Peran Islam dalam Pengentasan
Kemiskinan
Islam dengan
segala ajaran luhur yang terkandung didalamnya memiliki proyeksi yang jauh ke
depan yang bertujuan untuk memelihara kepentingan dan kemaslahatan umat
manusia. Dalam Islam kita mengenal zakat (baik fitrah maupuu mâl). Sebagai
salah satu dari rukun Islam yang lima zakat fitrah ternyata mampu memberikan
solusi nyata (konkrit) dalam mengatasi kemiskinan umat. Betapa tidak, setiap
orang yang memiliki harta yang telah mencapai nisab (batas minimal harta) dan
haulnya (batas minimal waktu) diwajibkan untuk mengeluarkan zakatnya dengan
persentase yang telah diatur dalam syariat. Zakat itu nantinya akan
didistribusikan kepada orang-orang fakir lagi miskin dan tujuh golongan lainnya
sebagaimana termaktub dalam al-Quran (QS. at-Taubah [9]: 61). Dengan demikian
tidak akan ada lagi kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin. Tidak ada
lagi sikap saling mencurigai dan mengintimidasi. Karena si kaya memilki
kepedulian terhadap nasib orang miskin dan si miskin pun merasa diayomi dengan
santunan yang diberikan oleh kaum elit (aghniyâ’) itu. Inilah yang kemudian
kita sebut sebagai inti ajaran Islam yang begitu memperhatikan perikemanusian.
Ibadah lain yang
juga kita kenal dan selalu kita kerjakan secara rutin, lima waktu dalam sehari
semalam adalah shalat. Shalat adalah ibadah yang dilakukan untuk melakukan
kontak langsung dengan sang khâlik, Allah SWT. Dimana setiap muslim diwajibkan
untuk menjalankannya tanpa pengecualian. Dari ibadah shalat tersebut sejatinya
memiliki nilai psikologis yang tinggi dan sarat makna. Dalam shalat berjamaah,
ritual ini akan dipimpin oleh seorang pemandu yang disebut imâm dan
dibelakangnya terdapat jamaah yang disebut makmûm. Formulasi ini menggambarkan
kepada kita bahwa hidup yang teratur dan nyaman itu haruslah dibawahi oleh
seorang pemimpin yang memiliki kredibilitas tinggi dan berwibawa. Di samping
rakyat yang patuh dan taat kepada pemimpinnya selama pemimpin itu berada pada
koridor (aturan) yang benar. Manakala pemimpin itu melakukan kesalahan maka
rakyat sepatutnya menegur dengan teguran yang sopan dan tidak anarkis. Hal ini
karena kesalahan yang dilakukan oleh pemimpin tidak selamanya disebabkan faktor
kesengajaan, bisa saja karena kelalaian atau lupa. Lebih jauh dari itu, seorang
pemimpin pun harus merasa senang jika kesalahannya diingatkan oleh rakyat dan
bersedia untuk mundur dari jabatannya jika ternyata dia terbukti tidak lagi
mampu memimpin rakyatnya.
Perihal ibadah
shalat di atas juga memberikan pengertian kepada kita bahwa hidup yang teratur
itu juga akan menjadikan kehidupan rakyat sejahtera dan bahagia. Betapa tidak,
pemimpin dan rakyat berjalan seiring, sejalan dan selangkah menuju misi alias
tujuan yang diinginkan. Sehingga dalam melakukan segala hal, seluruh komponen
masyarakat dilibatkan tanpa terkecuali. Tidak ada lagi diskriminasi dan
demarkasi antara rakyat kecil dengan orang kaya yang berlimpahkan harta. Tidak
ada lagi golongan mayoritas dan kelompok minoritas. Semunya berkedudukan sama
di mata Allah SWT. Yang membedakan manusia yang satu dengan yang lainnya adalah
derajat ketakwaannya kepada-Nya semata. Sehingga sikap saling menghargai,
menyayangi, dan mengasihi akan terwujudkan (tercermin) dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan demikian sikap serakah, mau menang sendiri, monopoli harta
tidak akan kita dapatkan lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap
warga negara memiliki kepedulian sosial yang tinggi terhadap nasib saudaranya.
Sikap altruisme pun akan tumbuh dan berkembang pesat dalam kehidupan mereka.
Hal ini yang kemudian menciptakan iklim masyarakat yang sejahtera dan bahagia.
Selanjutnya
adalah puasa (ash-shiyâm), ibadah tahunan yang dilakukan secara rutin oleh umat
Islam setiap bulan Ramadhan. Sebagai sebuah ibadah yang wajib dilaksanakan oleh
setiap muslim yang sudah mencapai usia bâligh (dewasa). Puasa didefinisikan
sebagai usaha untuk menahan diri dari makan, minun, senggama dan segala yang
membatalkan puasa sejak terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari, tentu
memiliki nilai dan makna filosofis yang tinggi. Selain berfungsi untuk menjaga
kesehatan puasa juga berguna sebagai media bagi kaum muslim untuk merasakan
(feeling) kondisi yang dialami oleh kaum lemah lagi tidak mampu. Biasanya,
setiap hari mereka menyantap makanan tanpa batasan waktu namun ketika
menjalankan ibadah puasa, waktu makan menjadi terbatasi. Hal ini dimaksudkan
sebagai bentuk solidaritas umat Islam terhadap kaum lemah (dhu’afâ’) dan
orang-orang miskin (masâkîn). Dan jauh dari itu sebetulnya puasa menyimpan hikmah
yang luar biasa yaitu menumbuhkan sikap kepedulian setiap muslim terhadap
saudaranya sesama muslim yang tidak mampu. Sikap itu ditunjukkan dengan
kesediannya untuk memberikan sebagian rizki yang didapatkan kepada mereka.
Sehingga akan semakin mendekatkan mereka kepada kaum lemah dari segi emosional
dan tentu demi memperoleh keridhaan Allah SWT.
Ibadah puasa di
atas lagi-lagi berfungsi sebagai sarana untuk mengentaskan kemiskinan bangsa
dalam sekala dan jumlah yang besar. Rasa lapar dan haus yang dirasakan oleh
orang-orang yang berpuasa (shâimûn) akan mendorong mereka untuk berempati
terhadap saudaranya yang kurang mampu lagi membutuhkan bantuan, pertolongan,
dan santunan. Sehingga tidak lagi kita temui orang-orang yang terpaksa
meminta-minta di jalanan. Tidak akan kita jumpai orang-orang yang hidup di
bawah garis kemiskinan yang mengenaskan dan memprihatinkan. Semua rakyat akan
hidup sejahtera, merasakan nikmat tuhan yang tiada pernah putus dan henti. Di
samping itu bantuan yang diberikan tidak selamanya berupa hal-hal yang sifatnya
sementara (materi) tetapi juga bisa berupa pemberian lapangan pekerjaan. Dengan
demikian, para pengangguran akan mendapatkan pekerjaan dan tentu akan mereduksi
kemiskinan itu sendiri. Bantuan juga dapat berupa pemberian modal usaha agar
mereka juga bisa meyedot saudara mereka untuk bekerja pada unit usaha yang
mereka ciptakan dari modal usaha yang didapat. Tentu, hal ini akan lebih
efektif dan efisien demi memberantas kemiskinan di bumi pertiwi tercinta ini.
Dan yang terakhir
yang juga terbukti ampuh untuk mengentaskan kemiskinan adalah ibadah haji
(al-hajj). Haji adalah rukun Islam yang kelima yang wajib dijalankan bagi
mereka yang sudah mampu. Mampu dalam arti kecukupan biaya untuk melakukan
perjalanan ke sana, ada biaya untuk keluarga yang ditinggalkan dan sehat
jasmani maupun rohani tentunya serta adanya mahram (pendamping) bagi perempuan.
Ibadah haji banyak memberikan inspirasi umat Islam untuk melakukan bisnis dan
mengilhami manusia untuk menciptakan alat transportasi modern. Betapa tidak,
ketika musim haji tiba para penjahit tentu akan kebanjiran pesanan untuk
membuat pakaian ihram yang berdampak pada melonjaknya omzet (pendapatan).
Kelompok tertentu mengadakan bimbingan haji plus demi kelancaran pelaksaan
ibadah haji di Makkah al-Mukarramah nantinya bagi para calon jamaah haji. Tentu
bimbingan haji ini tidak gratis tetapi juga menghasilkan rezeki yang tidak
kecil. Bimbingan ini juga tentu akan melibatkan banyak orang dari kalangan
akademis (‘ulamâ’) yang juga akan membantu dan memberikan peluang bagi mereka
untuk mengais rezeki yang halal lagi baik. Di sisi lain, jarak yang jauh antara
Indonesia dan Makkah membuat manusia berfikir untuk menciptakan alat
transportasi baru. Dengan demikian mereka juga akan mendapatkan keuntungan jika
proyek mereka itu berhasil dan lebih jauh dari itu kenyamanan pelaksaan ibadah
haji akan dirasakan dengan adanya pesawat-pesawat baru.
Para jamaah haji
yang melaksanakan prosesi ibadah haji di Makkah akan merasakan betapa indahnya
ukhuwah dan kebersamaan umat Islam. Di negeri (tempat) itu semua umat Islam
dari segala penjuru dunia berkumpul menggunakan pakaian yang sama, pakaian
ihram yang berwarna putih. Tujuannya adalah untuk menumbuhkan rasa solidaritas
dan merasa senasib dan sepenanggungan baik dalam ibadah maupun muamalah.
Sepulang dari tanah suci, jamaah haji akan kembali berbaur dengan masyarakat
tempat mereka bermukim sebelumnya. Mereka akan menceritakan kisah-kisah,
pengalaman spiritual selama berada di sana. Hal ini tentu akan memberikan
kontribusi, motivasi kepada masyarakat untuk menumbuhkan spiritualitas mereka,
untuk konsisten (istiqâmah) mengabdi kepada Allah SWT. Selain itu para jamaah
haji juga akan mengamalkan pengalaman spiritual mereka di negeri tercinta
mereka. Kebersamaan yang mereka rasakan di sana tentu akan mendorong mereka
untuk meringankan beban sesama muslim karena sudah merasa senasib dan
sepenanggungan. Sehingga kebutuhan mereka juga menjadi tanggung jawab bersama
untuk memenuhinya. Dengan demikian predikat haji mabrur itu akan didapatkan,
yaitu akan mendapatkan balasan surga di akhirat kelak (al-hajj al-mabrûr laisa
lahu al-jazâ’ illa al-jannah).
Ikhtitâm
Berdasarkan pemaparan di atas
tentu akan semakin menambah keyakinan kita akan kebenaran agama Islam yang
selama ini kita anut dan yakini. Ternyata semua unsur rukun Islam itu memiliki
nilai filosofis yang tinggi yang salah satunya adalah dalam rangka mengentaskan
kemiskinan bangsa. Hal ini lah yang akan meperkuat dua kalimat syahadat
(syahadatain) yang sudah sekian lama kita ikrarkan. Tidak ada lagi keraguan
akan persaksian kita bahwa tidak ada ilah (tuhan) yang wajib disembah kecuali
Allah SWT dan Muhammad SAW adalah utusan-Nya yang membawa risalah ketuhanan dan
keagamaan. Sehingga pondasi keislaman kita akan semakin kuat dan tidak akan
pernah goyah wapaupun badai kencang datang mengoncang sekalipun. Hal ini karena
keyakinan yang dilandasi oleh alasan yang argumentatif, hujjah matînah, dan
bukti yang logis itu akan mudah dan tetap terkristal dalam hati (qalbu)
dibandingkan dogma semata. Bagi kaum non-muslim, jika mereka ingin mendalami
hakikat dari ajaran Islam tentu mereka akan mendapati bahwa Islam adalah
benar-benar agama yang peduli dengan umat, kehidupan dan kemanusian. Hal ini
tentu berdasarkan misi Islam yang akan terus menebarkan rahmat bagi seluruh
alam (rahmatan li al-‘âlamîn). Wallâhu a’lamu bi ash-shawâb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar