VALITIDAS
AL-MUWATHTHA' SEBAGAI KARYA IMAM MALIK
(Studi Pemikiran
Harald Motzki )[1]
Oleh : Sarbini, M.Ag.
I.
Pendahuluan
Wacana
yang paling fundamental dalam kajian hadis adalah persoalan otentisitas dan
reliabilitas metodologi otentifikasi hadis. Keraguan sebagian sarjana Muslim
atas peran hadis sebagai sumber otoritas kedua setelah al-Qur’an, tidak
sepenuhnya berkaitan dengan resistensi mereka atas otoritas sunnah, tetapi
lebih pada keraguan mereka atas keakuratan metodologi yang digunakan dalam
menentukan originalitas hadis. Apabila metodologi otentifikasi yang digunakan
bermasalah, maka semua hasil yang dicapai dari metode tersebut tidak steril dari kemungkinan kemungkinan
verifikasi ulang, kritik sejarah bahkan hasil tersebut bisa menjadi collapse.
Makalah
ini tidak bermaksud menggugat posisi hadis sebagai sumber otoritas Islam. Hadis
yang dianggap sebagai verbalisasi sunnah oleh sebagian besar umat Islam terlalu
penting untuk diabaikan dalam kehidupan beragama, sosial dan politik. Hadis
bukan hanya sebagai sumber hukum Islam yang berdiri sendiri, tapi juga sebagai
sumber informasi yang sangat berharga untuk memehami wahyu Allah. Ia juga
sebagai sumber sejarah masa awal Islam. Singkatnya, ada hadis hukum, hadis
tafsir dan hadis sebagai sumber sejarah dan moral. Dalam anatomi hukum Islam,
hadis merupakan salah satu kalau bukan yang terpenting sumber untuk
dikonsultasi.
Ketika
sarjana Barat memasuki domain penelitian tentang sumber dan asal usul Islam,
mereka dihadapkan pada pertanyaan tentang apakah dan sejauh mana hadis atau
riwayat riwayat tentang nabi dan generasi Islam pertama
dapat dipercaya secara hisroris. Pada fase awal kesarjanaan Barat, mereka
menunjukkan kepercayaan yang tinggi terhadap literatur hadis dan riwayat
riwayat tentang nabi dan generasi Islam awal. Tetapi sejak paroh kedua abad
kesembilan belas, skeptisime tentang otentisitas sumber tersebut muncul. Bahkan
sejak saat itu perdebatan tentang isu tersebut dalam kesarjanaan Barat
didominasi oleh kelompok skeptis. Kontribusi sarjana seperti Ignaz Goldziher,
Joseph Schacht, Wansbrough, Patricia Crone, Michael Cook dan Norman Calder
berpengaruh secara dramatis terhadap karya karya sarjana Barat.[2]
Akan
tetapi, tidak semua sarjana Barat dapat digolongkan dalam aliran skeptis.
Sarjana seperti Joseph Van Ess, Harald Motzki, Miklos Muranyi, M.J. Kister,
Fueck, Schoeler bereaksi keras terhadap sejumlah premis, kesimpulan dan
methodologi para kelompok skeptis. Mereka dapat digolongkan sebagai kelompok
non skeptis. Perdebatan antara kedua kelompok ini sangat tajam selama dua
dekade terahir.
Singkatnya, diskursus hadis di
Barat selalu merujuk kepada nama Ignaz Goldziher (Honggaria) dan Joseph Schacht
(Austria), dan untuk yang masih hidup
G.H.A. Juynboll (Belanda), Harald Motzki (Jerman) dan beberapa nama yang lain.
Dimata Orientalis kedua nama yang pertama dianggap seperti Ibn al-Salah
(pendekar ulum al-hadith Muslim) atau Ibn Hajar dalam dunia Islam. Sedangkan G.
H. A. Juynboll dan Harald Motzki, dianggap (kurang lebih) seperti Muhammad
Shakir, al-Albani dan al-Saqqaf atau al-Gumari dalam dunia Islam. Kedua nama
pertama (Goldziher dan Schacht) telah wafat, tapi meninggalkan pengaruh global
dan menciptakan madhab skeptis di Barat. [3]
Mayoritas sarjana Barat untuk tidak
mengatakan semua, skeptis terhadap literatur Islam, termasuk hadis. Diskursus
masa awal Islampun (abad pertama kedua) dianggap tidak tersentuh karena
minusnya sumber yang tersedia untuk itu. Secara umum, madhab skeptis
berpendapat bahwa pengetahuan dan informasi tentang masa awal Islam (abad
pertama kedua hijriah) hanyalah perpsepsi komunitas Muslim abad ketiga.
Literatur yang ada tidak lebih dari sekedar refleksi peta konflik yang tidak
dapat memantulkan realitas seperti digambarkan oleh sumber itu sendiri.
II. Problematika
Ulumul hadis
Metode
yang digunakan oleh para sarjana Muslim klasik untuk menyandarkan sebuah
hadis kepada nabi tidak mendapat tantangan signifikan dari sarjana Muslim
moderen. Memang terdapat sejumlah sarjana moderen yang mencoba menunjukkan
resistensinya terhadap ulumul hadith, tetapi mereka gagal mendapatkan simpati
mayoritas sarjana Muslim. Informasi tentang nabi yang terekam dalam buku-buku
hadis laksana pecahan-pecahan kaca yang harus direkonstruksi supaya dapat
memantulkan berita-berita akurat tentang nabi. Meskipun hadis-hadis tersebut telah
diseleksi oleh para kolektornya (misalnya al-Bukhari, Muslim, Tirmizi, Ibn
Majah, Abu Daud, Nasai dll). Namun, kenyataan bahwa para kolektor ini hidup
pada abad ke tiga hijriah (dua ratus tahun lebih setelah nabi wafat),
pertanyaan epistimologis muncul: sejauh mana tingkat akurasi metodologi para
kolektor ini dalam menyeleksi hadis-hadisnya? Apakah metodologi mereka sama
dengan metodologi yang populer kita kenal dengan ulum al-hadis? [4]
Al-Bukhari
yang dikenal sebagai the man of hadis,
misalnya, tidak pernah menjelaskan metodologinya secara detail. Ulum al-hadis
yang menurut mayoritas sarjana Islam sangat akurat menyimpan sejumlah
pertanyaan-pertanyaan epistimilogis yang tidak terjawab secara empiris. Ulum
al-hadis diterima dan dianggap sesuatu yang taken for granted. Kecendrungan
sebagian diantara kita adalah menolak atau menerima sebuah hadis tanpa meneliti
historisitasnya. Apabila sebuah hadis disebutkan dalam Sahih al-Bukahi atau
Muslim, apalagi kalau keduanya menyebutkannya, lebih-lebih lagi kalau disebutkan
dalam kutub al-sitta, al-tis’a, maka tidak diragukan lagi hadis tersebut
menurut mayoritas sarjana Islam, sahih, sehingga analisis historis terhadapnya
tak lagi penting. Benarkah sikap seperti itu? Terdapatnya sebuah hadis dalam
sejumlah kitab-kitab hadis bukanlah jaminan akan historisitasnya, karena boleh
jadi hadis tersebut diriwayatkan secara massive pada generasi tertentu
(paroh kedua abad kedua dan seterusnya sampai ke masa mukharrij), tapi
pada generasi sebelumnya (paroh pertama abad kedua dan sebelumnya sampai masa
nabi) diriwayatkan secara ahad (single strand). Singkatnya, semua hadis
yang terekam dalam kitab hadis harus tunduk pada kritik sejarah. Secara umum
literatur hadis kita memiliki karakter sebagai berikut: Nabi-----Satu
Sahabat------satu Tabiin----satu fulan- satu fulan------sejumlah perawi sampai
ke mukharrij (collector)[5]
III.
Sejarah
Imam Malik dan Karya Al-Muwatho’
Imam
Malik yang bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir
bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr
bin Haris al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 712 M dan wafat tahun 796 M.
Berasal dari keluarga Arab terhormat, berstatus sosial tinggi, baik sebelum
maupun sesudah datangnya Islam. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun
setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Abu
Amir, adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H.
Saat itu, Madinah adalah kota ilmu yang sangat terkenal.
Karena keluarganya ulama ahli hadits,
maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan paman-pamannya.
Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi' bin
Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al
Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin
Hurmuz, tabi'in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Jafar
Shadiq dan Rabi Rayi. Dalam usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu.
Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam
dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi,
Hadi Harun, dan Al Ma'mun, pernah jadi murid Imam Malik. Ulama besar, Imam Abu
Hanifah dan Imam Syafi'i pun pernah menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi
ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal
Imam Malik mencapai 1.300 orang.[6]
Ciri pengajaran Imam Malik adalah
disiplin, ketentraman, dan rasa hormat murid kepada gurunya. Prinsip ini
dijunjung tinggi olehnya sehingga tak segan-segan ia menegur keras
murid-muridnya yang melanggar prinsip tersebut. Al Muwatta' adalah kitab fikih
berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Santri mana yang tak kenal kitab
yang satu ini. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan pesantren dan
ulama kontemporer. Karya terbesar Imam Malik ini dinilai memiliki banyak
keistimewaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah
fikih yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat.
Menurut beberapa riwayat,
sesungguhnya Al Muwatta' tak akan lahir bila Imam Malik tidak 'dipaksa'
Khalifah Mansur. Setelah penolakan untuk ke Baghdad, Khalifah Al Mansur meminta
Imam Malik mengumpulkan hadits dan membukukannya. Awalnya, Imam Malik enggan
melakukan itu. Namun, karena dipandang tak ada salahnya melakukan hal tersebut,
akhirnya lahirlah Al Muwatta'. Ditulis di masa Al Mansur (754-775 M) dan baru
selesai di masa Al Mahdi (775-785 M). Dunia Islam mengakui Al Muwatta' sebagai
karya pilihan yang tak ada duanya. Menurut Syah Walilullah, kitab ini merupakan
himpunan hadits paling shahih dan terpilih. Imam Malik memang menekankan betul
terujinya para perawi. Semula, kitab ini memuat 10 ribu hadits. Namun, lewat
penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadits. Kitab ini telah
diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan. Selain
Al Muwatta', Imam Malik juga menyusun kitab Al Mudawwanah al Kubra, yang berisi
fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan.
Imam Malik tak hanya meninggalkan
warisan buku. Ia juga mewariskan mazhab fikih di kalangan Islam Sunni, yang
disebut sebagai Mazhab Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam Malik dan Al Muwatta',
kitab-kitab seperti Al Mudawwanah al Kubra, Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul
Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah fi al Fiqh al Maliki (karya Abu
Muhammad Abdullah bin Zaid), Asl al Madarik Syarh Irsyad al Masalik fi Fiqh al
Imam Malik (karya Shihabuddin al Baghdadi), dan Bulgah as Salik li Aqrab al
Masalik (karya Syeikh Ahmad as Sawi), menjadi rujukan utama mazhab Maliki.
IV. Pandangan Harald Motzki tentang Isnad
Data
sejarah menunjukkan, pemikiran orientalis awal melihat keberadaan sanad sebagai
masalah yang sangat urgen dalam pembahasan hadis. Sebab, masalah sanad
berkaitan langsung dengan otentisitas hadis. Kapan awal mula pemakaian sistem
sanad digunakan? Adalah permasalahan kontroversial yang sering diperdebatkan di
kalangan kaum orientalis. Menurut Caetani dan Sprenger pemakaian sanad baru
dimulai pada masa antara Urwah (w. 94 H) dan Ibn Ishaq (w. 151 H) sehingga
sebagian besar sanad yang terdapat dalam kiab hadis adalah buatan ahli hadis
abad ke-2 atau bahkan pada abad ke-3.
Pendapat berbeda datang dari Horovitz, menurutnya pemakaian sanad dalam periwayatan sudah dimulai sejak sepertiga terakhir dari abad pertama Hijriyah, sementara menurut J. Robson dimulai pada pertengahan abad pertama.
Pendapat berbeda datang dari Horovitz, menurutnya pemakaian sanad dalam periwayatan sudah dimulai sejak sepertiga terakhir dari abad pertama Hijriyah, sementara menurut J. Robson dimulai pada pertengahan abad pertama.
Secara
umum, G. H. A. Juynboll dalam hal ini memetakan tiga pendapat yang menonjol
terkait dengan masalah awal mula pemakaian sanad dalam studi hadis. Pertama,
pendapat umum sarjana muslim yakni sejak perang sipil I di mana Usman bin affan
terbunuh Tahun 35 H. Kedua, J. Schacht, sejak perang sipil ke-3, di mana
Khalifah Umayah Walid bin Yazid terbunuh Tahun 126 H. Ketiga, pendapatnya G. H.
A. Juynboll sendiri, yakni sejak perang sipil ke-2 di mana Abdullah bin Zubair
memproklamirkan pemerintahan tandingan di Makkah Tahun 63 H.
Dari
pemetaan G.H.A. Juynboll tersebut, tampak pendapat J. Schacht yang menyatakan
keberadaan sistem sanad dimulai pada abad ke-2 H, atau paling awal akhir abad
pertama. Sumber epistemologi yang digunakan J. Schacht adalah kitab Muwata
karya Imam Malik, al-Muwata-nya al-Syaibani, dan al-Umm karya Imam Syafi’i.
Dari kitab-kitab fiqh ini lah J. Schacht meneliti kapan awal mula penggunaan
sanad hadis. Schacht dengan metode projecting back sampai pada kesimpulan bahwa
hukum Islam belum eksis pada masa awal Islam. Sebab, hadis (yang dimaksud
adalah hadis ahkam) tidak digunakan sebagai argumen dalam diskusi hukum Islam.
Hukum Islam sendiri baru diterapkan pada masa Bani Umayyah. Oleh karena itu,
keotentikan hadis layak diragukan, sebuah kesimpulan yang kemudian dipertegas
oleh Juynboll.
Berawal
dari teori hermeneutika ini lah, sebagai seorang orientalis, Harald Motzki
jelas tidak bisa lepas dari sistem-sistem eksternal yang ada disekitarnya,
yakni pengaruh dari pemikiran kaum orientalis sebelumnya diskursus keotentikan
hadis di kalangan orientalis yang berujung pada kontroversi eksistensi hukum
Islam di atas adalah tradisi yang melatarbelakangi pemikiran Harald Motzki. Hal
ini tampak ketika Motzki mencoba mengcounter pendapat J. Schacht dengan asumsi
bahwa hukum Islam telah eksis sejak abad pertama Hijriyah sehingga
jurisprudensi Islam yang didasarkan atas al-Qur'an dan hadis adalah sumber yang
otentik.[7]
Harald
Motzki ketika melakukan penelitian kitab Musannaf Abd ar-Razaq menyusun dan mencoba menggambarkan metode, pendekatan, dan
langkah-langkah sistematis terkait dengan Isnad sebagai berikut:
1. Motzki menentukan asal-muasal dan umur
terhadap sumber sejarah yang merupakan salah satu substansi penelitian sejarah.
Jika data yang dilakukan oleh seorang peneliti terhadap sebuah sumber sejarah
terbukti tidak valid dikemudian hari, maka seluruh premis teori dan kesimpulan
yang dibangun atas sumber sejarah tersebut menjadi colleps Teori inilah yang
menjadi epistemologi Motzki dalam merekonstruksi sejarah awal Islam dalam
karyanya The Origins of Islamic
Jurisprudence.
2.
Motzki
tidak melakukan penelitian secara keseluruhan hadis-hadis yang terdapat dalam
sumber primernya Musannaf Abd ar-Razaq. Namun, ia menggunakan metode sampling,
yakni mengambil beberapa bagian yang diangap telah mewakili populasi dari yang
diteliti. Tujuan dari penentuan sampel ini adalah untuk menghindari kekeliruan
generalisasi dari sampel ke populasi. Motzki dalam hal ini meneliti 3810 hadis
dari keseluruhan kitab Musannaf Abd ar-Razzaq yang berjumlah 21033 hadis.
Dengan demikian ia meneliti sekitar 21% hadis.
3.
Data
terkumpul, maka Motzki kemudian menganalisis sanad dan matan dengan menggunakan
metode isnad cum analisis dengan
pendekatan traditional-historical yakni sebuah metode yang cara kerjanya menarik
sumber-sumber awal dari kompilasi yang ada, yang tidak terpelihara sebagai
karya-karya terpisah, dan memfokuskan diri pada materi-materi para perawi
tertentu ketimbang pada hadis-hadis yang terkumpul pada topik tertentu. Jadi,
traditional-historical dijadikan sebagai alat untuk menganalisa dan menguji
materi-materi dari perawi. Oleh karena itu, penelitian struktur periwayatan
yang dilakukannya memberikan kesimpulan bahwa materi-materi yang diletakkan
atas nama empat tokoh sebagai sumber utamanya adalah sumber yang otentik, bukan
penisbatan fiktif yang direkayasa.
4.
Dengan
materi periwayatan (matn) hadis, Motzki mengajukan teori external criteria dan formal
criteria of authenticity sebagai alat analisa periwayatan.
5.
Berangkat
dari metode-metode di atas, Motzki kemudian mengklasifikasikan terhadap riwayat
yang terdapat dalam kitab Musannaf.[8]
Dengan
menggunakan metode isnad cum analisis dan pendekatan traditional-historical
menunjukan bukti bahwa materi-materi yang disandarkan Abd ar-Razzaq kepada
keempat informan utamanya adalah otentik. Karenanya, kitab tersebut dinilai
sebagai dokumen hadis otentik abad pertama Hijriyah, sekaligus sebagai bukti
nyata bahwa hukum Islam telah eksis sejak masa itu. Temuan Motzki ini sekaligus
menggugurkan teori seniornya G.H.A. Juynboll J. dan projecting back-nya Schacht
yang menyatakan keberadaan sistem sanad.[9]
V. Al-Muwaththa’:
Antara Calder dan Motzki
Al-Muwatha' karya Malik
bin Anas riwayat Yahya bin Yahya Al-Laitsi Al-Masmudi merupakan buku fiqih yang
sah untuk
dipertimbangkan di dalam Islam. Yahya bin Yahya mendapatkan riwayat
Al-Muwaththa' karya Malik dari gurunya Ziyad bin Abdurrahman Al-Qurthubi yang
dikenal sebagai As-Sabtun.[10]
Kemudian ia berangkat ke Madinah untuk mendengar langsung teksnya dari Malik sendiri.
Tetapi sayang, Malik telah meninggal
dunia pada tahun 179/795, sehingga Yahya tidak mendapatkan langsung dari Malik.
Data sejarah ini menjadi indikator kuat bahwa Malik-lah yang menulis
Al-Muwaththa'. Malik dianggap sebagai
pengarang asli dari isi kitab Al-Muwaththa'. Disamping ada kemungkinan Yahya
telah mengubah teksnya. Bahkan sarjana Barat
yang sangat kritis terhadap tradisi Islam,
seperti Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, meyakini bahwa Al-Muwatha'
merupakan karya asli Malik bin Anas.[11]
Namun demikian, Norman
Calder bersikukuh mempertahankan pendapatnya, bahwa ada persoalan dalam
penanggalan Al-Muwaththa'. Menurut dia
Al-Muwaththa' ditulis pada satu abad belakangan setelah itu, sekitar
270/883 di Spanyol Cordova. menurut Calder, pengumpulannya
berlangsung dua dekade dan ditulis oleh Ibnu Waddah (w. 287/900) yang dihormati
sebagai murid Yahya (w. 234/848). Jadi, bukan Malik atau Yahya yang bertanggung
jawab atas Al-Muwaththa' yang ada sekarang. Calder juga mengklaim bahwa
Al-Muwaththa' bukan berasal dari Malik, dan benar-benar bukan karyanya.
Singkatnya, Malik bukanlah pengarang Al-Muwatthha' riwayat Yahya.[12]
Argumen
utama yang digunakan Calder yaitu didasarkan pada: (1) Pengujian mengenai
prinsip dan format pengaturan digunakan di dalam Al-Muwaththa', (2)
analisa terhadap isi Al-Muwaththa', dan (3) perbandingan
materi kitab ini dengan yang lain yang merupakan kompilasi hukum madzhab Maliki
yang disebut kitab Al-Mudawwanah karya Sahnun (w. 240/854). Harald Motzki membantah apa yang
menjadi spekulasi Calder. Dengan beberapa argumennya Harald Motzki justru
meneguhkan bahwa kitab Al-Muwaththa' benar-benar disusun oleh Imam Malik. Yahya
bin Yahya mendapatkan al-Muwaththa' dari Ziyad bin Abdurrahman Al-Qurthubi,
salah satu murid Malik. Keberangkatan Yahya ke Madinah untuk mendengarkan
langsung dari Malik merupakan suatu argument bahwa Al-Muwaththa' benar-benar
karangan Imam Malik. Meskipun setelah sampai di Madinah Yahya tidak dapat
menjumpai Malik karena sudah meninggal dunia.
Hadits
Seekor Kucing
Guna
meneguhkan argumentasinya, Calder mempersoalkan hadits tentang seekor kucing
yang mengotori air. Berikut bunyi teks hadits tersebut:
و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ
إِسْحَقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ حُمَيْدَةَ بِنْتِ
عُبَيْدِ بْنِ رِفَاعَةَ عَنْ خَالَتِهَا كَبْشَةَ بِنْتِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ
وَكَانَتْ تَحْتَ ابْنِ أَبِي قَتَادَةَ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّهَا أَخْبَرَتْهَا
أَنَّ أَبَا قَتَادَةَ دَخَلَ عَلَيْهَا فَسَكَبَتْ لَهُ وَضُوءًا فَجَاءَتْ
هِرَّةٌ لِتَشْرَبَ مِنْهُ فَأَصْغَى لَهَا الْإِنَاءَ حَتَّى شَرِبَتْ قَالَتْ
كَبْشَةُ فَرَآنِي أَنْظُرُ إِلَيْهِ فَقَالَ أَتَعْجَبِينَ يَا ابْنَةَ أَخِي
قَالَتْ فَقُلْتُ نَعَمْ فَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إِنَّمَا هِيَ مِنَ الطَّوَّافِينَ
عَلَيْكُمْ أَوِ الطَّوَّافَاتِ
Artinya: Yahya bin Yahya (berkata):
Ia memberi hadits kepadaku dari Malik, dari Ishak bin Abdullah bin Abu Thalhah,
dari Humaidah binti Ubaid bin Rifa'ah dari bibinya, yaitu Kabsyah binti Ka'b
bin Malik. Waktu itu Kabsyah berada di bawah Abu Qatadah Al-Anshari. Ia
menceritakan tentang dirinya, bahwa Abu Qatadah masuk kepadanya. Lalu ia
menuangkan air wudlu untuk Abu Qatadah, tiba-tiba seekor kucing datang untuk
minum air itu. Abu Qatadah meyorongkan becana agar kucing itu dapat meminumnya.
Kata Kabsyah: "Maka Abu Qatadah melihat bahwa aku telah
memperhatikannya". Ia berkata: "Apakah engkau heran wahai anak
perempuan saudaraku?" Jawabku "Ya". Lalu ia berkata:
Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya kucing itu tidak
najis. Kucing itu termasuk hewan yang berada disekeliling kalian".
Calder
membandingkan hadits ini dengan yang teks ada di dalam kitab Al- Mudawwanah, di
dalam suatu paragrap tentang air yang dikotori oleh binatang.
Ia menyatakan: ( 1) Hadits Nabi ini tidak ada di
dalam Al-Mudawana. (2) Hadits tentang kucing adalah suatu jawaban bagi masalah
yang sama yang digambarkan di dalam Al-Mudawanah dengan contoh seekor anjing.
(3) Hadits tentang kucing bagaimana pun merupakan suatu hal yang berkenaan dengan
hukum pada situasi dicerminkan di dalam Al-Mudawanah. Namun Motzki menjawab,
bahwa tidak adanya hadits ini dalam Al-Mudawanah tidak dapat dijadikan bukti
bahwa Al-Muwaththa' bukan karya Malik. Demikian juga dengan dua argumen
terakhir yang digunakan oleh Calder tidak dapat membuktikan bahwa Al-Muwatha'
bukan karya Imam Malik.[13]
VI. Teori Common Link Motzki
Untuk
membuktikan bahwa Al-Muwatha' merupakan karya asli Imam Malik bin Anas, Harald
Motzki mencoba menggunakan teori mata rantai umum (Common Link), di mana
kitab-kitab yang muncul beberapa generasi setelah Malik bin Anas dijadikan
acuan untuk membuktikan keaslian Al-Muwaththa' sebagai karya asli Imam Malik.
Kitab-Kitab di bawahnya yang dijadikan Motzki argumentasi adalah kitab
At-Tirmidzi (w. 279/892), Abu Dawud (w. 275/888), Ibnu Majah (w. 273/886) dan
An-Nasa'I (303/915). Kitab ini meriwayatkan hadits tentang kisah kucing
sebagaimana di atas, mata rantai umum perawinya bersumber kepada Malik bin
Anas. Hal ini dijadikan alat bukti bagi Motzki, bahwa Al-Muwaththa' riwayat
Yahya bin Yahya merupakan karya asli Malik bin Anas.[14]
Hadits ini
diriwayatkan oleh Ubaidillah dari Yahya bin Yahya (selaku perawi kitab
Al-Muwaththa') dari Malik bin Anas. Hadits ini dalam kitab-kitab
As-Sunan juga diriwayatkan di mana perawi utama hadits ini bermuara kepada
Malik sebagai sumber perawinya:
1. At-Tirmidzy meriwayatkan hadits ini dari Ishak bin Musa, dari Ma'n
bin Isa, dari Malik bin Anas.
2. Ibnu Majah meriwayatkan
hadits ini dari Ibnu Abi Syaibah, dari Zaid bin Hubbaab dari Malik bin Anas.
3. An-Nasa'i meriwayatkan
hadits ini dari Qutaibah bin Sa'id, dari Malik bin Anas.
Keempat
kitab As-Sunan ini sumber perawinya ialah Malik bin Anas. Dari Malik bin Anas,
hadits ini diriwayatkan dari Ishak bin Abdullah bin Abu Thalhah, dari Humaidah
binti Ubaid bin Rifa'ah, dari Kabsyah binti Ka'b bin Malik, dari Abu Qatahah,
dari Nabi Muhammad saw. Kesesuaian mata rantai perawi yang tertera dalam kitab
As-Sunan dengan Riwayat Yahya bin Yahya menjadi bukti bahwa kitab Al-Muqatha'
benar-benar merupakan buah tangan dari Malik bin Anas. Spekulasi Calder bahwa
Ibnu waddah mendapatkan hadits ini dari kitab-kitab As-Sunan tersebut juga
dimentahkan oleh Harald Motzki. Hal ini karena Ibnu Waddah tinggal di Spanyol,
sementara penyusun Kitab As-Sunan berada di sekitar sebelah timur Dunia Islam
(Timur Arab). Jarak yang sedemikian jauh dan realitas waktu itu yang masih
belum dijumpai sarana transportasi dan komunikasi seperti zaman ini, telah
mementahkan spekulasi yang dibangun oleh Calder.
VII.
Penutup
Penelitian Harald
Motzki terhadap Kitab Al-Muwaththa' karya Imam Malik memberi pesan kepada kita,
bahwa kehidupan ilmiah di Barat begitu
dinamis. Mereka tidak hanya terpaku kepada ilmu yang berada dalam habitat
barat, tapi telah merambah ke dalam keilmuan Dunia Islam, bahkan bidang Hadits.
Bidang yang di kalangan kaum muslimin dianggap rumit dan banyak di kalangan
mereka yang merasa kesulitan. Teori common
link yang dikenalkan oleh Barat (dalam hal ini Motzki) setidaknya menambah
khazanah bagi metodologi penelitian terhadap hadits, dalam rangka menguji
keaslian suatu hadits. Meskipun ilmu Al-Jarh wa At-Ta'dil dan ilmu
riwayat al-hadits yang telah melembaga di kalangan ahli hadits masih tidak
kehilangan relevansinya.
.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Husnan, Kajian Hadis Metode Tahrij, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 1993
As-Suyuthi, Jalaluddin, Tanwiir Al-Hawaalik,
Beirut: Dar El-Fikr, tt
Harald Motzki, “The Prophet
and the Cat: on Dating Malik’s Muwatta’ and Legal Traditions,“ Jurusalem
Studies in Arabic and Islam, 21, 1998,
_________,
ed., Hadith. Origins and the Developments, Aldershot:
Ashgate/Variorum, 2004.
Fazlurahman
dkk., Wacana Studi Hadis Kontemporer ,
Yoyakarta : Tiara wacana, 2002
Kamaruddin Amin, Problematika Ulumul Hadis, Sebuah Upaya
Pencarian Metodologi Alternatif , (Makalah seminar : tp)
G.H.A. Juynboll, Kontraversi
Hadis di Mesir tahun 1890-1960, Bandung
: Mizan, 1999
https://pascasarjanahiunisma.wordpress.com. Diakses tgl 25 November 2014
fahmilover.blogspot.com,
diakses 27
en.alukah.net/World_Muslims.
[1]
Makalah ini disampaikan dalam diskusi FOSCA STAIMUS.
[2]Kamaruddin Amin, Problematika Ulumul Hadis, Sebuah Upaya
Pencarian Metodologi Alternatif , (Makalah seminar : tp)
[3]
Abdul Mustaqim, Otensitas Hadis menurut M.M.Azami dalam Fazlurahman dkk., Wacana Studi Hadis Kontemporer , (
Yoyakarta : Tiara wacana, 2002), hlm. 55
[4]
G.H.A. Juynboll, Kontraversi Hadis di
Mesir tahun 1890-1960, (Bandung : Mizan, 1999), hlm. 1-13.
[5]
Abdul Mustaqim, Otensitas Hadis…,
hlm.60.
[6]
Ahmad
Husnan, Kajian Hadis Metode Tahrij,
(Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 1993). hlm. 86
[7] Sunartip, Kritik Hadits Harald Motzki Atas Mushannaf Abd. Razzaq, https://pascasarjanahiunisma.wordpress.com. Diakses tgl 25 November 2014
[8] E. Zaenal Mutaqin, Pemikiran
Harald Motzki Tentang Hadis, fahmilover.blogspot.com, diakses 27 November
2014
[9] Harald Motzki, Abdur-Rahman Abou Almajd in Maghazi Hadiths dalam, en.alukah.net/World_Muslims.
[10] Al-Qadli ‘Iyadl menyebutkan lebih dari 14 ulama yang
meriwayatkan kitab Al-Muwaththa’ dari Malik bin Anas. Hanya saja, Ziyaad bin
Abdurrahman memakai nisbat Al-Andalusi, bukan Al-Qurthubi sebagaimana yang
dijelaskan Motzki. Motzki menyebutkan bahwa Ziyaad bin Abdurrahman dikenal juga
dengan nama As-Sabthun, tetapi Al-Qadli ‘Iyadl menyebutkan bahwa diantara yang
meriwayatkan Al-Muwatha’ terdapat nama Sabthun bin Abdullah Al-Andalusy. Sabtun
yang dimaksud bukan merupakan nama lain bagi Ziyaad bin Abdurrahman. Lihat:
As-Suyuthi, Tanwiir Al-Hawaalik, (Beirut: Dar El-Fikr, tt) hlm 10,11.
[11]
Harald
Motzki, “The Prophet and the Cat: on Dating Malik’s Muwatta’ and Legal
Traditions,“ Jurusalem Studies in Arabic and Islam, 21, 1998, h. 18-83
[12] Al-Hafidh Shalahuddin Al-‘Alaa’i mengatakan, bahwa
banyak sekali ulama yang meriwayatkan kitab Al-Muwaththa’ dari Malik. Di antara
riwayat-riwayat tersebut ada beberapa perbedaan; ada yang terdapat tambahan dan
ada pula yang mengalami penyusutan. Ibnu Hazm menegaskan, bahwa dalam Kitab
Al-Muwaththa’ riwayat Abu Mus’ab
terdapat tambahan sekitar 100 hadits. Lihat: As-Suyuthi, Tanwiir
Al-Hawaalik, (Beirut: Dar El-Fikr, tt) hlm 10,11. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa penulis asli kitab Al-Muwaththa’ ialah Malik bin Anas, namun dalam
perkembangannya terdapat tambahan-tambahan dari para ahli hadits yang
meriwayatkan Al-Muwaththa’ dari Malik. Bisa jadi Yahya bin Yahya memasukkan ke
dalam kitab Al-Muwaththa’beberapa hadits riwayat Malik yang tidak tercantum
dalam Al-Muwaththa’. Besar kemungkinan Ibnu Waddah melakukan yang sama, namun
untuk membuktikan spekulasi ini perlu kajian lebih lanjut.
[13]
Ibid.
[14]
E. Zaenal
Mutaqin, Pemikiran Harald Motzki..,
fahmilover.blogspot.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar