Senin, 16 Maret 2015

VALITIDAS AL-MUWATHTHA' SEBAGAI KARYA IMAM MALIK




VALITIDAS AL-MUWATHTHA' SEBAGAI KARYA IMAM MALIK
(Studi Pemikiran  Harald Motzki )
Makalah ini disampaikan dalam diskusi FOSCA
STAIMUS


LOGO+STAIMUS+HITAM
 






Disusun Oleh :

Oleh
SARBINI, M.Ag
Dosen Ilmu Hadis
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MAMBAUL’ULUM SURAKARTA
STAIMUS
2014

VALITIDAS AL-MUWATHTHA' SEBAGAI KARYA IMAM MALIK
(Studi Pemikiran  Harald Motzki )[1]
Oleh : Sarbini, M.Ag.
I.     Pendahuluan
Wacana yang paling fundamental dalam kajian hadis adalah persoalan otentisitas dan reliabilitas metodologi otentifikasi hadis. Keraguan sebagian sarjana Muslim atas peran hadis sebagai sumber otoritas kedua setelah al-Qur’an, tidak sepenuhnya berkaitan dengan resistensi mereka atas otoritas sunnah, tetapi lebih pada keraguan mereka atas keakuratan metodologi yang digunakan dalam menentukan originalitas hadis. Apabila metodologi otentifikasi yang digunakan bermasalah, maka semua hasil yang dicapai dari metode tersebut  tidak steril dari kemungkinan kemungkinan verifikasi ulang, kritik sejarah bahkan hasil tersebut bisa menjadi collapse.
Makalah ini tidak bermaksud menggugat posisi hadis sebagai sumber otoritas Islam. Hadis yang dianggap sebagai verbalisasi sunnah oleh sebagian besar umat Islam terlalu penting untuk diabaikan dalam kehidupan beragama, sosial dan politik. Hadis bukan hanya sebagai sumber hukum Islam yang berdiri sendiri, tapi juga sebagai sumber informasi yang sangat berharga untuk memehami wahyu Allah. Ia juga sebagai sumber sejarah masa awal Islam. Singkatnya, ada hadis hukum, hadis tafsir dan hadis sebagai sumber sejarah dan moral. Dalam anatomi hukum Islam, hadis merupakan salah satu kalau bukan yang terpenting sumber untuk dikonsultasi.
Ketika sarjana Barat memasuki domain penelitian tentang sumber dan asal usul Islam, mereka dihadapkan pada pertanyaan tentang apakah dan sejauh mana hadis atau riwayat riwayat tentang nabi dan generasi Islam pertama dapat dipercaya secara hisroris. Pada fase awal kesarjanaan Barat, mereka menunjukkan kepercayaan yang tinggi terhadap literatur hadis dan riwayat riwayat tentang nabi dan generasi Islam awal. Tetapi sejak paroh kedua abad kesembilan belas, skeptisime tentang otentisitas sumber tersebut muncul. Bahkan sejak saat itu perdebatan tentang isu tersebut dalam kesarjanaan Barat didominasi oleh kelompok skeptis. Kontribusi sarjana seperti Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, Wansbrough, Patricia Crone, Michael Cook dan Norman Calder berpengaruh secara dramatis terhadap karya karya sarjana Barat.[2]
Akan tetapi, tidak semua sarjana Barat dapat digolongkan dalam aliran skeptis. Sarjana seperti Joseph Van Ess, Harald Motzki, Miklos Muranyi, M.J. Kister, Fueck, Schoeler bereaksi keras terhadap sejumlah premis, kesimpulan dan methodologi para kelompok skeptis. Mereka dapat digolongkan sebagai kelompok non skeptis. Perdebatan antara kedua kelompok ini sangat tajam selama dua dekade terahir.
Singkatnya, diskursus hadis di Barat selalu merujuk kepada nama Ignaz Goldziher (Honggaria) dan Joseph Schacht (Austria), dan untuk yang masih hidup G.H.A. Juynboll (Belanda), Harald Motzki (Jerman) dan beberapa nama yang lain. Dimata Orientalis kedua nama yang pertama dianggap seperti Ibn al-Salah (pendekar ulum al-hadith Muslim) atau Ibn Hajar dalam dunia Islam. Sedangkan G. H. A. Juynboll dan Harald Motzki, dianggap (kurang lebih) seperti Muhammad Shakir, al-Albani dan al-Saqqaf atau al-Gumari dalam dunia Islam. Kedua nama pertama (Goldziher dan Schacht) telah wafat, tapi meninggalkan pengaruh global dan menciptakan madhab skeptis di Barat. [3]
Mayoritas sarjana Barat untuk tidak mengatakan semua, skeptis terhadap literatur Islam, termasuk hadis. Diskursus masa awal Islampun (abad pertama kedua) dianggap tidak tersentuh karena minusnya sumber yang tersedia untuk itu. Secara umum, madhab skeptis berpendapat bahwa pengetahuan dan informasi tentang masa awal Islam (abad pertama kedua hijriah) hanyalah perpsepsi komunitas Muslim abad ketiga. Literatur yang ada tidak lebih dari sekedar refleksi peta konflik yang tidak dapat memantulkan realitas seperti digambarkan oleh sumber itu sendiri.

II.   Problematika Ulumul hadis
Metode yang digunakan oleh para sarjana Muslim klasik untuk menyandarkan sebuah hadis kepada nabi tidak mendapat tantangan signifikan dari sarjana Muslim moderen. Memang terdapat sejumlah sarjana moderen yang mencoba menunjukkan resistensinya terhadap ulumul hadith, tetapi mereka gagal mendapatkan simpati mayoritas sarjana Muslim. Informasi tentang nabi yang terekam dalam buku-buku hadis laksana pecahan-pecahan kaca yang harus direkonstruksi supaya dapat memantulkan berita-berita akurat tentang nabi. Meskipun hadis-hadis tersebut telah diseleksi oleh para kolektornya (misalnya al-Bukhari, Muslim, Tirmizi, Ibn Majah, Abu Daud, Nasai dll). Namun, kenyataan bahwa para kolektor ini hidup pada abad ke tiga hijriah (dua ratus tahun lebih setelah nabi wafat), pertanyaan epistimologis muncul: sejauh mana tingkat akurasi metodologi para kolektor ini dalam menyeleksi hadis-hadisnya? Apakah metodologi mereka sama dengan metodologi yang populer kita kenal dengan ulum al-hadis? [4]
Al-Bukhari yang dikenal sebagai the man of hadis, misalnya, tidak pernah menjelaskan metodologinya secara detail. Ulum al-hadis yang menurut mayoritas sarjana Islam sangat akurat menyimpan sejumlah pertanyaan-pertanyaan epistimilogis yang tidak terjawab secara empiris. Ulum al-hadis diterima dan dianggap sesuatu yang taken for granted. Kecendrungan sebagian diantara kita adalah menolak atau menerima sebuah hadis tanpa meneliti historisitasnya. Apabila sebuah hadis disebutkan dalam Sahih al-Bukahi atau Muslim, apalagi kalau keduanya menyebutkannya, lebih-lebih lagi kalau disebutkan dalam kutub al-sitta, al-tis’a, maka tidak diragukan lagi hadis tersebut menurut mayoritas sarjana Islam, sahih, sehingga analisis historis terhadapnya tak lagi penting. Benarkah sikap seperti itu? Terdapatnya sebuah hadis dalam sejumlah kitab-kitab hadis bukanlah jaminan akan historisitasnya, karena boleh jadi hadis tersebut diriwayatkan secara massive pada generasi tertentu (paroh kedua abad kedua dan seterusnya sampai ke masa mukharrij), tapi pada generasi sebelumnya (paroh pertama abad kedua dan sebelumnya sampai masa nabi) diriwayatkan secara ahad (single strand). Singkatnya, semua hadis yang terekam dalam kitab hadis harus tunduk pada kritik sejarah. Secara umum literatur hadis kita memiliki karakter sebagai berikut: Nabi-----Satu Sahabat------satu Tabiin----satu fulan- satu fulan------sejumlah perawi sampai ke mukharrij (collector)[5]

III.        Sejarah Imam Malik dan Karya Al-Muwatho’
Imam Malik yang bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 712 M dan wafat tahun 796 M. Berasal dari keluarga Arab terhormat, berstatus sosial tinggi, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Abu Amir, adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H. Saat itu, Madinah adalah kota ilmu yang sangat terkenal.
Karena keluarganya ulama ahli hadits, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi' bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tabi'in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Jafar Shadiq dan Rabi Rayi. Dalam usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al Ma'mun, pernah jadi murid Imam Malik. Ulama besar, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i pun pernah menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang.[6]
Ciri pengajaran Imam Malik adalah disiplin, ketentraman, dan rasa hormat murid kepada gurunya. Prinsip ini dijunjung tinggi olehnya sehingga tak segan-segan ia menegur keras murid-muridnya yang melanggar prinsip tersebut. Al Muwatta' adalah kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Santri mana yang tak kenal kitab yang satu ini. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan pesantren dan ulama kontemporer. Karya terbesar Imam Malik ini dinilai memiliki banyak keistimewaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat.
Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya Al Muwatta' tak akan lahir bila Imam Malik tidak 'dipaksa' Khalifah Mansur. Setelah penolakan untuk ke Baghdad, Khalifah Al Mansur meminta Imam Malik mengumpulkan hadits dan membukukannya. Awalnya, Imam Malik enggan melakukan itu. Namun, karena dipandang tak ada salahnya melakukan hal tersebut, akhirnya lahirlah Al Muwatta'. Ditulis di masa Al Mansur (754-775 M) dan baru selesai di masa Al Mahdi (775-785 M). Dunia Islam mengakui Al Muwatta' sebagai karya pilihan yang tak ada duanya. Menurut Syah Walilullah, kitab ini merupakan himpunan hadits paling shahih dan terpilih. Imam Malik memang menekankan betul terujinya para perawi. Semula, kitab ini memuat 10 ribu hadits. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadits. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan. Selain Al Muwatta', Imam Malik juga menyusun kitab Al Mudawwanah al Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan.
Imam Malik tak hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan mazhab fikih di kalangan Islam Sunni, yang disebut sebagai Mazhab Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam Malik dan Al Muwatta', kitab-kitab seperti Al Mudawwanah al Kubra, Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah fi al Fiqh al Maliki (karya Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), Asl al Madarik Syarh Irsyad al Masalik fi Fiqh al Imam Malik (karya Shihabuddin al Baghdadi), dan Bulgah as Salik li Aqrab al Masalik (karya Syeikh Ahmad as Sawi), menjadi rujukan utama mazhab Maliki.

IV.   Pandangan  Harald Motzki tentang Isnad
Data sejarah menunjukkan, pemikiran orientalis awal melihat keberadaan sanad sebagai masalah yang sangat urgen dalam pembahasan hadis. Sebab, masalah sanad berkaitan langsung dengan otentisitas hadis. Kapan awal mula pemakaian sistem sanad digunakan? Adalah permasalahan kontroversial yang sering diperdebatkan di kalangan kaum orientalis. Menurut Caetani dan Sprenger pemakaian sanad baru dimulai pada masa antara Urwah (w. 94 H) dan Ibn Ishaq (w. 151 H) sehingga sebagian besar sanad yang terdapat dalam kiab hadis adalah buatan ahli hadis abad ke-2 atau bahkan pada abad ke-3.
Pendapat berbeda datang dari Horovitz, menurutnya pemakaian sanad dalam periwayatan sudah dimulai sejak sepertiga terakhir dari abad pertama Hijriyah, sementara menurut J. Robson dimulai pada pertengahan abad pertama.
Secara umum, G. H. A. Juynboll dalam hal ini memetakan tiga pendapat yang menonjol terkait dengan masalah awal mula pemakaian sanad dalam studi hadis. Pertama, pendapat umum sarjana muslim yakni sejak perang sipil I di mana Usman bin affan terbunuh Tahun 35 H. Kedua, J. Schacht, sejak perang sipil ke-3, di mana Khalifah Umayah Walid bin Yazid terbunuh Tahun 126 H. Ketiga, pendapatnya G. H. A. Juynboll sendiri, yakni sejak perang sipil ke-2 di mana Abdullah bin Zubair memproklamirkan pemerintahan tandingan di Makkah Tahun 63 H.
Dari pemetaan G.H.A. Juynboll tersebut, tampak pendapat J. Schacht yang menyatakan keberadaan sistem sanad dimulai pada abad ke-2 H, atau paling awal akhir abad pertama. Sumber epistemologi yang digunakan J. Schacht adalah kitab Muwata karya Imam Malik, al-Muwata-nya al-Syaibani, dan al-Umm karya Imam Syafi’i. Dari kitab-kitab fiqh ini lah J. Schacht meneliti kapan awal mula penggunaan sanad hadis. Schacht dengan metode projecting back sampai pada kesimpulan bahwa hukum Islam belum eksis pada masa awal Islam. Sebab, hadis (yang dimaksud adalah hadis ahkam) tidak digunakan sebagai argumen dalam diskusi hukum Islam. Hukum Islam sendiri baru diterapkan pada masa Bani Umayyah. Oleh karena itu, keotentikan hadis layak diragukan, sebuah kesimpulan yang kemudian dipertegas oleh Juynboll.
Berawal dari teori hermeneutika ini lah, sebagai seorang orientalis, Harald Motzki jelas tidak bisa lepas dari sistem-sistem eksternal yang ada disekitarnya, yakni pengaruh dari pemikiran kaum orientalis sebelumnya diskursus keotentikan hadis di kalangan orientalis yang berujung pada kontroversi eksistensi hukum Islam di atas adalah tradisi yang melatarbelakangi pemikiran Harald Motzki. Hal ini tampak ketika Motzki mencoba mengcounter pendapat J. Schacht dengan asumsi bahwa hukum Islam telah eksis sejak abad pertama Hijriyah sehingga jurisprudensi Islam yang didasarkan atas al-Qur'an dan hadis adalah sumber yang otentik.[7]
Harald Motzki ketika melakukan penelitian kitab Musannaf Abd ar-Razaq menyusun dan  mencoba menggambarkan metode, pendekatan, dan langkah-langkah sistematis terkait dengan Isnad sebagai berikut:
1.      Motzki menentukan asal-muasal dan umur terhadap sumber sejarah yang merupakan salah satu substansi penelitian sejarah. Jika data yang dilakukan oleh seorang peneliti terhadap sebuah sumber sejarah terbukti tidak valid dikemudian hari, maka seluruh premis teori dan kesimpulan yang dibangun atas sumber sejarah tersebut menjadi colleps Teori inilah yang menjadi epistemologi Motzki dalam merekonstruksi sejarah awal Islam dalam karyanya The Origins of Islamic Jurisprudence.
2.      Motzki tidak melakukan penelitian secara keseluruhan hadis-hadis yang terdapat dalam sumber primernya Musannaf Abd ar-Razaq. Namun, ia menggunakan metode sampling, yakni mengambil beberapa bagian yang diangap telah mewakili populasi dari yang diteliti. Tujuan dari penentuan sampel ini adalah untuk menghindari kekeliruan generalisasi dari sampel ke populasi. Motzki dalam hal ini meneliti 3810 hadis dari keseluruhan kitab Musannaf Abd ar-Razzaq yang berjumlah 21033 hadis. Dengan demikian ia meneliti sekitar 21% hadis.
3.      Data terkumpul, maka Motzki kemudian menganalisis sanad dan matan dengan menggunakan metode isnad cum analisis dengan pendekatan traditional-historical yakni sebuah metode yang cara kerjanya menarik sumber-sumber awal dari kompilasi yang ada, yang tidak terpelihara sebagai karya-karya terpisah, dan memfokuskan diri pada materi-materi para perawi tertentu ketimbang pada hadis-hadis yang terkumpul pada topik tertentu. Jadi, traditional-historical dijadikan sebagai alat untuk menganalisa dan menguji materi-materi dari perawi. Oleh karena itu, penelitian struktur periwayatan yang dilakukannya memberikan kesimpulan bahwa materi-materi yang diletakkan atas nama empat tokoh sebagai sumber utamanya adalah sumber yang otentik, bukan penisbatan fiktif yang direkayasa.
4.      Dengan materi periwayatan (matn) hadis, Motzki mengajukan teori external criteria dan formal criteria of authenticity sebagai alat analisa periwayatan.
5.      Berangkat dari metode-metode di atas, Motzki kemudian mengklasifikasikan terhadap riwayat yang terdapat dalam kitab Musannaf.[8]
Dengan menggunakan metode isnad cum analisis dan pendekatan traditional-historical menunjukan bukti bahwa materi-materi yang disandarkan Abd ar-Razzaq kepada keempat informan utamanya adalah otentik. Karenanya, kitab tersebut dinilai sebagai dokumen hadis otentik abad pertama Hijriyah, sekaligus sebagai bukti nyata bahwa hukum Islam telah eksis sejak masa itu. Temuan Motzki ini sekaligus menggugurkan teori seniornya G.H.A. Juynboll J. dan projecting back-nya Schacht yang menyatakan keberadaan sistem sanad.[9]

V.  Al-Muwaththa’: Antara Calder dan Motzki        
Al-Muwatha' karya Malik bin Anas riwayat Yahya bin Yahya Al-Laitsi Al-Masmudi merupakan buku fiqih yang sah untuk dipertimbangkan di dalam Islam. Yahya bin Yahya mendapatkan riwayat Al-Muwaththa' karya Malik dari gurunya Ziyad bin Abdurrahman Al-Qurthubi yang dikenal sebagai As-Sabtun.[10] Kemudian ia berangkat ke Madinah untuk mendengar  langsung teksnya dari Malik sendiri. Tetapi  sayang, Malik telah meninggal dunia pada tahun 179/795, sehingga Yahya tidak mendapatkan langsung dari Malik. Data sejarah ini menjadi indikator kuat bahwa Malik-lah yang menulis Al-Muwaththa'.  Malik dianggap sebagai pengarang asli dari isi kitab Al-Muwaththa'. Disamping ada kemungkinan Yahya telah mengubah teksnya. Bahkan sarjana Barat yang  sangat kritis terhadap tradisi Islam, seperti Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, meyakini bahwa Al-Muwatha' merupakan karya asli Malik bin Anas.[11]
Namun demikian, Norman Calder bersikukuh mempertahankan pendapatnya, bahwa ada persoalan dalam penanggalan Al-Muwaththa'. Menurut dia  Al-Muwaththa' ditulis pada satu abad belakangan setelah itu, sekitar 270/883 di Spanyol Cordova. menurut Calder, pengumpulannya berlangsung dua dekade dan ditulis oleh Ibnu Waddah (w. 287/900) yang dihormati sebagai murid Yahya (w. 234/848). Jadi, bukan Malik atau Yahya yang bertanggung jawab atas Al-Muwaththa' yang ada sekarang. Calder juga mengklaim bahwa Al-Muwaththa' bukan berasal dari Malik, dan benar-benar bukan karyanya. Singkatnya, Malik bukanlah pengarang Al-Muwatthha' riwayat Yahya.[12]
Argumen utama yang digunakan Calder yaitu didasarkan pada: (1) Pengujian mengenai prinsip dan format pengaturan digunakan di dalam Al-Muwaththa', (2) analisa terhadap isi Al-Muwaththa', dan (3) perbandingan materi kitab ini dengan yang lain yang merupakan kompilasi hukum madzhab Maliki yang disebut kitab Al-Mudawwanah karya Sahnun (w. 240/854).            Harald Motzki membantah apa yang menjadi spekulasi Calder. Dengan beberapa argumennya Harald Motzki justru meneguhkan bahwa kitab Al-Muwaththa' benar-benar disusun oleh Imam Malik. Yahya bin Yahya mendapatkan al-Muwaththa' dari Ziyad bin Abdurrahman Al-Qurthubi, salah satu murid Malik. Keberangkatan Yahya ke Madinah untuk mendengarkan langsung dari Malik merupakan suatu argument bahwa Al-Muwaththa' benar-benar karangan Imam Malik. Meskipun setelah sampai di Madinah Yahya tidak dapat menjumpai Malik karena sudah meninggal dunia.

Hadits Seekor Kucing
Guna meneguhkan argumentasinya, Calder mempersoalkan hadits tentang seekor kucing yang mengotori air. Berikut bunyi teks hadits tersebut:
و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ إِسْحَقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ حُمَيْدَةَ بِنْتِ عُبَيْدِ بْنِ رِفَاعَةَ عَنْ خَالَتِهَا كَبْشَةَ بِنْتِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ وَكَانَتْ تَحْتَ ابْنِ أَبِي قَتَادَةَ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّهَا أَخْبَرَتْهَا أَنَّ أَبَا قَتَادَةَ دَخَلَ عَلَيْهَا فَسَكَبَتْ لَهُ وَضُوءًا فَجَاءَتْ هِرَّةٌ لِتَشْرَبَ مِنْهُ فَأَصْغَى لَهَا الْإِنَاءَ حَتَّى شَرِبَتْ قَالَتْ كَبْشَةُ فَرَآنِي أَنْظُرُ إِلَيْهِ فَقَالَ أَتَعْجَبِينَ يَا ابْنَةَ أَخِي قَالَتْ فَقُلْتُ نَعَمْ فَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إِنَّمَا هِيَ مِنَ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ أَوِ الطَّوَّافَاتِ
Artinya: Yahya bin Yahya (berkata): Ia memberi hadits kepadaku dari Malik, dari Ishak bin Abdullah bin Abu Thalhah, dari Humaidah binti Ubaid bin Rifa'ah dari bibinya, yaitu Kabsyah binti Ka'b bin Malik. Waktu itu Kabsyah berada di bawah Abu Qatadah Al-Anshari. Ia menceritakan tentang dirinya, bahwa Abu Qatadah masuk kepadanya. Lalu ia menuangkan air wudlu untuk Abu Qatadah, tiba-tiba seekor kucing datang untuk minum air itu. Abu Qatadah meyorongkan becana agar kucing itu dapat meminumnya. Kata Kabsyah: "Maka Abu Qatadah melihat bahwa aku telah memperhatikannya". Ia berkata: "Apakah engkau heran wahai anak perempuan saudaraku?" Jawabku "Ya". Lalu ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya kucing itu tidak najis. Kucing itu termasuk hewan yang berada disekeliling kalian".
Calder membandingkan hadits ini dengan yang teks ada di dalam kitab Al- Mudawwanah, di dalam suatu paragrap tentang air yang dikotori oleh binatang. Ia menyatakan: ( 1) Hadits Nabi ini tidak ada di dalam Al-Mudawana. (2) Hadits tentang kucing adalah suatu jawaban bagi masalah yang sama yang digambarkan di dalam Al-Mudawanah dengan contoh seekor anjing. (3) Hadits tentang kucing bagaimana pun merupakan suatu hal yang berkenaan dengan hukum pada situasi dicerminkan di dalam Al-Mudawanah. Namun Motzki menjawab, bahwa tidak adanya hadits ini dalam Al-Mudawanah tidak dapat dijadikan bukti bahwa Al-Muwaththa' bukan karya Malik. Demikian juga dengan dua argumen terakhir yang digunakan oleh Calder tidak dapat membuktikan bahwa Al-Muwatha' bukan karya Imam Malik.[13]

VI.    Teori Common Link Motzki
Untuk membuktikan bahwa Al-Muwatha' merupakan karya asli Imam Malik bin Anas, Harald Motzki mencoba menggunakan teori mata rantai umum (Common Link), di mana kitab-kitab yang muncul beberapa generasi setelah Malik bin Anas dijadikan acuan untuk membuktikan keaslian Al-Muwaththa' sebagai karya asli Imam Malik. Kitab-Kitab di bawahnya yang dijadikan Motzki argumentasi adalah kitab At-Tirmidzi (w. 279/892), Abu Dawud (w. 275/888), Ibnu Majah (w. 273/886) dan An-Nasa'I (303/915). Kitab ini meriwayatkan hadits tentang kisah kucing sebagaimana di atas, mata rantai umum perawinya bersumber kepada Malik bin Anas. Hal ini dijadikan alat bukti bagi Motzki, bahwa Al-Muwaththa' riwayat Yahya bin Yahya merupakan karya asli Malik bin Anas.[14]
Hadits ini diriwayatkan oleh Ubaidillah dari Yahya bin Yahya (selaku perawi kitab Al-Muwaththa') dari Malik bin Anas. Hadits ini dalam kitab-kitab As-Sunan juga diriwayatkan di mana perawi utama hadits ini bermuara kepada Malik sebagai sumber perawinya:
1.      At-Tirmidzy meriwayatkan hadits ini dari Ishak bin Musa, dari Ma'n bin Isa, dari Malik bin Anas.
2.      Ibnu Majah meriwayatkan hadits ini dari Ibnu Abi Syaibah, dari Zaid bin Hubbaab dari Malik bin Anas.
3.      An-Nasa'i meriwayatkan hadits ini dari Qutaibah bin Sa'id, dari Malik bin Anas.
4.      Abu Dawud meriwayatkan hadits ini dari Abdullah bin Maslamah Al-Qa'nabi dari Malik bin Anas.[15]
Keempat kitab As-Sunan ini sumber perawinya ialah Malik bin Anas. Dari Malik bin Anas, hadits ini diriwayatkan dari Ishak bin Abdullah bin Abu Thalhah, dari Humaidah binti Ubaid bin Rifa'ah, dari Kabsyah binti Ka'b bin Malik, dari Abu Qatahah, dari Nabi Muhammad saw. Kesesuaian mata rantai perawi yang tertera dalam kitab As-Sunan dengan Riwayat Yahya bin Yahya menjadi bukti bahwa kitab Al-Muqatha' benar-benar merupakan buah tangan dari Malik bin Anas. Spekulasi Calder bahwa Ibnu waddah mendapatkan hadits ini dari kitab-kitab As-Sunan tersebut juga dimentahkan oleh Harald Motzki. Hal ini karena Ibnu Waddah tinggal di Spanyol, sementara penyusun Kitab As-Sunan berada di sekitar sebelah timur Dunia Islam (Timur Arab). Jarak yang sedemikian jauh dan realitas waktu itu yang masih belum dijumpai sarana transportasi dan komunikasi seperti zaman ini, telah mementahkan spekulasi yang dibangun oleh Calder.

VII.           Penutup
            Penelitian Harald Motzki terhadap Kitab Al-Muwaththa' karya Imam Malik memberi pesan kepada kita, bahwa kehidupan ilmiah di Barat begitu dinamis. Mereka tidak hanya terpaku kepada ilmu yang berada dalam habitat barat, tapi telah merambah ke dalam keilmuan Dunia Islam, bahkan bidang Hadits. Bidang yang di kalangan kaum muslimin dianggap rumit dan banyak di kalangan mereka yang merasa kesulitan.  Teori common link yang dikenalkan oleh Barat (dalam hal ini Motzki) setidaknya menambah khazanah bagi metodologi penelitian terhadap hadits, dalam rangka menguji keaslian suatu hadits. Meskipun ilmu Al-Jarh wa At-Ta'dil dan ilmu riwayat al-hadits yang telah melembaga di kalangan ahli hadits masih tidak kehilangan relevansinya.
.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Husnan, Kajian Hadis Metode Tahrij,  Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 1993
As-Suyuthi, Jalaluddin, Tanwiir Al-Hawaalik, Beirut: Dar El-Fikr, tt
Harald Motzki, “The Prophet and the Cat: on Dating Malik’s Muwatta’ and Legal Traditions,“ Jurusalem Studies in Arabic and Islam, 21, 1998,
_________, ed., Hadith. Origins and the Developments, Aldershot: Ashgate/Variorum, 2004.
Fazlurahman dkk., Wacana Studi Hadis Kontemporer , Yoyakarta : Tiara wacana, 2002
Kamaruddin Amin, Problematika Ulumul Hadis, Sebuah Upaya Pencarian Metodologi Alternatif , (Makalah seminar : tp)
G.H.A. Juynboll, Kontraversi Hadis di Mesir tahun 1890-1960,  Bandung : Mizan, 1999
https://pascasarjanahiunisma.wordpress.com. Diakses tgl 25 November 2014
fahmilover.blogspot.com, diakses 27
en.alukah.net/World_Muslims.


[1] Makalah ini disampaikan dalam diskusi FOSCA STAIMUS.
[2]Kamaruddin Amin, Problematika Ulumul Hadis, Sebuah Upaya Pencarian Metodologi Alternatif , (Makalah seminar : tp)
[3] Abdul Mustaqim, Otensitas Hadis menurut M.M.Azami dalam Fazlurahman dkk., Wacana Studi Hadis Kontemporer , ( Yoyakarta : Tiara wacana, 2002), hlm. 55
[4] G.H.A. Juynboll, Kontraversi Hadis di Mesir tahun 1890-1960, (Bandung : Mizan, 1999), hlm. 1-13.
[5] Abdul Mustaqim, Otensitas Hadis…, hlm.60.
[6] Ahmad Husnan, Kajian Hadis Metode Tahrij, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 1993). hlm. 86

[7] Sunartip, Kritik Hadits Harald Motzki Atas Mushannaf Abd. Razzaq, https://pascasarjanahiunisma.wordpress.com. Diakses tgl 25 November 2014


[8] E. Zaenal Mutaqin, Pemikiran Harald Motzki Tentang Hadis, fahmilover.blogspot.com, diakses 27 November 2014

[9] Harald Motzki,  Abdur-Rahman Abou Almajd in Maghazi Hadiths dalam, en.alukah.net/World_Muslims.

[10] Al-Qadli ‘Iyadl menyebutkan lebih dari 14 ulama yang meriwayatkan kitab Al-Muwaththa’ dari Malik bin Anas. Hanya saja, Ziyaad bin Abdurrahman memakai nisbat Al-Andalusi, bukan Al-Qurthubi sebagaimana yang dijelaskan Motzki. Motzki menyebutkan bahwa Ziyaad bin Abdurrahman dikenal juga dengan nama As-Sabthun, tetapi Al-Qadli ‘Iyadl menyebutkan bahwa diantara yang meriwayatkan Al-Muwatha’ terdapat nama Sabthun bin Abdullah Al-Andalusy. Sabtun yang dimaksud bukan merupakan nama lain bagi Ziyaad bin Abdurrahman. Lihat: As-Suyuthi, Tanwiir Al-Hawaalik, (Beirut: Dar El-Fikr, tt) hlm 10,11.
[11] Harald Motzki, “The Prophet and the Cat: on Dating Malik’s Muwatta’ and Legal Traditions,“ Jurusalem Studies in Arabic and Islam, 21, 1998, h. 18-83
[12] Al-Hafidh Shalahuddin Al-‘Alaa’i mengatakan, bahwa banyak sekali ulama yang meriwayatkan kitab Al-Muwaththa’ dari Malik. Di antara riwayat-riwayat tersebut ada beberapa perbedaan; ada yang terdapat tambahan dan ada pula yang mengalami penyusutan. Ibnu Hazm menegaskan, bahwa dalam Kitab Al-Muwaththa’ riwayat Abu Mus’ab  terdapat tambahan sekitar 100 hadits. Lihat: As-Suyuthi, Tanwiir Al-Hawaalik, (Beirut: Dar El-Fikr, tt) hlm 10,11. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penulis asli kitab Al-Muwaththa’ ialah Malik bin Anas, namun dalam perkembangannya terdapat tambahan-tambahan dari para ahli hadits yang meriwayatkan Al-Muwaththa’ dari Malik. Bisa jadi Yahya bin Yahya memasukkan ke dalam kitab Al-Muwaththa’beberapa hadits riwayat Malik yang tidak tercantum dalam Al-Muwaththa’. Besar kemungkinan Ibnu Waddah melakukan yang sama, namun untuk membuktikan spekulasi ini perlu kajian lebih lanjut.
[13] Ibid.
[14] E. Zaenal Mutaqin, Pemikiran Harald Motzki.., fahmilover.blogspot.com.
[15] Harald Motzki,  The Prophet and the Cat: on Dating Malik’s Muwatta’ ,hlm 88

Tidak ada komentar: