
Jawab:
Ahmad Rafiq: apa yang didahulukan, iqra’ atau isma’? Kalau menelaah kronologi pewahyuan, bisa disimpulkan bahwa wahyu diturunkan dalam bentuk bunyi, bukan teks. Serta meskipun perintahnya untuk membaca, namun tidak ada obyek bacaan.
Memang tidak salah jika banyak pemaknaan awam yang mengatakan bahwa ‘Iqro!’ adalah ‘Bacalah kitab suci ini, dan pahamilah, lalu amalkanlah!’, memang tidak salah. Namun jika merunut kronologi pewahyuan Al-Qur’an, tentu pemaknaan seperti itu terlalu jauh. Maksud dari ‘iqro’ di sini adalah perintah menyimak (isma’) lalu kemudian menirukan bacaan yang dicontohkan Malaikat Jibril.
Adapun maksud ‘maa ana bi qoori-in’ tidak serta merta berarti bahwa Rasulullah buta huruf. Karena urusan baca tulis berkaitan dengan teks, sedangkan dalam peristiwa pewahyuan ini tidak ada teks, melainkan hanya bunyi. Maka ucapan Rasulullah dalam konteks ini adalah bernuansa perendahan diri sebagai manusia yang menghadapi kejadian yang begitu luar biasa. Pembahasan yang berkaitan tentang ke-ummiy-an Rasulullah menjadi salah satu tema perbincangan para ulama sejak dahulu hingga hari ini dan tak pernah selesai.
Tentang mukizat suara (i’jaz shauti), meskipun tidak ada keterangan yang jelas dari Rasulullah tentang hal ini, namun pada kenyataannya banyak terjadi. Contoh besar dalam hal ini adalah keislaman Umar yang dipicu oleh bacaan ayat Al-Qur’an adiknya, Fathimah.
Abdul Jalil: bagaimana para sahabat menghapal Al-Qur’an sebelum ada mushaf? Yakni dengan langsung menghapalkan apa yang mereka dengar. Adapun cara muroja’ah para sahabat adalah dengan membaca terus-menurus, dan jika lupa suatu ayat maka mereka akan bertanya kepada sahabat-sahabat yang lain. Metode hapalan dan muroja’ah semacam ini masih dipraktekkan –misalnya- di Maroko.
Bagaimana bentuk khataman para sahabat? Pada masa itu, yang dimaksud dengan ‘khataman’ jelas berbeda dengan praktek khataman kita pada saat ini. Bagi kita, yang dimaksud khataman adalah menyelesaikan bacaan Al-Qur’an dari awal Fatihah sampai akhir an-Nas. Tidak demikian pada masa sahabat, saat itu yang dimaksud khataman adalah menyelesaikan bagian yang dihapal masing-masing orang/sahabat. Tentu hapalan Ibnu Mas’ud atau Zaid ibn Tsabit yang sejak muda bersama Nabi berbeda dengan hapalan Abu Hurairah yang baru datang di kemudian hari. Maka setiap orang memiliki kuantitas hapalan yang berbeda-beda, saat mereka menyelesaikan bacaan atas hapalannya, itulah khataman.
Apakah ada mukjizat suara (i’jaz shauti)? Ada satu disertasi menarik di Mesir yang membahas tentang musikalitas dan bunyi akhir ayat-ayat Al-Qur’an. Ada juga karya Muhammad Syamlul yang menyatakan bahwa I’jaz Tilawah itu nyata adanya. Salah satunya adalah adanya kaitan antara bacaan tajwid Al-Quran dengan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat yang bersangkutan.
Salah satu contoh adalah bacaan imalah; majreehaa, sebagai penekanan kesan terhadap makna yang terkandung di dalamnya. Agar si pembaca ayat bisa merasakan suasana bahtera Nabi Nuh yang terombang-ambing. Atau dalam lafal la ta’manna, bacaan isymam yang terbunyikan seakan-akan tidak sama dengan gerakan bibir, yakni agar si pembaca ayat merasakan kondisi yang sedang digambarkan, yakni ketika saudara-saudara Nabi Yusuf mengatakan hal-hal yang tidak sesuai dengan isi hati mereka. Semua hal ini bisa dikategorikan dalam mukjizat shauti (bunyi) dalam Al-Qur’an.
Kesimpulan:


Al-Qur’an menjadi sesuatu hal yang istimewa di tengah kehidupan umat Islam. Kehadirannya mendapat sambutan di tengah-tengah umat dalam berbagai bentuk dan rupa, sesuai kondisi sosial budaya. Inilah yang kemudian disebut dengan ‘resepsi’.
Ada tiga bentuk resepsi umat terhadap Al-Qur’an, yakni; resepsi Eksegesis yang berkaitan dengan makna dan kandungan ilmu di dalamnya, resepsi Estetis yang berhubungan dengan keindahan yang terkandung maupun keindahan dalam memperlakukannya, dan resepsi Fungsional yang berkaitan dengan fenomena sosial budaya Al-Qur’an di masyarakat, dengan cara dibaca, disuarakan, diperdengarkan, ditulis, dipakai, atau ditempatkan.
Tradisi resepsi Al-Qur’an yang muncul, khususnya di Indonesia, adalah fenomena kebudayaan dan bisa ditelaah secara ilmiah melalui kajian sosiologis. Adapun keabsahan tradisi-tradisi tersebut dalam hukum-hukum formal fiqh tentu perlu ditimbang lagi dengan ukuran-ukuran yang berbeda. []
~
Moderator: Muhammad Ahya Anshari
Fotografer: Mohammed Habibi
Juru Tulis: Zia Ul Haq

Tidak ada komentar: