MEMBEBASAN DARI KETERTINDASAN
Disusun
: Sarbini[1]
- PENDAHULUAN
Kehadiran orang-orang
gelandangan, membludaknya angka pengangguran dan kaum tertindas ditengah-tengah
gelombang dasyat globalisasi tidak hanya menunjukkan krisis politik dan
ekonomi, namun juga krisis spiritual. Dalam masyarakat yang terobsesi dengan
material, kekuasaan dan kesuksesan
secara material, keberadaan kaum tertindas telah menjadi stigma sebagai manusia
yang mengalami degenerasi, tidak berdaya dan penuh kegagalan. Dari sudut
pandang Islam tentu kita memilih posisi “keberpihakkan kepada orang-orang
tertindas” yang kebetulan mendominasi strata masyarakat kita. Maka perlu
dibangkitkan kesadarannya untuk menjadi agen-agen transformasi sebagai bagian
dari pembebasan atas nama Tuhan kini dan esuk.
Untuk
memperluas pemaknaan kembali kaum tertindas dalam al-Qur’an perlu membangun
fundasi teologis dan fiqih orang-orang tertindas akibat ketidakberdayaan. Populasi kaum tertindas (mustadh’afin) baru
merupakan kecenderungan politik dan ekonomi
structural 3 dekade terakhir, akan tumbuh terus dan lebih-lebih krisis
ekonomi yang berkepanjangan bahkan pasca pencabutan subsidi BBM. Pada akhirnya
kaum tertindas menjadi subkultur yang menyebar.
Ledakan
kemiskinan adalah akibat kemajuan kapitalis dan neoliberalisme. Maka sangat
pentik untuk menegakkan organisasi-organisasi social untuk menyediakan
diri memobilisasi orang-orang miskin
lepas dari jurang penindasan. Mobilisasi ini harus dipandu dengan sejumlah
konsep dan teori gerakan yang viable berorientasi pada aksi, bahkan memiliki analisis yang yang
efektif tentang system
dominasi/Hegemoni dan berakar pada etika
profetik Qur’ani. Kombinasi teori dan praksis dalam membangun gerakan adalah
refleksi kritis dan kedasaran kritis atas realitas budaya kapitalisme untuk
perubahan.
Oleh
karena itu untuk menggerakkan kesadaran kritis dibutuhkan partisipasi besar
dari kepemimpinan kaum tertindas itu sendiri. Melalui integrasi kaum
intelektual dan kaum tertindas, aktivis dan agamawan dalam membangun gerakan
social baru yang visible. Yang di barengi
pembangunan ideology untuk mewujudkan gerakan social baru. Maka
terkadang cara-cara sub-version diperlukan untuk mengganti konsep-konsep
tradisional. Cara pandang sub-version untuk meruntuhkan tafsir dan tradisi
keagamaan dan social budaya yang hegemonic atas teks-teks suci. Dengan cara ini
konstruk penindasan dapat dibaca sebagai kritik untuk pembebasan dan
humanisasi.
Islam sangat menaruh perhatian yang
besar terhadap kaum tertindas, tertekan dan teraniaya, sampai-sampai Tuhan
menjanjikan para pejuang yang membebaskan penindasan, ketidakadilan adalah
syurga.[2] dalam konteks sosio-historis.
Kehadiran Muhammad bertepatan dengan tradisi Chaos yang melanda
masyarakat Arab, khususnya suku Quraisy dan suku-suku sekitarnya, tempat misi
awal kenabian Muhammad dilahirkan.
Tatanan yang dianut adalah hukum kapitalistik-eksploitatif atau yang
dikenal hukum rimba , yang kuat akan memenangkan pengaruh dengan
menguasai sumber-sumber ekonomi sosial politik. Masyarakat terpecah belah
menjadi kelompok-kelompok kecil yang mengunggulkan tribalisme dan
primordialisme golongan.
Penindasan dan eksploitasi dilakukan
secara terang-terangan terhadap kaum lemah seperti budak, kelompok miskin dan
wanita-wanita. Bahkan dalam pandangan masyarakat kala itu, wanita tidak dilihat
sebagai manusia seutuhnya, mereka terpenjara oleh dominasi sistem maskulin yang
mengeksploitasi kaum perempuan. Dalam masyarakat tersebut muncul suatu stigma
bahwa melahirkan bayi perempuan adalah suatu aib, bahkan mereka layak untuk
dikubur hidup-hidup.[3]
Secara lebih vulgar, kondisi dunia
sekitarnya saat kelahiran Muhammad diilustarasikan sebagai masyarakat biadab.
Dalam suasana alam yang garang panas berpasir. Kehidupan individu tidak pernah menemukan
ketenangan dan kedamaian. Masyarakat badui, penghuni padang pasir Arabia,
tercarut dari karakteristik kemanusiaannya. Kekurangan harta benda di tengah
terik padang
pasir menyuburkan kriminalitas dan penyakit sosial lain yang demikian kronis.
Pembunuhan, perampasan, perkosaan, dan perjudian menjadi warna dominan yang
terlembaga dalam kehidupan dalam masyarakat.
Hal ini dikarenakan
kondisi ekonomi yang suram diakibatkan
terjadi oligarki perdagangan dimana keserakahan terhadap materi oleh elit-elit
suku tidak menghiraukan aturan dan budaya kesukuan. Akibatnya anak-anak yatim,
janda-janda dan orang miskin menderita luar biasa. Mereka dipaksa bekerja tanpa upah.
Budak-budak perempuan dipaksa melayani tuan-tuannya. Mereka tidak memiliki
harkat dan martabat kemanusiaan.[4]
- PARADIGMA PEMBEBASAN
Pertama, tauhid sebagai landasan perjuangan membela kaum tertindas. Tauhid
adalah sebuah totalitas kreasi harmoni. Alam semesta sebagai refleksi kebesaran
Tuhan yang di lihat kehidupan dan nilai yang sama. Implikasi logis dari pandangan dunia tauhid, adalah bahwa menerima kondisi masyarakat
dalam keadaan penuh kontradiksi sosial dan diskriminasi, serta menerima
pengkotak-kotakan dalam masyarakat sebagai suatu syirk, lawan dari tauhid,
yaitu menentang pandangan kesatuan antara Allah, manusia dan alam. Secara tegas
Ali Syari’ati menyatakan:“Tauhid tidak terbagi-bagi atas dunia kini
dan akhirat nanti, atas yang alamiah dengna supra-alamiah, atas substansi dan
arti, atas jiwa dan raga. Jadi tauhid kita pandang keseluruh eksistensi sebagai
suatu bentuk tungal, s[5]uatu
organisme tunggal, yang hidup dan memiliki kesadaran, cipta, rasa dan karsa.”
Tidak di ragukan lagi bahwa konsep Tauhid yaitu
“pandangan dunia yang integral” yang merupakan konsep sentral. Oleh karena
menurut Ali Syari’ati Tauhid memandang dunia sebagai suatu
imperium, sedangkan lawannya syirk
memandang dunia sebagai suatu sistem feodal. Dengan pandangan ini maka dunia
memiliki kehendak, kesadaran diri, tanggap, citra-cita, dan tujuan. Dengan
bersandar pada keyakinan ini, Ali Syari’ati menolak pahtheisme, politheisme,
dualisme, atau trinitarianisme. Ia hanya percaya kepada tauhid, monotheisme. Tauhid
adalah pandangan hidup tentang kesatuan universal, kesatuan antara tiga
hipostasis yang terpisah, Allah , alam, dan manusia, yang ketiganya mempunyai
gerak yang sama, serta hidup yang sama
Kedua, pembebasan
sebagai transformasi sosial. Asghar Ali
Egeneeri menyebutkan, dalam Islam konsep tauhid bukan saja berarti keesaan
Tuhan, namun juga bermakna kesatuan manusia (unity of mankind). Dengan
mengikuti analogi Ahmad Amin, Asghar menggambarkan bahwa orang yang memperbudak
sesamanya berarti ingin menjadi Tuhan, penguasa yang merendahkan rakyatnya
berarti ingin menjadi Tuhan, manusia yang menindas manusia lain berarti ingin
menjadi Tuhan, padahal tiada Tuhan selain Allah.[6]
Dengan demikian, teologi bukan saja jalan bagi manusia untuk merasakan
kehadiran Tuhan mereka. Yang lebih penting dari itu, bagaimana manusia bisa
memancarkan keimanan dan ketauhidan akan Tuhan melalui pembebasan terhadap
orang- orang yang tidak dihargai kemanusiaannya. Doktrin agama-agama berulang
kali mengajarkan umat manusia untuk menebarkan keadilan dan perdamaian di muka
bumi.
Ketiga, melakukan refleksi atas
keberagamaan. Hassan Hanafi menggugat doktrin itu
dengan mengemukakan bahwa umat Islam tidak pernah menjadi umat yang satu karena
mereka selalu terbagi dalam dua kutub, yaitu Muslim yang kaya dan Muslim yang
miskin. Bahkan pada wilayah yang lebih ekstrem, hingga kini masih ditemukan
umat beragama yang seolah mendapat lisensi dari Tuhan untuk membunuh sesamanya
(lisence to kill). Dengan demikian masih bisa kita bagi lagi menjadi Muslim
penindas dan Muslim tertindas. Inilah yang perlu menjadi gugatan agama saat
ini.Karena itu, kehadiran paradigma beragama yang manusiawi dan tertuju pada
praksis penyadaran, pembebasan, dan perlawanan amat kita perlukan saat ini.
Penyadaran terhadap kaum miskin akan realitas ketertindasan dan kemiskinan yang
menimpanya, sekaligus memberi inspirasi teologis-kemanusiaan bagi terjadinya
pembebasan. Begitu pula perlawanan terhadap arogansi manusia yang selama ini
jadi penindas.
C. MODEL HERMENEUTIKA
PEMBEBASAN
Model pembebasan ala Farid Esack
dapat kita temukan dalam buku yang terkenal “Qur’an, Liberation and
Pluralisme : An Islamic Perspective of Interrelegious Solidarity Againts
Oppression. Dengan metode hermeneutika
buku ini ingin menyampaikan bahwa setiap kehidupan kehidupan dapat
dijalani dengan penuh keyakinan terhadap Al-Qur’an dan kontek kehidupan
sekarang bersama-sama dengan kepercayaan lain, berkeja sama dengan untuk
membangun masyarakat yang lebih manusiawi. Mengembangkan gagasan dengan
pendekatan hermeneutika al-Qur’an merupakan kontribusi Islam terhadap
pengembangan pluralisme.
Point penting yang dapat dicatat
dalam buku ini ialah pertama, cara al-Qur’an mendefinisikan diri
(Muslim) dan orang lain (non Muslim) dengan tujuan menciptakan ruang bagi
kebenaran dan keadilan orang lain dalam teologi pluralisme untuk pembebasan. Kedua
menggali hubungan antara eksklusivisme keagamaan dan konsevatisme politik (yang mendukung
Apartheide) disatu sisi dengan inklusivisme keagamaan dan bentuk politik
progresif (yang mendukung perjuangan pembebasan) disisi lain. Ketiga, dukungan rasional yang bersifaat Qur’ani.[7]
Masyarakat
plural, apartheid dan keterbelakangan di Afrika Selatan, telah menyusun apa
yang disebut hermeneutical circle dalam teologi pembebasan. Juan Luis
Segundo mendefinisikan hermeneutical circle sebagai perubahan terus
menerus dalam melakukan interpretasi terhadap kitab suci yang dipandu oleh
perubahan-perubahan berkesinambungan dalam realitas masa kini, baik individu
maupun masyarakat Ia mengemukakan dua
syarat untuk menciptakan hermeneutical circle : persoalan-persoalan yang
mendalam dan kaya serta keraguan terhadap situasi yang nyata; dan interpretasi
baru terhadap kitab suci yang juga mendalam dan kaya.
Skema I
Hermeneutical Double Movement Fazlur Rahman
Generalisasi
jawaban-jawaban spesifik
Menentukan
tujuan-tujuan moral-sosial Al-Qur’an
|
Perbedaan fundamental antara lingkaran
Segundo dan metodologi Fazlur Rahman adalah keputusan secara sadar untuk
memasuki hermeneutical circle dari sudut praksis pembebasan yang
ditentukan secara politik. Segundo menyatakan, hermeneutical circle didasarkan
atas fakta bahwa pilihan politik untuk perubahan pembebasan adalah unsure
intrinsic dari iman.[8] Sementara Rahman menyatakan bahwa metode
hermeneutika yang memadai berkaitan khusus dengan aspek-aspek kognitif dari
wahyu (1982 : 4). Kunci hermeneutika untuk upaya-upaya kognitif ini adalah Iman
dan kemauan untuk dibimbing. Tafsir kontemporer memfokuskan pada lingkungan
histories wahyu sebagai alat paling berharga dalam memahami[9]
Ia mengusulkan proses interpretasi yang melibatkan gerakan ganda (double
movement); dari masa kini ke periode
Al-Qur’an dan kembali ke masa kini.[10]
Di samping
Rahman, Mohammaed Arkoun juga menawarkan pendekatan hermeneutika kontemporer.
Ia memandang krisis legitimasi bagi agama saat ini memaksa para sarjana untuk bicara
tentang cara pemikiran yang heuristik . Ia sangat menekankan pendekatan
histories sosiologis-antropologis, tapi juga tidak menolak pendekatan filsafat
dan teologi. Bahkan ia ingin memperkayanya dengan memasukkan kondisi histories
dan sosial konkret dalam mana Islam dipraktekkan. Arkoun menyajikan “garis-garis
pemikiran heuristik fundamental” untuk merekapitulasi pengetahuan Islam dan
memperhadapkannya dengan pengetahuan kontemporer. Garis-garis pemikiran itu
mencakup : pertama, manusia muncul dalam masyarakat melalui “kegunaan”
yang berubah-ubah (aktivitas, pengalaman, sensasi, observasi, dst). Setiap
“kegunaan” (use) dikonversi dalam bentuk tanda tanda realitas yang
diungkapkan melalui bahasa sebagai system tanda[11] Ini terjadi sebelum interpretasi wahyu. Kitab
suci dikomunikasikan melalui bahasa alam yang menggunakan system tanda dan
setiap tanda adalah lokus operasi
konvergen (persepsi, ekspresi, interpretasi, terjemahan) yang menandai adanya
hubungan antara bahasa dan pikiran (ibid). konsekuensinya bagi pemikiran
tradisional tentang wahyu dan bahasa : paham tentang kesucian bahasa Arab tak
dapat dipertahankan, dan inti pemikiran Islam terwakili sebagai persiapan
bahasa dan semantik.
Kedua,
semua tanda dan symbol adalah produk manusia (produksi semiotic) dalam proses
sosial dan budaya yang tak terpisah dari histories. Historisitas adalah satu
dimensi dari kebenaran[12]
, kebenaran yang dibentuk oleh alat-alat, konsep-konsep, definisi dan postulat
yang selalu berubah. Ketiga, keimanan tidak ada pada independensi
manusia sendiri, tidak pula berasal dari kehendak atau karunia Tuhan, tapi ia
dibentuk, diungkapkan dan diaktualisasikan dalam dan melalui wacana . Keempat,
system legitimasi tradisional yang diwakili pemikiran teologi Islam klasik dan
yurisprudensi Islam dan perbendaharaan katanya tidak mempunyai relevansi
epistemologis. Disiplin-disiplin ini terlalu kompromi dengan bias-bias ideology
yang ditekankan oleh kelas penguasa dan para intelektual tukangnya.
Aplikasi
gagasan-gagasan Arkoun dapat dilihat pada analisis tentang proses wahyu dan
cara teks ditulis menjadi kitab yang otoritatif damn suci. Ia membedakan tiga
level firman Allah : 1) Firman Allah sebagai transenden, tak terbatas dan tidak
dikenal oleh manusia sebagai suatu keseluruhan yang diwahyukan melalui nabi.
Hal ini diungkapkan dalam bahasa Al-Qur’an
sebagai al-Lawh al-Mahfuz (QS. 85 : 22) atau Umm al-Kitab
(QS. 43 : 4); 2). Manifestasi histories firman Allah melalui nabi-nabi Israel (dalam
bahasa Ibrani), Yesus (bahasa Aram)
dan Muhammad (bahasa Arab). Ia dihafal dan ditransmisikan secara oral selama
periode sebelum ditulis dan 3)
Objektifikasi teks dari firman Allah telah terjadi (al-Qur’an menjadi mushaf)
dan kitab ini tersedia bagi orang beriman hanya melalui versi tertulis yang
terpelihara dalam kanon resmi tertutup.
Skema II
Metode Hermeneutika Mohammed Arkoun
Firman Allah Sejarah
penyelamatan
Peristiwa pembuka Komunitas
Muslim
Transmisi
Korpus resmi tertutup
Korpus tertafsir
Tradisi – hafalan kolektif, seleksi, pengumpulan,
eliminasi,
kristalisasi, mitologisasi, sakralisasi
Masyarakat
Angan-angan sosial
Muncul kritik rasionalitas
Arkoun
menjelaskan proses gerak penurunan wahyu dan gerak mendaki dari komunitas yang
menafsirkan menuju keselamatan sesuai dengan perspektif vertical tentang semua
kreasi sebagaimana adanya ditekankan oleh wacana qur’ani. Komunitas yang
menafsirkan adalah subjeck-actant dari keseluruhan sejarah dunia yang
diwakili, diinterpretasikan dan digunakan sebagai tahapan sulit untuk
mempersiapkan penyelamatan yang diskisahkan Tuhan sebagai bagian dari wahyu
yang mendidik Hubungan individu dengan
kitab sebagai firman Allah sama dengan hubungan sosial politik dengan komunitas
yang menafsirkan (lihat skema II).
Esack
melihat ada kekurangan pada dua pendekatan di atas – Rahman dan Arkoun.
Pendekatan Rahman, menurutnya, kurang apresiasi atas kompleksitas tugas
hermeneutika dan pluralisme intelektual yang intrinsic didalamnya. Rahman lebih
menyesalkan ketundukan Islam pada politik daripada nilai-nilai Islam sejati
yang mengendalikan politik, tanpa mengakui dialektika antara kedunya. Ia
terlalu menekankan criteria kognisi dan mengabaikan hubungan antara kognisi dan
praksis. Ketika Rahman mengklaim élan moral dasar al-Qur’an – kesadaran akan
Tuhan dan keadilan sosial – ia lupa akan sebab-sebab structural dari
ketidakadilan itu[13]
Sementara
itu, kritik Esack pada Arkoun lebih ditujukan pada pendapatnya yang menyatakan
bahwa pengetahuan sebagai lapisan otoritas diterima dan dihargai, pengetahuan
terlepas dari ideology, mampu menjelaskan formasi dan menguasai pengaruhnya.
Menurut Esack, pengetahuan sebagaimana alat sosial lainnya, disamping dapat
dikritik, juga tidak pernah dapat netral. “Setiap hermeneutika membutuhkan
parti-sansip secara sadar ataupun tidak” .
Tampaknya
Esack ingin menutupi kekurangan Rahman dan Arkoun, dengan menawarkan hermeneutika
pembebasannya. Ia yakin bahwa tugas Muslim memahami Al-Qur’an dalam konteks
penindasan ada dua hal :
1.
Untuk memaparkan cara
interpretasi tradisional dan kepercayaan-kepercayaan tentang fungsi teks
sebagai ideology dengan tujuan untuk melegitimasi tatanan yang tidak adil;
untuk mengakui kesatuan umat manusia, menggali dimensi-dimensi keagamaan dalam
situasi ketidakadilan dari teks dan mempergunakannya untuk melakukan pembebasan
(misalnya hubungan Tuhan dengan orang lapar dan eksploitasi. Dimensi teologis
ini seacra simultan membentuk dan dibentuk oleh aktivitas islamisis dalam
perjuangan demi keadilan dan kebebasan[14]
Untuk mencari dimensi-dimensi keagamaan
dalam situasi sosio ekonomi tertentu dan menyorotinya membuka kemungkinan bagi
kita untuk menekankan penghargaan atas teks-teks tertentu secara selektif dan
arbitrer, dan mengeluarkan teks-teks lainnya. Anda tidak dapat benar-benar taat
pada Allah jika anda dalam keadaan lapar. Ketaatan semacam ini adalah bentuk
pemaksaan. Hadis nabi, “Saya yang berada di bawah lindungan Allah sangat
memperhatikan kefakiran dan kekufuran (Ibn Hanbal, 1978, 2 : 101), adalah
indicator hubungan antara kurangnya iman dan kemiskinan. Al-Qur’an juga
menyebutkan klaim Fir’aun sebagai Tuhan dan melahirkan konsekuensi politik atas
perbudakan bangsa Israel
(QS. 10 : 83-, 90).
2.
Respon bahwa mencari dimensi
teologis dalam konteks politik tertentu tidak mengimplikasikan bahwa kita
memandang politik sebagai satu-satunya dimensi iman dan bahwa teks bernilai
hanya jika berkaitan langsung dengan kepentingan politik
Esack melihat
ada 3 unsur intrinsic dalam proses memahami teks : Pertama, masuk dalam
pikiran pengarang. Dalam kasus al-Qur’an, Tuhan dipandang sebagai pengarang.
Muslim perlu masuk kedalam pikiran Tuhan. Oleh karena itu, Tuhan berperan
langsung dalam pemahaman teks; yang lain menjadikan Muhammad sebagai kunci
dalam melahirkan makna, bagi Rahman dan kaum tradisionalis, makna terletak di
dalam teks dan dapat digali oleh “pikiran murni”. Inilah yang disebut
pendekatan personal. Problem sebenarnya adalah bagaimana menerapkan pendekatan
ini secara sadar pada arena sosio-politik atau domain moralitas publik dengan
cara tertentu.
Kedua,
penafsiran adalah binatang dengan banyak beban. Partisipasi aktif penafsir
dalam melahirkan makna mengimplikasikan bahwa menerima teks dan mengeluarkan
makna darinya tidak ada pada dirinya sendiri. Menerima dan menafsir, dan makna
adalah selalu parsial. Setiap penafsir memasuki proses interpretasi dengan pra
pemahaman tentang persoalan yang dikemukakan teks. Makna selalu berada dalam
struktur pemahaman itu sendiri. Jadi, :”Tak ada interpretasi tak berdosa, tak
ada penafsir tak berdosa, dan tak ada teks tak berdosa” . Kita perlu membedakan
antara diri dengan kondisi dimana diri itu berada. Mengabaikan ambiguitas
bahasa dan sejarah serta impaknya pada interpretasi, menyebabkan tak ada
perbedaan antara Islam normative dan apa yang “dipikirkan” orang beriman[15]
Ketiga,
interpretasi tidak lari dari bahasa, sejarah dan tradisi. Masa lalu adalah masa
kini. Siapapun yang menggunakan bahasa “memikul pra pemahaman” yang sebagian
sadar dan lebih sering tidak sadar akan sejarah dan tradisi bahasa tersebut
(Tracy, 1987 : 16). Kita tidak bisa lari dari semua ini. Makna kata selalu
dalam proses. Menurut Cantwell Smith, “Menggunakan suatu kata berarti
berpartisipasi dalam proses sejarah maknanya yang terus-menerus Makna literal
dari suatu ucapan selalu problematic dan tidak pernah bebas nilai. Ini
khususnya berkaitan dengan ucapan simbolik dan suci. Pluralitas bahasa dan
ambiguitas sejarah tak dapat dihindarkan dalam upaya memahami. Problem bahasa
tak terbatas pada penafsir tapi juga meluas pada tradisi atau teks yang
ditafsirkan. Tindakan menafsirkan apapun adalah partisipasi dalam proses
linguistik-historis. Pembentukan tradisi dan partisipasi ini terjadi dalam
ruang dan waktu tertentu. Perlakuan kita terhadap Al-Qur’an juga terjadi dalam
batasan-batasan ini; kita tidak dapat keluar dari dan menempatkan diri di atas
bahasa, budaya dan tradisi[16]
D. THE NEW SOCIAL MOVEMENT : SEBAGAI
BASIS PEMBEBASAN MUSTAD’AFIN
Muhammad Syahrur[17] mencatat, Islam sejak diutusnya Nabi Muhammad
sebagai Rasul hingga kini tidak mengalami krisis peribadatan. Orang mengerjakan
sholat bertambah jutaan, jumlah masjid terus bertambah, diseluruh penjuru
dunia. Orang yang menuaikan haji terus bertambah bahkan tempatnya sudah tidak
mencukupi. Orang yang melaksanakan puasa terus semakin banyak dan tempat suci
juga luas. Disini ibadah yang dilakukan umat Islam tidak pernah mengalami
krisis apapun. Tetapi kehidupan umat Islam sangat dipengaruhi keadaan
situasi Tirani ekonomi-politik yang
membawa pandangan relasi kekuasaan dan kapital akan mempengaruhi tatanan
kemasyarakatan, yang gambarkan Syahrur dengan symbol sebagaima kisah al-qur’an
dengan Fir’aun yang merupakan puncak kekuasaan yang mencakup karakteritik
tiranisme (penindasan dan represif, sedangkan Hamman sebagai symbol orang-orang
menjaga kesucian tuhan tapi justru kelakuannya jauh dari nilai-nilai yang
diajarkan Tuhan. Dan Qorun sebagi kapitalisme yang terus menghisap sesama
manusia.
Sebenarnya kendala yang paling utama
adalah moralitas manusia yang selama ini melakukan penindasan. Dalam konteks
ini, perlawanan menjadi suatu tindakan yang niscaya dilakukan ketika sistem
ekonomi, sosial, politik, budaya, bahkan agama bernilai penindasan. Menurut
Muhammad Abduh, agama justru harus menjadi daya dobrak teologis (theological
striking force) dalam melakukan perlawanan. Mengubah kesadaran spiritual
menjadi instrumen perlawanan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Maka
yang terpenting adalah bagaimana mengomunikasikan bahasa agama menjadi
inspirasi pembebasan. Pedoman inilah yang selalu menjadi misi suci para nabi.
Mereka tak hanya mengajarkan tentang aturan-aturan teologis yang baku, tapi justru yang
patut diteladani adalah kemampuan mereka menghayati risalah ketuhanan dalam
bahasa teologis yang bernilai transformatif dan membebaskan.[18]
Saat ini umat Islam, misalnya, sangat sering membedakan antara misi
kenabian dan keulamaan. Ulama seolah hanya memikirkan masalah masjid, kitab
suci, dan ritualisme, sementara refleksi pembebasan adalah urusan kaum
intelektual dan para aktivis pembaharuan. Padahal, ulama adalah pewaris para
nabi yang juga harus mengemban misi pembebasan.
Para nabi adalah
kaum intelektual-pendakwah (missionaries) yang tidak hanya sebagai intelligent
and rational being, tetapi juga relational being capable of communion and self-
gift. Kematangan berpikir para nabi juga diikuti dengan rasa solidaritas yang
amat tinggi. Elitisme beragama telah menjadi misi iman yang profetis. Sejarah
nabi-nabi adalah sejarah pengorbanan kemanusiaan, yaitu riwayat tentang
pembaharuan dari tata sosial menindas menuju tata sosial membebaskan. Para nabi adalah kaum pendakwah yang mengajak dan
mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan pengorbanan hidup. Mereka
juga adalah para intelektual yang senantiasa melakukan refleksi kritis atas
situasi sosial di sekitarnya.
Karena itu, para intelektual dan agamawan masa kini harus mengemban
misi profetis. Secara khusus, Ignacio Ellacuria menyebutkan bahwa peran kaum
intelektual dewasa ini harus berpihak pada transformasi sosial serta bersuara
bagi mereka yang tidak punya suara dan memperjuangkan hak-hak mereka.
Jarang sekali tulisan tentang gerakan Islam yang dikaitkan dengan
pembebasan tertentu, misalnya pembebasan dari kemiskinan atau ketertindasan,
kebebasan berbicara dan sebagainya. Pengecualian mungkin di Afrika Selatan yang
ditulis sendiri oleh aktivisnya, yaitu Dr. Farid Esack, dimana sebagian kaum Muslim di sana menjadi
bagian dari gerakan pembebasan dari kebijakan apartheid. Fakta ini
praktis bertolak belakang dengan tulisan-tulisan tentang gerakan agama lain.
Kita dengan mudah bisa menemukan suatu gerakan pembebasan dari ketertindasan
seperti Martin Luther King Jr. di AS; Sulak Civaraksa di Thailand; Desmon Tutu
dan Nelson Mandela di Afrika Selatan; Kardinal Sin di Pilipina; Uskup Bello di
Timor Timur; Romo Mangun dan Ibu Gedong Oka di Indonesia, untuk beberapa
contoh.
Sedangkan gerakan Islam hampir selalu berupa Islam Fundamentalis
seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jamaat Al-Islamy di Pakistan; belakangan
muncul Taliban dan Mujahidin di Afghaistan; FIS di Al-Jazair; revolusi Mullah
di Iran dan seterusnya. Pemikiran yang konspiratif akan mempertanyakan
kemungkinan adanya rekayasa pemunculan gerakan-gerakan dan para tokohnya itu
sebagai penentang Barat atau AS khususnya serta modernisasi, dan karena itu sebagai
gerakan antagonis. Sebaliknya, gerakan dan tokoh di luar Islam sebagai
penyelamat manusia dari ketertindasan kekuasaan dan tirani.
Tetapi pemikiran jernih akan memberikan kemungkinan bagi penilaian
betapa capaian Islam atas pandangannya tentang dunia dan manusia begitu
terbatas dan sempit. maka dalam Islam gerakan sosial dan revolusi cenderung
mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan demi meraih tujuan “kejayaan agama” (baca:
kekuasaan). Dengan demikian, ada problematik secara ideologis dan mungkin
teologis bagi pandangan Islam dalam melihat pembebasan dalam dimensi-dimensi
kemanusiaan. Perbedaan mendasar antara teologi pembebasan dalam Katolik
misalnya, ia secara langsung melakukan pemberdayaan rakyat untuk mengambil arus
lain dari mainstream. Penyadaran atau conscientization dalam
bahasa Paulo Freire, kepada rakyat telah mengukuhkan kesadaran yang bersifat
massal. Kepemimpinan dan keterlibatan para pemimpin Katolik untuk kasus di
Amerika Latin misalnya, mampu menggoyahkan struktur Gereja yang hirarkis dan
sekaligus struktur negara dan modal yang berhimpitan di luarnya. Tetapi dalam
waktu yang sama para aktor itu sendiri tidak mengambil alih struktur hirarkis
semula maupun struktur negara dan modal. Melainkan para pelaku, yakni rakyat
lah yang mengambil keuntungan dari proses tersebut [19]
Teologi pembebasan Islam seperti yang dirintis oleh Engineer di India sulit untuk tidak dikatakan berhenti
pada diskursus. Memang ada satu dua pemikirannya memberikan pengaruh untuk
tafsir praksis seperti kesetaraan perempuan dan anti-diskriminasi tetapi sulit
untuk dikatakan ia merupakan akibat langsung dari gerakan itu. Hal ini pun
dengan mengabaikan hasil capaian yang terukur, misalnya bagi perempaun dan
non-Muslim di negara mayoritas Muslim hingga saat ini. Sebaliknya, gerakan
Islam yang terukur dan mampu menggerakkan kesadaran banyak orang justeru
mengarah kepada ketidakbebasan dan penerapan diktum-diktum agama atau nash-nash
secara tekstual.
Gerakan sosial biasanya didefinisikan sebagai gerakan bersama
sekelompok orang atau masyarakat yang terorganisir tetapi informal bersifat
lintas kelompok untuk menentang atau mendesakkan perubahan. Banyak versi dan
dimensi dari definisi gerakan sosial itu tetapi belum menekankan pentingnya empat unsur utama, yaitu
(1) jaringan yang kuat tetapi interakisnya bersifat informal atau tidak
terstruktur. Dengan kata lain ada ikatan ide dan komitmen bersama di antara
para anggota atau konstituen gerakan itu meskipun mereka dibedakan dalam
profesi, kelas sosial, dll. (2) Ada
sharing keyakinan dan solidaritas di antara mereka; (3) ada aksi bersama
dengan membawa isu yang bersifat konfliktual. Ini berkaitan dengan penentangan
atau desakan terhadap perubahan tertentu; (4) Aksi tuntutan itu bersifat
kontinyu tetapi tidak terinstitusi dan mengikuti prosedur rutin seperti dikenal
dalam organisasi atau agama, misalnya. Dengan demikian, bisa diidealkan bahwa
gerakan sosial sesungguhnya berangkat dari kesadaran sekelompok orang atas
kepentingannya. Meskipun selalu dibutuhkan kepemimpinan di dalam semua gerakan
sosial tersebut, tetapi keuntungan (value-added) dan capaiannya selalu
harus kembali kepada konstituen gerakan dan bukan kepada pemimpinnya.. Tiga
buku berikut mungkin bisa dijadikan contoh, yaitu (1) Aktor Demokrasi,
Catatan Tentang Gerakan Perlawanan di Indonesia (Arief Budiman at al.
[ed.], ISAI 2001); (2) Gelombang Perlawanan Rakyat, Kasus-Kasus Gerakan
Rakyat di Indonesia (N. Kusuma at. al. [ed.], Insist, 200); (3) Gerakan
Sosial, Wahana Civil Society bagi Demokratisasi (Iwan Gardono Sujatmiko [ed.],
LP3ES, 2006).
E. CATATAN
PENUTUP
Catatan narasi tentang gerakan sosial di Indonesia bagi upaya pemebebasan
kaun mustadl’afin:
1. Gerakan pembebasan
biasanya lebih menguntungkan pemimpin
atau yang dianggap sebagai pemimpin dan karena itu gerakan selama ini belum memberikan
impact kepada mereka orang-orang tertindas.
2. Gerakan-gerakan
itu juga umumnya diinisiasi oleh para pemimpin itu ketimbang atas kesadaran orang
yang tertindas sejak semula.
3. Beberapa
gerakan lebih menampakkan ciri top down.
Yang terjadi kemudian adalah bahwa gerakan sosial tersebut cenderung
bukan representasi keinginan dari konstituen melainkan sebaliknya, ia merupakan
bentuk penundukan atau titipan dari struktur politik negara atau kekuasaan
tertentu. Gejala demikian dalam literatur gerakan sosial disebut contra
social movements atau contra movements, yaitu cara-cara pemerintah
atau kekuasaan menundukkan tuntutan gerakan soaial untuk menolak atau
menghadang perubahan yang didesakkan atau dengan kata lain cara memaksakan
kebijakan penguasa kepada kelompok tertentu (). Gerakan sosial Islam yang
radikal pun di Indonesia banyak bukti merupakan rekayasa dari penguasa
tertentu.
DAFTAR
PUSTAKA
Asghar Ali
Engineer,Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 2003,
Ali Syari’ati, Pemimpin
Mustad’afin : Sejarah Panjang melawan Penindasan
, Bandung :
Muthahari Paperbacks, 2001
Farid Essack, Membebaskan Yang Tertindas,
Bandung
Mizan 2000,
Kalid Abou El-Fadl, Selamatkan Islam
dari Islam Puritan, Jakarta
: Serambi, 2006
Jhon Luis Segundo, The Liberation of
Theology, New York
: Obis Books, 1991
Muhammad Syahrur, Tirani Islam, Yogyakarta
: LKIS, 2003,
Munir
Mulkan, Teologi Kiri, Landasan Membela Kaum Mustadl’afin, Yogyakarta : Kreasi Wacana,
Michael Lowy, Teologi Pembebasan, Yogyakarta :Insist Press, 1999
Arief Budiman at al. [ed.Aktor
Demokrasi, Catatan Tentang Gerakan Perlawanan di Indonesia Jakarta
: ISAI 2001
N. Kusuman, Gelombang Perlawanan Rakyat, Kasus-Kasus
Gerakan Rakyat di Indonesia Yogyakarta : Insist, 2000
Iwan Gardono Sujatmiko [ed.) Gerakan
Sosial, Wahana Civil Society bagi Demokratisasi, Jakarta :
LP3ES, 2006.
[1]Makalah disampaikan dalam diskusi kelas program Doktor untuk
memenuhi tugas mata kuliah Pemikiran Islam Kontemporer
[2]Lihat Q.S. 4:135, larangan memutar balikkan keadilan, dan menolak
keadilan, Q.S. 5:9, larangan berbuat tidak adil sesama manusia, Q.S. 93:9-10
menindas anak yatim dan orang terlantar, Q.S. 3: 159, larangan berbuat kasar
pada sesama.
[3]Lihat Q.S. At-Takwir, 8-9. “Dan apabila bayi-bayi perempuan
dikubur hidup-hidup ditanya. Karena dosa apakah dia dibunuh?”
[4]Asghar Ali Engineer,Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003, h. 42
[5] Ali
Syari’ati, Pemimpin Mustad’afin : Sejarah Panjang melawan Penindasan , Bandung : Muthahari
Paperbacks, 2001, h. 73
[6] Asghar Ali Egeneeri, Islam dan Teologi Pembebasan, Op.cit
[7]Farid Essack, Membebaskan Yang Tertindas, Bandung Mizan
2000, h. 14
[8]Jhon Luis Segundo, The Liberation of Theology, New York : Obis Books,
1991, h.3-6
[9]Ibid. h. 1-11
[10] lihat skema I, Op.cit. , Esack,2000 : 66
[11] Farid Esack, Op.cit., h.8
[12]Ibid. h. 8
[13]Ibid. h. 67 – 68
[14]Ibid. h.11
[15]Ibid.75
[16]Ibid.76.
[17]Muhammad Syahrur, Tirani
Islam, Yogyakarta : LKIS, 2003, h. 235-236
[18]Munir Mulkan, Teologi Kiri, Landasan Membela Kaum Mustadl’afin,
Yogyakarta : Kreasi Wacana, 231-235
[19]Michael Lowy, Teologi Pembebasan, Yogyakarta
:Insist Press, 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar