Kitab suci
dihubungkan dengan masyarakat yang mendengarkan kata-katanya sepenuh perasaan,
mereka hidup bersama dan untuk kitab suci tersebut. Ia dianggap suci sebab ada
orang-orang yang men-suci-kannya, terlepas dari perihal apakah kitab-kitab itu
benar-benar suci atau tidak.
Hal ini
sesuai dengan apa yang disampaikan Ust. Abdul Jalil tentang perkataan Ali bin
Abi Thalib mengenai kitab suci Al-Qur’an, bahwa aktifitas manusia la yang
membuat Al-Quran hidup di tengah masyarakat . Di dalam Nahj al-Balaghah, beliau
mengatakan,
“Mushaf
Al-Qur’an adalah sesuatu yang diapit dua sampul dan tak bisa berkata-kata
sendiri, maka ia membutuhkan pembicara yakni manusia, di dalamnya terkandung
ilmu tentang apa yang akan terjadi, tentang apa yang sudah berlalu, penawar
bagi duka, dan neraca bagi kehidupan bersosial.”
Kalau
ditilik dari sisi lingkupannya, kajian Kitab Suci terbagi dalam tiga ranah;
- Origin (Asal-usul), yakni kajian tentang asal-usul kitab suci, semisal sejarah dan manuskrip.
- Form (Bentuk), yaitu kajian tentang bentuk kandungan yang ada di dalam kitab suci, semisal kajian tafsir dan pemaknaan.
- Function (Fungsi), adalah kajian tentang kegunaan dan penggunaan kitab suci.
Adapun
kajian tentang resepsi tergolong dalam kajian Fungsi. Bagaimana fungsi
Al-Qur’an di dalam kajian ilmiah? Ada dua macam;
- Fungsi Informatif, yakni ranah kajian kitab suci sebagai sesuatu yang dibaca, dipahami, dan diamalkan.
- Fungsi Performatif, yaitu ranah kajian kitab suci sebagai sesuatu yang ‘diperlakukan’. Misalnya sebagai wirid untuk nderes atau bacaan-bacaan suwuk (ruqyah).
Ada
pesantren tertentu yang memfungsikan Al-Qur’an lebih cenderung secara
performatif dibandingkan informatif. Di sana, kitab tafsir dibaca dari awal
hingga khatam, namun tak begitu penting apakah santri paham atau tidak. Justru
yang dipentingkan adalah disiplin pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut secara
rutin (resitasi).
Lalu apakah
fungsi informatif dan performatif ini saling bertentangan? Tentu tidak. Karena
sejak zaman Rasulullah pun dua fungsi ini sudah ada dan saling berdampingan. Di
dalam Al-Quran sendiri, disebutkan bahwa fungsinya adalah sebagai petunjuk (huda),
dan untuk mendapatkan petunjuk tentu harus dipahami dan ditelaah, maka konsep ‘huda’
ini menjadi konsep fungsi informatif Al-Qur’an.
Di sisi
lain, Rasulullah bersabda bahwa membaca Al-Qur’an adalah ibadah, setiap huruf
yang dibaca mengandung pahala (ajrun). Maka konsep ‘ajrun’ ini
menjadi konsep fungsi performatif Al-Qur’an. Belum lagi berbagai hadits tentang
penggunaan ayat-ayat tertentu di dalam Al-Qur’an semisal al-Mu’awwidzatain
maupun Ayat al-Kursiy.
Dalam
kaitannya dengan fungsi Al-Qur’an, kajian resepsi termasuk ke dalam ranah
fungsi performatif. Yakni tentang bagaimana respon umat terhadap Al-Qur’an,
bagaimana umat menerima dan memaknai teks dalam ruang sosial budayanya. Sebagai
obyek resepsi, ada tiga sisi Al-Qur’an yang diresepsi. Yakni tulisannya,
bacaannya, dan sistem bahasanya.
Tulisan dan
bacaan Al-Qur’an sebagai obyek resepsi sudah dibahas oleh paparan Ust. Abdul
Jalil. Di sini, Ust. Ahmad Rafiq mencontohkan perilaku seorang kerabat, ia
menaruh plastik bertuliskan aksara Arab di atas lemari karena menghormati
tulisannya, ia mengatakan bahwa aksara yang tertulis di bungkus plastik itu
sama dengan aksara yang digunakan di dalam Al-Qur’an. Berarti, dalam kasus ini,
Bahasa Arab pun mengalami ‘sanctification’ atau pensucian. Hal ini kemudian berkaitan
dengan sisi ketiga dalam obyek resepsi, yakni sistem bahasa Al-Qur’an.
Ada lima hal
dalam sistem bahasa Al-Qur’an yang menjadi obyek resepsi. Pertama, bunyi (fon),
misalnya seperti fenomena yang terjadi di salah satu daerah. Ketika ada ibu
hamil, ia dianjurkan –secara tradisional- untuk membaca surat At-Takatsur ayat
pertama, padahal tidak ada hubungan makna maupun sejarah antara surat
At-Takatsur dengan ibu hamil. Ternyata setelah ditelusuri, alasan tradisi ini
adalah agar proses kelahiran bayi bisa berlangsung dengan ‘mendlusur’ (lancar
keluarnya). Maka bisa dipahami bahwa fenomena ini mengasosiasikan antara
kelahiran secara ‘mendlusur’ dengan rima bunyi awal surat At-Takatsur.
Kedua, kata
(morfem). Karena dianggap sebagai bagian yang mulia dalam kitab suci,
maka kata-kata yang ada di dalam Al-Qur’an disematkan sebagai nama. Ini adalah
hal yang paling umum terjadi di dalam kehidupan umat Islam. Ketiga, kalimat (syntak),
contohnya ayat-ayat tertentu di dalam Al-Qur’an yang dijadikan mantra atau
jimat. Bahkan ada satu daerah yang percaya, dengan membaca potongan ayat ‘Walyatalatthaf
wala yusy’ironna bikum ahadaa’ ketika tendangan penalti, maka bola akan gol
dan tidak akan meleset.
Keempat,
makna (semantik), yakni penggunaan ayat-ayat di dalam Al-Qur’an sesuai
dalam kondisi tertentu dengan maknanya. Kelima, fungsi (pragmatik). Lima
obyek ini mengalami resepsinya masing-masing. Sedangkan dalam meresepsi lima
obyek tersebut, ada tiga gaya:
- Pertama, resepsi Eksegesis atau hermeneutik. Yakni ketika Al-Qur’an diposisikan sebagai teks yang berbahasa—Arab—dan bermakna secara bahasa. Resepsi exegesis mewujud dalam bentuk praktik penafsiran al-Quran dan karya-karya Tafsir.
- Kedua, resepsi Estetis. Dalam resepsi ini, Al-Quran diposisikan sebagai teks yang bernilai estetis (keindahan) atau diterima dengan cara yang estetis pula. Al-Qur’an sebagai teks yang estetis, artinya resepsi ini berusaha menunjukkan keindahan inheren Al-Qur’an, antara lain berupa kajian puitik atau melodik yang terkandung dalam bahasa Al-Qur’an. Al-Qur’an diterima dengan cara yang estetis, artinya Al-Qur’an dapat ditulis, dibaca, disuarakan, atau ditampilkan dengan cara yang estetik.
- Ketiga, resepsi Fungsional. Dalam gaya resepsi ini, Al-Qur’an diposisikan sebagai kitab yang ditujukan kepada manusia untuk dipergunakan demi tujuan tertentu. Maksudnya, khithab Al-Qur’an adalah manusia, baik karena merespon suatu kejadian ataupun mengarahkan manusia (humanistic hermeneutics). Serta dipergunakan demi tujuan tertentu, berupa tujuan normatif maupun praktis yang mendorong lahirnya sikap atau perilaku.
Resepsi
Fungsional dapat mewujud dalam fenomena sosial budaya Al-Qur’an di masyarakat
dengan cara dibaca, disuarakan, diperdengarkan, ditulis, dipakai, atau
ditempatkan. Tampilannya bisa berupa praktek komunal individual, praktek
reguler/rutin – insidentil/temporer, sikap/pengetahuan – material, hingga
sistem sosial – adat – hukum – politik. Sehingga jadilah tradisi-tradisi
resepsi yang khas terhadap Al-Qur’an.
Tradisi
Yasinan adalah salah satu contoh konkrit praktek resepsi komunal dan reguler.
Begitu pula dengan tradisi Khataman Al-Qur’an di pesantren-pesantren dengan
beragam variasi dan kreasi aaranya, sebagai praktek komunal dan insidental.
Mengapa bisa
muncul resepsi-resepsi sedemikian rupa yang kemudian melahirkan
tradisi-tradisi? Hal ini tentu disebabkan adanya dua alur pemahaman dalam
tradisi Al-Qur’an, yakni transmisi dan transformasi. Transmisi berarti
pengalihan pengetahuan dan praktek dari generasi ke generasi, sedangkan
Transformasi adalah perubahan bentuk pengetahuan dan praktek sesuai kondisi
masing-masing generasi.
Contohnya
tentang khasiat surah Al-Fatihah. Sebagaimana diriwayatkan Abu Sa’id al-Khudry,
Rasulullah mengabarkan tentang kegunaan surah Al-Fatihah. Pengetahuan ini
ditransmisikan melalui rantaian sanad hadits dan tercantum dalam Shahih
Bukhari. Kemudian informasi ini ditransmisikan lagi dari generasi ke
generasi, hingga tercantum dalam at-Tibyan fi Adab Hamalati al-Qur’an karya
An-Nawawi di dalam bab tentang bacaan bagi orang sakit. Lalu muncul lagi dalam Khazinatu
al-Asrar dengan tata baca yang berbeda, namun idenya tetap sama; khasiat
Al-Fatihah.
Khataman
adalah misal yang lain. Pada awalnya, ada sahabat yang mengundang orang-orang
ketika ia mengkhatamkan Al-Qur’an. Tentu hal ini belum ada di masa Rasulullah.
Kemudian pengetahuan tentang khataman ini ditransmisikan melewati ruang dan
waktu, sekaligus mengalami transformasi terhadap bentuk khataman itu. Hingga
jadilah pada saat ini bentuk khataman yang sama sekali berbeda namun bermuatan
sama. Di Jawa Barat ada Sisingaan yang diarak pada saat khataman Al-Qur’an, di
Banjar ada tradisi Payung Kembang, di pesantren-pesantren ada prosesi wisuda,
dan sebagainya.
Bagi orang
yang tak paham realita sosial masyarakat dan tak memakai kacamata sosial
humaniora, akan dengan mudah memberikan stempel sesat atau minimal bid’ah
terhadap praktek-praktek transformatif semacam ini. Padahal inilah yang disebut
dengan transformasi atau perubahan atas bentuk pengetahuan dan praktek yang
ditransmisikan dari generasi ke generasi, sebagai resepsi umat terhadap kitab
suci.
TANYA JAWAB
Tanya:
Dalam hal
fungsional Al-Qur’an dan hubungannya dengan awal pewahyuan, apa yang musti
didahulukan; iqro’ (membaca) atau isma’ (menyimak)? Apakah ada
kemukjizatan Al-Qur’an yang berkaitan dengan suara/bunyi (i’jaz shauti)?
Lalu apa makna Rasulullah mengucapkan ‘maa ana bi qoori-in’? (Soleh)
Bagaimana
umat Islam meresepsi Al-Qur’an sebelum adanya mushaf? Bagaimana metode para
sahabat dalam menghapal Al-Qur’an, muraja’ah hapalan, dan prosesi khataman,
sebelum ada mushaf ? (Aidah)
Jawab:
Ahmad Rafiq: apa yang didahulukan, iqra’ atau
isma’? Kalau menelaah kronologi pewahyuan, bisa disimpulkan bahwa wahyu
diturunkan dalam bentuk bunyi, bukan teks. Serta meskipun perintahnya untuk
membaca, namun tidak ada obyek bacaan.
Memang tidak
salah jika banyak pemaknaan awam yang mengatakan bahwa ‘Iqro!’ adalah ‘Bacalah
kitab suci ini, dan pahamilah, lalu amalkanlah!’, memang tidak salah. Namun
jika merunut kronologi pewahyuan Al-Qur’an, tentu pemaknaan seperti itu terlalu
jauh. Maksud dari ‘iqro’ di sini adalah perintah menyimak (isma’) lalu kemudian
menirukan bacaan yang dicontohkan Malaikat Jibril.
Adapun
maksud ‘maa ana bi qoori-in’ tidak serta merta berarti bahwa Rasulullah
buta huruf. Karena urusan baca tulis berkaitan dengan teks, sedangkan dalam
peristiwa pewahyuan ini tidak ada teks, melainkan hanya bunyi. Maka ucapan
Rasulullah dalam konteks ini adalah bernuansa perendahan diri sebagai manusia
yang menghadapi kejadian yang begitu luar biasa. Pembahasan yang berkaitan
tentang ke-ummiy-an Rasulullah menjadi salah satu tema perbincangan para ulama
sejak dahulu hingga hari ini dan tak pernah selesai.
Tentang
mukizat suara (i’jaz shauti), meskipun tidak ada keterangan yang jelas
dari Rasulullah tentang hal ini, namun pada kenyataannya banyak terjadi. Contoh
besar dalam hal ini adalah keislaman Umar yang dipicu oleh bacaan ayat
Al-Qur’an adiknya, Fathimah.
Abdul Jalil: bagaimana para sahabat menghapal
Al-Qur’an sebelum ada mushaf? Yakni dengan langsung menghapalkan apa yang
mereka dengar. Adapun cara muroja’ah para sahabat adalah dengan membaca
terus-menurus, dan jika lupa suatu ayat maka mereka akan bertanya kepada
sahabat-sahabat yang lain. Metode hapalan dan muroja’ah semacam ini masih
dipraktekkan –misalnya- di Maroko.
Bagaimana
bentuk khataman para sahabat? Pada masa itu, yang dimaksud dengan ‘khataman’
jelas berbeda dengan praktek khataman kita pada saat ini. Bagi kita, yang
dimaksud khataman adalah menyelesaikan bacaan Al-Qur’an dari awal Fatihah
sampai akhir an-Nas. Tidak demikian pada masa sahabat, saat itu yang dimaksud
khataman adalah menyelesaikan bagian yang dihapal masing-masing orang/sahabat.
Tentu hapalan Ibnu Mas’ud atau Zaid ibn Tsabit yang sejak muda bersama Nabi
berbeda dengan hapalan Abu Hurairah yang baru datang di kemudian hari. Maka
setiap orang memiliki kuantitas hapalan yang berbeda-beda, saat mereka
menyelesaikan bacaan atas hapalannya, itulah khataman.
Apakah ada
mukjizat suara (i’jaz shauti)? Ada satu disertasi menarik di Mesir yang
membahas tentang musikalitas dan bunyi akhir ayat-ayat Al-Qur’an. Ada juga
karya Muhammad Syamlul yang menyatakan bahwa I’jaz Tilawah itu nyata adanya.
Salah satunya adalah adanya kaitan antara bacaan tajwid Al-Quran dengan makna
yang terkandung di dalam ayat-ayat yang bersangkutan.
Salah satu
contoh adalah bacaan imalah; majreehaa, sebagai penekanan kesan terhadap
makna yang terkandung di dalamnya. Agar si pembaca ayat bisa merasakan suasana
bahtera Nabi Nuh yang terombang-ambing. Atau dalam lafal la ta’manna,
bacaan isymam yang terbunyikan seakan-akan tidak sama dengan gerakan
bibir, yakni agar si pembaca ayat merasakan kondisi yang sedang digambarkan,
yakni ketika saudara-saudara Nabi Yusuf mengatakan hal-hal yang tidak sesuai
dengan isi hati mereka. Semua hal ini bisa dikategorikan dalam mukjizat shauti
(bunyi) dalam Al-Qur’an.
Kesimpulan:
Al-Qur’an
menjadi sesuatu hal yang istimewa di tengah kehidupan umat Islam. Kehadirannya
mendapat sambutan di tengah-tengah umat dalam berbagai bentuk dan rupa, sesuai
kondisi sosial budaya. Inilah yang kemudian disebut dengan ‘resepsi’.
Ada tiga
bentuk resepsi umat terhadap Al-Qur’an, yakni; resepsi Eksegesis yang berkaitan
dengan makna dan kandungan ilmu di dalamnya, resepsi Estetis yang berhubungan
dengan keindahan yang terkandung maupun keindahan dalam memperlakukannya, dan
resepsi Fungsional yang berkaitan dengan fenomena sosial budaya Al-Qur’an di
masyarakat, dengan cara dibaca, disuarakan, diperdengarkan, ditulis, dipakai,
atau ditempatkan.
Tradisi
resepsi Al-Qur’an yang muncul, khususnya di Indonesia, adalah fenomena
kebudayaan dan bisa ditelaah secara ilmiah melalui kajian sosiologis. Adapun
keabsahan tradisi-tradisi tersebut dalam hukum-hukum formal fiqh tentu perlu
ditimbang lagi dengan ukuran-ukuran yang berbeda. []
~
Moderator: Muhammad Ahya Anshari
Fotografer: Mohammed Habibi
Juru Tulis: Zia Ul Haq
Moderator: Muhammad Ahya Anshari
Fotografer: Mohammed Habibi
Juru Tulis: Zia Ul Haq
Kajian
tentang resepsi berkaitan erat dengan kajian sosial humaniora. Salah satu
konsen kajian humaniora adalah tentang perilaku masyarakat dalam merespon
kitab-kitab (yang dianggap) suci. Di dalam bukunya, Beyond The Written Word
maupun Scripture as The Spoken Word, William Graham mengatakan bahwa
kitab suci tak sekedar teks yang dibaca. Tetapi ia hidup bersama orang-orang
yang meyakininya dan menaatinya.
Kitab suci
dihubungkan dengan masyarakat yang mendengarkan kata-katanya sepenuh perasaan,
mereka hidup bersama dan untuk kitab suci tersebut. Ia dianggap suci sebab ada
orang-orang yang men-suci-kannya, terlepas dari perihal apakah kitab-kitab itu
benar-benar suci atau tidak.
Hal ini
sesuai dengan apa yang disampaikan Ust. Abdul Jalil tentang perkataan Ali bin
Abi Thalib mengenai kitab suci Al-Qur’an, bahwa aktifitas manusia la yang
membuat Al-Quran hidup di tengah masyarakat . Di dalam Nahj al-Balaghah, beliau
mengatakan,
“Mushaf
Al-Qur’an adalah sesuatu yang diapit dua sampul dan tak bisa berkata-kata
sendiri, maka ia membutuhkan pembicara yakni manusia, di dalamnya terkandung
ilmu tentang apa yang akan terjadi, tentang apa yang sudah berlalu, penawar
bagi duka, dan neraca bagi kehidupan bersosial.”
Kalau
ditilik dari sisi lingkupannya, kajian Kitab Suci terbagi dalam tiga ranah;
- Origin (Asal-usul), yakni kajian tentang asal-usul kitab suci, semisal sejarah dan manuskrip.
- Form (Bentuk), yaitu kajian tentang bentuk kandungan yang ada di dalam kitab suci, semisal kajian tafsir dan pemaknaan.
- Function (Fungsi), adalah kajian tentang kegunaan dan penggunaan kitab suci.
Adapun
kajian tentang resepsi tergolong dalam kajian Fungsi. Bagaimana fungsi
Al-Qur’an di dalam kajian ilmiah? Ada dua macam;
- Fungsi Informatif, yakni ranah kajian kitab suci sebagai sesuatu yang dibaca, dipahami, dan diamalkan.
- Fungsi Performatif, yaitu ranah kajian kitab suci sebagai sesuatu yang ‘diperlakukan’. Misalnya sebagai wirid untuk nderes atau bacaan-bacaan suwuk (ruqyah).
Ada
pesantren tertentu yang memfungsikan Al-Qur’an lebih cenderung secara
performatif dibandingkan informatif. Di sana, kitab tafsir dibaca dari awal
hingga khatam, namun tak begitu penting apakah santri paham atau tidak. Justru
yang dipentingkan adalah disiplin pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut secara
rutin (resitasi).
Lalu apakah
fungsi informatif dan performatif ini saling bertentangan? Tentu tidak. Karena
sejak zaman Rasulullah pun dua fungsi ini sudah ada dan saling berdampingan. Di
dalam Al-Quran sendiri, disebutkan bahwa fungsinya adalah sebagai petunjuk (huda),
dan untuk mendapatkan petunjuk tentu harus dipahami dan ditelaah, maka konsep ‘huda’
ini menjadi konsep fungsi informatif Al-Qur’an.
Di sisi
lain, Rasulullah bersabda bahwa membaca Al-Qur’an adalah ibadah, setiap huruf
yang dibaca mengandung pahala (ajrun). Maka konsep ‘ajrun’ ini
menjadi konsep fungsi performatif Al-Qur’an. Belum lagi berbagai hadits tentang
penggunaan ayat-ayat tertentu di dalam Al-Qur’an semisal al-Mu’awwidzatain
maupun Ayat al-Kursiy.
Dalam
kaitannya dengan fungsi Al-Qur’an, kajian resepsi termasuk ke dalam ranah
fungsi performatif. Yakni tentang bagaimana respon umat terhadap Al-Qur’an,
bagaimana umat menerima dan memaknai teks dalam ruang sosial budayanya. Sebagai
obyek resepsi, ada tiga sisi Al-Qur’an yang diresepsi. Yakni tulisannya,
bacaannya, dan sistem bahasanya.
Tulisan dan
bacaan Al-Qur’an sebagai obyek resepsi sudah dibahas oleh paparan Ust. Abdul
Jalil. Di sini, Ust. Ahmad Rafiq mencontohkan perilaku seorang kerabat, ia
menaruh plastik bertuliskan aksara Arab di atas lemari karena menghormati
tulisannya, ia mengatakan bahwa aksara yang tertulis di bungkus plastik itu
sama dengan aksara yang digunakan di dalam Al-Qur’an. Berarti, dalam kasus ini,
Bahasa Arab pun mengalami ‘sanctification’ atau pensucian. Hal ini kemudian berkaitan
dengan sisi ketiga dalam obyek resepsi, yakni sistem bahasa Al-Qur’an.
Ada lima hal
dalam sistem bahasa Al-Qur’an yang menjadi obyek resepsi. Pertama, bunyi (fon),
misalnya seperti fenomena yang terjadi di salah satu daerah. Ketika ada ibu
hamil, ia dianjurkan –secara tradisional- untuk membaca surat At-Takatsur ayat
pertama, padahal tidak ada hubungan makna maupun sejarah antara surat
At-Takatsur dengan ibu hamil. Ternyata setelah ditelusuri, alasan tradisi ini
adalah agar proses kelahiran bayi bisa berlangsung dengan ‘mendlusur’ (lancar
keluarnya). Maka bisa dipahami bahwa fenomena ini mengasosiasikan antara
kelahiran secara ‘mendlusur’ dengan rima bunyi awal surat At-Takatsur.
Kedua, kata
(morfem). Karena dianggap sebagai bagian yang mulia dalam kitab suci,
maka kata-kata yang ada di dalam Al-Qur’an disematkan sebagai nama. Ini adalah
hal yang paling umum terjadi di dalam kehidupan umat Islam. Ketiga, kalimat (syntak),
contohnya ayat-ayat tertentu di dalam Al-Qur’an yang dijadikan mantra atau
jimat. Bahkan ada satu daerah yang percaya, dengan membaca potongan ayat ‘Walyatalatthaf
wala yusy’ironna bikum ahadaa’ ketika tendangan penalti, maka bola akan gol
dan tidak akan meleset.
Keempat,
makna (semantik), yakni penggunaan ayat-ayat di dalam Al-Qur’an sesuai
dalam kondisi tertentu dengan maknanya. Kelima, fungsi (pragmatik). Lima
obyek ini mengalami resepsinya masing-masing. Sedangkan dalam meresepsi lima
obyek tersebut, ada tiga gaya:
- Pertama, resepsi Eksegesis atau hermeneutik. Yakni ketika Al-Qur’an diposisikan sebagai teks yang berbahasa—Arab—dan bermakna secara bahasa. Resepsi exegesis mewujud dalam bentuk praktik penafsiran al-Quran dan karya-karya Tafsir.
- Kedua, resepsi Estetis. Dalam resepsi ini, Al-Quran diposisikan sebagai teks yang bernilai estetis (keindahan) atau diterima dengan cara yang estetis pula. Al-Qur’an sebagai teks yang estetis, artinya resepsi ini berusaha menunjukkan keindahan inheren Al-Qur’an, antara lain berupa kajian puitik atau melodik yang terkandung dalam bahasa Al-Qur’an. Al-Qur’an diterima dengan cara yang estetis, artinya Al-Qur’an dapat ditulis, dibaca, disuarakan, atau ditampilkan dengan cara yang estetik.
- Ketiga, resepsi Fungsional. Dalam gaya resepsi ini, Al-Qur’an diposisikan sebagai kitab yang ditujukan kepada manusia untuk dipergunakan demi tujuan tertentu. Maksudnya, khithab Al-Qur’an adalah manusia, baik karena merespon suatu kejadian ataupun mengarahkan manusia (humanistic hermeneutics). Serta dipergunakan demi tujuan tertentu, berupa tujuan normatif maupun praktis yang mendorong lahirnya sikap atau perilaku.
Resepsi
Fungsional dapat mewujud dalam fenomena sosial budaya Al-Qur’an di masyarakat
dengan cara dibaca, disuarakan, diperdengarkan, ditulis, dipakai, atau
ditempatkan. Tampilannya bisa berupa praktek komunal individual, praktek
reguler/rutin – insidentil/temporer, sikap/pengetahuan – material, hingga
sistem sosial – adat – hukum – politik. Sehingga jadilah tradisi-tradisi
resepsi yang khas terhadap Al-Qur’an.
Tradisi
Yasinan adalah salah satu contoh konkrit praktek resepsi komunal dan reguler.
Begitu pula dengan tradisi Khataman Al-Qur’an di pesantren-pesantren dengan
beragam variasi dan kreasi aaranya, sebagai praktek komunal dan insidental.
Mengapa bisa
muncul resepsi-resepsi sedemikian rupa yang kemudian melahirkan
tradisi-tradisi? Hal ini tentu disebabkan adanya dua alur pemahaman dalam
tradisi Al-Qur’an, yakni transmisi dan transformasi. Transmisi berarti
pengalihan pengetahuan dan praktek dari generasi ke generasi, sedangkan
Transformasi adalah perubahan bentuk pengetahuan dan praktek sesuai kondisi
masing-masing generasi.
Contohnya
tentang khasiat surah Al-Fatihah. Sebagaimana diriwayatkan Abu Sa’id al-Khudry,
Rasulullah mengabarkan tentang kegunaan surah Al-Fatihah. Pengetahuan ini
ditransmisikan melalui rantaian sanad hadits dan tercantum dalam Shahih
Bukhari. Kemudian informasi ini ditransmisikan lagi dari generasi ke
generasi, hingga tercantum dalam at-Tibyan fi Adab Hamalati al-Qur’an karya
An-Nawawi di dalam bab tentang bacaan bagi orang sakit. Lalu muncul lagi dalam Khazinatu
al-Asrar dengan tata baca yang berbeda, namun idenya tetap sama; khasiat
Al-Fatihah.
Khataman
adalah misal yang lain. Pada awalnya, ada sahabat yang mengundang orang-orang
ketika ia mengkhatamkan Al-Qur’an. Tentu hal ini belum ada di masa Rasulullah.
Kemudian pengetahuan tentang khataman ini ditransmisikan melewati ruang dan
waktu, sekaligus mengalami transformasi terhadap bentuk khataman itu. Hingga
jadilah pada saat ini bentuk khataman yang sama sekali berbeda namun bermuatan
sama. Di Jawa Barat ada Sisingaan yang diarak pada saat khataman Al-Qur’an, di
Banjar ada tradisi Payung Kembang, di pesantren-pesantren ada prosesi wisuda,
dan sebagainya.
Bagi orang
yang tak paham realita sosial masyarakat dan tak memakai kacamata sosial
humaniora, akan dengan mudah memberikan stempel sesat atau minimal bid’ah
terhadap praktek-praktek transformatif semacam ini. Padahal inilah yang disebut
dengan transformasi atau perubahan atas bentuk pengetahuan dan praktek yang
ditransmisikan dari generasi ke generasi, sebagai resepsi umat terhadap kitab
suci.
TANYA JAWAB
Tanya:
Dalam hal
fungsional Al-Qur’an dan hubungannya dengan awal pewahyuan, apa yang musti
didahulukan; iqro’ (membaca) atau isma’ (menyimak)? Apakah ada
kemukjizatan Al-Qur’an yang berkaitan dengan suara/bunyi (i’jaz shauti)?
Lalu apa makna Rasulullah mengucapkan ‘maa ana bi qoori-in’? (Soleh)
Bagaimana
umat Islam meresepsi Al-Qur’an sebelum adanya mushaf? Bagaimana metode para
sahabat dalam menghapal Al-Qur’an, muraja’ah hapalan, dan prosesi khataman,
sebelum ada mushaf ? (Aidah)
Jawab:
Ahmad Rafiq: apa yang didahulukan, iqra’ atau
isma’? Kalau menelaah kronologi pewahyuan, bisa disimpulkan bahwa wahyu
diturunkan dalam bentuk bunyi, bukan teks. Serta meskipun perintahnya untuk
membaca, namun tidak ada obyek bacaan.
Memang tidak
salah jika banyak pemaknaan awam yang mengatakan bahwa ‘Iqro!’ adalah ‘Bacalah
kitab suci ini, dan pahamilah, lalu amalkanlah!’, memang tidak salah. Namun
jika merunut kronologi pewahyuan Al-Qur’an, tentu pemaknaan seperti itu terlalu
jauh. Maksud dari ‘iqro’ di sini adalah perintah menyimak (isma’) lalu kemudian
menirukan bacaan yang dicontohkan Malaikat Jibril.
Adapun
maksud ‘maa ana bi qoori-in’ tidak serta merta berarti bahwa Rasulullah
buta huruf. Karena urusan baca tulis berkaitan dengan teks, sedangkan dalam
peristiwa pewahyuan ini tidak ada teks, melainkan hanya bunyi. Maka ucapan
Rasulullah dalam konteks ini adalah bernuansa perendahan diri sebagai manusia
yang menghadapi kejadian yang begitu luar biasa. Pembahasan yang berkaitan
tentang ke-ummiy-an Rasulullah menjadi salah satu tema perbincangan para ulama
sejak dahulu hingga hari ini dan tak pernah selesai.
Tentang
mukizat suara (i’jaz shauti), meskipun tidak ada keterangan yang jelas
dari Rasulullah tentang hal ini, namun pada kenyataannya banyak terjadi. Contoh
besar dalam hal ini adalah keislaman Umar yang dipicu oleh bacaan ayat
Al-Qur’an adiknya, Fathimah.
Abdul Jalil: bagaimana para sahabat menghapal
Al-Qur’an sebelum ada mushaf? Yakni dengan langsung menghapalkan apa yang
mereka dengar. Adapun cara muroja’ah para sahabat adalah dengan membaca
terus-menurus, dan jika lupa suatu ayat maka mereka akan bertanya kepada
sahabat-sahabat yang lain. Metode hapalan dan muroja’ah semacam ini masih
dipraktekkan –misalnya- di Maroko.
Bagaimana
bentuk khataman para sahabat? Pada masa itu, yang dimaksud dengan ‘khataman’
jelas berbeda dengan praktek khataman kita pada saat ini. Bagi kita, yang
dimaksud khataman adalah menyelesaikan bacaan Al-Qur’an dari awal Fatihah
sampai akhir an-Nas. Tidak demikian pada masa sahabat, saat itu yang dimaksud
khataman adalah menyelesaikan bagian yang dihapal masing-masing orang/sahabat.
Tentu hapalan Ibnu Mas’ud atau Zaid ibn Tsabit yang sejak muda bersama Nabi
berbeda dengan hapalan Abu Hurairah yang baru datang di kemudian hari. Maka
setiap orang memiliki kuantitas hapalan yang berbeda-beda, saat mereka
menyelesaikan bacaan atas hapalannya, itulah khataman.
Apakah ada
mukjizat suara (i’jaz shauti)? Ada satu disertasi menarik di Mesir yang
membahas tentang musikalitas dan bunyi akhir ayat-ayat Al-Qur’an. Ada juga
karya Muhammad Syamlul yang menyatakan bahwa I’jaz Tilawah itu nyata adanya.
Salah satunya adalah adanya kaitan antara bacaan tajwid Al-Quran dengan makna
yang terkandung di dalam ayat-ayat yang bersangkutan.
Salah satu
contoh adalah bacaan imalah; majreehaa, sebagai penekanan kesan terhadap
makna yang terkandung di dalamnya. Agar si pembaca ayat bisa merasakan suasana
bahtera Nabi Nuh yang terombang-ambing. Atau dalam lafal la ta’manna,
bacaan isymam yang terbunyikan seakan-akan tidak sama dengan gerakan
bibir, yakni agar si pembaca ayat merasakan kondisi yang sedang digambarkan,
yakni ketika saudara-saudara Nabi Yusuf mengatakan hal-hal yang tidak sesuai
dengan isi hati mereka. Semua hal ini bisa dikategorikan dalam mukjizat shauti
(bunyi) dalam Al-Qur’an.
Kesimpulan:
Al-Qur’an
menjadi sesuatu hal yang istimewa di tengah kehidupan umat Islam. Kehadirannya
mendapat sambutan di tengah-tengah umat dalam berbagai bentuk dan rupa, sesuai
kondisi sosial budaya. Inilah yang kemudian disebut dengan ‘resepsi’.
Ada tiga
bentuk resepsi umat terhadap Al-Qur’an, yakni; resepsi Eksegesis yang berkaitan
dengan makna dan kandungan ilmu di dalamnya, resepsi Estetis yang berhubungan
dengan keindahan yang terkandung maupun keindahan dalam memperlakukannya, dan
resepsi Fungsional yang berkaitan dengan fenomena sosial budaya Al-Qur’an di
masyarakat, dengan cara dibaca, disuarakan, diperdengarkan, ditulis, dipakai,
atau ditempatkan.
Tradisi
resepsi Al-Qur’an yang muncul, khususnya di Indonesia, adalah fenomena
kebudayaan dan bisa ditelaah secara ilmiah melalui kajian sosiologis. Adapun
keabsahan tradisi-tradisi tersebut dalam hukum-hukum formal fiqh tentu perlu
ditimbang lagi dengan ukuran-ukuran yang berbeda. []
~
Moderator: Muhammad Ahya Anshari
Fotografer: Mohammed Habibi
Juru Tulis: Zia Ul Haq
Moderator: Muhammad Ahya Anshari
Fotografer: Mohammed Habibi
Juru Tulis: Zia Ul Haq
Tidak ada komentar:
Posting Komentar