Rabu, 29 Desember 2010

ANALISIS KEMISKINAN BOYOLALI

Text Box: ANALISA AWAL KEMISKINAN  KASUS KABUPATEN BOYOLALIText Box:   Sumber: BPS Boyolali    Sumber: BPS Boyolali   Tabel-1.1 Struktur Ekonomi dan  Daya Serap Tenaga Kerja Tiga Sektor Utama Kontribusi  PDRB Tenaga kerja Pertanian 35.8%   321,153  Perdagangan, Jasa 33.9%   114,357  Industri Pengolahan 16.8%     40,943  Sumber: BPS BoyolaliI

Pendahuluan


Geo-ekonomi. Kabupaten Boyolali berada di Propinsi Jawa Tengah. Secara geografis terbe-lah menjadi 4 bagian yang masing memiliki karakteristik infrastuktur yang berbeda. Bagian Barat terdiri dari kecamatan Selo, Ampel, Cepogo, dan Musuk yang terletak di kaki gunung Merapi dan Merbabu. Bagian Tengah mencakup Boyolali, Mojosongo dan Teras. Bagian Timur terdiri dari Banyudono, Sawit, Sambi, Ngemplak, Nogosari dan Simo. Bagian utara Andong, Klego, Karanggede, Kemusu, Wonosegoro dan Juwangi yang banyak kawasan hutan. Bagian tengah cukup strategis karena berada pada perlintasan antara Sura-karta-Semarang dan Surakarta-Yogyakarta. A-kan tetapi, dibandingkan dengan Kabupaten eks-karisidenan Surakarta dapat dikatakan paling tertinggal dari sisi perkembangan eko-nomi maupun pelayanan dasarnya (banding-kan dengan Solo, Karanganyar, Sragen, Soko-harjo, Wonogiri dan Klaten. Hal ini disebab-kan wilayah Kabupaten Boyolali sangat luas (101.510,0965 Ha) dibandingkan kabupaten-kabupaten tersebut. Sebagian besar wilayah merupakan lahan kering, baik berupa tegalan, pekarangan maupun hutan (lihat gambar-1.1)

Pertanian memainkan peran utama, akan tetapi dukungan anggaran minim. Bagian terbesar penggunaan lahan di Boyolali adalah untuk pertanian. Sektor pertanian merupakan merupakan kontributor utama perekonomian Kabupaten (mencapai 35,75% dari PDRB dan menyerap 321.153 orang tenaga kerja). Perta-nian juga memiliki fungsi “katup pengaman sosial” masyarakat pedesaan pada saat terjadi krisis ekonomi. Namun demikian, dukungan anggaran pemerintah daerah pada sektor pertanian cenderung minim. Dari total APBD tahun 2006 yang berjumlah Rp. 347 miliar, anggaran yang dialokasikan hanya sebesar Rp. 8.003.852.400 dalam bentuk bantuan lang-sung masyarakat dan Rp. 275.706.000,- untuk bantuan bibit dan alat-alat pertanian.

II

Orang Miskin Di Boyolali:

dimana mereka berada?

Kemiskinan tertinggi ada di kawasan sepu-tar hutan negara. Sebaran penduduk terkon-sentrasi di wilayah tengah dan timur yang berbatasan dengan Solo, Sukoharjo, Karang-anyar dan klaten, Sedangkan penduduk miskin terkosentrasi diwilayah Boyolali bagian utara yang berbatasan dengan Purwodadi dan Sragen. Jumlah KK miskin selama lima tahun terakhir cenderung meningkat berdasarkan data BPS tahun 2005 sebanyak 116.774 KK dari 247.822 KK (47%). Berdasarkan data Tim Kordinasi Penanggulangan Kemiskinan Dae-rah (TKPKD), pada tahun 2006 KK miskin berjumlah 128.922 KK (51,87%). Dari 19 Ke-camatan, tingkat kemiskinan tertinggi berada di tiga kecamatan yaitu: Wonosegoro (88%), Kemusu (80%) dan Juwangi (82 %). Ketiga kecamatan ini mayoritas berupa kawasan hutan dan sebagian merupakan area pertanian tadah hujan.

Kemiskinan terendah ada di kawasan berakses strategis. Di ibukota kabupaten dan dua kecamatan yang berbatasan dengan Sura-karta (kecamatan Sawit dan Bayudono), angka kemiskinan relatif lebih rendah dibandingkan kecamatan lain (25,4%).

III

Siapa Mereka?

Di kawasan hutan orang miskin menjadi buruh tebang perhutani, atau menjual daun jati dan ranting pohon. Orang miskin di wi-layah Boyolali utara, (Kemusu, Wonosegoro, Juwangi) pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mencari daun jati untuk dijual kepada pengepul yang selanjutnya dibawa ke pasar legi Solo, mencari ranting-ranting pohon jati dan mahoni dijual ke pengepul untuk kayu bakar, ada yang buruh menggembala sapi, buruh tanam jagung ke perhutani, buruh tebang ke perhutani, dan sebagian mencari dangkel kayu jati untuk dijual ke pengepul buat kerjinan.

Di dataran tinggi non hutan orang miskin menggembala ternak, bertanam jagung dan menjadi migran ke kota besar. Sedangkan KK Miskin di daerah sebagian Klego, Seba-gian Andong dan Sebagian Karanggede yang tanahnya termasuk dataran tinggi dan bebatuan, berprofesi buruh tani jagung, buruh penggembala ternak, bertani singkong, jagung, daerah ini sebagain besar penduduknya banyak yang migran ke Jakarta, Semarang dan Solo, sebagai buruh bangunan.

Di kaki pegunungan orang miskin bekerja sebagai pemerah susu sapi atau buruh rajang tembakau. KK miskin wilayah kaki pegunungan yang meliputi musuk, Selo, Cepogo, dan sebagian Ampel menjadi buruh ternak (dari perusahaan sapi perah yang dimiliki warga Solo dan Semarang), atau melakukan penggemukan sapi yang hanya berjumlah 1-2 ekor. Profesi lain adalah buruh tanam tembakau untuk waktu-waktu tertentu, atau buruh rajang tembakau yang lahannya disewa oleh orang-orang dari luar boyolali atau warga setempat. Sebagai peternak, mereka memiliki ketergantungan tinggi pada GKSI (gabungan koperasi susu Indonesia) dimana salah satu anggota koperasi, yakni PT. NUSAMBA Jakarta, sangat menetukan dalam pengambilan keputusan. Harga susu cenderung ditentukan sepihak oleh GKSI.

Di kawasan berakses strategis orang miskin bekerja di sektor jasa informal. Di kawasan strategis (a.l: ibu kota kabupaten), angka kemiskinan relatif lebih rendah. Di wilayah ini masyarakat kelas menengah (umumnya biro-krat dan pedagang) banyak berdomisili. Orang miskin di wilayah ini banyak bekerja di sektor informal (perdagangan) dan jasa angkutan.

Keterwakilan langsung di legislatif dari tiga wilayah termiskin sangat lemah. Dari struktur politik formal, masyarakat di tiga Kecamatan dengan tingkat kemiskinan tertinggi (lebih dari 80%), yakni Kemusu, Juwangi dan Wonosegora, meskipun pemilu sejak 1999 didominasi oleh PDIP dan Golkar ternyata hanya ada 2 anggota DPRD yang berasal dari ketiga wilayah kecamatan tersebut. Baru setelah pemilu pada tahun 2004 ada 3 anggota DPRD (dari partai PKB 1, PPP 1,PDIP 1 ) yang berasal dari Kec. Wonosegoro dan Juwangi.

IV

Mengapa Mereka Miskin?

4.1 Kemiskinan dan Sistem Produksi

Tinggal di sekitar tanah milik negara (perhutani) telah menyebabkan dukungan infrastruk-tur dari pemerintah daerah terhambat. Angka kemiskinan yang cukup fantasatik di tiga kecamatan kawasan hutan tak terlepas lepas dari akses Di wilayah ibu kota Kecamatan Juwangi jarak Desa dengan Kecamatan ada yang mencapai 20 KM, yaitu Desa Ngleses dan Krobokan. Jarak ibu kota Kecamatan Juwangi dengan ibukota Kabupaten mencapai 66 Km, Kemusu 45 KM dan Wonosegero 48 Km. Kondisi jalan sering rusak dengan alasan kon-disi tanah labil. Angkutan hanya tergantung pasaran (hari-hari tertentu). Hal lain, status tanah milik negara (PT Perhutani) menyebabkan upaya pembangunan infrastruktur dasar oleh pemda (seperti: puskesmas, sekolah dan irigasi) mengalami kendala kewenangan. Hal lain, tak adanya irigasi menyebabkan di ketiga kecamatan tersebut hanya mampu bertani tanaman pokok jagung di sebagian besar lahan Perhutani melalui pola bagi hasil atau sewa. Sebagian bekerja mencari daun Jati, dan ranting kayu untuk dijual. Sebagain juga mencuri kayu hutan untuk di jual ke penadah.

Alih fungsi lahan terbanyak dialami oleh lahan pertanian dan hutan negara menjadi permukiman. Lahan pertanian pada tahun 2005 terdiri dari sawah seluas 22.117 ha, tegalan 30,616 ha dan hutan Negara 14,633 ha. Terjadi penyusutan dibanding tahun 2002, dimana luas sawah 22.946 ha, tegalan 30,748 ha dan hutan Negara 14.676 ha. Banyak lahan pertanian dan hutan Negara berkurang karena secara alamiah beralih fungsi menjadi permu-kiman penduduk.

Irigasi: waduk Kedung Ombo ada di sini, tapi lebih banyak menguntungkan kabupa-ten lain... Sungai yang mengalir di wilayah Kabupaten Boyolali adalah sungai Serang, Cemoro, Pepe, dan Gandul. Selain itu terdapat juga beberapa waduk, diantaranya adalah waduk Kedungombo seluas + 3.536 Ha, Kedungdowo (+ 48 Ha), Cengklik (+ 240 Ha), dan Bede (+ 80 Ha). Meskipun demikian, beberapa kecamatan masih mengandalkan tadah hujan yaitu, Juwangi, Kemusu, Selo, Musuk dan cepoga, dll. Hanya 5 kecamatan yang memperoleh irigasi tehnis, dan ½ tehnis yaitu Ngemplak, Sawit, Banyudono, dan sebagian Teras, Mojosongo.

Text Box: Tabel-3.1 Prioritas bantuan ekonomi  yang diperlukan oleh KK Miskin NO JENIS BANTUAN  % 1 Bantuan Modal Usaha 24,9 2 Bantuan Pemasaran Hasil Usaha 17,6 3 Bantuan Peralatan Usaha 15,2 4 Bantuan Pelatihan Ketrampilan 12,7 5 Bantuan Penyaluran Tenaga Kerja 12,1 6 Bantuan Perumahan 6,1 7 Bantuan Peternakan 5,5 8 Bantuan Pertanian 3,6 9 Bantuan Perikanan 2,4 Sumber: Survei Ma’arif instituteDistribusi: perbaikan jalan bergantung pada jadual tebang perhutani yang berkisar antara 15-25 tahun... Kondidi infrastruktur transpor-tasi yang paling parah meliputi adalah Juwangi, kemusu, wonosegora selo, Cepogo dan Musuk. Meskipun sudah ada program PPK, dan P2KP ternyata belum bisa secara keseluruhan membuka desa-desa yang sangat terpecil, bahkan di sekitar hutan masih terdapat jalan-jalan setapak. Jalan akan diperbaiki jika PT Perhutani sampai pada jadual produksi (penebangan kayu). Umumnya berkisar antara 15-25 tahun.

Modal untuk produksi: dari mana berasal? Selain dari sumber-sumber konvensional seperti pinjaman dari kerabat, kiriman anggota keluarga atau pinjaman ke individu lain (a.l: rentenir), KK miskin juga memperoleh modal produksi dari program-program pemerintah yang ada di wilayah domisili mereka. Hasil studi menunjukkan urutan prioritas bantuan modal usaha, pemasaran hasil produksi dan peralatan usaha yang terbesar. Bantuan penyaluran tenaga kerja hanya menduduki peringkat kelima. Ini kemungkinan disebabkan masyarakat relatif terbiasa berhubungan sendiri dengan unit-unit penyalur tenaga kerja yang ada di kabupaten.

Lapangan kerja terbatas, migrasi tinggi. Tidak ada pertambahan penduduk menunjuk-kan adanya kecenderungan migrasi tenaga kerja ke luar daerah. Berdasarkan angka kelahiran yang tercatat setiap tahun hanya mencapai 1211 dari 900 ribu lebih penduduk, tetapi tidak terjadi pertambahan penduduk dalam data kependudukan. Meskipun demi-kian kemungkinan banyak kelahiran yang tidak ditangani oleh unit pelayanan formal. Sementara, data kependudukan menunjukkan bahawa jumlah penduduk tidak mengalami pertambahan. Ini menunjukkan bahwa banyak terjadi migrasi penduduk ke luar kabupaten. Di samping migrasi yang disertai dengan perpin-dahan status domisili, juga terjadi migrasi sejumlah besar tenaga kerja ke luar daerah dengan menjadi tenaga migran, baik ke kota-kota besar maupun ke luar negari (TKI). Menjadi tenaga migran merupakan cara untuk mempertahankan hidup bagi sebagian masya-rakat usia kerja yang berpendidikan rendah. Belum adan dukungan program yang konkrit untuk mengatasi persoalan tenaga kerja ini.

4.2 Kemiskinan dan Pelayanan Pendidikan

Penduduk usia kerja: 67,38% paling tinggi berpendidikan sekolah dasar. Dari data tahun 2005 diperoleh angka komposisi tingkat pendi-dikan sebagai berikut: tidak tamat SD mencapai 31,56 %, yang menamatkan SD mencapai 35,82 %, tamat SMP 17,91%, sedangkan untuk SM dan sederajat 13,18%, akademi dan sederajat 1,42 % dan yang menamatkan S1 hanya 0,02%.

Tingkat penghasilan KK miskin berhu-bungan dengan pendidikan. Dari studi yang dilakukan ternyata ada perbedaan dalam tingkat penghasilan KK miskin berdasarkan latar belakang pendidikan. Semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin tinggi tingkat penghasilan (lihat tabel-2.1), meskipun secara keseluruhan mereka masih masuk dalam kategori miskin. Ini membuktikan bahwa dalam jangka panjang pendidikan memiliki pengaruh terhadap kemiskinan.

Biaya masih dirasakan tinggi, terutama transport. Biaya pendidikan masih membe-ratkan KK miskin untuk yang memiliki anak pada tingkat SLTA. Hasil survai menujukkan 52,53% menyatakan biaya pendidikan di Bo-yolali masih memberatkan. Biaya transport merupakan kendala utama untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hasil FGD di Ampel Boyolali terungkap untuk anak yang sekolah di SMK harus mengeluarkan 600 ribu termasuk jajan dan transport. Ini berimplikasi pada sangat rendahnya angka partisipasi di pada jenjang SLTA.

Angka putus sekolah tinggi di wilayah-wilayah yang angka kemiskinannya tinggi. Diperoleh data angka putus sekolah tahun 2005 untuk SD, 0,20%, SMP, 0,276 % dan SMA 1,24 %, tahun 2006, SD 0,11%, SMP 0,275 dan SMA 1,04. Konsentrasi angka putus sekolah tertinggi adalah di daerah yang angka kemiskinannya tinggi seperti di Kec. Kemusu, Wonosegoro, Juwangi, Selo, Cepogo yang rata-rata orang tuanya petani pada lahan tegalan. Anak-anak yang putus sekolah umumnya membantu orang tua yang bekerja pada sector pertanian. Di sisi lain, lahan perta-nian semakin berkurang, maka mereka meng-garap tanah-tanah sengketa antara pihak ma-syarakat dengan Perhutani. Ini banyak ditemui di kecamatan Kemusu (kedungombo) dan Ke-camatan Juwangi.

Semakin tinggi jenjang pendidikan, sema-kin rendah angka partisipasi. Angka Parti-sipasi Kasar (APK) pada tingkat SD sebesar 101,6. Angka Partisipasi Murni (APM) 85,78. Untuk SMP/MTs, APK 83,32, APM 60,15 sementara untuk SMA APK 43,35 dan APM hanya 30,24. Baik APK maupun APM, me-nunjukkan kecenderungan menurun pada jen-jang yang lebih tinggi.

Hanya 13% yang yang terlibat dalam pengambilan keputusan di komite sekolah. Dari analisa sementara, ternyata factor akses bagi KK miskin sangat lemah dalam pengam-bilan kebijakan pendidikan dan bahkan dis-kriminasi dalam pengambil keputusan, ini terbukti dari hasil riset keterlibatan KK miskin dalam komite sekolah hanya 13 %. Sementara dari program-program yang dibuat diknas tidak ada sama sekali pemberdayaan komite lebih-lebih keterlibatan wali murid miskin dalam komposisi komite.

Dukungan Anggaran: meskipun ada alokasi untuk rehab sekolah, tapi sumbangan untuk perbaikan gedung tetap ada. Dari hasil riset yang dilakukan beberapa bulan terakhir persoalan yang mendasar di Boyolali adalah sarana prasarana pendidikan yang rendah, dtemukan fakta melalui studi bahwa 41% reponden (KK miskin) masih menghendaki perbaikan sarana prasarana pendidikan. Responden menyatakan bahwa meskipun telah ada program BOS yang menggratiskan SPP bulanan siswa dan Pemda mengalokasikan rehab gedung sekolah, tetapi tiap tahun siswa masih dipungut sumbangan untuk perbaikan gedung sekolah. Sejalan dengan prioritas Dinas pendidikan Kab. Boyolali yang akan menutaskan wajib belajar 9 tahun pada tahun 2010, dari tahun ke tahun anggaran pendidikan terus meningkat. Mes-kipun APBD 2005 untuk pendidikan belanja modalnya mencapai Rp. 11 miliar tahun 2006 dan mencapai Rp. 27 miliar tahun 2007, dan BLM menjadi Rp.70 miliar pada tahun 2007, masih belum menjawab persoalan ini.

4.3 Kemiskinan dan Pelayanan Kesehatan

Akses yang buruk dan distribusi tenaga medis yang tak merata. Data tahun 2006 Angka Kelahiran Bayi sebanyak 1226 dan Angka Kematian Bayi 25 kasus dari kelahira hidup atau AKB 20 per 1000.Dari AKI melahirkan terdapat 2 kasus kematian Ibu dari 1226 kasus kelahiran hidup. Sedangkan prevalensi gizi kurang pada balita 12 %. Apabila di cermati ke 3 di kec. Wonosegoro, Ngemplak dan Selo. kasus Angka kematian Ibu melahirkan dan kematian bayi, gizi buruk, ternyata di pengaruhi faktor yang jauh dari perkotaan, dan ketersediaan sarana prasarana. Tenaga kesehatan terkonsentrasi di kota keca-matan. Sementara Gizi buruk terdapat 12 ka-sus 8 kasus di daerah tandus Kemusu, Juwangi dan Wonosegoro, 2 kasus didaerah subur dan 2 kasus di daerah miskin pegunungan.

Jenis penyakit terbanyak di wilayah-wila-yah miskin terkait dengan kondisi hidup yang buruk. Dalam data kesehatan ditemukan bahwa untuk wilayah-wilayah dengan angka kemiskinan tinggi penyakit yang banyak adalah flek, Diare, Muntaber, untuk daerah pengunungan yaitu Selo, Cepogo dan Ampel. Jenis penyakit terebut sangat terkait dengan kondisi hidup yang buruk, dan besar kemung-kinan dialami oleh KK miskin.

Ada program asuransi kesehatan (Askes-kin), tapi sistem rujukannya hanya efektif untuk warga miskin di seputar ibukota kabupaten. Meskipun telah ada program asuransi kesehatan untuk penduduk miskin, bagi wailayah-wilayah dimana tingkat kemiskinan tinggi manfaat fasilitas ini dirasakan belum optimal karena akses mereka terhadap pusat pelayanan relatif jauh dan sistem rujukan untuk tempat perawatan masih terbatas pada unit-unit pelayanan milik pemerintah. Meskipun demikian, tingkat ke-puasan KK miskin terhadap pelayanan kese-hatan melebihi jenis pelayanan lainnya (lihat tabel-2.1)

4.4 Kemiskinan dan Regulasi

Inefisiensi dalam perijinan telah mengham-bat pertumbuhan UKM. Dalam upaya pen-ciptaan lapangan pekerjaan ada program sti-mulan berupa pinjaman untuk UKM dengan bunga 6% setahun yang bersuber dari APBD sebesar Rp. 6 M, dan oleh pihak ketiga (bapak asuh BUMN) senilai Rp. 4 M. Program PPK, P2KP, P2SPP mencapai angka Rp. 4 M. Pada program sistem bapak angkat, masing-masing UKM diberi pinjaman 10 juta dengan syarat melibatkan tenaga kerja dari KK miskin minimal 3 orang. Persoalan yang memberat-kan adalah program mewajibkan setiap UKM untuk memiliki SIUPP, TDP, TDI, HO, sementara biaya untuk masing-masing surat izin bisa menghabiskan dana tidak kurang dari Rp. 400.000. Pemda sudah mengadakan sistem Kantor Pelayanan Terpadu (KPT), tetapi dalam praktik standar waktu belum pasti dan banyak urusan masih harus berhubungan langsung dengan instansi terkait agar proses dapat lebih cepat.

Retribusi: restriksi terhadap penciptaan pendapatan rakyat? Pendapat Asli Daerah di Boyolali terbesar di sumbang dari rumah sakit yang mencapai Rp. 17.0 miliar untuk tahun 2006, urutan kedua dari retribusi pasar khususnya pasar sapi yang mencapai Rp.3.5 miliar. Terjadi perbedaan pendapat terhadap retribusi yang menjadi sumber pendapatan asli daerah. Sebagian masyarakat menyatakan bahwa retribusi rumah sakit tidak patut dijadikan sebagai sumber pendapatan asli daerah. Hal lain, meskipun retribusi dari pasar sapi, pasar umum dan perijinan memiliki total nilai mencapai Rp. 12,5 miliar per tahun (lihat tabel-4) masih perlu dikaji secara mendalam mengenai dua hal berikut: (i) apakah jenis retribusi tersebut tidak menghambat aktivitas ekonomi rakyat? (ii) jika tidak, apakah sumber pendapatan tersebut dialokasikan secara konsisten untuk meningkatkan sektor ekonomi terkait? Mengkaji dan melakukan reformasi sistem regulasi lokal menjadi penting mengingat temuan studi mengenai tingkat kepuasan KK miskin terhadap pelaya-nan ekonomi menunjukkan tingkat terendah (lihat tabel-2.1).

1 komentar:

Pontianak mengatakan...

https://pontianak-hot.blogspot.com

DOWNLOAD BOOT-REPAIR-DISK,
Then burn it on a live-USB key via Rufus or Unetbootin. (do not burn it on CD/DVD if your PC came with Windows8)
Insert the Boot-Repair-Disk and reboot the PC,
Choose your language,
Connect internet if possible
Click "Recommended repair"
Reboot the pc --> solves the majority of bootsector/GRUB/MBR problems

Visit : https://pontianak-hot.blogspot.com