Parpol
atau partai politik pasca demokrasi
telah melahirkan implikasi yang beragam, baik yang bersifat positif maupun yang
bersifat negatif. Parpol
di Indonesia pasca demokrasi tidak
lagi di arahkan pada esensi yang sesungguhnya sepanjang itulah demokrasi akan
lebih terlihat dengan wajah yang sangat garang, penuh teka teki, dan tidak
jarang juga di penuhi dengan wajah destruktif dan anarki.
Dalam konteks seperti itulah, kita bisa menyebut bahwa
demokrasi kita sedang bergolak. Khususnya pasca tumbangnya rezim
otoritarisme orde baru. Kemampuan kita sebagai negara bangsa (Nation
State) untuk keluar dari rintangan – rintangan tersebut merupakan pertanda
awal bahwa Demokrasi kita sedang dan akan tumbuh di alam yang subur.
Sebaliknya, jika perintang – perintang bagi proses pembumian
demokrasi itu tidak dapat di atasi, demokrasi kita akan jatuh pada lubang
yang sama, yaitu peyanderaan demokrasi.
Parpol
di Indonesia pasca demokrasi memang
sedang melakukan upaya pemberdayaan kultur politik rakyat yang demokratis yang
kini sedang berjalan. Dan harus diadakan upaya sungguh-sungguh untuk
menciptakan perangkat pengawasan eksekutif yang disertain dengan pengawasan
social. Dalam upaya menciptakan pengawasan social inilah diperlukan suatu
system Check and Balance (pengawasan dan keseimbangan) yang jelas dan efektif.
Makanya itu adalah bahwa dalam melaksanakan tugas-tugasnya, eksekutif harus
dicegah agar tidak melampaui batas-batas wewenangnya atau mencoba melakukan
akumulasi kekuasaan.
Oleh
karena itu, DPR dan Mahkamah Agung (MA) perlu diberi kekuasaan yang memadai
untuk melakukan pengawasan terhadap Eksekutif. Sebaliknya, agar lembaga
Eksekutif dan lembaga Yudikatif tidak membuat larangan yang semena-mena dalam
membuat larangan atau menerapkan pengawasan. Lembaga Eksekutif juga harus
diberikan seperangkat ketentuan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan
kekuasaan oleh DPR dan MA. Dengan demikian, semua lembaga mampu saling menjaga
agar tidak melampaui batas kekuasaan masing-masing dan selalu terpacu untuk
melakukan semua tugasnya secara optimal.
Parpol
adalah salah satu dari infrastruktur
politik, sedangkan infrastruktur politik di Indonesia meliputi keseluruhan
kebutuhan yang diperlukan di bidang politik dalam rangka pelaksanaan
tugas-tugas yang berkenaan dengan asal mula, bentuk dan proses pemerintahan
pada sebuah Negara. Oleh karena itu, ada organisasi partai politik yang resmi
tampak, seperti partai-partai politik, perkumpulan buruh, tani, nelayan,
pedagang, organisasi wanita, pemuda, pelajar, militer dan lain sebagainya.
Akan
tetapi, terdapat juga organisasi abstrak yang tidak resmi yang sangat menguasai
keadaan sebagai elite power, yang disebut juga dengan grup penekan (pressure
group). Seperti kelompok kesukuan, fanatisme, keagamaan dan kelompok tertentu
yang berdasarkan almamater. Kejadian-kejadian seperti ini telah berlangsung
beberapa tahun ini. Di sinilah kita melihat bahwa partai politik kita belum
dewasa. Ini karena belum adanya pembaharuan dalam perilaku manusianya. Satu hal
yang kita dambakan ke depan adalah adanya kedewasaan para elite partai politik
lazimnya sebagai sebuah media atau alat atau saluran untuk mendemonstrasikan
peran-peran politik untuk mencapai tujuan serta memenuhi keinginan dan
kepentingan bersama. Dalam paradigna seperti ini, posisi parpol sangatlah
sentral. Menjadi focus partai politik adalah milik bersama, tidak ada
pembatasan kepentingan individu.
Parpol
setelah reformasi menjadi fenomena yang sangat ramai
dieprbincangkan. Keadaan parpol setelah reformasi dan sebelum sangat bertolak
belakang. Di era reformasi dimana keran kebebasan kembali dibuka setelah lama
dipasung ketika masa Orde Baru berlangsung membuat banyak partai politik
menjadi meningkat dalam hal jumlah. Diakui atau tidak dalam era sekarang ini
sistem yang menganut jumlah partai yang banyak (multipartai) membuat kinerja
negara yang menganut sistem presidensil menjadi tidak efektif.
Hal itu terbukti dalam pemerintahan yang terbentuk di masa
reformasi, mulai dari pemerintahan BJ. Habibie, pemerintahan Abdurrahman Wahid,
dan pemerintahan Megawati sampai ke pemerintahan SBY jilid 1 maupun jilid 2
dewasa ini. Keperluan mengakomodasikan kepentingan banyak partai politik untuk
menjamin dukungan mayoritas di parlemen sangat menyulitkan efektifitas
pemerintahan, termasuk pemerintahan SBY-Boediono yang ada sekarang.
Parpol
setelah reformasi dimulai dengan munculnya berbagai
macam partai politik. Walaupun demikian, partai baru tersebut banyak
bermunculan dengan wajah-wajah lama dari era perpolitikan terdahulu atau bahkan
merupakan sosok yang “dibuang” dari partai sebelumnya. Dalam hal ini misalnya
Partai Hanura dan Gerindra, dimana partai ini juga termasuk partai baru yang
cukup sukses didalam pemilu tahun 2009. Partai politik yang tergolong baru juga
tergolong mempunyai kans yang kuat untuk meraih massa dengan pandangan baru
yang mengatasnamakan kekecewaan publik terhadap kinerja parta politik yang ada
saat ini, karena memang sulit dibantah keadaan partai politik yang ada saat ini
semakin membuat publik kurang percaya dengan kredibilitas partai yang ada
mengingat banyaknya kasus yang membelit satu per satu partai yang ada saat ini.
Selain
itu ada semacam trend fenomena yang terjadi dalam era reformasi sekarang ini
dimana banyak kita temukan antara lain:
- Politkus “Bajing Loncat” atau Kutu Loncat. Sering kita temukan beberapa politkus yang pindah-pindah partai menurut selera dan analisis mereka terhadap peluang yang dapat diraih untuk mencapai karier dalam dunia politik. Partai politik berganti-ganti nama. Beberapa partai politik harus mengganti namanya untuk membedakan ketua umum dan partai tersebut dengan rival politiknya dalam partai induk (sebelumnya).
- Partai politik mengusung nilai-nilai keagamaan. Apapun dilakukan untuk menjadi “kendaraan” politik agar tujuan mendominasi kekuasaan mencapai sasaran.
- Politikus yang indisipliner semakin merajalela dan tak terkendali lagi keberaniannya. Mereka kini berani terang-terangan membohongi rakyat yang mempercayainya dan memberi amanah untuk menyampaikan pesan dan aspirasi sebagaimana yang dijanjikan dalam sumpah jabatan dan selama pemilihan menuju karir politiknya.
- Konsentrasi politkus kita kebanyakan mengurusi obyek-obyek yang memberikan pemasukan ketimbang mengutamakan visi dan misi yang dibebankan kepadanya sebelum mereka mencapai posisi tersebut. Proses tercetaknya kader secara instan dan sistem rekrutmen calon politikus dan diplomat akhir-akhir ini ditengarai sebagai kontributor utama menghasilkan “rombongan” politikus bermasalah di negeri ini.
Parpol
setelah reformasi dengan banyak terjadinya perpindahan
kader dari satu partai ke partai lainnya menunjukan pola penerimaaan kader
partai di Indonesia masih sangat lemah. Boleh dikatakan bahwa partai belum
memiliki sistem penerimaan kader partai yang baik. Pola penerimaan kader
yang harus dimulai dari bawah dan dilanjutkan dengan pendidikan kepartaian yang
berkesinambungan sering terabaikan.
Pada
sisi lain masuknya orang kesatu partai tidak jarang karena ingin mendapat
perlindungan baik itu bisnis ataupun jabatan. Akibatnya kader yang masuk dengan
murni dan mengawali dari tingkat paling rendah serta memiliki kapabilitas yang
tinggi sering terabaikan, karena kesempatan mereka telah direbut oleh kader
“kutu loncat”.
Fungsi
Partai Politik menurut para ilmuwan politik biasa
menggambarkan adanya 4 (empat) fungsi partai politik. Fungsi Partai Politik
tersebut menurut Miriam Budiardjo,
meliputi sarana: (i) sarana komunikasi politik, (ii) sosialisasi politik (political
socialization), (iii) sarana rekruitmen politik (political recruitment),
dan (iv) pengatur konflik (conflict management). Dalam istilah Yves
Meny dan Andrew Knapp, fungsi partai politik itu mencakup fungsi (i) mobilisasi
dan integrasi, (ii) sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih (voting
patterns); (iii) sarana rekruitmen politik; dan (iv) sarana elaborasi
pilihan-pilihan kebijakan.
Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait satu dengan yang
lainnya. Sebagai sarana komunikasi politik, partai berperan sangat penting
dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (interests articulation) atau “political
interests” yang terdapat atau kadang-kadang yang tersembunyi dalam
masyarakat. Berbagai kepentingan itu diserap sebaik-baiknya oleh partai politik
menjadi ide-ide, visi dan kebijakan-kebijakan partai politik yang bersangkutan.
Setelah itu, ide-ide dan kebijakan atau aspirasi kebijakan itu diadvokasikan
sehingga dapat diharapkan mempengaruhi atau bahkan menjadi materi kebijakan
kenegaraan yang resmi.
Fungsi
Partai Politik yang terkait dengan komunikasi
politik itu, partai politik juga berperan penting dalam melakukan sosialisasi
politik (political socialization). Ide, visi dan kebijakan strategis
yang menjadi pilihan partai politik dimasyarakatkan kepada konstituen untuk
mendapatkan ‘feedback’ berupa dukungan dari masyarakat luas.
Terkait dengan sosialisasi politik ini, partai juga berperan sangat penting
dalam rangka pendidikan politik. Partai lah yang menjadi struktur-antara
atau ‘intermediate structure’ yang harus memainkan peran dalam
membumikan cita-cita kenegaraan dalam kesadaran kolektif masyarakat warga
negara.
Misalnya,
dalam rangka keperluan memasyarakatkan kesadaran negara berkonstitusi, partai
dapat memainkan peran yang penting. Tentu, pentingnya peran partai politik
dalam hal ini, tidak boleh diartikan bahwa hanya partai politik saja yang
mempunyai tanggungjawab eksklusif untuk memasyarakatkan UUD. Semua kalangan,
dan bahkan para pemimpin politik yang duduk di dalam jabatan-jabatan publik,
khususnya pimpinan pemerintahan eksekutif mempunyai tanggungjawab yang sama
untuk itu. Yang hendak ditekankan disini adalah bahwa peranan partai politik
dalam rangka pendidikan politik dan sosialisasi politik itu sangat lah besar.
Fungsi
Partai Politik ketiga adalah sarana rekruitmen
politik (political recruitment). Partai dibentuk memang dimaksudkan
untuk menjadi kendaraan yang sah untuk menyeleksi kader-kader pemimpin negara
pada jenjang-jenjang dan posisi-posisi tertentu. Kader-kader itu ada yang
dipilih secara langsung oleh rakyat, ada pula yang dipilih melalui cara yang
tidak langsung, seperti oleh Dewan Perwakilan Rakyat, ataupun melalui cara-cara
yang tidak langsung lainnya. Tentu tidak semua jabatan yang dapat diisi oleh
peranan partai politik sebagai sarana rekruitmen politik. Jabatan-jabatan
profesional di bidang-bidang kepegawai-negerian, dan lain-lain yang tidak
bersifat politik (poticial appointment), tidak boleh melibatkan peran
partai politik. Partai hanya boleh terlibat dalam pengisian jabatan-jabatan
yang bersifat politik dan karena itu memerlukan pengangkatan pejabatnya melalui
prosedur politik pula (political appointment).
Fungsi
keempat adalah pengatur dan pengelola konflik yang terjadi dalam masyarakat (conflict
management). Seperti sudah disebut di atas, nilai-nilai (values) dan
kepentingan-kepentingan (interests) yang tumbuh dalam kehidupan
masyarakat sangat beraneka ragam, rumit, dan cenderung saling bersaing dan
bertabrakan satu sama lain. Jika partai politiknya banyak, berbagai kepentingan
yang beraneka ragam itu dapat disalurkan melalui polarisasi partai-partai
politik yang menawarkan ideologi, program, dan altrernatif kebijakan yang
berbeda-beda satu sama lain. Dengan perkataan lain, sebagai pengatur atau
pengelola konflik (conflict management) partai berperan sebagai sarana
agregasi kepentingan (aggregation of interests) yang menyalurkan ragam
kepentingan yang berbeda-beda itu melalui saluran kelembagaan politik partai.
Karena itu, dalam kategori Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi pengeloa konflik
dapat dikaitkan dengan fungsi integrasi partai politik. Partai mengagregasikan
dan mengintegrasikan beragam kepentingan itu dengan cara menyalurkannya dengan
sebaik-baiknya untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik kenegaraan.
Partai
politik di Indonesia setelah masa
reformasi seperti jamur pada musim penghujan. Partai politik
adalah salah satu komponen yang
penting di dalam dinamika perpolitikan sebuah bangsa. Partai politik dipandang
sebagai salah satu cara seseorang atau sekelompok individu untuk meraih
kekuasaan, argumen seperti ini sudah biasa kita dengar di berbagai media massa
ataupun seminar-seminar yang kita ikuti khususnya yang membahas tentang partai
politik. Dalam tema kali ini saya ingin menganalisa fenomena partai politik
dalam kancah perpolitikan nasional antara yang seharusnya terjadi dan yang
senyatanya terjadi.
Di Indonesia partai politik menjadi alat untuk menjembatani
para elit politik untuk mencapai kekuasaan politik dalam negara. Biasanya
partai politik ini adalah organisasi yang mandiri dalam hal finansial, memiliki
platform atau haluan politik tersendiri, mengusung kepentingan-kepentingan
kelompok dalam urusan politik, dan turut menyumbang political development
sebagai suprastruktur politik.
Partai
politik menurut Mac Iver, adalah suatu
perkumpulan terorganisasi untuk menyokong suatu prinsip atau
kebijaksanaan, yang oleh perkumpulan itu diusahakan dengan cara-cara yang
sesuai dengan konstitusi atau UUD agar menjadi penentu cara melakukan
pemerintahan. Perkumpulan-perkumpulan itu diadakan karena adanya
kepentingan bersama. Oleh karena itu, seringkali suatu perkumpulan atau
ikatan diadakan untuk memenuhi atau mengurus kepentingan bersama dalam
masyarakat. Selain mempunyai kepentingan bersama, suatu perkumpulan
khususnya partai politik, akan muncul karena anggota-anggotanya mempunyai
orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama.
Ada
pula Roger F Saltou yang mendefinisikan partai politik sebagai kelompok warga
negara yang sedikit banyak terorganisasikan, yang bertindak sebagai suatu
kesatuan politik dan dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan
untuk menguasai pemerintahan dan menjalankan kebijakan umum yang mereka buat.
Mengacu pada dua definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa partai politik
merupakan hasil pengorganisasian dari sekelompok orang agar memperoleh
kekuasaan untuk menjalankan program yang telah direncanakan. Sedangkan menurut
Miriam Budiardjo partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir
yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang
sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik
(biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan
mereka.
Partai
politik mempunyai posisi (status) dan
peranan (role) yang sangat penting dalam setiap sistem demokrasi. Partai
memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses
pemerintahan dengan warga negara. Bahkan banyak yang berpendapat bahwa partai
politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi, seperti dikatakan oleh
Schattscheider (1942), “Political parties created democracy”.
Karena itu, partai merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat
pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem
politik yang demokratis. Bahkan, oleh Schattscheider dikatakan pula, “Modern
democracy is unthinkable save in terms of the parties”.
Jadi
secara gamblang partai politik bisa berarti organisasi politik yang
menjalani ideologi tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus. Dalam bahasa
yang lain partai politik bisa berarti kelompok yang terorganisir yang
anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama.
Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut
kedudukan politik (biasanya) dengan cara yang konstitusional untuk
melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.
Subsidi
BBM dan pengurangan subsidi tersebut
sudah dibahas sejak tiga tahun lalu, dengan harapan akan segera dapat
direalisasikan agar dana subsidi bisa dialihkan ke sector lain yang tak kalah
penting. Subsidi BBM yang sempat menyebabkan demo
besar-besaran oleh mahasiswa akhirnya malah menjadi isu politik, kepentingan
usaha dan tekanan public. Salah satu masalah terbesar yang muncul dari
dinaikkannya harga BBM adalah kekhawatiran akan terhambatnya pertumbuhan
ekonomi karena dampak kenaikan harga barang dan jasa yang terjadi akibat komponen
biaya yang naik.
Inflasi tidak mungkin dihindari karena BBM adalah unsur
vital dalam proses produksi dan distribusi barang. Tetapi menaikkan harga BBM
juga tak bisa dihindari karena beban subsidi membuat negara sulit melakukan
investasi bidang lain untuk mendorong tumbuhnya ekonomi. Kenaikan harga BBM
sampai dengan Rp1.500 akan mengakibatkan inflasi bertumbuh 1,6%, tetapi juga
akan mengakibatkan reduksi subsidi sebesar Rp57 triliun. Jika hitungan itu jadi
nyata maka inflasi tidak akan bergeser terlalu tinggi dibanding target yang
dipatok pemerintah untuk tahun ini, 5,3%.
Subsidi
BBM yang terus-menerus memanjakan
masyarakat pada akhirnya malah akan menyebabkan inflasi lebih tinggi. Industri
makan-minum membutuhkan BBM untuk produksi, distribusi dan bahan baku. Kenaikan
BBM setinggi Rp1.500 akan menyebabkan kenaikan harga pangan sedikitnya 5-10%.”
Ekonom dari berbagai lembaga lain umumnya meramal inflasi akan mencapai 6-8%,
melebihi target pemerintah tahun ini 5,3%. Sejumlah komponen penyumbang utama kenaikan
inflasi, di luar naiknya harga BBM, adalah harga makanan-minuman serta tarif
transportasi. Keduanya mengklaim BBM sebagai salah satu elemen utama, bahkan
terbesar, dalam komponen ongkos produksi dan distribusi.
Beberapa
tahun terakhir dunia industri sudah tak lagi menikmati subsidi BBM naiknya
harga minyak dunia juga menjadi pendongkrak meroketnya ongkos produksi. Momok
kenaikan harga lain muncul dari sektor transportasi, yang selalu menaikkan
tarif saat kenaikan harga BBM terjadi. Buruh termasuk kelompok yang paling
rentan kena imbas kenaikan harga BBM. Apapun pertimbangan menaikkan harga BBM,
bagi kalangan miskin atau nyaris miskin, impliaksinya hanya satu: kenaikan
harga kebutuhan pokok. Sebaliknya menurut pemerintah, tak mungkin kas negara
terus-menerus dipakai untuk menambal subsidi BBM karena sektor lain menjadi
terbengkalai.
Subsidi
BBM menurut catatan Badan Kebijakan
Fiskal Kementerian Keuangan, tahun lalu besaran subsidi kesehatan hanya Rp43,8
triliun, infrastruktur Rp125,6 triliun, bantuan sosial Rp70,9 triliun,
sementara subsidi BBM menyedot dana paling besar, Rp165,2 triliun. Padahal itu
belum termasuk subsidi listrik yang berjumlah Rp90 triliun, sehingga secara
total subsidi energi APBN 2011 mencapai Rp255 triliun. Realisasi subsidi BBM juga
cenderung membengkak dari angka acuan karena konsumsi BBM yang tak terkendali.
Tahun
2010 misalnya, subsidi BBM yang mestinya habis pada hitungan Rp69 triliun
kemudian membesar menjadi Rp82,4 triliun. Hal sama terulang pada 2011 dimana
anggaran subsidi Rp96 triliun kemudian bengkak menjadi hampir dua kali, yakni
Rp165,2 triliun. Akibatnya kesempatan berinvestasi dalam bentuk infrastruktur
dan pembangunan nonfisik, termasuk kesehatan dan pendidikan, menjadi lebih
sedikit. Pengurangan subsidi BBM, menurut pemerintah, akan dialihkan sebagian
pada program infratsruktur, meski belum jelas apa saja bentuknya dan bagaimana
realisasinya.
Masalah
politik di Indonesia seringkali dikaitkan dengan sesuatu
yang sangat buruk sehingga masyarakat hanya menaruh kepercayaan yang sedikit
pada dunia perpolitikan Indonesia. Masalah politik di Indonesia juga tidak bisa lepas dari masalah social
yang membelenggu di tahun 2012 ini, misalnya masalah kenaikan BBM. Kenaikan
harga BBM selalu membuat gejolak panas masyarakat Indonesia, pasalnya kenaikan
harga BBM membawa banyak dampak negatif seperti kenaikan harga-harga kebutuhan
pokok. Sehingga, banyak kalangan masyarakat yang berunjuk rasa menolak kenaikan
harga BBM yang bertujuan untuk mengurangi beban Anggaran Pendapatan Belanja
Negara (APBN).
Seolah tak ada hentinya, gelombang protes terus dilakukan
demi membatalkan opsi tersebut. Di Jakarta Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia
berunjuk rasa dengan memblokir jalan dan membakar ban bekas, selain itu mereka
juga menutup Stasiun Pengisian Bahan bakar atau SPBU. Mereka sangat mengecam
keras akan kebijakan pemerintah tersebut. Meskipun pemerintah menjajikan akan
ada program Bantuan Langsung Tunai (BLT) tetapi masyarakat tetap menolaknya
karena mereka berfikir bahwa BLT tersebut hanya sebagai solusi instan pasca
kenaikan harga BBM. Sehingga masyarakat akan tetap mendapat kerugiannya.
Masalah
politik di Indonesia harus dituntaskan dengan terlebih
dahulu mengambil solusi untuk masalah social yang ada di masyarakat. Kita ambil
saja masalah kenaikan BBM tersebut. Pemerintah tidak perlu menaikkan harga BBM,
mengingat masyarakat di Indonesia sebagian besar adalah kalangan menengah
kebawah. Ini akan menciptakan inflasi yang kemudian berdampak buruk bagi
mereka. Meskipun BLT diadakan itu hanya sekedar solusi cepat dan singkat pasca
kenaikan BBM, dan itu tidak akan dapat membantu masyarakat memenuhi kebetuhan hidupnya.
Lalu
percuma saja ada perjuangan meminta kenaikan upah buruh, jika BBM jadi naik
kapan buruh merasakan kesejahteraannya apabila kebutuhan dan transport
sehari-harinya menjadi mahal. Solusinya bisa ditarik sebagai berikut:
- Lebih baik pemerintah mencari OPSI lain, jika beban terberat dalam APBN adalah impor BBM, sebaiknya jangan berpatokan untuk meningkatkan harga BBM saja. Sebaiknya melakukan investasi agar meningkatkan kapasitas produksi atau membatasi penggunaan BBM sehingga biaya impor dapat terkurangi.
- Bersihkan aparat hukum dari KKN.
- Jika harus terjadi kenaikan harga BBM maka pemerintah sebaiknya dapat menjelaskan maksud dari kenaikan tersebut secara terperinci dan transparan. Agar masyarakat dapat memahaminya.
Masalah
politik di Indonesia saat ini memang sangat buruk.
Keterpurukan ini disebabkan perpolitikan Indonesia yang tidak sehat. Banyak
politisi di Negara ini yang terlibat kasus korupsi. Mereka lebih mementingkan
kepentingan pribadi dan lupa akan tugasnya sebagai pejuang rakyat. Bahkan
saat ini banyak pejabat dan tokoh yang hanya bisa bercuap-cuap berdiskusi di
televisi mencaci maki kinerja pemerintah tanpa mengetahui jalan keluarnya.
Bukankah lebih baik bertindak dibandingkan hanya berdiskusi di televisi dan
sebuah diskusi tidak akan berguna tanpa adanya perbuatan nyata.
Selanjutnya
yang membuat politik Indonesia kacau adalah parpol-parpol yang memilih
selebritis tanah air untuk menjadi anggota partainya. Dengan maksud rakyat
lebih banyak memilihnya karena kepopuleran. Sebernanya, yang dibutuhkan
bukanlah kepopuleran akan tetapi kinerja yang optimal yang dapat membangun
politik Indonesia menjadi sangat baik. Dan seharusnya parpol memilih anggota
yang mahir pada bidangnya bukan asal-asalan. Karena, ini bukanlah sebuah
permainan nasib rakyat dipercayakan di tangan mereka.
Koalisi
tanpa PKS sempat menjadi perbincangan yang
sangat di kalangan elit politik Indonesia beberapa waktu terakhir. Wacana koalisi tanpa PKS
bermula sebagai akibat penolakan
atas rencana pemerintah menaikkkan harga bahan bakar minyak (BBM), Partai
Keadilan Sejahtera tampaknya benar-benar dikeluarkan dari keanggotaan
Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi Partai Politik Pendukung Pemerintah. Apa
dampaknya bagi dinamika koalisi, kabinet, dan relasi Presiden-DPR?
Secara matematis sebenarnya relatif tidak ada perubahan
mendasar dalam formasi koalisi jika PKS akhirnya didepak dari setgab. Keluarnya
PKS yang mencakup 57 kursi DPR memang berdampak pada berkurangnya total
kekuatan parpol koalisi di DPR, yakni dari 423 (75,5 persen) menjadi 366 kursi
(65,4 persen). Namun formasi kekuatan parpol koalisi sebesar 65,4 persen
tersebut, jika solid, jelas masih cukup besar untuk mendukung kebijakan
pemerintah di parlemen. Persoalannya, apakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
selaku pemimpin koalisi bisa mengelola potensi dukungan dari lima parpol
anggota Setgab, yakni Partai Demokrat (148 kursi), Partai Golkar (106), PAN
(46), PPP (38), dan PKB (28).
Koalisi
tanpa PKS ini juga dimunculkan karena di sisi
lain, kekuatan parpol oposisi di DPR kini bertambah dengan bergabungnya PKS,
sehingga menjadi total 149 kursi (34,6 persen), yang mencakup PDI Perjuangan
(94 kursi), PKS (57), Partai Gerindra (26), dan Partai Hanura (17). Kehadiran
PKS di kubu oposisi tentu bakal mempertinggi dinamika politik DPR karena
kesenjangan kekuatan koalisi-oposisi kini relatif berkurang. Secara teoritis
semakin sedikit jumlah parpol koalisi justru semakin baik, bukan hanya lantaran
fragmentasi politik dan polarisasi ideologisnya berkurang, tetapi juga karena
lebih mudah dikelola. Karena itu dikeluarkannya PKS malah mengurangi
resistensi politik secara internal koalisi. Seperti diketahui, selama ini PKS
dan Golkar adalah dua parpol koalisi yang seringkali memiliki sikap politik
berseberangan dengan pemerintah.
Hanya
saja didepaknya PKS akan berdampak pada perubahan dinamika internal Setgab
Koalisi karena parpol yang dipimpin Luthfi Hasan Ishaaq ini dikenal
kritis dalam menyikapi berbagai pilihan kebijakan pemerintah sebelum diputuskan
di parlemen. Selain itu, PKS juga hampir selalu mempertanyakan efektifitas Setgab
Koalisi karena dianggap hanya menjadi forum menyeragamkan sikap politik parpol
anggota koalisi. Tak mengherankan jika dalam berbagai kesempatan para petinggi
PKS menyatakan “siap” jika mereka harus dikeluarkan dari koalisi yang mekanisme
internalnya ditata ulang pasca-skandal Bank Century.
Koalisi
tanpa PKS juga mempunyai konsekuensi logis
lain, yaitu semakin sentralnya posisi Partai Golkar sebagai faktor penentu
dinamika internal Setgab Koalisi. Sebagai “saudara tua” Partai Demokrat,
Golkar-lah yang selama ini cenderung mengendalikan dinamika internal koalisi
seperti tampak pada kesuksesan partai beringin menggiring koalisi menunda
kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang akhirnya menjadi keputusan rapat
paripurna DPR akhir pekan lalu. Kontrol Golkar atas koalisi jelas menjadi lebih
leluasa jika PKS benar-benar dikeluarkan dari setgab.
Implikasi
berikut jika PKS diceraikan dari koalisi adalah keniscayaan bagi Presiden SBY
merombak kembali Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II. Tiga orang menteri
dari PKS, Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring, Menteri Pertanian
Suswono, dan Menteri Sosial Salim Segab Al Jufrie, harus dicari penggantinya.
Meskipun kinerja ketiganya mungkin cukup baik, namun karena jatah posisi
menteri PKS adalah kompensasi politik berkoalisi dengan SBY, apa boleh buat,
mereka harus dicopot. Di luar dampak politik yang dikemukakan di atas, soal
lebih krusial pasca-pencopotan PKS dari koalisi adalah kemungkinan semakin
tingginya dinamika relasi Presiden-DPR. Meski kekuatan parpol oposisi hanya
bertambah 57 kursi dari PKS, sikap kritis parpol bersemboyan “bersih, peduli,
dan professional” ini diduga bakal bertambah “kencang” ketika sepenuhnya berada
di luar pemerintah. Apalagi, obsesi PKS ke depan adalah menjadi parpol tiga besar
Pemilu 2014.
Analisis
pemilu di Indonesia seringkali dilakukan oleh para
pengamat politik. Analisis pemilu di Indonesia kali ini mengarahkan taringnya
kearah KPU dan Bawaslu. Meskipun diseleksi oleh orang-orang yang professional
dan memiliki integritas tinggi, dan dilanjutkan dengan fit and proper test yang
berlangsung secara terbuka, ternyata komposisi anggota KPU dan Bawaslu terpilih
tidak luput dari kelemahan. Setidaknya terdapat dua kelemahan komposisi KPU dan
Bawaslu.
Pertama, KPU dan Bawaslu memerlukan anggota-anggota yang
faham hukum. Namun demikian, dari tujuh anggota KPU terpilih, hanya satu orang
yang berlatar belakang hukum, yaitu Ida Budhiati. Kondisi yang tidak berbeda
terdapat pada Bawaslu, lembaga yang sangat berhubungan dengan penegakan hukum
pemilu, terlihat diawaki oleh orang-orang yang minim pengetahuan hukumnya.
Kedua, KPU dan Bawaslu dituntut memiliki kemampuan komunikasi yang baik secara
internasional. Saat pemilu nanti, mereka akan menjadi salah satu corong
Republik di muka internasonal. Komposisi KPU dan Bawaslu terpilih memiliki
kemampuan komunikasi, khususnya dalam bahasa Inggris, yang tidak merata.
Analisis
pemilu di Indonesia mengkondisikan kondisi di atas
membuat berbagai kalangan masyarakat sipil tergerak untuk memberikan beberapa
rekomendasi. Rekomendasi antara lain berasal dari Koalisi Amankan Pemilu 2014
yang terdiri dari 21 organisasi masyarakat sipil. Berikut adalah rekomendasi
tersebut. Pertama, meskipun proses terakhir pemilihan dilakukan secara politis,
anggota KPU dan Bawaslu terpilih harus tetap mampu menjaga independensi dan
integritas. Lupakan proses politik yang terjadi dan kembali pada misi awal
sebagai penyelenggara pemilu yang mandiri dan profesional untuk
menyelenggarakan pemilu 2014 yang jujur, adil, demokratis, berkualitas, dan
lebih baik.
Yang
kedua. anggota KPU dan Bawaslu harus bekerja secara profesional, cekatan, dan
akuntabel untuk segera memulihkan kepercayaan publik terhadap lembaga
penyelenggara pemilu. Hal ini bisa dimulai dengan membangun konsolidasi
organisasi, merumuskan langkah-langkah kerja penyiapan penyelenggaraan pemilu
kedepan, serta membentuk soliditas tim. Kelemahan komposisi keanggotaan dalam
aspek hukum harus diantisipasi dengan baik oleh KPU/Bawaslu saat ini.
Analisis
pemilu di Indonesia juga memberikan rekomendasi ketiga,
yaitu Anggota KPU dan Bawaslu terpilih agar bekerja secara terbuka,
partisipatif, dan mulai membangun program kelembagaan yang melibatkan para
pemangku kepentingan secara tepat, dengan membangun konsep partisipasi yang
setara, nondiskriminatif, dan imparsial. Yang keempat, mengajak seluruh elemen
masyarakat untuk terus mengawasi dan mengkritisi KPU dan Bawaslu agar pemilu
2014 dapat terselenggarakan sesuai dengan harapan masyarakat.
Yang
terpenting dari semuanya adalah terciptanya soliditas dari sesama anggota KPU
dan sesama anggota Bawaslu. Soliditas dalam organisasi KPU dan Bawaslu akan
mempermudah kedua organisasi tersebut untuk mampu menjalankan tugasnya dengan
baik. Tugas menyelenggarakan Pemilu adalah tugas yang maha berat. Karena itu,
soliditas adalah keharusan. Selain itu, diantara dua lembaga penyelenggara pemilu
harus terdapat kerjasama yang bersifat sinergis. Sinergi antara kedua lembaga
penyelenggara pemilu ini amat menentukan suksesnya Pemilu 2014.
Posted in pemilihan umum | Tagged pemilihan umum,
pemilu 2014,
pemilu di Indonesia | Leave a comment
Sikap
pemimpin Lembaga Negara terkadang
memang membuat masyarakat bingung. Sikap pemimpin Lembaga Negara yang berubah-ubah dan membingungkan
tersebut akhirnya diketahui oleh Presiden SBY. Sampai Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) dan pimpinan sejumlah lembaga negara melakukan pertemuan, di
Gedung DPR, Senayan, Jakarta. Pertemuan membahas soal Pemilu 2014, antara lain
terkait RUU Pemilu yang kini sedang digodok di DPR.
Ada beberapa persoalan yang perlu dibahas, seperti masalah
daftar pemilih dan data kependudukan. Karena masih ada yang dobel, ada yang
tidak terdaftar, ada yang meninggal dunia tetap masuk (DPT). Ini (akan
dibicarakan) bagaimana tidak terjadi lagi. Dengan pertemuan tersebut, tentu
saja diharapkan ada perbaikan dari masing-masing pihak. Jadi, Lembaga Negara
akan melakukan tindakan sesuai dengan kewenangan masing-masing tanpa membuat
masyarakat bingung. DPR akan membuat undang-undang yang tepat, sementara
Presiden dapat mengkonsolidasikan kementerian yang terkait dengan masalah itu.
Sikap
pemimpin Lembaga Negara kemudian
harus direm agar bisa menyesuaikan dengan kapasitas. Artinya ini masukan dan
melihat persoalan ini dan menyelesaikan persoalan pemilu 2014 mendatang.
Pertemuan ini sifatnya berdiskusi karena lembaga-lembaga negara dibentuk
berdasarkan amanat konstitusi, artinya semua bertanggung jawab pada persoalan
masing-masing.
Ada
delapan butir sikap yang dihasilkan dalam pertemuan yang berlangsung selama
tiga jam tersebut. Di antaranya, pimpinan lembaga negara meminta segenap
petinggi partai politik dalam pembahas RUU Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD
member perhatian terhadap beberapa hal yang harus disepakati dalam forum panja,
yaitu ketentuan tentang parliamentary threshold, ketentuan konversi suara
menjadi kursi, sistem pemilu yang hendak digunakan dan terkait dengan pemilihan
dan alokasi kursi untuk DPR.
Ada
8 butir sikap yang disampaikan oleh para pimpinan lembaga negara. Berikut sikap
mereka:
- Pimpinan lembaga negara melihat banyak kemajuan yang telah dicapai bangsa dalam kehidupan demokrasi. Namun demikian perlu membangun demokrasi yang lebih sehat dengan etika dan rule of law.
- Nilai-nilai demokrasi bersifat universal antara lain adalah: kesetaraan, penghargaan terhadap HAM, terpenuhinya hak-hak berserikat dan berkumpul.
- Pemerintah dan perangkat lembaga negara dituntut untuk bersikap tegas bersama menegakkan hukum, dan bukan memberikan ruang aksi kekerasan atau anarkisme melanda masyarakat atas nama kebebasan dan demokrasi.
- DPR RI tengah membahas RUU tentang perubahan atas UU No 10 tahun 2008 tentang pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD dimana masih ada beberapa hal yang harus disepakati dalam forum panja, yaitu ketentuan tentang parliamentary threshold, ketentuan konversi suara menjadi kursi, sistem pemilu yang hendak digunakan dan terkait dengan pemilihan dan alokasi kursi untuk DPR RI. Ini harus jadi perhatian segenap para petinggi partai politik.
- RUU tentang pemilu yang sedang dibahas di DPR RI diharapkan mempunyai kelebihan dibandingkan aturan main politik pemilu 2009.
- Dari segi praktik pemilu, menjamin kualitas kompetisi pemilu, memberi kesempatan pada parpol peserta pemilu untuk mengajukan calon-calonnya yang berkualitas, kualitas tata cara pemungutan suara, tata cara penghitungan suara yang lebih pasti dan tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda.
- Berdasarkan indentifikasi umum, permasalahan pemilu yang harus diperhatikan untuk dibenahi ada 3, yakni: regulasi, aktor dan kelembagaan partai politik. Ketiganya harus menjadi landasan pemikiran dalam memperbaiki demokrasi.
- Sistem politik yang ada menghasilkan aturan main yang lebih baik, implementatif, tidak tumpang tindih, sehingga tercapai pemilu yang demokratis untuk menempatkan wakil rakyat yang responsif, menciptakan pemerintahan yang legal sekaligus legitimate.
Sikap
pemimpin Lembaga Negara diharapkan
dapat menuntun masyarakat Indonesia untuk mencapai pemilu yang demokratis dan transparan
sehingga bisa meningkatkan kualitas hidup rakyat banyak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar