Rabu, 29 Desember 2010

Islam progresif

ISLAM PROGRESIF DAN UPAYA MEMBUMIKANNYA DI INDONESIA

Meskipun substansinya tidak jauh berbeda dengan terma-terma lain, seperti “Islam Inklusif”, “Islam Transformatif” dan “Islam Liberal”, istilah “Islam Progresif” (Progressive Islam) merupakan istilah baru dalam kajian Islam kontemporer yang digunakan oleh para akademisi dan aktivis sejak beberapa tahun ini untuk memberikan label kepada pemahaman-pemahaman dan aksi-aksi umat Islam yang memperjuangkan penegakan nilai-nilai humanis, seperti pengembangan civil society, demokrasi, keadilan, kesetaraan jender, pembelaan terhadap kaum tertindas dan pluralisme. Di satu sisi pandangan dan aksi Islam Progresif, menurut Omid Safi, merupakan kelanjutan dan kepanjangan dari gerakan Islam Liberal yang muncul sejak kurang lebih seratus lima puluh tahun yang lalu. Namun, di sisi lain ia muncul sebagai bentuk ungkapan ketidakpuasan terhadap gerakan Islam Liberal yang lebih menekankan pada kitik-kritik internal terhadap pandangan dan prilaku umat Islam yang tidak atau kurang sesuai dengan nilai-nilai humanis. Sementara itu, kiritik terhadap modernitas, kolonialisme dan imprialisme justru tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari gerakan Islam Liberal. (Lihat Omid Safi 2005:1). Kenyataan inilah yang memberikan inspirasi terhadap munculnya pemahaman dan aksi Islam Progresif, yang memberikan perhatian yang seimbang antara kritik internal dan kritik eksternal. Kritik internal terhadap tradisi pemikiran sebagian umat Islam yang tidak menitikberatkan pada aspek-aspek kehidupan humanis memposisikan gerakan Islam Progresif pada gerakan modernis, namun pada waktu yang bersamaan ia juga merupakan gerakan “postmodernis”, karena ia juga bersikap kritis terhadap modernitas yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan sejati dan kemanusiaan. Cara pandang, kritis dan aksi Islam Progresif semuanya hendaknya berorientasi kepada kemajuan. Atas dasar inilah ia disebut dengan istilah ‘progresif’. (Lihat Farish A. Noor 2006: 23). Artikel ini akan membahas secara singkat model-model pemikiran dan gagasan progresif yang dikemukakan oleh pemikir-pemikir Muslim dari beberapa negara, sehingga kita mendapatkan gambaran umum mengenai karakteristiknya. Artikel ini juga akan mencoba mengeksplorasi bagaimana pandangan-pandangan tersebut dapat membumi di Negara Indonesia.II

Pandangan dan aksi humanis tentunya bukan barang baru di Dunia Islam. Sejarah Islam memberikan informasi yang jelas kepada kita bahwa Islam diturunkan ke bumi pada abad ke-7 M. dengan membawa misi-misi kemanusiaan, seperti perhatiannya terhadap hak-hak kaum wanita, penghapusan praktek perbudakan secara bertahap dan perhatian terhadap kaum lemah. Diwahyukannya Q.S. 4:11 merupakan salah satu contoh bahwa Islam memperhatikan dan menjunjung tinggi hak kaum wanita. Di dalam ayat ini Allah memerintahkan agar anak perempuan seperti halnya anak laki-laki diberi hak menerima harta warisan pada saat bangsa Arab saat itu konon tidak memberi wanita hak warisan sama sekali, bahkan menurut sebagian riwayat wanita justru diwariskan seperti harta benda. Sejarah juga menceritakan bahwa Nabi Muhammad Saw. memberikan kebebasan kepada kaum Nasrani dan Yahudi di Madinah untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan keagamaan mereka dan hidup bersama secara damai dengan umat Islam pada waktu itu. Konon Umar bin Khaththab melepaskan seorang pencuri tanpa diberi hukuman apapun ketika Umar mengetahui bahwa dia mencuri sesuatu dalam keadaan terpaksa. Sikap Umar dapat dipandang sebagai tindakan humanis progresif. Teori kemaslahatan yang dikembangkan oleh ulama ushul fiqh sebagai salah satu pertimbangan dalam memutuskan suatu hukum dan teori perubahan hukum atas dasar perubahan situasi dan kondisi juga membuka progresivitas hukum Islam. (Lihat misalnya Yudian Wahyudi 2006). Beberapa contoh di atas menunjukkan kepada kita bahwa Islam mengajarkan humanisme. Memang kita mendapati beberapa ayat al-Qur’an dan riwayat hadis yang tampak tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, seperti ayat-ayat tentang perang dan hadis tentang perlakuan yang tidak adil terhadap non-muslim, namun ayat-ayat tersebut terbuka untuk ditafsirkan secara proporsional (tidak hanya dipahami secara kata per kata) dan hadis-hadis semacam itu perlu diteliti kesahihannya dan atau ditafsirkan secara tepat dan mendalam. Hal ini merupakan tema yang memerlukan pembahasan khusus dan penulis tidak bermaksud memaparkannya secara terperinci dalam artikel singkat ini. Satu hal yang ingin ditegaskan di sini adalah bahwa gagasan-gagasan humanis yang marak pada masa sekarang ini bukan semata-mata gagasan impor dari Dunia Barat, melainkan juga merupakan pesan-pesan keagamaan yang juga berakar dalam tradisi Islam itu sendiri.

III

Pemikir-pemikir muslim progresif pada masa kini tersebar di berbagai negara. Di antara mereka yang bisa disebutkan di sini adalah Abdul Karim Soroush (Iran), Shirin Ebadi (Iran), Muhammad Shahrur (Suriah), Muhammad Habash (Suriah), Muhammad al-Talibi (Tunisia/Perancis), dan Fathullah Gülen (Turki/USA). Soroush berusaha membangun demokrasi di Iran yang disebutnya dengan “demokrasi relijius” yang merupakan respons terhadap sistem politik ala velayat-e faqih. Menurutnya, demokrasi merupakan buah dari pemikiran manusia yang didasarkan atas pemahaman-pemahaman rasional yang memuat nilai keadilan dan konsep-konsep hak asasi manusia. Karena itu, nilai-nilai demokratis harus diejawentahkan oleh umat Islam dalam menjalankan pemerintahan. Sistem politik tirani, baginya, bertentangan dengan hakekat dan martabat kemanusiaan. Lebih lanjut dia menegaskan bahwa demokrasi tidak berarti memisahkan agama dari dunia poltik. Demokrasi justru dapat menjaga eksistensi dan ruang gerak agama. Umat dan lembaga-lembaga keagamaman seharusnya terpanggil untuk terlibat dalam diskursus-diskursus politik, sehingga nilai-nilai relijius dapat mempengaruhi gerak dan langkah manusia dalam berpolitik. Meskipun demikian, pandangan-pandangan keagamaan tidak boleh didikte oleh Negara dan tidak boleh dilaksanakan dengan cara pemaksaan. Nilai-nilai keagaman harus diperjuangkan dan dibawa oleh masyarakat sendiri dalam diskursus-diskursus politik dan sosial. (Roman Seidel 2006: 82-90).

Shirin Ebadi adalah pemikir dan aktivis kemanusiaan yang selalu memperjuangkan hak-hak asasi manusia, terutama hak-hak kaum wanita dalam berbagai bidang. Perjuangannya ini disemangati oleh pemahaman Islam yang progresif. Dia termasuk orang yang gigih menolak prilaku diskriminatif yang diatasnamakan agama, sebagaimana yang terjadi di negaranya. Pada saat dia menerima nobel perdamaian pada tanggal 10 Desember 2003, dia mengatakan: “Diskriminasi terhadap kaum wanita tidak mempunyai dasar di dalam Alquran.” Diperlakukannya kaum wanita saat ini secara tidak adil di banyak negara Islam tidaklah didasarkan atas ajaran Alquran, melainkan bahwa sampai saat ini penafsiran Alquran didominasi oleh kaum lelaki yang hanya ingin mengambil keuntungan darinya. Dia menegaskan: “Islam tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan penindasan terhadap kaum wanita. Islam mengandung keyakinan akan keadilan dan persamaan.” Ebadi juga mengatakan bahwa Islam tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia dan demokrasi. Pembelaannya terhadap hak-hak asasi manusia mendorongnya untuk selalu bersikap kritis, bukan hanya terhadap kebijakan-kebijakan negara-negara Islam, tetapi juga terhadap prilaku politik dalam dan luar negeri negara-negara Barat. Dia tidak segan-segan menentang kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat yang dipandangnya menodai nilai-nilai kemanusiaan. (Katajun Amirpur 2006: 190-198).

Perjuangan atas hak-hak asasi manusia dan pemikiran-pemikiran progresif lainnya juga dikemukakan oleh Muhammad Shahrur melalui karya-karyanya. Karyanya Mashru‘ Mithaq al-‘Amal al-Islami (1999) memuat prinsip-prinsip perjuangan umat Islam di masa sekarang ini, yang meliputi kebebasan berkehendak dan bertindak, pluralitas agama dan demokrasi. Semua ini merupakan hasil penafsirannya terhadap ayat-ayat Alquran dengan memperhatikan perkembangan ilmu dan pemikiran manusia kontemporer. (Shahrur 1999). Shahrur juga berusaha secara radikal membebaskan umat Islam dari keterkungkungannya oleh tradisi lama yang menurutnya tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Baginya, umat Islam harus membangun tradisi keagamaan baru dengan cara menafsirkan ulang teks-teks keagamaan, terutama teks-teks yang berkaitan dengan aspek-aspek muamalah.

Muhammad al-Habash, seorang agamawan dan politisi Suriah, memperjuangkan pembumian gagagasan progresif, baik melalui jalur politik di parlemen Syria maupun dengan media tulis. Dia menekankan perlunya pemahaman keislaman yang moderat, sehingga umat Islam bisa memerankan perannya di dunia internasional secara baik. Ide tentang unity of mankind (persatuan manusia) dengan berbagai macam keberagaman dan perbedaannya, gagasan demokrasi yang bernafaskan Islam dan ide anti-kekerasan dikumandangkan oleh direktur Islamic Studies Centre tersebut. Tentang unity of mankind al-Habash mengatakan secara tegas, “Semua manusia itu milik keluarga yang satu, yakni ‘keluarga Tuhan’”. Keyakinan ini mengarah pada pemahaman bahwa persaudaraan dan sikap saling memahami bukan hanya diterapkan antar umat yang seagama, melainkan juga antar umat-umat yang berbeda agama. Hal ini, menurutnya, merupakan syarat terciptanya prilaku demokratis dalam bidang politik khususnya dan prilaku sosial pada umumnya. Atas dasar inilah, dia menolak tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok fundamentalis yang menurutnya hanya satu persen dari jumlah penduduk dunia itu (Lihat al-Habash 2005; Kristin Helberg 2005). Selain itu, dia juga memperjuangkan hak-hak kaum wanita. Untuk tujuan ini dia dalam bukunya al-Mar’ah bayna al-Shari‘ah wa-l-Hayah menafsirkan ulang ayat-ayat Alquran tentang kepimimpinan, kesetaraan jender, poligami dan warisan. Di dalam buku ini dia juga mencoba mengangkat hadis-hadis Nabi yang menerangkan peran-peran kaum wanita pada masa sahabat dalam berbagai bidang, seperti politik, pendidikan dan ekonomi. Semua ini menunnjukkan bahwa betapa besar Islam pada zaman Nabi memberikan posisi terhormat kepada kaum wanita. (Lihat a-Habash 2001).

Ide tentang unity of mankind juga dikemukakan oleh pemikir Tunisia yang lama hidup di Perancis, yakni Muhammd al-Talibi, dalam bukunya ‘Iyal Allah (Keluarga Allah). Di sini dia menegaskan seharusnya umat Islam, Kristen dan Yahudi (dan juga umat-umat yang lain) bisa hidup berdampingan dan saling membantu dalam kehidupan politik, ekonomi dan sosial, karena mereka pada hakekatnya berada dalam satu keluarga, yakni “keluarga besar Tuhan”. Pandangan ini merupakan reaksi terhadap kenyataan hidup bahwa mereka saling mencurigai, paling tidak hingga saat ini. Jika kita mendapatkan sebagian ajaran Kitab Suci yang tampak bernuansa kekerasan dan bertentangan sikap toleran dan santun, maka, menurutnya, perlu ditafsirkan ulang secara histotis dan antropologis. Dalam hal ini dia mengangkat kembali satu bentuk penafsiran teks yang lebih menekankan pada perlunya memahami pesan-pesan moral dari teks keagaamaan, di luar makna literalnya. Pendekatan ini disebutnya dengan qira’a maqasidiya (pembacaan yang menekankan perhatian pada tujuan-tujuan inti teks). (Al-Talibi 1992; Ronald L. Nettler 2004: 225-239).

Beberapa pemikiran yang disebutkan di atas hanya beberapa contoh pandangan progresif. Meskipun terdapat perbedaan sisi penekanan, pemikiran progresif memiliki kesamaan dalam hal memperjuangkan nilai-nilai humanis, termasuk di dalamnya keadilan, kesamaan, kebebasan yang bertanggungjawab, anti-kekerasan dan perhatian pada realitas kehidupan. Selain itu, pemikir-pemikir progresif sepakat dalam hal perlunya penafsiran ulang terhadap teks-teks keagamaan yang tampak bertentangan nilai-nilai humanis tersebut. Untuk membumikan pandangan-pandangan progresif, gerakan Islam Progresif telah dilembagakan dan di-“proklamirkan” untuk pertama kalinya oleh para intelektual dan aktivis Muslim yang hidup di Amerika Utara pada tanggal 15 November 2004 dengan nama Progressive Muslim Union (PMU; Persatuan Muslim Progresif). Mereka yang tergabung dalam organisasi ini memiliki keahlian keilmuan yang beragam. Di Asia Tenggara organisasi semacam ini belum ada, namun mereka yang mempunyai interes yang sama telah saling berkomunikasi lewat diskusi, seminar dan interaksi melalui mailing list.

Di Indonesia pandangan dan aksi humanis dari umat Islam pada dasarnya sudah lama dikemukakan dan diperjuangkan. Penolakan sebagian besar kyai NU, juga tokoh-tokoh Islam dari organisasi-organisasi yang lain, sejak tahun 1945 hingga sekarang untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam merupakan satu bentuk pemahaman keagamaan dan aksi humanis yang mempertimbangkan kenyataan pluralitas agama di Indonesia. Bahkan, jauh sebelum itu, pendekatan inklusif Sunan Kalijaga, seorang wali di Jawa, dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam di Jawa Tengah dan perjuangannya membela rakyat kecil bisa dikatakan sebagai cikal bakal gagasan dan aksi keislaman yang bernuansa humanis dan berorientasi ke depan pada masanya di Indonesia. Pada tahun 70-an dan 80-an gagasan-gagasan progresif dalam arti yang luas juga telah dikemukakan oleh intelektual-intelektual Indonesia, seperti Nurcholis Madjid dan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). (Lihat Greg Barton 1999). Pemikiran dan aksi pembelaan terhadap rakyat kecil dan kaum tertindas bahkan hingga saat ini masih tetap dilakukan dan diperjuangkan oleh Gus Dur secara konsisten.

IV

Pada tahun 2004 terdapat diskusi kecil antara Syafi’i Anwar, M. Nur Ichwan dan Zuly Qodir tentang prospek Islam Progresif. Diskusi ini dipublikasikan di Harian Kedaulatan Rakyat. Anwar dalam makalahnya menulis bahwa gagasan-gagasan Islam Progresif lahir di Malaysia. Sebagaimana Farish Noor, seorang intelektual muda berkebangsaan Malaysia, Anwar juga berpendapat bahwa gagasan-gagasan tersebut sampai saat ini belum membumi, dalam arti bahwa hanya populer di kalangan menengah ke atas, tapi belum diserap secara massif oleh masyarakat luas. Meskipun demikian, dia optimis bahwa gagasan-gagasan Islam Progresif suatu saat akan diterima oleh masyarakat banyak, dengan melihat kenyataan bahwa sebagian umat Islam adalah umat yang moderat. (Lihat Anwar, 08 Oktober 2004). Tentang Malaysia sebagai negara kelahiran gerakan Islam Progresif Ichwan tidak sepakat dengan Anwar. Dalam hal ini Ichwan beragumentasi bahwa sebelum berkembang di Malaysia gagasan-gagasan dan aksi-aksi progresif telah muncul di beberapa negara. (Lihat Ichwan, 09 Oktober 2004). Zuly Qodir berpendapat bahwa agar cara pandang progresif ini bisa membumi, agen-agen progresif harus berusaha dan mampu terjun langsung ke masyarakat untuk mengatasi problem-problem riil yang mereka hadapi, sehingga manfaat suatu gagasan dapat dirasakan langsung oleh mereka. Pendapat ini memang baik, tapi tidak mudah diterapkan, karena selama masyarakat belum bisa menerima pandangan-pandangan progresif, maka selama itu pula mereka mungkin tidak berkenan untuk melibatkan agen-agen progresif untuk turut menyelesaikan problem-problem sosial dan keagamaan yang mereka hadapi. Penulis berpendapat bahwa dalam rangka membumikan cara pandang dan aksi progresif paling tidak ada dua hal yang harus dilakukan.

Pertama, menyampaikan dakwah Islam progresif secara efektif. Dalam hal ini, kita harus terlebih dahulu mengenali elemen-elemen sosial yang ada di masyarakat kita sampai saat ini, yakni (1) pemimpin-pemimpin formal, (2) tokoh-tokoh masyarakat nonformal dan (3) anggota masyarakat pada umumnya. Pemimpin-pemimpin formal yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang mempunyai kekuasaan untuk mengambil keputusan formal dalam masyarakat, seperti kepala dan staf pemerintahan, kepala dan anggota dewan, dan partai-partai politik. Sementara tokoh-tokoh masyarakat nonformal adalah mereka yang dipandang mempunyai pengaruh di sebuah masyarakat, meskipun mereka tidak mempunyai jabatan pemerintahan ataupun politik tertentu, seperti kyai, ustadz, kepala dukuh, guru dll. Kita tahu bahwa dua elemen tersebut mempunyai pengaruh yang sangat signifikan dalam masyarakat. Karena itu, gagasan-gagasan progresif sebaiknya dikomunikasikan kepada kedua elemen tersebut secara serius dan efektif, dengan tujuan bahwa kedua elemen tersebut pada suatu saat dapat membantu menyampaikan gagasan-gagasan tersebut kepada anggota masyarakat pada umumnya. Namun, tentunya hal yang harus dilakukan adalah bagaimana kedua segmen sosial tersebut dapat meyakini kebenaran gagasan-gagasan progresif. Dengan cara ini, gagasan-gagasan progresif akan lebih visible membumi dalam masyarakat. Salah satu contoh klasik yang bisa dikemukakan adalah keberhasilan memperjuangkan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Sejak tahun 1945 hingga sekarang mayoritas pemimpin formal dan nonformal dalam masyarakat melihat fakta pluralitas bangsa Indonesia, baik dari segi agama, etnis, bahasa dan lain-lain. Fakta ini dipandang oleh mereka sebagai alasan diterimanya dan dipertahankannya Pancasila sebagai dasar negara untuk tetap memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Sikap inklusif dan toleran kaum Muslim Indonesia dalam hal penetapan dasar negara dengan tidak memaksakan kehendak menetapkan Syariat Islam sebagai dasar negara merupakan sikap progresif yang sudah barang tentu tidak terlepas dari peran para pemimpin dan tokoh umat Islam.

Kedua, menumbuhkan rasa kebersamaan antar sesama pemikir dan aktivis progresif dan antara mereka dan masayarakat secara luas. Rasa kebersamaan (Zugehörigkeitsgefühl), menurut Michael Hampe, merupakan salah satu prasyarat bagi eksistensinya setiap komunitas, termasuk komunitas keagamaan. “Rasa ke-kami-an” (“wir-Gefühl”) merupakan fitrah dan kebutuhan setiap manusia: “Kebutuhan untuk bergabung ke dalam suatu kelompok dengan tujuan mengembangkan suatu identitas kelompok tertentu dalam bentuk ‘rasa ke-kami-an’ dapat diarahkan oleh manusia untuk ‘mengabdikan dirinya’ kepada suatu komunitas keagamaan.” (Hampe 2002: 45). Rasa solidaritas antar agen-agen progresif dalam konteks ini tidak harus direalisasikan dalam bentuk pelembagaan Islam Progresif yang menghimpun seluruh komponen dalam satu wadah tertentu. Sebaliknya, agen-agen progresif bisa saja bertebaran di berbagai organisasi keagaaman yang sudah mapan di Indonesia, seperti NU dan Muhammadiyah, atau di lembaga-lembaga swadaya masyarakat, seperti Fahmina di Cirebon dan Nawesea di Yogyakarta. Secara prinsipil rasa solidaritas tersebut diwujudkan dalam bentuk saling memberikan perangkat-perangkat argumentatif untuk memperkuat pesan-pesan progresif. Namun, rasa solidaritas internal ini tidaklah cukup untuk membumikan gagasan-gagasan progresif ke dalam masyarakat. Atas dasar itu, rasa solidaritas juga harus tercipta antara pemikir dan aktivis progresif dan masyarakat pada umumnya dengan cara turut mengatasi problem ketidakadilan, penindasan, pelecehan dan lain-lain.

Daftar Pustaka

Anwar, Syafi’i. “Tantangan dan Peluang Islam Progresif di Indonesia.” Kedaulatan Rakyat 08

Oktober 2004.

Barton, Greg. Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Jakarta: Pustaka Antara, 1999.

Al-Habash, Muhammad. Al-Mar’a bayna l-Shari‘a wa-l-Hayat. Damaskus: Dar al-Tajdid,

2001.

---. “Islam’s Fanatical One Percent.” Dalam www.islam-watch.org/others/Fanatic.htm.

Dibaca pada tanggal 6 Desember 2006.

Hampe, Michael. “Gottes Staat oder Säkularisation.” Dalam Rotraud Wielandt dkk. (editor).

Religiöses Bekenntnis und politisches Interesse. Bamberg: Universität-Verlag, 2003.

Habash, Muhammad. Al-Mar’a bayna l-Shari‘a wa-l-hayat. Damskus: Dar al-Tajdid, 2001.

Helberg, Kristin. “Portrait Muhammad Habash: A Turkish Model for Syria.” Dalam

www.qantara.de/webcome/show-article.php/c_478/_nr-307/p-1/i.htm. Dibaca pada

tanggal 6 Desember 2006.

Ichwan, Moch. Nur. “Menyibak Akar Islam Progresif.” Kedaulatan Rakyat 09 Oktober 2004.

Nettler, Ronald L. “Mohamed Talbi on Understanding the Qur’an.” Dalam Suha Taji-Farouki

(ed.). Modern Muslim Intelectuals and the Qur’an. Oxford: Oxford University Press,

2004.

Noor, Farish A. Islam Progresif: Peluang, Tantangan, das Masa Depannya di Asia Tenggara.

Terj. Moch. Nur Ichwan dan Imron Rosyadi. Yogyakarta: SAMHA, 2006.

Safi, Omid. “What is Progressive Islam?”. Dalam

www.muslimwakeup.com/main/archieves/2005/04/what_is_progres_1.php.

Seidel, Roman. “Abdolkarim Sorusch: Viele Wege zur Wahrheit.” Dalam Katajun Amirpur

dan Ludwig Amman (ed.). Der Islam am Wendepunkt: Liberale und konservative

Reformer einer Weltreligion. Freiburg: Herder, 2006. Hlm. 82-90.

Shahrur, Muhammad. Masyru‘ Mitsaq al-‘Amal al-Islami. Damaskus: al-Ahali, 1999.

Qodir, Zuly. “Bumi Praksis Baru Islam Progresif.” Kedaulatan Rakyat 11 Oktober 2004.

Al-Talibi, Muhammad. ‘Iyal Allah. Tunis: Saras li-l-nasyr, 1992.

Wahyudi, Yudian. Maqashid Syari’ah dalam Pergumulan Pilitik. Yogyakarta: Nawesea,

2006.

ICIP Menyuarakan Pemikiran Islam Progresif

11 November 2003

TEMPO Interaktif, Jakarta:Sekelompok komunitas Islam yang menamakan diri Islam progresif di Jakarta meluncurkan lembaga swadaya masyarakat International Center for Islam and Pluralism (ICIP), Selasa (11/11). Tujuan utama lembaga ini adalah membawa kemitraan antara LSM Islam dan aktifis Islam moderat-progresif di Asia Tenggara dan dunia.

Duduk sebagai sebagai dewan direktur untuk Indonesia antara lain Ulil Abshar Abdalla dari Jaringan Islam Liberal; Abdul A'la, Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya; Moeslim Abdurrahman, Direktur Syafii Maarif Institute; Rizal Sukma dari CSIS, dan Bachtiar Effendi, dosen pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sedangkan dewan direktur internasional antara lain Direktur Institute of Islamic Studies Bombay, Ashgar Ali Engineer; Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra; mantan sekjen International Movement for a Just World, Farish Noor; dan Rektor Universitas Paramadina Mulya, Nurcholish Madjid.

Direktur Eksekutif ICIP. M. Syafii Anwar, usai acara peresmian menjelaskan bahwa latar belakang situasi pembentukan ICIP adalah adanya situasi saling mencurigai antara dunia Barat dengan Islam pasca tragedi 11 September 2001. "Padahal Islam dan Barat sebagai dua peradaban besar yang seharusnya bisa saling membantu dan melengkapi, tidak layak saling mencurigai," ujarnya.

Latar belakang kedua, paparnya, sebagian pemikir Islam melihat fakta bahwa di kalangan Islam telah tumbuh gerakan radikal dalam berbagai format dan bentuknya. Selama kelompok radikal ini tidak membuat kekerasan, kata Syafii, sebenarnya tidak menjadi masalah. Namun, sekali mereka menggunakan kekerasan, citra Islam akan buruk. "Tugas kami mengembalikan Islam sebagai agama yang memberi rahmat bagi semesta alam," tegasnya.

Sedangkan tujuan ICIP, imbuh dia, antara lain menerjemahkan dan memublikasikan karya-karya tokoh-tokoh Islam progresif dalam negeri yang belum banyak dibaca dunia luar karena hambatan bahasa. Menurut Syafii, harus ada pencerahan Islam di Indonesia untuk mengembangkan karyanya agar layak diterbitkan di luar negeri. Tujuan lainnya adalah mengembangkan kerjasama antar pemikir Islam progresif di Asia Tenggara dan dunia untuk menjalin kerjasam

Islam Progresif: Manifesto Keadilan, Pembebasan, dan Kesetaraan

Zakiyuddin Baidhawy, Peneliti, Al-Maun Center for Islamic Transformation

WACANA dan gerakan "Islam Progresif" bukanlah barang baru. Ibarat

pepatah, the old wine in the new bottle. Islam berkemajuan (dadio wong Islam

sing kemajuan), meminjam istilah dan nasihat pendiri Muhammadiyah KHA. Dahlan,

merupakan kontinuitas (continuity) sejarah dengan perubahan (change) atau

modifikasi sesuai dengan pergeseran ruang dan waktu. Kini gelombang gagasan dan

para penganjurnya semakin besar dan menguat. Ini lebih disebabkan oleh arus

ketidakadilan, kekerasan, dan tirani pada skala global maupun internal umat

muslim sendiri.

Islam progresif secara terbuka dan terukur berupaya menentang, melawan,

dan meruntuhkan struktur tirani dan ketidakadilan dalam masyarakat. Ia juga

mengekspos borok-borok kekerasan atas kemanusiaan dan kebebasan berpendapat,

pers, agama, dan hak untuk berbeda di negara-negara muslim seperti Arab Saudi,

Turki, Sudan, Iran, Pakistan, Mesir, dan lain-lain.

Islam progresif mencakup pemahaman dan implementasi visi Islam yang

berbeda dari mainstream kelompok-kelompok puritanisme seperti Wahhabi dan

neo-Wahhabi. Pada saat yang sama, Islam progresif merupakan kritik atas

hegemoni politik, ekonomi, dan struktur intelektual Barat yang mengedepankan

distribusi sumber daya dunia secara tidak adil. Hegemoni ini meliputi

kekuatan-kekuatan besar seperti korporasi multinasional yang menindas dan

merusak lingkungan, yang memiliki kepentingan-kepentingan yang selaras dengan

pemerintahan neoliberal, neoimperial, dan unilateral. Mereka memaksakan

kebijakan-kebijakan melalui kekuatan militer, dan menekan penduduk miskin

dunia. Semua ini membuat gerah sebagian muslim progresif yang menempatkan HAM,

dan harkat kemanusiaan sebagai jantung pemikiran dan aksi.

Pada intinya, pandangan-pandangan Islam progresif itu sederhana, namun

radikal. Setiap kehidupan manusia, lelaki dan perempuan, muslim dan nonmuslim,

kaya atau miskin, "selatan" atau "utara", secara intrinsik sama nilai dan

martabatnya. Nilai utama kehidupan adalah anugerah Tuhan. Muslim progresif

setia pada ide bahwa nilai manusia diukur oleh karakter personalnya, bukan

minyak bumi atau bendera. Agendanya berkenaan dengan percabangan premis besar,

bahwa semua umat manusia memiliki hakikat yang sama bermartabatnya, sebagaimana

Alquran mengingatkan bahwa setiap manusia memiliki ruh Tuhan yang ditiupkan ke

dalam jasadnya (QS. Al-Hijr 15:29).

Untuk mewujudkan agenda besar ini, Islam progresif membutuhkan muslim

yang cerdas dan kritis terhadap arogansi modernitas. Ia menentang paham

teleologis modernisme yang mendasarkan diri pada logika Hegelian, dan satu arah

(unidirectional) menuju "puncak permainan" peradaban Barat modern.

Pikiran-pikiran semacam ini dapat dijumpai secara tersurat dalam sesat pikir a

la Francis Fukuyama (End of History and the Last ManClash of Civilization),

Bernard Lewis, dan sebagainya.

Di tengah situasi yang terus memburuk akibat pencitraan Barat tentang

wajah Islam yang keras dan penuh teror, serta kebangkitan radikalisme yang

semakin akut, hadirnya Islam progresif bisa menjadi napas baru dan angin segar

dalam wacana dan gerakan Islam kontemporer. Cita-cita besar Islam progresif

adalah menjadi kekuatan yang aktif dan dinamis menantang paham eksklusif dan

keras. Ia membuka ruang bagi spektrum pemikiran dan praktik Islam untuk

keadilan dan keragaman yang lebih luas. Untuk itu, ijtihad independen dan

pikiran kritis berdasarkan disiplin ilmiah adalah keniscayaan guna membuka

solusi atas problem-problem baru. Semua upaya ini perlu terus dilanjutkan,

sehingga semakin membesar seperti bola salju.

Tumbuh bersama wahyu progresif

"Progresivitas" adalah satu prinsip Alquran yang tak terbantahkan.

Terbukti bahwa wahyu "statis" yang terpenjara dalam "teks" terus dapat

berdialog dengan konteks sejarah masa lampau, sekarang, dan proyeksinya ke

depan. Sebagai teks baku dan atau dibakukan dalam bentuk mushaf, Alquran tentu

tidak bisa bicara sendiri dengan realitas. Ia memerlukan manusia sebagai

penafsir yang bervisi "progresif", sehingga menjadi wahyu progresif.

Di sisi lain, wahyu progresif merekam seluruh spektrum perjuangan para

nabi yang dihadapkan pada "pilihan memihak" antara yang berkuasa atau lemah.

Mereka dengan tegas memihak kaum lemah. Nabi saw dalam sebuah doanya,

berkomitmen untuk hidup, tumbuh, dan mati bersama yang papa. Demikian pula

Yesus berjuang keras sebagai pembela kaum papa. Musa menjadi simbol autentik

perlawanan terhadap arogansi kekuasaan Firaun. Pemihakan para nabi kepada kaum

duafa dan tertindas, merupakan fakta sejarah terjadinya proses penafsiran

Alquran secara progresif. Sebelum menjadi instrumen wahyu progresif, mereka

berfungsi sebagai penafsir kalam dan terus berdialog dengan situasi, konteks,

serta kebutuhan komunitas.

Alquran secara lebih tegas mengakarkan pembebasan kaum marjinal dan

tertindas dengan menunjuk teks mustadl'afin. Teks ini amat progresif, karena

kelemahan yang melekat pada mereka, menurut tinjauan Alquran, bukan disebabkan

oleh faktor-faktor alamiah atau kecelakaan. Namun, lebih karena faktor-faktor

luar yang didesain, yang dalam istilah sosiologis disebut faktor-faktor

"struktural", atau dalam terminologi politik, diakibatkan oleh sistem kekuasaan

yang otoriter, represif, dan tiran.

Penggunaan Alquran dengan merujuk teks mustadl'afin sebagai kelompok

lemah, marginal, dan tertindas tersebut terlihat jelas pada teks, dalam harta

si kaya, ada bagian intrinsik bagi kaum faqir dan miskin. Dengan demikian,

Alquran mengafirmasikan model keadilan distributif agar kapital tidak hanya

beredar di antara dan menjadi hak monopoli orang-orang kaya. Hal ini

membuktikan progresivitas teks Alquran saat berdialog dengan konteks kini dan

di sini dalam mana problem kemiskinan serta penindasan merajalela.

Kesetaraan dalam keragaman

Sebagai risalah profetik, Islam adalah seruan pada semua umat manusia

menuju satu cita-cita bersama kesatuan kemanusiaan (unity of humankind) tanpa

membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan dan agama. Karena umat manusia

tak ubahnya waktu, keduanya maju tak tertahankan. Dan sama seperti tak ada jam

tertentu yang mendapat kedudukan khusus, begitu pula tak ada satu pun orang,

kelompok, atau bangsa mana pun yang dapat membanggakan diri sebagai

diistimewakan Tuhan. Ini berarti bahwa dominasi ras dan diskriminasi atas nama

apa pun merupakan kekuatan antitesis terhadap tauhid, dan karena itu harus

dikecam sebagai kemusyrikan dan sekaligus kejahatan atas kemanusiaan.

Pesan kesatuan ini disinyalir Alquran: "Hai manusia, sesungguhnya kami

jadikan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian

berkelompok-kelompok dan berbangsa-bangsa, agar kalian saling memahami dan

saling menghargai. Sesungguhnya orang yang paling bermartabat di sisi Allah

adalah mereka yang paling dapat memahami dan menghargai perbedaan di antara

kamu" (al-Hujurat 49:13).

Ayat ini setidaknya mengandung tiga prinsip utama. Pertama, prinsip

plural as usual. Yakni, kepercayaan dan praktik kehidupan bersama yang

menandaskan kemajemukan sebagai hal lumrah. Kepelbagaian cara berpikir dan cara

bertindak umat manusia selalu dan selamanya terus eksis. Keberbedaan selalu

saja hadir memberi nuansa dan spektrum kehidupan, dinamis dan dialektis.

Kedua, prinsip equals as usual. Inilah kesadaran baru mengenai realitas

dunia yang plural. Kesadaran ini menandai keragaman sebagai taken for granted

dalam kerangka kerja teologi pluralis. Teologi ini menghargai sistem keimanan

agama atau kebudayaan lain, menghargai absolutisme dengan mengetahui

batas-batasnya, sehingga tetap memberi ruang bagi absolutisme agama lain.

Ketiga, prinsip sahaja dalam keragaman (modesty in diversity). Bersikap

dewasa dalam merespons keragaman. Moderat dalam kearifan berpikir dan

bertindak. Jauh dari fanatisme yang sering melegitimasi penggunaan instrumen

kekerasan untuk mencapai tujuan apapun. Dan mendialogkan berbagai pandangan

keagamaan dan kultural tanpa diiringi tindak pemaksaan.

YOUTH.TALKS

Islam Progresif

Nik Nazmi Nik Ahmad

Tragedi dasyat September 11 membuat saya terpanggil untuk menulis kolum ini.

Ditambah pula dengan isu-isu mutakhir, khususnya antara golongan ulama' dan apa yang dikatakan tokoh-tokoh liberal di negara kita.

Ada juga rasa gentar ketika saya menulis kolum ini. Maklumlah, isu ulama' dan liberal itu seolah-olah memberi mesej bahawa Muslim jalanan seperti diri saya ini kurang layak membicarakan isu agama.

Saya tidak mahu tulisan ini disalahertikan sebagai satu alamat bahawa saya merasakan diri saya seorang yang berilmu di dalam isu agama untuk menulis mengenainya. Mereka yang mengikuti tulisan saya akan mendapati elemen agama; jika tidak menjadi subjek utama tulisan saya pun, biasanya akan mendapat tempat di dalam perspektif saya mengulas pelbagai perkara.

Ini berdasarkan keyakinan peribadi saya tentang peranan yang dapat dimainkan oleh agama sebagai satu elemen yang positif dan progresif di dalam menghadapi cabaran dunia moden. Selama ini tulisan saya lebih banyak membicarakan penindasan terhadap golongan Islamis, sekularisme, permomokan pemerintah terhadap alim ulama', prejudis media barat terhadap Islam dan perlunya peaceful co-existence antara peradaban barat dan Islam. Di Malaysiakini.com beberapa kali saya menulis menjawab tohmahan terhadap pentadbiran PAS di Kelantan dan Terengganu.

Dengan tekanan yang meruncing - di peringkat antarabangsa daripada beberapa kerajaan dan tukang propaganda barat, manakala di negara kita oleh kerajaan korup yang memerintah kita - Islamis umumnya dan ulama' khususnya sewajarnya terus berjuang mencapai objektif yang disasarkan. Pada masa yang sama tindakan golongan ini yang dilihat sebagai litmus test terhadap kerelevanan falsafah Islam di dalam dunia moden sebagai ad-din seharusnya tidak terperangkap dan membuktikan kebenaran prejudis terhadap Islam selama ini.

Misalnya tindakan PAS menghantar Dr. Hassan Ali ke forum Negara Islam berhadapan wakil IKIM, Lim Kit Siang dan dipengerusikan Patricia Martinez boleh dilihat sebagai tindakan berakal pendek. Forum yang dihadiri ramai bukan Islam itu (menjadi bukti bahawa golongan bukan Islam berminat mengetahui konsep negara Islam) sepatutnya menjadi peluang 'marketing' bagi PAS membuang prejudis bahawa mereka ekstrim, ganas dan bayangan Taliban.

Lim Kit Siang sememangnya dikenali bijak mempermainkan kerisauan bukan Islam; maka retorik-retorik dan jawapan dari Dr. Hassan dapat dihadapi dengan baik. Peluang keemasan itu terbuang begitu sahaja - sememangnya tidak dapat dipersalahkan Dr. Hassan seratus-peratus kerana beliau bukan berpendidikan agama (barangkali dihantar kerana kebolehannya di dalam bahasa Inggeris dan menghadapi orang ramai) dan ini patut membuat partinya memikirkan kembali strategi terbaik untuk menghadapi tohmah dan fitnah yang dilemparkan BN.

Seorang datuk saudara saya dahulu yang berjawatan besar di dalam Kementerian Pendidikan (Bahagian Agama) dan terkenal dengan ilmu agamanya pernah menyuarakan kepentingan ulama' untuk berbahasa Inggeris. Kewajaran itu nampaknya semakin meningkat hari ini di dalam arus persejagatan dan revolusi maklumat. Bahasa Arab mesti dipelajari golongan agama kerana sumber-sumber rujukan daripada Al-Quran, Hadith Rasulullah dan kitab-kitab ulung semuanya di dalam bahasa tersebut. Tetapi ilmu moden menuntut keperluan untuk berbahasa Inggeris - maka untuk dapat berkomunikasi dengan berkesan dan menentang fitnah terhadap golongan ulama' khususnya, mereka mesti dapat berbicara di dalam bahasa Inggeris. Dan jika dilihat, tokoh-tokoh besar Islam zaman dahulu kebanyakannya bukan sahaja mahir di dalam ilmu agama, tetapi pelbagai cabang ilmu pengetahuan sama ada sains ataupun sastera yang sesuai dengan roh Islam itu sendiri.

Tidak dinafikan, ilmu agama secara mendalam, perlu dibicara sama ada oleh ulama' atau sekurang-kurangnya mendapat rujukan mereka. Mustahil seorang peguam biasa dapat menerangkan teori relativiti (sekiranya berupaya pun, tidak ada kredibiliti) tanpa memilikki kelulusan tinggi di dalam bidang fizik. Maka seorang Muslim jalanan seperti saya tidak seharusnya pandai-pandai berbicara isu mengenai agama secara mendalam kerana ini bukan bidang kami.

Namun, saya menyokong pendapat yang dikeluarkan oleh Editor Bahasa Inggeris Harakah baru-baru ini bahawa ulama' harus terbuka menerima kritikan dan pendapat. Semangat keterbukaan ini sebahagian daripada Islam. Kerana dianggap sebagai pewaris nabi, ramai menganggap ulama' bebas daripada menerima kritikan - tetapi bukankah para Khulafa' Ar-Rasyidin dahulu pun menyuruh rakyat menegur mereka kiranya rakyat merasakan mereka telah melakukan kesilapan? Jika persepsi tertutup dan jumud menguasai Islam, maka kerisauan Karim Raslan tentang the tyranny of the mullahs akan dilihat sebagai kerisauan yang betul.

Rasanya lebih baik sebarang ketidaksefahaman antara ulama' dan orang ramai, khususnya cendekiawan 'liberal' diselesaikan menerusi dialog dan perbincangan. Saya sendiri tidak bersetuju dengan banyak pendapat Sdr. Farish Noor, yang atas prejudisnya terhadap golongan ulama' tradisional, telah menyokong sebuah rejim otokratik!

Sememangnya sebarang tafsiran mengenai Islam mendapat rujukan ulama' muktabar. Apa yang dikatakan oleh Farish di dalam temubualnya di dalam akhbar The Edge tidak saya setujui. Tetapi perbezaan pendapat ini harus ditangani dengan semangat demokratis dan keterbukaan selaras dengan tuntutan Islam. Ketika menghadapi zaman di mana fitnah terhadap Islam cukup berleluasa, janganlah kita bermain permainan yang dikehendaki oleh mereka yang ingin menolak Islam.

Bagi mereka yang menyokong kepimpinan ulama' tetapi menganggap ulama' itu tidak boleh dikritik atau dibawa berdialog - mereka akan membawa ketakutan pada orang ramai bahawa pimpinan ulama' yang mereka warwarkan itu tidak boleh dipersoalkan langsung apabila mereka mentadbir negara. Ini akan memberi gambaran bahawa ulama' adalah golongan reaksionari dan anti-demokrasi.

Para ulama' dan cendekiawan Islam seharusnya berjuang untuk mengembangkan Islam progresif yang melihat kepada masalah-masalah fundamental dengan cara yang terbuka dan semangat toleransi. Presiden Khatami dari Iran misalnya, mengkategorikan tiga golongan umat Islam; mereka yang mahu bulat-bulat menerima acuan Barat di dalam menyelesaikan masalah, mereka yang mahu menggunakan kaedah Islam tanpa menolak ide-ide daripada peradaban lain, dan mereka yang mahu memencilkan diri kerana tidak mahu terbabit langsung dengan kejelekan dunia Barat.

Islam progresif ialah pilihan yang kedua. Zaman keagungan Islam sebelum zaman pasca Almohads diwarnai oleh elemen tersebut, dan sikap itulah menjadikan Islam gagah!

NIK NAZMI NIK AHMAD, 20, ialah seorang exco Unit Pendidikan Politik - Institut Kajian Dasar dan Editor SuaraAnum.com. Laman webnya boleh dilawati di http://n3a.9599.org.

ISLAM PROGRESIF-TRANSFORMATIF

Hal yang paling mendasar dalam soal bagaimana Islam dalam konteks kini mempunyai gerakan progresif-transformatif adalah (1) memahami sejarah peradaban di mana Islam awal turun dan di produksi. Di sini diandaikan adanya kajian kritis terhadap sejarah masyarakat Arab, baik dalam konteks kultural, sosial, ataupun antropologi masyarakatnya. (2) Menarik secara konseptual ideal-etik dari kesadaran Islam awal dengan segala sejarah yang melingkupinya melalui sejarah dan teks kitab suci, kemudian mewujudkan kembali dalam konteks kekinian Islam awal turun di dataran Arabia dengan realitas budaya dan tradisi yang beragam. Arab bagian selatan misalnya mempunyai tradisi petani, Arab tengah mempunyai tradisi perdagangan yang cukup baik, sedangkan bagian utara sebagiannya adalah masyarakat Badui (pedalaman). Mereka mempunyai karakteristik yang berbeda-beda dan khas. Misalnya, masyarakat Badui berwatak keras, mempunyai ikatan solidaritas yang tinggi, tapi susah diatur; masyarakat petani mempunyai ketergantungan dan keterikatan dengan alam yang cukup tinggi; sedangkan masyarakat pedagang mempunyai kedisiplinan tinggi dengan perhitungan matematis, dan kurang mempunyai solidaritas terhadap kelompok-kelompok yang lain. Saat itu, kota Makkah yang menjadi medan gerakan Muhammad sebetulnya merupakan kawasan kosmopolit. Dalam konteks budaya kosmopolitan, Makkah telah merefleksikan beragam dampak dari budaya khas Arab: (1) kesenjangan kelas ekonomi, antara pedagang yang kaya dengan yang miskin, yang kemudian memproduksi beragam eksploitasi antargolongan yang berkepentingan secara ekonomi (2) tradisi barbarian seperti menundukkan (merazia) kelompok satu dengan yang lain atas dasar kepentingan ekonomi. Situasi historis ini harus kita baca secara kritis dengan pendekatan ilmu sejarah, yakni melihat epistem dan sosiologi masyarakat Arab waktu itu, kemudian analisis itu digunakan untuk melihat produk-produk kebijakan etis Islam.

Muhammad sebagai sosok yang membawa Islam, sebetulnya seorang aristokrat, tapi ia mampu melakukan perubahan dan pembebasan signifikan di Arab waktu itu, mengapa? Karena, ia telah mampu melakukan proses "transendensi intelektual" dalam melihat masyarakat dan sejarah. Ia perlu ke gua hira terlebih dahulu untuk bertafakur, tidak saja melihat apa yang terjadi sesungguhnya di masyarakatnya, tetapi memikirkan bagaimana melakukan aksi perubahan sekaligus membangun peradaban baru yang lebih baik. Proses transendensi intelekual itu kemudian melahirkan pembacaan kritis atas masyarakat. Dan pembacaan kritis kemudian melahirkan aksi penyadaran dan pembebasan. Ujungnya ia memberikan konsep-konsep dasar etis dalam tata masyarakat waktu itu. Yakni keselamatan dan kesejahteraan umat manusia. Ayat-ayat awal yang turun di Makkah dengan jelas merefleksikan hal itu.

Oleh karena itu untuk membangun Islam yang progresif, kita harus melakukan proses transendensi intelektual secara terus-menerus, membaca secara kritis sejarah dan kebudayaan masyarakat di satu sisi, dan teks kitab suci dalam konteks wacana dimana teks kitab suci itu diproduksi, di sisi yang lain. Yang pertama, kita mesti mampu membongkar ideologi-ideologi yang mengkonstruksi sejarah dan peradaban umat, kemudian memetakan bentuk-bentuk anomali yang terjadi, dan pada gilirannya sering melahirkan proses-proses eksploitasi dan emperialisasi (jangan dipahami secara fisik !) dalam bentuknya yang semakin canggih sekarang. Misalnya, imperialisasi gagasan, ide ataupun wacana, seperti ideologi modernisasi. Kondisi demikian bisa kita temukan jika kita mampu melihat masyarakat sebagai struktur diskursif dan dialektik.

Yang kedua, Islam sebagai sebuah konsep ideal-etik dalam konteks ini tidak lagi dirujuk pada teks-teks kitab suci secara literal—karena memang teksnya terbatas, dan telah mati, meminjam istilah Arkoun, dalam corpus resmi—tetapi harus beyond texs, dengan menggunakan model-model pembacaan yang produktif. Yakni model pembacaan yang mampu membongkar sesuatu yang tidak terpikirkan dan yang belum terpikirkan. Dalam konteks ini kita harus berani mengkonsepsikan bahwa semua teks kitab suci dalam makna literalnya adalah zanni, dan yang qath'i hanyalah nilai-nilai etik yang ada di dalamnya.

Dari dua jalur gerakan di atas, sebuah perubahan dan peradaban umat, seperti kata Nasr Hamid Abu Zaid, tidak hanya dikonstruksi oleh dunia teks—karena memang teks jika tidak dibaca akan "mati"—tetapi merupakan dialektika manusia dengan sejarah di satu sisi, dan pembacaan yang produktif atas teks kitab suci di sisi yang lain. Dengan demikian, ancangan epistemologis yang harus diambil umat Islam adalah tiga epistem mendasar seperti yang dipetakan Al-Jabiri: nalar bayani, burhani dan irfani.

Singkat kata, secara praksis, jika kita hendak mengusung Islam yang progresif, harus ada networking yang jelas membangun epistemologi keislaman kita. Bahwa Islam tidak harus diacukan pada konstruksi teks kitab suci yang sadar atau tidak sesungguhnya merupakan produk lima belas abad yang lalu dengan model paradigma masyarakat waktu itu. Tetapi menangkap ideal-etik yang menjadi landasannya jauh lebih signifikan dalam konteks sekarang. Dengan demikian, Islam tidak saja melakukan pembebasan tetapi juga membangun tata kehidupan yang berperadaban. Di sini tentu mengandaikan adanya keharusan pemihakan yang tegas umat Islam: pada kemanusian, kebebasan, keadilan yang bersifat universal. Semua itu, sekalagi bukan tergantung pada bentuk literal teks kitab suci, tetapi pada bagaimana epistem dan gerakan manusia-manusianya yang selama ini mengimani Islam, sebagai

Tidak ada komentar: