“Etika Terhadap Al-Qur’an”
Oleh: Ust. H. Abdul Jalil Muhammad, M.S.I
Staf Pengajar di Madrasah Huffadh Al-Munawwir, Dosen UIN Sunan Kalijaga
Staf Pengajar di Madrasah Huffadh Al-Munawwir, Dosen UIN Sunan Kalijaga
Membuka pertemuan pada pagi itu, Ust. Abdul Jalil
menayangkan video pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an oleh seorang qari di hadapan
khalayak ramai. Ketika sampai di bacaan-bacaan tertentu, orang-orang yang
menyimak secara serentak melantunkan shalawat. Di video lain, orang-orang
bertakbir dan mengelu-elukan nama Allah. Inilah salah satu fenomena yang
disebut dengan ‘resepsi’.
Mengapa ada ‘resepsi’? Karena Al-Quran dianggap
sebagai tamu yang datang di tengah-tengah umat Islam dan wajib dihormati. Baik
di kalangan muslim Arab maupun non-Arab, dari tanah Hijaz sampai ke Tanah Air.
Cara penghormatan umat Islam pun beraneka ragam, sesuai dengan pembentukan
budaya di daerahnya masing-masing.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, resepsi berarti:
pertemuan (perjamuan) yang diadakan untuk menerima tamu. Dalam sastra,
‘resepsi’ adalah teori yang mementingkan tanggapan pembaca terhadap karya
sastra. Sedangkan di dalam Studi Al-Quran, teori resepsi ini membahas tentang
bagaimana Al-Quran diterima oleh masyarakat muslim, dan bagaimana mereka
memberikan reaksi terhadap Al-Quran.
Ada beberapa bentuk kajian (studi) Al-Qur’an menurut
penempatannya terhadap Al-Qur’an, yakni;
- Kajian yang menempatkan teks Al-Quran sebagai objek kajian, atau dengan istilah Amin al-Khuli dalam Manahij Tajdid: ‘dirasah ma fi al-Qur’an’. Misalnya; tafsir maudhu’i (tematik) dan ma’ani al-Quran.
- Kajian yang menempatkan hal-hal di luar teks Al-Quran, namun berkaitan erat dengan ‘kemunculannya’ sebagai objek kajian. Amin al-Khuli menyebutnya sebagai ‘dirasah ma haula al-Qur’an’. Misalnya; sejarah Al-Quran, asbab an-nuzul, sirah nabawiyyah)
- Kajian yang menjadikan pemahaman terhadap teks Al-Quran sebagai objek kajian. Seperti studi kitab tafsir dan mazahib tafsir.
- Kajian yang memberikan perhatian pada respon dan resepsi masyarakat terhadap teks Al-Quran maupun penafsirannya. Atau istilahnya; ‘The living Qur’an’, Al-Quran yang hidup di masyarakat. Kajian semacam ini menggabungkan antar cabang ilmu Al-Quran dan ilmu sosial.
Kitab suci merupakan unsur penting dalam suatu agama,
terlepas dari asal-usul atau sumber kitab tersebut dari mana, yang jelas, kitab
itu dianggap suci oleh penganut agama tersebut. Bagaimana aktivitas
manusia/penganut agama dalam mempertahankan kesucian sebuah kitab? Dalam budaya
pesantren, ketika ada kitab suci Al-Qur’an yang terjatuh ke lantai, seorang
santri akan secara reflek mengambil dan menciumnya. Ini adalah salah satu
contoh perilaku mempertahankan kesucian kitab suci, atau ‘meresepsi’ Al-Qur’an.
Wahyu Al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
berupa pesan yang kemudian disampaikan kepada umatnya secara oral dari hapalan.
Transmisi Al-Quran secara oral pada masa awal Islam adalah hal yang
mendominasi, namun hal ini tidak menafikan adanya aktivitas penulisan wahyu
Al-Quran. Masyarakat Arab yang ada pada masa turunnya Al-Quran lebih
berinteraksi dengan Al-Quran secara oral, yang bersifat ucapan atau bacaan.
Maka pada masa awal Islam, para sahabat dan tabi’in memiliki cara tersendiri
dalam hal meresepsi Al-Qur’an.
Bagi sahabat ‘Abd Allah bin Mas’ud, aktivitas membaca
Al-Quran lebih ia cintai daripada puasa sunnah. Qatadah berkata, “Saya tidak
pernah makan bawang perai (al-kurrats) sejak saya mulai membaca
Al-Quran.” Jelas bahwa Qatadah di sini mencoba untuk menjaga bau mulutnya
dengan tidak memakan makanan yang dapat menimbulkan bau yang kurang sedap di
mulut, ini hanya karena ia melihat mulutnya adalah tempat keluarnya ayat-ayat
suci Al-Quran. ‘Ikrimah berkata, “Jika salah satu dari kalian menguap dalam
keadaan membaca Al-Quran maka jangan keluarkan suara ‘haa haa’ ketika ia
membaca.”
Secara periodik, tentu bacaan Al-Qur’an para sahabat
sampai kepada masa khataman. Cara para sahabat merespon momen khataman
Al-Qur’an pun termasuk dalam kajian resepsi. Misal, ada seorang laki-laki di
kota Madinah yang mudawamah membaca Al-Quran dari awal sampai akhir (khatam).
Sahabat Ibnu ‘Abbas sering datang kepadanya ketika lelaki itu hendak
mengkhatamkan Al-Quran.
Sahabat Ibnu Mas’ud berkata, “Barang siapa yang
mengkhatamkan Al-Quran maka dia, pada waktu itu, mempunyai doa yang mustajab.”
Oleh karena itu, ketika Ibnu Mas’ud mau mengkhatamkan Al-Quran, beliau sering mengumpulkan
keluarganya untuk doa bersama. Resepsi semacam ini tentu tergolong dalam ranah
etika, dan belum pernah ada di masa Rasulullah.
Lalu bagaimana etika para sahabat terhadap Al-Qur’an
sebagai tulisan berupa mushaf yang terjilid? Bermacam-macam. Sahabat Ali bin
Abi Thalib kurang suka jika Al-Quran ditulis dalam bahan yang berukuran kecil.
Ibnu Mas’ud memandang bahwa hiasan terbaik bagi mushaf
adalah membacanya dengan benar dan mengamalkannya (at-tilawah bi-haqq),
sehingga beliau kurang suka jika mushaf ditulis atau dihiasi dengan emas. Pada
masa sahabat dan tabi’in, muncul pula perdebatan mengenai mushaf yang ditulis
ini, apakah dapat dijualbelikan?
Sebagian dari sahabat dan tabi’in, seperti Ibnu ‘Umar
dan Ibnu Sirin, tidak suka jika mushaf dijualbelikan. Sebagian lain, seperti
asy-Sya’bi mencoba mengambil jalan tengah, ia berpendapat bahwa apa yang
dibayar itu adalah harga kertas dan upah penulisan, jadi bukan menjualbelikan
Al-Quran yang suci.
Itu semua adalah contoh bagaimana umat Islam merespon
Al-Qur’an sebagai tamu, baik ketika masih dominan sebagai bacaan yang dihapal,
maupun setelah munculnya jilid-jilid mushaf. Resepsi semacam ini bergulir dan
berkembang sesuai tempat dan zaman. Termasuk di Indonesia pada masa sekarang.
Misalnya yang terjadi di desa Benda (Sirampog,
Brebes), yang dahulu terkenal dengan banyaknya para huffadz Al-Qur’an di
kampung itu. Kondisi ini berkat perjuangan Kiai Suhaimi dan Kiai Khalil bin
Mahalli, pendiri Pondok Pesantren Al-Hikmah. Ada kisah, Kiai Suhaimi tidak
berkenan berjabat tangan dengan seorang hafidz, walaupun santrinya sendiri,
kecuali dalam keadaan suci.
Kultur masyarakat Benda di masa itu sangat menghargai
Al-Quran dan para hafidz. Sebagai contoh, acara khitanan tidak akan
dilaksanakan sebelum adanya acara khataman yang dibaca oleh para hafidz.
Anak-anak biasanya tidak dikhitankan sebelum hafal Juz ‘Amma. Bahkan ada
beberapa anak yang menghapal Juz ‘Amma walaupun masih belum bisa membaca
Al-Quran.
Perlakuan dan penggunaan masyarakat terhadap Al-Qur’an
bermacam-macam. Imam Hasan al-Basri pernah mendapat pengaduan seorang suami
atas kehidupan rumah tangganya yang kurang harmonis. Kemudia beliau memberikan
resep kerukunan rumah tangga dengan menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai
mantra amalan. QS. adz-Dzariyat: 47-48, yakni ayat ‘was-samaa-a
banaynaahaa..…’ dituliskan di sebutir telur, kemudian dimakan si suami.
Lalu ayat ‘wal ardha farsynaahaa…..’ dituliskan di sebutir telur lain
dan dimakan si istri.
Atau contoh lain di Banjarmasin, ada kopi Banjar yang
terkenal begitu nikmat. Apa resepnya, ternyata si pembuat selalu membacakan
Surat al-Ikhlas sejak menggiling kopi, memasak hingga menyeduh dan
menghidangkannya. Semua fenomena ini termasuk dalam kajian resepsi masyarakat
terhadap Al-Qur’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar